Share

Susahnya Jadi Mas Joko
Susahnya Jadi Mas Joko
Penulis: Ayusqie

Bab 1: Libero

Bab 1: Libero

“Maaf, ini serius? Ini beneran? Asli?”

“Iya, Bu, itu memang nama saya.”

“Joko Aja?"

“Betul, Bu.”

Ibu Joyce, manajer perusahaan tempat aku melamar ini serentak mengalihkan pandangannya dari berkas lamaranku. Ia menatap wajahku seperti sedang berusaha mengenali seseorang.

“Saya kira nama kamu bakalan seperti Lee Min Ho, atau Kim Soo Hyun, begitu.”

Berarti Ibu Joyce ini hobi nonton drakor alias drama Korea, batinku.

“Atau, bakalan seperti Tom Cruise, atau Leonardo Dicaprio, begitu.”

Hobi nonton film Barat juga, batinku lagi.

“Atau paling tidak, seperti Shah Rukh Khan.”

Suka film India juga.

“Yah, minimal yang mirip-mirip dengan Mr. Sugimoto-lah.”

Mister Sugimoto, siapa lagi ini?

Menyadari aku yang hanya kikuk dan serba salah, Ibu Joyce kembali mencermati berkas lamaranku. Ia kemudian menggumam seakan tidak percaya dengan pandangannya.

“Joko Aja…, hemm, Joko Aja. Ngomong-ngomong, tinggi badan kamu berapa?”

“Seratus sembilan puluh senti, lebih kurang.”

“Tinggi badan kamu seratus sembilan puluh senti tapi nama kamu cuma tujuh huruf? Irit banget.”

“Maaf, Bu. Sebenarnya nama saya terdiri dari dua puluh lima huruf.”

“What?? Dua puluh lima?”

“Iya, Bu.”

“JOKO, itu empat huruf, Ko! AJA, itu cuma tiga.”

“Dua puluh lima, Bu.”

“Kamu dulu sekolah di mana sih?”

Aku diam.

“Nama kamu Joko aja, kan?”

“Yang benar Joko AJA, Bu. AJA-nya pakai huruf besar. Sebenarnya itu singkatan.”

Ibu Joyce yang berpostur sedikit tambun di depanku ini menempelkan punggung tapak tangannya ke kening sendiri. Dia pasti pening. Sama seperti aku yang dulu sering pening di saat ujian dan harus melingkari lembar jawaban komputer dengan pensil 2B. Namaku memang panjang, sepanjang…,

“Oke, oke, sekarang, sebutkan nama lengkap kamu.”

“Joko AJA. Lengkapnya…, Joko Adiguna Jalayuda Atmojo.”

“Beeeuh! Panjangnya!”

“Iya, Bu, memang panjang, sepanjang ke…,”

“Coba ulangi lagi.”

“Joko Adiguna Jalayuda Atmojo.”

“Bener, Ko, memang panjang, sepanjang tronton dua puluh lima ban.”

Padahal tadi aku mau bilang; sepanjang jalan kenangan. Ya sudah, sepanjang tronton juga tidak apa-apa, yang penting lamaranku diterima.

“Kamu orang apa, Ko?” Tanya Ibu Joyce lagi. Matanya ikut bertanya lewat lirikan yang melintasi frame kacamata silindrisnya.

“Orang Indonesia, Bu.”

“Heloouuw! Maksud saya, suku. Kamu suku apa?”

“Agak rumit saya menjelaskannya, Bu.”

“Nah, loh, kenapa begitu? Wong tinggal ngomong saja kok.”

“Bapak saya campuran antara Jawa dan Banjar, tapi dari Jawa ini juga ada keturunan dari Arab. Kalau dari Banjar-nya ada keturunan juga dari Tionghoa. Nah, kalau Ibu saya, campuran antara Melayu dan Bugis. Akan tetapi, darah Melayu ini juga ada persinggungan dengan keturunan Batak. Sementara dari Bugisnya-nya sendiri masih ada keturunan Sunda dan Bali.”

“Rumit, bener, Ko.”

“Iya, Bu, memang rumit.”

“Jadi, sebenarnya kamu ini orang apa sih?”

“Orang yang berjiwa Pancasila, Bu.”

“Hahaha!” Ibu Joyce tertawa tergelak-gelak.

Aku malah lebih suka jika dia diam, cantiknya jelas kelihatan, daripada tertawa yang ternyata sedikit menyeramkan.

“Kamu bisa ngelucu juga ya, Ko?”

Aku tersenyum saja. Bagaimana aku bisa melucu? Lha, nanti siang saja aku tidak tahu mau makan apa. Uangku yang tersisa cuma cukup untuk ongkos pulang ke kontrakan seorang teman, tempat aku menumpang selama beberapa waktu ini.

“Tapi, wajah kamu kok ada mirip-miripnya sama orang Korea ya?”

Maka dengan komentarnya itu, Ibu Joyce ini adalah orang yang kedua puluh sekian menyebut aku mirip orang Korea. Mudah-mudahan dia tidak bilang aku mirip Kim Jong Un yang konon punya rudal nuklir itu.

Perutku yang sejak pagi belum terisi apa-apa membuatku tak ingin lagi berbasa-basi, gono-gitu dan gini. Pertanyaan yang berikutnya ingin aku dengar juga yang semestinya berkaitan dengan pekerjaan yang aku lamar; gaji, atau posisi, atau mungkin training.

