Ada apa dengan Quin?
Jawabannya ada pada beberapa hari yang lalu, saat seharusnya Quin datang ke kamar Sena untuk menagih janji Sena yang sudah setuju tidur dengan Quin. Tidur, ya! Hanya tidur. Dua orang itu juga tidak pernah berniat melakukan hal yang lebih dari tidur.
Wigar bersama beberapa pengawalnya datang menemui Quin. Tanpa mengatakan apapun, Wigar langsung menampar Quin. Tak cukup menampar, Wigar bahkan mengambil tongkat baseball dan memukul Quin berkali-kali.
Tidak ada yang membantu Quin. Pengawal yang selama ini menjawa Quin tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya tiga orang, sedang pengawal yang tunduk pada Wigar ada lebih dari sepuluh orang. Kalau mereka melawan, mereka sama saja membahayakan Quin. Itu yang pernah Sekretaris An katakan. Jadilah mereka hanya bisa diam melihat Quin yang dipukuli ayahnya.
Wigar melempar tongkat baseball itu setelah puas memukuli Quin. Dia menampar Quin tiga kali sebelum akhirnya menjatuhkan diri di atas sofa. D
Quin tampak terkejut dengan reaksi Sena. Dia sama sekali tak menduga, Sena justru mengkhawatirkannya. Padahal selama ini, Quin sering melihat Sena yang takut padanya. Namun, yang Quin lihat kali ini justru berbeda. Sena tak takut padanya! “Sekarang kita harus gimana? Ayah kamu pasti akan bantuin kamu, kan? Ayah kamu pasti nggak akan biarin kamu masuk penjara, kan?” tanya Sena bertubi-tubi. Nadanya penuh dengan kekhawatiran. Sudut bibir Quin terangkat. Hanya dengan mengetahui Sena mengkhawatirkannya, rasanya dia bisa menghela napas dengan lega. Perasaan yang salah! Seharusnya sampai kapanpun Quin menyesali perbuatannya. Dia tidak bisa bahagia setelah apa yang sudah dia lakukan. “Sena.” “Katakan sesuatu! Jelaskan semuanya!” desak Sena. Quin membelai rambut Sena. Gadis yang bahkan belum ada satu bulan dia kenal, kini seolah sudah menjadi bagian penting dalam hidup Quin. Gadis itu mampu mengobrak-abrik hati Quin. Mengeluarkan semua rasa sakit yang
Sena mematutkan dirinya di depan kaca. Dia berputar beberapa kali, mengecek penampilannya saat ini. Dengan kemeja lengan panjang berwarna coklat susu yang dimasukan ke dalam rok sepanjang tiga perempat berwarna abu tua. Rencananya dia hanya akan membawa tas selempang berwarna coklat tua dan sepatu putih. Tidak lupa dengan kaos kaki sepanjang sepuluh senti di atas mata kaki. Pagi tadi pelayan Quin mengisi lemari Sena dengan pakaian baru. Kali ini Sena bisa nememukan rok panjang, celana panjang, serta beberapa kemeja yang cocok dipakai untuk ke kampus. Padahal rencananya Sena berniat mengambil beberapa pakaian dari kosnya sebelum kembali ke rumah Quin, tapi sepertinya dia tidak butuh pakaian lagi. Sena menyisir poninya yang mulai panjang. Rambutnya yang tidak terlalu panjang—sekitar sepuluh senti di bawah bahu—dia kepang dua. Penampilannya sudah seperti gadis desa, tapi Sena menyukainya. Pintu kamarnya perlahan terbuka. Kepala Quin melongok ke dalam. Dia tersen
Maura tampak masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Teman sekaligus sahabatnya yang pernah berkata tak akan mudah terpengaruh oleh laki-laki walau setampan apapun jika kelakuan laki-laki itu tidak jelas. Sena jelas pernah berkata kalau Quin walau tampan, tapi menakutkan. “Aku nggak suka.” Tatapan Maura berpindah pada Quin. Laki-laki itu merengut seperti anak kecil. Sena di sampingnya juga tampak tak biasa atau mungkin Maura yang tidak terbiasa melihat Sena yang bersikap manja. “Apa mereka cocok? Bukankah umumnya pasangan itu saling melengkapi? Misal yang satu manja, satunya harusnya bersikap dewasa. Kenapa dua orang di depannya sama-sama sok manja?” batin Maura. Mangkuk bakso di depannya dia anggurkan demi melihat interaksi Sena dan Quin. “Dosen kamu keganjenan.” Sena merangkul lengan Quin dan gerakan itu membuat Maura berjengit. “Pak Buche emang gitu, tapi aslinya baik banget. Buktinya IP-ku cuma dua sembilan koma saja tetap b
