Share

Sweet #3

Pukul 12 siang. Aku dan Henry sudah berada di festival makanan. Hari ini cukup mendukung karena matahari tidak bersinar terlalu terik. Angin pun berhembus cukup sering, membuat suasana di sekitar menjadi sejuk. Di depanku saat ini sudah berjajar rapi aneka stand makanan tanpa melupakan area untuk makan. Tulisan dibanner besar menyambut kami, “SELAMAT DATANG DI FESTIVAL MAKANAN DUNIA”.

“Ayo masuk,” Henry menarikku untuk segera mengikutinya.

Kami berjalan berkeliling stan. Festival ini benar-benar sesuai dengan tulisan sebelumnya. Aneka hidangan dari penjuru negara ada dalam satu tempat. Pizza, Parfait, Takoyaki, Taiyaki, Kebab, dan banyak lagi. Pengunjung pun tak begitu ramai hari ini membuat kami dengan mudah berkeliling. Kami berhenti di pusat festival yaitu sebuah panggung yang nantinya akan ada konser untuk penutupan festival.

“Kupon ini hanya bisa untuk membeli 3 makan. Jadi, jika kita memiliki dua kupon maka kita dapat membeli sebanyak 6 jenis makanan. Untuk permulaan, apa yang ingin kamu makan lebih dulu?” Henry menoleh padaku, menungguku dengan sabar.

Pandanganku beralih menatap brosur di tanganku. Brosur yang merupakan peta festival. Beberapa saat menatap brosur, pandanganku kembali menatap sekitarku. Makanan pertama yang ingin kumakan adalah Takoyaki. Kugerakan tanganku menunjuk sebuah stan Takoyaki, “aku mau makan itu.”

Aku berjalan mendahului Henry namun dia dengan cepat mengikutiku dan berdiri di sampingku.

“Mau pesan Takoyaki? Rekomendasi hari ini Takoyaki cumi-cumi dan keju. Anda mau mencobanya?” salah seorang asisten penjual menghampiriku dengan penuh ramah-tamah.

Aku mengangguk menyetujui rekomendasi tersebut, “boleh. Untuk satu orang.”

Asisten penjual tersebut tersenyum, “anda memiliki kupon?”

Kuserahkan kupon ditanganku padanya dan dengan sigap asisten penjual tersebut merobek tepat pada garis pemisah pada kupon. Satu kupon mewakili tiga tiket, saat membeli dengan kupon, penjual akan mengambil satu tiket tersebut. Asisten penjual menyimpan potongan tiket di tangannya lalu mengembalikan sisa tiket padaku. Kemudian dia menghampiri orang yang bertugas memasak, menyebutkan pesananku. Setelah itu dia kembali menghampiri pengunjung yang mampir ke stan.

Aku menunggu sembari mengamati sekitar. Semua stan tertata rapi berdasarkan kategori makanan. Mulai dari makanan berat hingga makanan paling simpel. Aku tidak tahu jika di tempat ini sedang ada festival. Jarak lokasinya pun tidak jauh dari kafeku.

“Memikirkan sesuatu?” Henry menghampiriku dengan menyodorkan Takoyaki di tangannya.

“Apa ini pesananku?” Aku ragu menerima Takoyaki darinya.

Henry tertawa pelan sembari mengangguk, “apa yang kamu perhatikan sampai-sampai tidak mendengar penjual memanggilmu?”

Aku hanya tertawa canggung lalu mengikuti langkah Henry, “bagaimana denganmu? Tidak membeli sesuatu?” Kutusuk takoyaki di tanganku lalu memakannya. Makanan yang direkomendasikan benar-benar enak. Kejunya benar-benar meleleh saat dimakan.

“Enak?” Henry menghentikan langkahnya, menatapku.

Aku mengangguk lalu menusukkan satu dan mengarahkan padanya, “kamu mau mencobanya?”

Henry mengangguk lalu memegang tanganku dan mengarahkan takoyaki ke mulutnya. Aku terdiam, menatapnya terkejut. Aku tidak menyangka jika dia akan melakukan hal tersebut. Melihat reaksiku, Henry tersenyum kearahku sebelum akhirnya melepas tanganku dari genggamannya.

“Enak kok,” Henry berucap dengan senyum yang masih sama.

Spontan aku menarik tanganku dan segera mengalihkan wajah darinya. Apa yang dilakukannya seketika membuatku tersipu. Hal yang dilakukannya berada diluar pemikiranku.

“Ayo, cepat. Sebelum stannya ramai,” Henry berjalan mendahuluiku menuju ke stan tujuannya.

Aku pun segera berjalan mengikutinya dan berdiri di sampingnya yang sudah berada di depan etalase. Stan yang dikunjungi oleh Henry adalah stan yang menjual makanan khas Turki.

“Kebab daging, satu,” ucap Henry pada penjual di belakang etalase.

Penjual tersebut tersenyum lalu menatap kearahku, “bagaimana dengan pacar Anda?”

