Share

Bab 4: Balada Si Tukang Semprot

Bab 4: Balada Si Tukang Semprot

Sumpah mati aku jadi penasaran. Apakah susuk yang ada pada diriku ini ampuh untuk memikat Ningsih?           

“Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa berlaku kecuali atas izin Tuhan.” Begitu kata Ki Ageng Gemblung padaku.           

“Jadi, mau pakai susuk ataupun tidak, berarti sama saja dong, Ki.”           

“Nah, ini, ini..,” Ki Ageng Gemblung menuding-nuding wajahku.

“Ini yang salah kaprah.”           

“Maksudnya, Ki?”           

“Takdir, itu ketentuan Tuhan, Mas Joko!”           

Ki Ageng Gemblung memang sering meninggikan aku dengan panggilan “mas”. Namun, jari telunjuknya yang kemudian mendorong keningku seolah kembali merendahkan aku.           

“Kewajiban kita sebagai manusia hanyalah berusaha, berikhtiar, dan berdoa!”           

Aku mengangguk-angguk.           

“Masalah keinginan kita nanti dikabulkan oleh Tuhan, itu soal belakangan. Di situlah perlunya sikap tawakkal, yaitu berserah diri pada Tuhan.”           

“Lalu, bagaimana hukumnya penggunaan susuk atau jimat ini di dalam perspektif agama?”           

“Mas Joko! Kalau kamu mau mengaji, mau mencari hukum halal dan haram, jangan sama saya! Sana, cari kiyai, dan jadilah santri!”           

Baik, baiklah, aku tidak akan membawa-bawa agama lagi di setiap perbincanganku dengan Ki Ageng Gemblung. Sewotnya dia begitu luar biasa kalau aku bertanya sesuatu yang terkait agama. Ada ranah yang ia begitu menghormatinya, dan aku berusaha memahaminya.           

Kalau ada yang bertanya, apakah Ki Joko Gemblung itu seorang paranormal? Aku akan jawab, iya. Apakah dia seorang dukun? Mmm, tidak juga. Atau, semacam itulah. Tetapi, tidak terlalu mirip dengan semacam itu. Halahhh, sudahlah.

********

Apakah Ningsih akhirnya terpikat denganku? Sepertinya terlalu cepat kalau aku langsung menjawab, iya.

Ketika itu, aku sudah tamat sekolah dan dia masih kelas tiga SMA. Aku sudah jejaka dan dia masih remaja. Aku sudah berkali-kali mengalami mimpi basah, dan dia, entahlah.            

Mulanya biasa saja. Aku memandangnya dan dia memandangku. Aku pergi bekerja sebagai kuli serabutan dan dia pergi sekolah ke pusat kota kecamatan. Lain waktu, aku pergi bekerja sebagai tukang semprot di suatu perkebunan, dan dia pergi ke pasar untuk belanja berbagai keperluan.

Aku sering berpura-pura, motor yang aku kendarai mogok persis di depan rumahnya ketika dia sedang menyapu halaman yang penuh dengan bunga. Lain waktu, aku mengantar kue-kue buatan ibuku ke kios-kios di pasar untuk dijual, dan dia bersama ibunya juga ke pasar untuk mencari kebutuhan banyak hal.

Di tempar parkir motor, aku mencuri-curi pandang ke arahnya. Ternyata, dia sedang melirikku! Aku mencuri pandang lagi, dan dia melirikku lagi! Bahkan, dia melambai pula ke arahku! Ups, aku kege’eran! Karena ternyata, dia melambai pada seseorang yang ada di belakangku, dan itu adalah Bu Suratih, ibunya sendiri!

“Lho, Mas Joko? Ngapaian di sini?” Sapa Bu Suratih.

“Eh, anu, Bu. Aku nganterin kue ke kios barusan.”

“Oh, begitu. Salut deh saya sama kamu. Ganteng tapi gak malu pergi ke pasar.”

Aku tersipu.

Ibu Suratih ini adalah istri kedua Pak Sadeli. Istri pertamanya—ibu kandung Ningsih—meninggal dunia karena sakit. Usia Bu Suratih masih cukup muda ketika dinikahi oleh Pak Sadeli. Hingga sekarang, dengan usianya yang masih sekitar tiga puluh lima-an, ia masih tampak muda dan cantik. Banyak orang yang nyinyir, Bu Suratih mau dinikahi karena memandang seragam Pak Sadeli yang seorang pegawai kecamatan, plus pemilik berhektar-hektar lahan perkebunan. Entahlah, itu bukan urusanku. Karena yang aku pikirkan hanyalah Ningsih, pujaan hatiku.

Hingga kemudian, tibalah saatnya momen kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu perayaan kemerdekaan 17 Agustus. Di kota kecamatanku, diadakan sebuah tunamen bola voli yang disponsori oleh beberapa perusahaan perkebunan dan tauke-tauke tambang batu bara tradisional. Meriah sekali, dan di situlah aku bersinar terang sekali.

