Astaga! Kenapa dunia sempit sekali!! Aku mematung di ambang pintu. Ingin rasanya kaki ini berbalik dan menjauh sejauh mungkin dari laki-laki yang tadi pagi sukses membuatku terlihat bodoh.
“Hai, sayang. Sudah pulang? Masuklah, kenapa berdiri di situ?” suara intruksi dari ibuku berhasil menyadarkanku.
Dengan berusaha menormalkan gelagatku, aku berjalan menghampiri Ibu, “apa Ibu sedang ada tamu?” tanyaku dengan nada pelan.
Ibu meletakkan minuman dan potongan buah di atas meja lalu beralih menatapku, “perkenalkan dia, Alan. Tadi dia membantu Ibu mengambil buah yang terjatuh dari kantong plastik yang Ibu bawa dalam perjalanan kemari. Sekalian mengajaknya mampir ke rumah.” pandangan Ibu beralih menatap laki-laki yang duduk memperhatikan kami berdua, “perkenalkan nak Alan, ini anakku, Carissa.”
Alan berdiri lalu menyodorkan tangannya, “hai, Carissa. Aku Alan.”
Dengan penuh keragu-raguan aku membalas uluran tangannya sembari sesekali menatap kearahnya, karena aku terlalu malu untuk menatapnya terus menerus, “C-Carissa. Salam kenal.”
“Duduklah dulu dan nikmati hidangan yang sudah kubuat,” Ibu mengawali duduk di sofa. Aku pun segera menarik tanganku dan ikut duduk di samping Ibu. Alan pun kembali duduk di posisinya semula.
“Nak Alan kerjanya apa? Dokter ya?” Ibu membuka pembicaraan untuk mencarikan suasana.
Alan tersenyum, “iya, Tante.”
Ibu mengangguk-anggukkan kepala, “ayo dimakan, jangan malu-malu. Apa kamu mau sekalian ikut makan malam bersama kami?”
Mendengar pertanyaan dari Ibu membuatku spontan menoleh dan menatapnya dengan mata mengisyaratkan pertanyaan “kenapa Ibu mengundangnya?” namun Ibu mengabaikanku.
“Maaf, Tante. Saya sudah ada acara makan malam dengan teman. Saya harus permisi sekarang,” Alan berdiri begitupun dengan Ibu. Namun pandangan Ibu justru menatap kearahku, “Carissa, antar nak Alan sampai depan.”
Eh? Beberapa kali aku mengerjapkan mata memastikan kalau aku tidak salah dengar. Jika melihat tatapan Ibu padaku, perintahnya memang benar. Aku segera berdiri lalu berjalan mendahului Alan keluar rumah. Sedangkan dia masih berpamitan dengan Ibu setelah itu mengikutiku.
Kami berdiri di tepi jalan. Tugasku hanya mengantarnya sampai depan. “Maaf merepotkanmu, Alan.”
Alan menatapku lalu tersenyum, “bukan masalah. Membantu orang juga tidak buruk.”
Aku mengangguk setuju, “kalau begitu–” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Alan lebih dulu memotong ucapanku.
“Mau jalan-jalan sebentar?” tanyanya.
Aku menatapnya tidak mengerti. Padahal tadi dia mengatakan jika ada acara makan malam bukankah sekarang sudah hampir malam. Kenapa dia masih saja enggan untuk langsung pergi. “Bagaimana dengan makan malammu?” tanyaku.
“Tenang saja, masih ada banyak waktu. Ayo,” Alan mendahuluiku berjalan.
Mau tidak mau, aku mengikutinya dan berjalan mensejajarinya, “apa benar tidak masalah? Bagaimana jika temanmu marah?”
Alan tertawa pelan mendengar pertanyaanku, “tenang saja. Temanku tidak akan marah. Aku bisa menjelaskan padanya.”
Langkah kami berhenti di sebuah taman bermain anak-anak. Karena ini sudah hampir malam, taman bermain pun sepi. Lampu-lampu mulai menyala, memberikan penerangan di sekeliling taman. Kami duduk di ayunan sembari menatap tempat kosong di depan kami.
“Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu setelah tadi pagi,” Alan membuka pembicaraan sembari mengayunkan kakinya perlahan.
Aku tertawa pelan untuk menutupi kekikukkanku, “benar juga.”
“Jadi, kamu bekerja di kafe itu?” Alan menatapku, menungguku menjawab.
Aku menggeleng, “percaya atau tidak, aku pemilik kafe itu.”
Alan terdiam dengan tatapan terkejut, namun detik berikutnya dia tersenyum, “begitu ya. Kamu hebat.”