Mendapat pertanyaan dari penjual kebab, aku pun dengan cepat menggeleng, “t-tidak ... bukan. Aku bukan pacarnya.”

Penjual tersebut terkejut mendengar jawabanku. Dia pun mengalihkan pandangannya menatap Henry. Sedangkan Henry justru tertawa melihat reaksiku dan reaksi dari penjual kebab.

“Dia bukan pacarku, tapi dia akan menjadi pacarku,” Henry berucap sembari tersenyum lebar.

Penjual tersenyum dan mulai menyiapkan makanan pesanan dari Henry. Berbeda denganku yang justru menatap Henry dengan tatapan tidak mengerti.

Henry tersenyum, “carilah tempat duduk dulu. Aku akan menyusul.”

Aku pun berbalik dan duduk di salah satu kursi kosong tidak jauh dari stan. Kuletakkan kotak takoyaki di atas meja dan mulai menikmati makanan tersebut sembari menunggu Henry datang.

Henry mendekat lalu duduk di kursi yang tersisa, tepat di depanku. Di tangannya sudah ada kebab daging pesanannya. “Aku akan membeli minuman. Tunggulah disini,” Henry kembali berdiri dan berjalan menjauh.

Aku bahkan tidak sempat mengatakan apapun dan dia sudah berjalan sangat jauh. Pada akhirnya aku hanya bisa menunggu. Sebuah dering ponsel membuatku menghentikan kegiatan makanku dan segera mengambil ponsel di tasku. Sebuah panggilan dari Alan, kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku.

“Hai, Carissa.”

“Hai, Alan. Ada apa?”

“Aku hanya ingin menghubungimu, menghabiskan waktu istirahat. Kamu sudah makan?”

Aku mengangguk, “sudah.” Tidak mungkin aku mengatakan jika aku sedang pergi dengan laki-laki yang baru kukenal beberapa jam yang lalu.

“Begitu, ya. Maaf ya, hari ini aku tidak bisa mengunjungi kafemu. Karena banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

Aku tertawa pelan mendengar permintaan maaf darinya, “tidak masalah, Alan. Tidak perlu seperti itu.”

“Tapi bagiku itu menyebalkan. Aku tidak bisa bertemu denganmu hari ini.”

Aku kembali tertawa, lebih tepatnya tidak tahu harus berkata apa.

“Besok aku akan berkunjung ke kafemu. Aku berharap kamu tidak sibuk.”

Aku berdehem, “aku tidak menjamin jika tidak sibuk. Tapi akan aku usahakan untuk menyempatkan waktu.”

“Bagus. Sampai jumpa besok, Carissa.”

Panggilan berakhir. Kuletakkan ponselku lalu mendongak dan seketika terkejut dengan keberadaan Henry yang sudah berdiri di depanku dengan dua gelas minuman di tangannya.

“S-Sejak kapan kamu berdiri disitu?” tanyaku tanpa bisa menyembunyikan keterkejutanku.

Henry tersenyum lalu meletakkan minuman yang dibawanya di atas meja, “beberapa detik yang lalu. Omong-omong, telepon dari siapa? Kulihat dari jauh kamu terkadang tertawa dan mengangguk.”

Aku tersenyum kaku dengan wajah yang sudah memerah karena malu, “d-dia temanku.”

Henry kembali tersenyum lalu duduk di depanku, “begitu ya. Ohya, aku membelikanmu minuman strawberry. Apa tidak masalah?” Henry mengganti topik pembicaraan dengan cepat.

Aku mengangguk dan mulai mencicipi minuman di depanku, “enak kok.”

“Syukurlah,” Henry tersenyum dan mulai menikmati makanan di depannya.

Kami berbincang ringan sembari menghabiskan makanan masing-masing. Setelah itu, Henry kembali mengajakku berjalan, menuju stan berikutnya. Kami menghabiskan waktu hampir seharian di festival dan tanpa sadar matahari sudah mulai menyingsing.

Tepat pukul 5 sore. Henry mengantarku sampai ke kafeku yang sebentar lagi akan tutup. Henry menatapku lalu tersenyum, “terima kasih untuk hari ini, Carissa. Aku sangat senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Lain kali ayo lakukan lagi.”

Aku tertawa pelan, “lain kali jangan tiba-tiba muncul dan mengajakku.”

Henry mengangguk sembari tertawa, “tenang saja. Aku tidak akan muncul secara mendadak. Jika aku memiliki tiket makan atau apapun, aku akan membaginya denganmu. Sepertinya sudah waktunya pulang. Aku duluan. Bye, bye, Carissa.” Henry melambaikan tangan lalu berbalik.

Keesokan harinya, tepat pukul 9 pagi. Dua tumpuk kardus berisikan bahan makanan harus susah payah kubawa menuju kafe. Karena hari ini kardus-kardus ini baru saja sampai setelah tiga hari pemesanan.

“Aku bahkan tidak bisa melihat depan,” gumamku dengan berusaha menyeimbangkan tumpukan kardus di kedua tanganku.

BUGH!!!!

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status