Share

Bab 3: Susuk Pemikat

Bab 3: Susuk Pemikat

Ini adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada diriku. Yaitu—aku ingin bilang ganteng, tetapi khawatir nanti disebut sombong. Baiklah, sebagai ilustrasi, begini saja; kalau aku tinggal di Jakarta, aku bisa menjadi artis sinetron meskipun tidak punya bakat akting. Wajahku memang pantas untuk dipampang di kalender atau papan reklame. Minimal, di pintu belakang bak truk.  

“Tapi, wajah kamu kok ada mirip-miripnya sama orang Korea ya?” Itu kata Bu Joyce, manajer di perusahaan penyalur tenaga kerja tadi siang.

“Kalau diperhatikan, wajah kamu agak mirip orang India, Ko.” Itu kata Tante Resmi.           

Orang India? India dari Hongkong, komentarku dalam hati. 

“Kamu seperti aktor Hongkong, Mas.” Itu kata Arini, dulu, dulu sekali.

“Kamu mirip Robert Pattinson, Mas.” Qori yang bilang.

Robert Pattinson, pemeran utama di film Twilight?

Oh, sudahlah. Singkatnya, di kota kelahiranku sana banyak gadis-gadis yang menyukai aku. Mereka semua punya penafsiran tersendiri terhadap paras wajahku ini. Aku bukan Casanova dan aku tak ingin menjadi penakluk wanita, khususnya dengan tujuan keinginan sesaat terkait hasrat. Alasannya sederhana, karena aku punya seorang adik perempuan dan aku tidak ingin adikku itu yang mendapat karma.

Aku hanya lelaki biasa, berasal dari keluarga yang biasa, dengan latar belakang ekonomi yang “sangat biasa”. Sangat biasa yang aku maksud di sini adalah pas-pasan, lebih tepat jika aku bilang saja; kekurangan.

Sejak meninggalnya ayahku, aku terpaksa menjadi kuli serabutan demi bisa membiayai sekolahku sendiri. Hinga selanjutnya, aku memahami cara “bersyukur” atas anugerah Tuhan berupa paras yang lumayan ini ketika menginjak masa SMA.

Gadis-gadis satu sekolahan yang menyukai aku, dengan entengnya mereka mengeluarkan uang untuk mentraktirku jajan. Aku dekati mereka semua. Aku akrab dengan semua orang yang menaruh hati padaku. Hingga selanjutnya, baju seragam dan segala perlengkapan sekolah, juga iuran macam-macam aku dapatkan dari gadis-gadis itu bahkan tanpa aku minta.  

Nonton bioskop, aku bisa mengatur jadwal dengan si fulanah dan fulanah. Malam Minggu, aku bisa menyusun draft seperti jadwal piket sekolah.

“Joko, Minggu depan, kamu ada acara?”

“Hemm, tidak ada. Kenapa?”

“Bisa tolong aku?”

“Apa tuh?”

“Temenin aku ke toko buku.”

“Astaghfirullah! Maaf ya, Rini. Aku baru ingat, aku punya janji dengan adikku.”

Padahal, sebenarnya aku hang out dengan Rina. Di lain waktu juga begitu, dengan perempuan yang lain, dan dengan alasan yang lain lagi. Jika diakumulasikan, dalam seminggu tak kurang tujuh puluh kali aku membohongi perempuan.

Namun, aku tetap menjaga batasan. Dalam arti, tidak ada satu orang pun yang benar-benar aku beri cinta. Aku tidak menjalin status pacaran dengan siapa pun. Aku tidak pernah memberi hati, karena yang aku beri pada mereka semua adalah harapan. Dengan demikian, aku tetap bisa akrab dengan siapa saja, dan mendapatkan apa saja—dalam arti materi, tentu saja.

********

Mudah-mudahan tidak ada orang yang bosan dengan ceritaku. Karena, sekali lagi aku harus berbicara tentang olah raga atau permainan bola voli. Semua ceritaku pada Ibu Joyce tadi siang dan Tante Resmi tadi sore, itu semua benar adanya.           

Di kota kelahiranku sana, aku adalah bintang di dalam lapangan berukuran 18 X 9 meter persegi itu. Aku adalah idola di dalam maupun di luar garis serang. Aku bisa melompat tinggi dan melesakkan pukulan deras ke daerah lawan. Aku bisa melakukan jump serve  dan memetik poin bahkan dengan sekali pukulan.           

Mengapa bisa begitu? Entahlah. Guru olah raga di sekolahku dulu menyebut aku ini memiliki bakat alam. Hanya tinggal poles sedikit saja dengan latihan, maka jadilah aku seorang aktor penting pada turnamen-turnamen ataupun liga-liga tarkam—antar kampung—di kota kelahiranku.           

Kemampuanku bermain voli semakin pesat setelah aku tamat SMA dan sering dikontrak oleh sebuah tim atau klub dari suatu kelurahan untuk mengikuti kompetisi atau turnamen. Seperti kebanyakan atlet dunia yang banyak digila-gilai wanita, aku pun demikian. Lebih dari selusin nama kontak di dalam ponselku, adalah wanita yang menyukai dan jatuh cinta padaku. Dan lebih dari dua lusin yang menjadikan diriku ini sebagai cem-ceman mereka. Cem-ceman artinya, orang yang dicem-cemi. Iya, semacam itulah.           