Padahal aku tidak melakukan apapun. Bagian mananya yang hebat? Aku tidak bisa mengatakan hal itu. Jika orang di sampingku saat ini adalah Ren, sudah pasti aku akan mengatakannya.
“Ohya, bisa aku minta nomor ponselmu?” Alan masih menatapku dengan senyumannya.
Kurogoh saku jaketku, mengeluarkan kartu nama lalu menyerahkannya padanya, “ini.”
Alan tersenyum lalu menyimpannya, “terima kasih.” Alan memulai pembicaraan ringan membuat kegugupanku hilang. Kami larut dalam pembicaraan hingga sebuah dering ponsel menghentikan pembicaraan kami.
Alan memeriksa ponselnya lalu menatap kearahku, “temanku sudah menunggu. Aku akan mengantarmu sampai rumah.”
Jadi dia mengajakku kesini hanya untuk bertanya pekerjaanku dan meminta nomor ponselku? Astaga!
Keesokan harinya. Karena kehidupanku biasa-biasa saja, untuk hari ini aku berniat untuk mendatangi sebuah kafe yang melegenda dengan salah satu menu andalan mereka yaitu Black Meal dan Cheese Fried Chicken. Kafe Mandellin, namanya. Kafe tersebut bisa ditempuh dengan waktu 10 menit dari kafeku.
Kuparkirkan motorku di parkiran lalu melangkah masuk kafe. Pelayan kafe menyambutku dan mengantarku ke tempat duduk. Aku duduk di salah satu kursi di dekat sebuah hiasan bunga-bunga. Pelayan memberikanku sebuah buku menu dan dengan cepat aku memilih salah satu menu andalan mereka.
“Black Meal dan Lemon Juice,” ucapku lalu mengembalikan buku menu pada pelayan.
Pelayan tersebut mencatat pesananku sembari menerimanya kembali buku dariku, “pesanan Anda akan segera siap, Nona.” Pelayan tersebut melangkah menjauh dariku menuju ke dapur.
Aku pun hanya perlu duduk santai menikmati suasana di sekitarku sembari menunggu pesananku siap. Pukul 10 pagi memang waktu yang pas untuk menikmati kafe ini, tidak ramai dan juga tidak sepi. Ada yang mengatakan jika pemilik kafe ini tidak pernah mengunjungi kafenya sendiri, bahkan hanya ada beberapa karyawan yang tahu mengenai pemilik kafe. Sisanya mereka hanya mendengarnya dari rumor.
“Boleh aku bergabung?” seorang laki-laki tiba-tiba muncul di depanku. Laki-laki dengan setelan santai berdiri di depanku. Berkulit putih, hidung mancung, rambut blonde, dia terlihat seperti laki-laki blesteran.
Aku menatapnya dan dengan ragu mengangguk. Lagi-lagi aku bertemu dengan laki-laki tidak kukenal. Laki-laki itu menarik kursi lalu duduk di depanku. Dia masih saja menatapku sembari tersenyum.
“Apa kamu sering makan di sini?” tanyanya lalu memanggil pelayan.
Seorang pelayan mengantar makanan pesananku, sekaligus menerima pesanan dari laki-laki tersebut. Setelah itu dia melangkah pergi.
Kutarik piring di depanku untuk lebih dekat, “beberapa kali.” Aku tidak bisa langsung memakannya, karena harus menunggu pesanan laki-laki di depanku diantar. Jika aku memakannya sekarang sama saja tidak sopan.
Laki-laki tersebut menopang dagu sembari menatapku, “hmm. Benarkah? Apa makanan itu menjadi favoritmu?”
Aku mengangguk, “begitulah. Omong-omong, kamu siapa?”
laki-laki tersebut terdiam lalu tertawa pelan, “aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Henry. Kamu?”
Ucapanku tertunda saat pelayan mengantar pesanan laki-laki tersebut. Setelah pelayan pergi barulah aku menjawab, “Carissa.” Aku mulai memotong-motong daging di atas piring kemudian mulai menikmati hidangan di depanku. Tidak ada pembicaraan diantara kami hingga hidangan di depan kami habis.
Henry pun terlihat mulai menikmati makanan di depannya. Makanan yang dipesannya adalah steak dan secangkir teh hijau. Setelah selesai dia menjauhkan piring di depannya lalu menarik gelas minumannya. “Apa kamu tidak ada pekerjaan hari ini?” Henry membuka suara kembali mengawali pembicaraan.
Kusisihkan piring di depanku lalu mencicipi sedikit minuman yang kupesan, “begitulah.”
