Bab 2: Bohlam Lampu
“Sebelum melamar ke sini, kamu bekerja di mana, Ko?”
“Di kampung, Bu.”
“Bukan, bukan itu maksud saya. Tapi, di perusahaan apa?”
“Di perusahaan perkebunan, Bu.”
“Sebagai?”
“Buruh harian lepas.”
“Bisa diperjelas?”
“Tukang semprot hama.”
“Keren tuh.”
Mungkin Ibu Joyce ini bermaksud “meninggikan” aku yang memang telah “rendah” ini. Jika benar begitu, maka pintar juga dia berbasa-basi.
“Saya suka disemprot kok.” Katanya lagi, sembari menumpangkan sebelah kakinya ke kaki yang lain.
Fiuhh, untung kursi yang aku duduki ini memiliki roda sehingga dengan sedikit dorongan menggunakan ujung kaki aku bisa menyelamatkan lututku yang sekarang persis berada di ujung sepatu si Ibu Manajer ini.
“Ibu punya kebun juga?” tanyaku, sembari melirik ke arah jam dinding.
“Punya, di perbatasan kota.”
“Kebun apa, Bu?”
“Kebunnya kosong, Ko. Tidak pernah dicocok-tanami lagi.”
“Seberapa luas, Bu?”
“Tidak terlalu luas sih. Sempit saja, kok. Cuma, ya itu, banyak rumputnya. Kalau kamu bersedia, saya mau minta tolong kamu semprotin supaya rumputnya mati.”
“Dengan senang hati, Bu. Tapi, tergantung.”
“Tergantung?”
“Tergantung saya diterima kerja ata tidak.”
“Kok, begitu?”
“Kalau lamaran saya ditolak, tentu saya akan pergi, mencari pekerjaan di tempat yang lain atau mungkin pergi ke kota yang lain lagi.”
“Hemm, okelah, okelah. Soal semprot-semprotan kita bahas lagi nanti. Nah, selain tukang semprot, dulu kamu kerja apa lagi?”
“Kerja apa saja, Bu.”
“Maksud kamu?”
“Saya kerja serabutan, Bu.”
“Serabutannya itu kerja apa?”
“Kuli bangunan.”
“Kuli bangunan, kok kulit kamu putih bersih?”
Tidak terlalu putih sebenarnya, hanya Ibu Joyce ini yang terlalu lebay membahasakannya. Aku pun menjelaskan bahwa warna kulitku begini memang keturunan.
Ibu Joyce menerawangkan pandangannya ke arahku. Masih seperti tadi, dengan sorot mata yang menurutku sedikit tidak wajar.
“Kuli bangunan, hemm, tukang semprot, kok bisa main voli?”
Ya Tuhan, lagi-lagi soal voli! Aduh, perutku lapar sekali! Akhirnya, aku pun menjelaskan tentang kota kecamatan tempat aku lahir dan dibesarkan, dengan segala akulturasi budayanya, dengan segala dinamikanya, dan juga dengan segala trend-nya, termasuk di dalamnya salah satu olah raga yang digandrungi para kaum muda.
Wawancara yang seharusnya seputar kerja malah melebar ke mana-mana. Malangnya aku, karena setelah selesai kubercerita, berganti pula Ibu Joyce yang bercerita. Dia ceritakan padaku tentang kota Bandar Baru ini, yang bagi dia adalah sebagai tempat kelahiran namun bagiku sebagai tempat pelarian. Dia bercerita tentang aneka makanan kesukaan, minuman, makanan lagi, dan…, aku menelan ludah berkali-kali.
********
Aku sampai di rumah kontrakan Alex sudah pukul tiga sore. Setelah membuka pintu dengan kunci duplikat yang ia berikan padaku, aku pun masuk dan menjatuhkan tas punggungku sekenanya saja di lantai.
Aku bergegas menuju dapur, meneguk bergelas-gelas air putih dengan rakus. Tujuan pertama, karena memang aku haus. Tujuan kedua, supaya perutku penuh dan sedikit menolongku dari rasa lapar.
Mudah-mudahan aku tidak kembung atau masuk angin. Mudah-mudahan juga Alex hari ini tidak lembur dan cepat pulang supaya aku bisa nebeng lagi makan malamnya. Aku menghela nafas yang berat, lalu kubuka baju dan menggantungkannya ke atas pintu kamar.
Aku kembali ke ruang depan, membaringkan tubuhku di lantai dengan alas berupa karpet plastik. Kedua tangan aku lipat dan kupergunakan sebagai bantal. Aku memandang ke atas, ke arah plafon, memandang dengan kosong, ditemani perutku yang terus saja keroncongan.
Entah apakah aku sudah tertidur atau melamun dengan begitu dalamnya, sehingga aku tidak mendengar panggilan dan sebuah ketukan di pintu depan. Aku tersentak ketika pintu depan yang memang sengaja aku buka sedikit itu didorong oleh sebuah tangan yang ternyata adalah sang pemilik rumah kontrakan.
“Permisi, Mas.”
“Ya,” sahutku yang terperanjat serta-merta bangkit.
“Alex-nya sudah pulang?”
“Belum, Tante.”
“Oh, belum pulang toh?”
“Iya, Tante. Kalau tidak lembur, mungkin jam enam nanti baru sampai rumah. Ada yang bisa saya bantu, Tante?”
“Nah, kebetulan sekali. Kamu, Joko, kan? Temannya Alex?”
“Iya, Tante.”
“Anu, saya mau minta tolong ke kamu, bisa?”
“Selagi saya sanggup, dengan senang hati, Tante.” Sahutku pula seraya berdiri.