Ternyata, oh, ternyata, selama ini Ningsih tidak tahu bahwa aku mahir bermain voli. Ia hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut tentang aku yang jago smash ini. Mengingat dia yang amit-amit tidak pernah tertarik padaku, maka ia pun penasaran. Ia ikut bersama beberapa temannya menonton turnamen voli di mana ketika itu aku melakukan jedag-jedug, menyarangkan pukulan dengan amat telaknya.

Riuh! Ramai sekali! Dari ujung ke ujung, kanan ke kiri, ribuan penonton tumpah ruah, penuh sesak dari bangku paling depan hingga paling belakang.

Begitu tinggi aku melompat, begitu ringan aku melayang, dan begitu bertenaga aku melakukan serangan. Semuanya karena ada Ningsih yang menyaksikan aku dari tribun penonton. Sementara pada saat yang bersamaan, semua orang mengelu-elukan namaku.

“Joko! Joko!”

“Joko! Joko!”

Masak dia tidak? Kan, aneh!           

Hingga kemudian, ia pun ikut larut dalam histeria penonton.           

“Mas Jokooo..! Aiii looof yuuuuu..!”

********

Apakah pada akhirnya Ningsih menerima cintaku?

Oh, tidak secepat itu Mas Joko!

Ningsih adalah tipe gadis yang sulit ditaklukkan. Ia mungkin mewarisi sikap dingin, terkesan angkuh, dan teguh pendirian itu dari ayahnya, Pak Sadeli itu. Orang yang berteriak “I love you” ketika di permainan voli dulu ternyata bukan dia. Belakangan, setelah aku menyadari sebuah fakta di kemudian hari, barulah aku tahu bahwa yang berteriak itu adalah…, Ibu Suratih!           

Sebelum menyadari itu, aku terus melakukan upaya pedekate, atau pendekatan kepada Ningsih. Siapa pun sahabatnya, jika bertemu aku selalu bilang;           

“Titip salam untuk Ningsih, ya.”           

“Berapa ikat?”           

“Satu saja.”           

Hingga tak lama kemudian, aku pun menerima balasan.           

“Mas Joko,” panggil seseorang.           

“Ya?”           

“Ningsih titip salam.”           

“Berapa lapis?”           

“Ratusan.”           

Aku sudah membaca petanya, semua keadaan sudah bisa aku kira-kira. Jika aku menemui Ningsih untuk mengungkapkan perasaanku padanya, dia pasti menerima aku. Aku yakin sekali akan hal itu.           

Suatu ketika, aku bertemu lagi dengan Bu Suratih di pasar. Entah apakah ia sengaja saat mendekati aku yang baru selesai mengantar kue buatan ibuku ke kios-kios di pasar, tapi aku memang sengaja menunda gerakanku untuk menyalakan motor dan pergi dari situ.           

“Eh, Joko, kebetulan ketemu kamu di sini.” katanya sumringah.           

Aku pun sumringah, sebab ada kemungkinan ia akan menjadi mertua.           

“Ada apa ya, Bu?”           

“Anu, ini, saya mau minta tolong ke kamu bisa?”           

“Dengan senang hati, Bu.”           

“Kamu biasa nukang, kan?”              

“Bisa dikit-dikit, Bu.”           

“Saya mau minta tolong benerin pintu kamar mandi saya. Sudah somplak, tapi mau cari tukang masih belum ketemu.”           

“Bisa, bisa, saya bisa kok, Bu.”           

Karena ingin mendekati anaknya, aku selalu menuruti apa pun permintaan dari Bu Suratih. Hingga berikutnya, aku manut saja disuruh itu dan ini. Aku tak mau dibayar untuk tenagaku yang telah aku keluarkan. Aku selalu menolak pemberian uang dari Bu Suratih, meski akhirnya aku juga tak mampu mengelak saat Bu Suratih melesakkan sejumlah uang ke kantong celanaku. Benar, ia melesakkan uang itu ke kantong celanaku sendiri, dalam-dalam!           

Beberapa waktu kemudian, aku masih belum mendapatkan kesempatan untuk menemui Ningsih. Lain dari itu, hanya titip salam yang terus berbalasan. Meskipun aku punya nomor ponsel Ningsih, tetapi aku tidak ingin menyatakan sesuatu yang serius terkait perasaan lewat telepon. Urusan hati, harus lewat hati, demikian pikirku.           

Hingga berikutnya, aku mendapat sebuah malapetaka besar di dalam hidupku. Di mana, malapetaka ini menjadi semacam titik balik yang membuat aku menderita untuk waktu yang sangat lama. Yaitu; yang aku taksir, anaknya. Yang naksir aku, ibunya!

********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status