“Pemilik Kafe Coffee memang hebat, menyelesaikan semua hal tepat waktu,” balasanya sembari menatapku penuh senyuman.
Aku terdiam dengan tatapan terkejut kearahnya, “bagaimana kamu bisa tahu?”
Henry justru tersenyum lebar, “itu mudah. Karena aku adalah pelanggan setia kafemu. Di sana benar-benar klasik, mengingatkanku pada masa lalu.”
Aku terdiam beberapa saat, berusaha menyesuaikan diri dengan keterkejutanku. Ini pertama kalinya seorang pelanggan mengetahui identitasku. Biasanya mereka hanya sekedar makan di tempatku setelah itu pergi. Tapi kali ini, laki-laki di depanku justru mengingatku yang bahkan sangat jarang keluar dari ruanganku. “Bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanyaku.
“Pekerjaanku? Hm... semuanya sudah beres. Aku bahkan tidak perlu datang ke ruanganku. Bawahanku benar-benar bisa diandalkan. Dengan begitu, aku bisa bersantai menikmati hidangan di tempatmu dan sesekali ke tempat ini,” Henry menjawab dengan santai dan penuh percaya diri.
“Mau ikut denganku?” sambungnya.
Aku hanya menatapnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Henry tersenyum lebar sembari menunjukkan dua kupon di tangannya, “ke festival.”
.
.
Pukul 12 siang. Aku dan Henry sudah berada di festival makanan. Hari ini cukup mendukung karena matahari tidak bersinar terlalu terik. Angin pun berhembus cukup sering, membuat suasana di sekitar menjadi sejuk. Di depanku saat ini sudah berjajar rapi aneka stand makanan tanpa melupakan area untuk makan. Tulisan dibanner besar menyambut kami, “SELAMAT DATANG DI FESTIVAL MAKANAN DUNIA”. “Ayo masuk,” Henry menarikku untuk segera mengikutinya. Kami berjalan berkeliling stan. Festival ini benar-benar sesuai dengan tulisan sebelumnya. Aneka hidangan dari penjuru negara ada dalam satu tempat. Pizza, Parfait, Takoyaki, Taiyaki, Kebab, dan banyak lagi. Pengunjung pun tak begitu ramai hari ini membuat kami dengan mudah berkeliling. Kami berhenti di pusat festival yaitu sebuah panggung yang nantinya akan ada konser untuk penutupan festival. “Kupon ini hanya bisa untuk membeli 3 makan. Jadi, jika kita memiliki dua kupon maka kita dapat membeli sebanyak 6 jenis makanan. U
Sesuatu yang keras menghantamku membuat keseimbanganku goyah dan akhirnya dua kardus yang kubawa terjatuh, termasuk diriku yang terduduk di atas trotoar. “Apa kamu tidak bisa melihat jalan?” sebuah pertanyaan pelan namun sangat tajam membuatku seketika mendongak, menatap laki-laki berjas rapi yang berdiri di depanku. Melihat tatapan dingin darinya, aku segera berdiri dan meminta maaf, “maaf, tuan. Saya tidak sengaja. Maaf.” “Perhatikan jalanmu,” laki-laki berucap singkat lalu berjalan mendahuluiku. Mataku hanya mengikuti langkahnya tanpa beranjak dari posisiku. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti lalu berbalik menatapku, “kenapa diam saja? Aku masih belum sepenuhnya memaafkanmu. Traktir aku makan. Di kafe itu.” Dia menunjuk kafeku yang berada tidak jauh darinya. Satu kesan untuk orang ini, menyebalkan. Aku segera mengambil kardus yang berjatuhan lalu kembali membawanya. Dia bahkan sama sekali tidak ingin membantuku. Dia menyuruhku jalan lebih dulu, karen
Laki-laki itu keluar ruangan. Aku pun tidak memiliki kesempatan untuk menyela ucapannya. Aku berdecak kesal lalu duduk di kursi sembari memijat pelipisku. Pandanganku menatap tumpukan kertas di atas meja. Mengerjakan semua ini? Jangan bercanda denganku.Aku diam sejenak, berusaha mencari jalan keluar. Namun sama sekali tidak mendapatkan satu ide pun. Aku menghembuskan napas panjang. Sepertinya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Pukul 10 siang, aku mulai mengerjakan pekerjaan berat ini. Pekerjaan ini dua kali lipat jauh lebih berat dibanding aku meninjau laporan keuangan kafeku. Lebih parahnya lagi, aku tidak tahu kapan aku akan menyelesaikan semua kertas-kertas ini. Satu jam. Dua jam. Aku berhasil menyelesaikan setengah dari tumpukan sebelumnya dan sekarang aku mulai bosan. Kurenggangkan otot tanganku sembari bersandar di kursi. Mungkin istirahat sejenak akan lebih baik.Pandanganku mengedar menatap satu persatu hiasan dinding. Ruangan ini