Paras yang lumayan, postur yang tinggi nan atletis, kulit yang kuning langsat dan bersih, ditambah dengan kemampuan bermain voli, maka dengan mudah aku bisa menunjuk satu wanita yang aku sukai untuk aku jadikan pacar.           

“Namun, ternyata hidup tidak semudah itu, Mas Joko.” Demikian kata Ki Ageng Gemblung dulu, ketika memberi wejangan hidup padaku.           

Kata-kata sang guru spiritual itu memang klop dengan apa yang aku alami. Kenapa? Karena ternyata, seorang gadis yang benar-benar aku cintai justru tidak menyukai aku! Beuh, ironis sekali. Siapakah dia?           

“Siapa namanya?” Tanya Ki Ageng Gemblung.           

“Ningsih, Ki.”           

“Siapa nama bapaknya?”           

“Sadeli.”           

Ningsih, gadis cantik bermata intan berkulit pualam, anak semata wayang Pak Sadeli sang pegawai kecamatan.

“Dia menolak aku mentah-mentah, Ki.”

“Oh, nasiiiib…nasib!” Ki Ageng Gemblung menggeleng-gelengkan kepalanya. Mimik wajahnya tampak prihatin, tapi kumis baplangnya tidak. Batu-batu akik di sepuluh jari tangannya juga tidak.

“Bagaimana ceritanya dia menolak kamu?”

“Emm, aku belum menyatakan cinta sih, Ki.”

“Bagaimana kamu tahu dia menampik kamu?”

“Aku titip salam, tidak dibalas. Aku melihat dia, dia buang muka. Aku dekati dia, dia menjauh. Aku tersenyum, dia malah manyun.”

Ki Ageng Gemblung manggut-manggut.

“Atau, mungkin karena aku orang susah ya, Ki?”

Ki Ageng Gemblung tetap manggut-manggut.

“Iya, Ko, hidupmu memang susah.”

“Maksudku tadi, apa karena aku orang miskin, Ki.”

“Iya, Ko, maksud saya tadi juga begitu.”

Entah apa yang mendasari aku menemui Ki Ageng Gemblung. Semuanya berproses begitu saja, dan semuanya bermula dari lapangan voli. Ki Ageng Gemblung yang sudah sepuh dengan perut buncitnya yang berlipat-lipat itu ternyata hobi menonton voli. Dia menaruh perhatian tersendiri padaku karena aku adalah bintang lapangan yang selalu ia jagokan.

Hingga suatu ketika, karena kedekatanku dengannya, aku pun mengadukan ironi asmara yang aku alami akibat penampikan dari Ningsih anak Pak Sadeli itu.

“Saya punya solusi, Ko.” Kata Ki Ageng Gemblung ketika itu.

“Apa itu, Ki?”

“Kamu pelet saja dia.”

“Pelet?”

“Iya.”

Ki Ageng Gemblung kemudian menyebutkan syarat macam-macam, juga ritual yang bla-bla dan bla, di mana semuanya itu terlalu berat untuk aku laksanakan yang sehari-hari harus bekerja serabutan.

“Ada solusi yang lain, Ko.”

“Apa itu, Ki?”

“Kamu pakai susuk pengasih.”

“Susuk pengasih?”

“Iya, semacam pemikat. Jadi, orang yang melihat kamu nanti akan mudah terpikat. Di mata mereka, kamu ini kelihatan guaaaannteng banget, menariiiiiik banget!”

Menarik banget, komentarku pula dalam hati. Akhirnya, karena rasa cintaku pada Ningsih, aku pun memutuskan untuk menerima tawaran dari Ki Ageng Gemblung itu.

Sebelum ritual pemasangan susuk padaku, Ki Ageng Gemblung menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan pantangan atau larangan.

“Jangan kamu gunakan susuk pemikat ini untuk bersenang-senang, paham?”

“Siap, aku paham, Ki.”

“Susuk ini hanya untuk memikat perempuan yang kamu cintai, paham?”

“Paham, Ki.”

“Susuk ini akan menjadi tawar dengan sendirinya, kalau kamu nanti menikah dengan perempuan yang kamu cintai.”

“Mmm, maksudnya, Ki?”

“Susuk ini akan luntur atau musnah secara otomatis, tepat ketika kamu nanti mengucapkan ijab kabul waktu menikah.”

Aku menangguk-angguk.           

“Kamu siap dengan segala konsekuensinya?”           

“Siap, Ki.”           

“Yakin?”           

“Yakin.”

Ki Ageng Gemblung mengambil sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah benda yang teramat kecil, sekecil butiran beras, berwarna putih. Atau, itu memang beras?

Entahlah. Tahu-tahu Ki Ageng Gemblung menemplokkan benda kecil itu ke keningku. Plokk! Telapak tangannya menekan kuat-kuat dan mengusap-usap sepenuh tenaga. Dengan cara metafisik atau metode spiritual yang sulit dimengerti nalar, susuk itu ia masukkan tepat di antara dua alisku.

Dengan adanya susuk ini, maka penampilanku menjadi semakin menarik, wajahku semakin tampak berseri dan sedap dipandang, manis bak madu segar dari sarang. Aku pun bangkit dan beberapa saat memandangi wajahku di depan cermin.

“Biasa saja, Ki.”

“Sompret kamu, Ko! Kalau kamu yang melihat ya memang biasa saja, tapi lain ceritanya kalau yang memandang kamu itu wanita.”           

Sumpah mati aku jadi penasaran. Apakah susuk yang ada pada diriku ini ampuh untuk memikat Ningsih?

********

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status