Sena duduk di balkon sambil menopang dagu. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan dia baru saja menuntaskan makan malamnya. Makan malam seorang sendiri. Kebiasaan Quin jika Sena merasa sudah semakin dekat dengan Quin, laki-laki itu justru seperti menghilang. Namun, Sena justru cemas setiap kali Quin menghilang.“Kali ini apa yang terjadi?” tanya Sena pada dirinya sendiri. Dia menatap bulan yang hanya terlihat sebagian. Tampak cantik, tapi juga menyedihkan. Bulan di atas sama seperti Sena yang kini hanya seorang diri. Dia bisa saja menghubungi keluarganya, tapi sejak siang tidak ada keluarganya yang mengangkat panggilan Sena. Mungkin sedang sibuk.Sena mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa yang datang. Pelayan juga sudah tidak akan datang lagi setelah membersihkan makan malam Sena. Biasanya malam-malam seperti ini Sena bersama Quin. Namun, Quin menghilang lagi.Ponsel Sena tampak menyala. Terlihat ada pop up pesan masuk
Sena bergelayut manja di samping Quin. Sesekali dia mengamati raut wajah Quin. Masih sama. Laki-laki itu sepertinya mulai tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari Sena. Wajahnya mudah sekali terbaca. Terutama jika sedang menyimpan kekhawatiran seperti sekarang. Padahal saat awal Sena melihat Quin, laki-laki itu pandai sekali mengatur raut wajahnya.“Hem?” tanya Quin yang heran karena Sena terus menatapnya. Tangannya meremas lembut tangan Sena.“Nggak apa-apa,” jawab Sena sambil menggeleng kecil.Quin hanya tersenyum dan mengacak-acak rambut Sena dengan tangannya yang bebas. Tatapannya kembali ke layar laptop. Layar itu masih belum menampilkan KRS online yang harus Sena isi. Kata Maura pun laman KRS onlinenya belum ada. Padahal ini sudah lebih dari jam nol-nol. Hari telah berganti.“Trouble, kah?” tanya Quin, terdengar seperti bicara pada dirinya sendiri. “Biasanya seperti ini?” Kali ini dia menoleh ke arah Sen
Beberapa jam sebelumnya, Quin meremas foto yang baru Sekretaris An berikan. Itu foto dirinya bersama Sena saat sedang di Citraland. Quin tidak kaget. Memang sejak kapan Quin bisa bebas? Hidupnya memang bukan miliknya sendiri. Semua yang dia lakukan, harus sesuatu dengan keinginan ayahnya dan harus menguntungkan ayahnya. Jika tidak, mungkin Quin tidak akan bisa membuka matanya lagi. “Mungkin lain kali Anda harus lebih berhati-hati.” Quin menggebrak meja. Hati-hati? Rasanya dia ingin tertawa. Memangnya dia melakukan apa? Yang dia lakukan hanya menyenangkan gadis yang dia sukai. Tidak lebih. Dia hanya keluar satu hari saja. Mereka juga hanya keliling mall tanpa tujuan yang jelas. Jadi, harus seperti apa lagi? “Untuk sementara Nona Sena tidak boleh keluar dulu.” “Cukup sopan santunya. Bicara yang santai saja.” Quin menunjuk kursi di depannya dengan dagu. Sekretaris An yang paham, duduk di tempat itu. Dia menghela napas dalam. Bisa dibilang, baru k
Untuk terakhir kalinya Sena memukul tubuh Quin sebelum pergi dengan mengambil ponselnya. Dia masih belum tahu kejadian sebenarnya yang terjadi pada adiknya. Dia juga belum tahu, kapan kejadian itu terjadi. Jika sudah lama, kenapa bapak atau ibunya tidak ada yang mengatakan pada Sena? Padahal sekarang Sena membawa ponselnya sendiri. Sena menutup pintu kamarnya dengan bunyi brakk kencang. Sekretaris An yang hendak menemui Quin sampai berjengit kaget. Melihat Sena yang seperti sedang marah, dia langsung bergegas menuju ruang kerja Quin. Di sana Quin masih dengan posisi semula. Dia masih belum beranjak barang sesenti pun. “Quin?” panggil Sekretaris An. Dia memegang kedua lengan Quin. Tatapannya tampak khawatir saat melihat Quin yang hanya menunduk dengan wajah sendu. “Apa yang terjadi?” Bukannya menjawab, Quin justru menjatuhkan kepalanya di bahu Sekretaris An. Dia tidak menangis, tapi sikapnya sudah cukup mewakili bagaimana perasaan Quin saat ini. Kacau sekaligu
Quin perlahan berdiri. Dia masih memegang kedua tangan Sena. Meski Sena belum mau menatapnya, setidaknya sekarang Sena sudah tenang. Diamnya Sena sama saja memberi kesempatan pada Quin. Kesempatan untuk menceritakan segalanya. Akar dari masalah yang seharusnya tak melibatkan Sena. “Aku nggak pernah pengin ngurung kamu di sini.” Quin memulai ceritanya. Mungkin terdengar seperti pembual jika mengingat semua perbuatan Quin pada Sena. Namun, dia tidak sedang membual atau membuat sebuah cerita. Memang seperti itu kenyataannya. Dia hanya sengaja bersikap brengsek karena memang hanya itu yang terpikir olehnya saat memikirkan cara untuk menyelamatkan Sena dari ayahnya. Siapa sangka kini Quin justru terperangkap dengan permainannya sendiri. Dia sendiri yang justru tak ingin melepaskan Sena. “Aku tau, aku sudah jahat padamu. Aku mempermainkanmu, bahkan menyebutmu sebagai mainanku. Brengsek sekali ya, aku? Tapi, aku hanya ingin menyelamatkanmu, Sena. Aku nggak mau ayah macam-ma