“Untuk ukuran cowok, kamu ini termasuk tinggi lho, Ko. Jauh di atas rata-rata. Seperti atlet saja.”

Aku menunduk. Perutku mulai terasa perih.

“Kamu bisa main basket, Ko?”

“Tidak bisa, Bu.” Jawabku lemah.

“Tinggi badan kamu jadi mubazir, Ko.”

Aku menelan ludah. “Tapi, aku bisa bermain voli, Bu.”

“Hahh?! Serius?” Ibu Joyce serentak mencondongkan tubuhnya ke arahku. Senyumnya merekah dan wajahnya pun sontak sumringah.

“Aduh, menyesalnya aku bilang bisa bermain voli,” batinku. Sebab aku sedang tidak ingin menceritakan tentang bagaimana tenarnya namaku di kota kelahiranku. Meski hanya ukuran kompetisi atau turnamen tarkam—antar kampung—akan tetapi aku adalah bintang di lapangan voli. Sebab itu pula aku digila-gilai oleh Arini, Qori, Siti dan Juminah.

“Iya, Bu. Sedikit.”

“Kamu bisa mukul? Bisa nye-mash?”

“Bisa, Bu. Memang itu spesialis-nya saya di permainan voli.”

“Hebat. Saya mau dong, di-smash sama kamu.”

Bleeeh..! Apa-apaan sih ini? Omelku dalam hati. Wawancara kerja kok begini?

“Maaf, maksud saya tadi, saya mau diajarin main voli sama kamu.”

“Dengan senang hati, Bu, kalau ada waktu dan kesempatan.”

“Sebagai penyerang, posisi kamu apa?”

“All round, Bu.”

“All round?”

“Iya, Bu.”

“Jadi, kamu bisa menyerang dari segala posisi?”

“Iya, Bu.”

“Kamu bisa menyerang dengan segala jenis umpan?”

“Hemm, yah, sedikit-sedikit kok Bu.”

“Wow, saya suka yang bisa segala posisi.”

Ya Allah, aku ingin mendengar keputusan kapan aku bisa bekerja, gajiku berapa dan nanti akan ditempatkan di mana. Bukan lucu-lucuan tentang voli!

“Umpan bola tiga, kamu bisa?”

“Bisa, Bu.”

“Bola dua?”

“Bisa, Bu.”

“Back attack, serangan belakang?”

“Bisa, Bu.”

“Bola cepat? Atau quicker?”

“Itu favorit saya, Bu.”

“Kenapa favorit?”

“Saya suka yang cepat dan tepat, Bu.”

“Mantap euy. Saya juga suka sama laki-laki yang cepat dan tepat.”

Semakin ke sini, aku pun semakin penasaran. Ibu Manajer ini tahu banyak tentang olah raga voli. Namun, mengingat postur tubuhnya yang sedikit tambun, sedikit gemuk dan pendek, apakah dia juga bisa bermain voli?

“Ibu suka main voli juga?”

“Banget. Saya masih suka main voli, bareng ibu-ibu komplek.”

“Posisi Ibu apa?”

Pertanyaanku yang terakhir barusan aku tekan sekuat mungkin supaya gesture-ku tidak menyinggung posturnya yang tidak meyakinkan itu.

“Wow, kalau saya sih, kanan kiri oke. Mau di atas, saya bisa. Mau di bawah, saya juga bisa. Mau dari samping juga, hayo.”

Oh, yakinlah aku sekarang. Ibu ini pasti seorang libero, yaitu poisisi pemain yang bertugas khusus untuk bertahan.

“Dari belakang juga, saya suka.”

Nah, kan, benar. Seorang libero juga harus begitu, bisa bertahan di segala posisi. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, dia juga harus bisa jungkir balik.

“Mau dijungkir-balikkan juga saya mau kok.”

Apakah aku yang salah dalam memandang? Atau apakah aku yang salah dalam mengambil kesimpulan? Di sepanjang kata-katanya tadi, Ibu Manajer ini selalu menatapku, dengan sorot yang tidak bisa dikatakan wajar. Tadi dia menatap ke arah wajahku, lalu ke leherku, sebentar ke dada, lalu ke perut, lalu ke bawah, semakin ke bawah.

“Jadi begini ya, Joko. Kamu pasti tahu perusahaan apa yang sedang kamu lamar ini. Jadi soal gaji, kamu juga semestinya sudah tahu kan? Bonus, THR, uang lembur dan lain-lainnya nanti akan saya jelaskan kalau kamu sudah mendapat kepastian.”

“Tapi, saya jamin, Ko. Kamu pasti lolos. Kamu pasti diterima. Karena semua keputusan ada di tangan saya. ”

Ibu Joyce kemudian bangkit dari kursinya. Aku kira dia akan mengambil map, berkas, atau apa, begitu. Ternyata, dia hanya berpindah posisi duduk dari kursi, ke atas meja! Di depanku! Rok hitamnya yang pendek mengumbar semua bagian atas kakinya. Hingga aku bisa melihat sedikit pahanya yang putih dan—maaf—juga varisesnya.

Aku menelan ludah. Dasar apes, keluhku dalam hati. Ini pasti gara-gara susuk pengasih yang ada di tubuhku, yang dulu dipasang oleh seorang guru spiritual bernama Ki Ageng Gemblung!

********

Komen (3)
goodnovel comment avatar
asri Susilowati
suka ceritanya
goodnovel comment avatar
Ayusqie
hihihi.. gaklah kak
goodnovel comment avatar
Rosita
pakai susuk ya serem
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status