Dia menautkan alisnya, menatapku dengan tatapan kesal, “apa yang aku lakukan di sini? Ini kamarku.”Sontak aku langsung bangkit dari tidurku dan justru mengakibatkan kepalaku berdenyut cukup kuat hingga membuatku didekap oleh laki-laki di depanku. Aku segera menjauhkan diri dengan berusaha menahan pusing di kepalaku. Mataku beralih menatapnya, “bagaimana aku bisa di kamarmu? Kamu tidak melakukan sesuatu, kan?”“Aku tidak tertarik melakukan sesuatu padamu,” jawabnya dingin, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.Aku menghela napas pelan. Lagipula pakaianku masih lengkap. Sejak awal pun dia lebih suka mempermainkanku karena dia keturunan laki-laki menyebalkan. Suara lembut sebelumnya mungkin hanya imajinasiku saja.“Makanlah,” laki-laki itu menyodorkan nasi yang sudah dicampur dengan sup ayam.Aku mengangguk dan menerima mangkuk darinya. Perlahan namun pasti, aku mulai makan. Makanan ini enak, mirip den
Pukul 9 malam. Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Hampir seharian aku tidak memeriksa ponselku dan begitu kubuka 3 panggilan tidak terjawab serta 5 pesan belum terbaca. Tiga panggilan tersebut dari Ren dan Alan. Sedangkan untuk pesan, dari Ren, Henry dan yang terbaru dari nomor tidak kukenal. Nomor baru? Siapa? Kubuka satu persatu pesan tersebut. Pertama pesan dari Ren yang mengingatkanku mengenai acara besok lusa. Aku segera membalasnya lalu berganti membaca pesan berikutnya dari Henry, dia mengirimkan sebuah foto tiket makan malam di salah satu restoran. Aku pun segera membalasnya walaupun sangat terlambat karena pesan darinya kuterima pukul 10 siang. Terakhir, pesan dari nomor tidak dikenal. Belum sempat aku membaca pesan tersebut, sebuah panggilan dengan nomor yang sama menghubungiku. Kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku, “ya, halo. Dengan siapa?” “Ini aku,” seseorang di seberang telepon menjawab. Nada yang s
Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?” “Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.“Tiketnya hany
Keesokan harinya, aku sedikit trauma dengan kejadian semalam dan hari ini rasanya aku ingin di rumah seharian, tanpa melakukan apapun. Sebuah ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ruang makan. Dengan penuh kehati-hatian, aku melihat orang yang mengetuk pintu dari jendela. Septian? Aku membuka pintu dan mendapati Septian yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku diam, begitu juga dengannya. Aku menundukkan kepala lalu berucap pelan, “aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini.” “Kenapa? Kamu demam?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku lalu kembali menyimpan tangannya. Aku menggeleng pelan, “aku... hanya tidak ingin pergi.” “Menyingkir,” Septian berucap pelan namun tajam. Kudongakkan wajahku menatapnya dan dia menatapku dengan tatapan dinginnya. “Menyingkir,” ulangnya. Spontan, aku menepi dan membiarkan Septian masuk. Pintu kembali tertutup. Aku mengikuti langkah Septian yang menuju
Keesokan harinya, aku bersiap menunggu Ren datang menjemput. Kemarin sore, Septian benar-benar kembali dengan beberapa makanan hangat. Dia juga ikut makan malam denganku. Saat aku tanya mengenai cokelat itu, dia hanya menjawab kalau dia mendapatkan cokelat tersebut dari pemilik kedai dan sama sekali tidak berniat untuk memakannya. Karena itu dia memberikannya padaku. Mendengar jawabannya justru membuatku tertawa. Septian sama sekali tidak ingin berkata jujur. Sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas mengintip melalui jendela, memastikan kalau orang yang mengetuk pintu adalah Ren. Dan benar, Ren berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian santainya. Aku segera membuka pintu, “berangkat sekarang?” Ren tersenyum, “tentu. Ayo.” Aku keluar rumah, tanpa lupa mengunci pintu kemudian berjalan mensejajari Ren. Hari ini, Ren mengajakku ke sebuah bazar dengan motornya. Bazar tersebut digelar setiap tahun. Bazar yang menjual aneka jenis buku, no