“Orang dengan tinggi badan seperti kamu pasti sangguplah. Yuk, ke rumah Tante. Saya mau minta tolong gantikan bohlam lampu yang rusak di dapur Tante.”
“Oke, siap Tante. Aku ambil baju dulu.”
“Sudah, tak usah ambil baju, cuma sebentar kok.”
Akhirnya, hanya dengan kaos tanpa lengan aku pun berjalan membuntut di belakang Tante Resmi. Aku heran mengapa nama si Tante ini berbunyi “resmi”. Alex bilang, itu memang nama aslinya. Ada pun nama panjangnya, aku tidak tahu, karena Alex juga tidak tahu.
Setelah melewati beberapa rumah kontrakan yang semuanya milik Tante Resmi itu, kami sampai di rumah sang tante yang berupa rumah bulatan dengan ukuran yang lumayan besar dan tergolong mewah. Ada tamannya, ada kolam hiasnya, ada garasinya, ada…, apa ini? Kandang anjing atau kandang kucing?
Meoong..!
Oh, ternyata kandang kambing.
“Nah, ini dia yang mati.” Tante Resmi menunjuk sebuah bohlam lampu yang tergantung di bagian tengah dapurnya.
Aku ikut mendongak.
“Nah, ini bohlam yang baru tadi Tante beli.”
Aku menerima bohlam yang baru dari tangan Tante Resmi.
“Tolong gantikan ya? Kamu pasti bisa.”
Aku menoleh kanan-kiri.
“Tante punya tangga, atau apa, begitu? Untuk aku naiki.”
“Pakai ini saja.” Tante Resmi menunjuk sebuah meja di pojok.
Beberapa menit kemudian, aku selesai mengganti bohlam lampu. Pekerjaan yang teramat mudah sebenarnya. Namun, menjadi begitu berat karena perutku yang kosong, sehingga kepalaku sempat pusing dan pandanganku berkunang-kunang.
“Emmh, aroma apa ini, Tante?” Tanyaku dengan mimik heran.
“Aroma? Aroma apa?”
Jujur, memang tidak ada aroma apa pun yang kutangkap dengan hidungku. Aku hanya memainkan sedikit sandiwara untuk meminta semacam upah atas bantuanku menolong Tante Resmi. Secara sekilas dan dengan sangat hati-hati aku melirik ke arah meja makan, di mana terdapat tudung saji yang menutupi apa pun itu yang dimakan si empunya rumah. Mudah-mudahan masih ada sisa, batinku.
“Ini,” mataku menerawang ke atas, jari telunjukku juga, sementara hidungku aku kembang-kempiskan sedemikian rupa. “Harum banget, Tante. Seperti aroma ayam atau ikan digoreng, begitu.”
“Oh, iya, tadi siang Tante menggoreng ikan untuk si Resti, anak Tante.”
Resti? Anaknya? Lalu ibunya, Resmi?
“Hidung kamu tajam ya? Padahal sudah lama lho, tapi masih bisa kamu cium juga.” Kata si tante lagi sembari membuka tudung saji di atas meja.
“Udah Tante masakin, eeeh…Resti-nya ternyata sudah makan di luar, bareng teman kuliahnya.”
Sontak saja aku menelan ludah, tergiur pada apa-apa yang ada di atas meja makan Tante Resmi itu. Tak perlu Tante Resmi menyebutnya, karena aku tahu semua itu adalah mangsa.
“Ini, ada gulai, ada sambal, ada lalapan, ada acar, dan ini, ada ikan kembung.”
Aku tersenyum kikuk.
“Kamu sudah makan?”
Senyumku semakin kikuk. Aku tahu diri, maka aku harus malu. Namun, dasar perutku yang tak tahu malu. Bukannya diam, malah “berkukuruyuk” pula.
“Ayo, silahkan duduk di sini,” Tante Resmi menarik sebuah kursi.
“Kamu makan, ya? Sayang lho, jadi mubazir nanti.”
Tidak terpaksa dan dengan sangat sukarela aku pun duduk di kursi.
“Silahkan, silahkan,” Tante Resmi mengambilkan air putih untuk aku.
Baiklah, ini saatnya mengakhiri penderitaan lambungku. Semua yang dihidangkan Tante Resmi, aku sikat, aku embat, aku “hajar” sampai lumat.
“Kamu bisa main basket, Ko?”
Aku menggeleng, mulutku sedang penuh. Sebelum melanjutkan suapan yang berikut, aku menyahut,
“Aku bisa-nya cuma main voli, Tante?”
“Voli?”
“Iya, Tante.”
“Keren tuh. Dulu Tante juga suka main voli, lho.”
Baiklah, obrolan tentang voli pun berulang lagi. Tidak apa-apa, kali ini aku meladeninya dengan senang hati. Maka semua cerita tentang umpan bola tiga, bola dua, bola satu, dan juga segala jungkir baliknya kembali mengalir seiring dengan santapanku yang begitu nikmatnya aku rasakan.
Selesai dengan voli, obrolan pun berlanjut tentang kampung halamanku, dengan segala akulturasi budaya dan dinamika sosialnya. Cukup, cukup sampai di situ. Aku tidak akan menceritakan kepada siapa pun tentang diriku yang sekarang ini menjadi target buruan.
Mudah-mudahan Pak Sadeli tidak menemukan keberadaanku di kota Bandar Baru ini. Demikian juga Ibu Suratih, istri kedua Pak Sadeli, dan demikian pula si Ningsih, anak Pak Sadeli yang sampai sekarang pun masih aku sukai. Sebab bagi mereka semua, aku ini adalah “buronan”, dengan urusan dan perkaranya masing-masing.
********
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se