Pukul 12 siang. Aku dan Henry sudah berada di festival makanan. Hari ini cukup mendukung karena matahari tidak bersinar terlalu terik. Angin pun berhembus cukup sering, membuat suasana di sekitar menjadi sejuk. Di depanku saat ini sudah berjajar rapi aneka stand makanan tanpa melupakan area untuk makan. Tulisan dibanner besar menyambut kami, “SELAMAT DATANG DI FESTIVAL MAKANAN DUNIA”.
“Ayo masuk,” Henry menarikku untuk segera mengikutinya.
Kami berjalan berkeliling stan. Festival ini benar-benar sesuai dengan tulisan sebelumnya. Aneka hidangan dari penjuru negara ada dalam satu tempat. Pizza, Parfait, Takoyaki, Taiyaki, Kebab, dan banyak lagi. Pengunjung pun tak begitu ramai hari ini membuat kami dengan mudah berkeliling. Kami berhenti di pusat festival yaitu sebuah panggung yang nantinya akan ada konser untuk penutupan festival.
“Kupon ini hanya bisa untuk membeli 3 makan. Jadi, jika kita memiliki dua kupon maka kita dapat membeli sebanyak 6 jenis makanan. Untuk permulaan, apa yang ingin kamu makan lebih dulu?” Henry menoleh padaku, menungguku dengan sabar.
Pandanganku beralih menatap brosur di tanganku. Brosur yang merupakan peta festival. Beberapa saat menatap brosur, pandanganku kembali menatap sekitarku. Makanan pertama yang ingin kumakan adalah Takoyaki. Kugerakan tanganku menunjuk sebuah stan Takoyaki, “aku mau makan itu.”
Aku berjalan mendahului Henry namun dia dengan cepat mengikutiku dan berdiri di sampingku.
“Mau pesan Takoyaki? Rekomendasi hari ini Takoyaki cumi-cumi dan keju. Anda mau mencobanya?” salah seorang asisten penjual menghampiriku dengan penuh ramah-tamah.
Aku mengangguk menyetujui rekomendasi tersebut, “boleh. Untuk satu orang.”
Asisten penjual tersebut tersenyum, “anda memiliki kupon?”
Kuserahkan kupon ditanganku padanya dan dengan sigap asisten penjual tersebut merobek tepat pada garis pemisah pada kupon. Satu kupon mewakili tiga tiket, saat membeli dengan kupon, penjual akan mengambil satu tiket tersebut. Asisten penjual menyimpan potongan tiket di tangannya lalu mengembalikan sisa tiket padaku. Kemudian dia menghampiri orang yang bertugas memasak, menyebutkan pesananku. Setelah itu dia kembali menghampiri pengunjung yang mampir ke stan.
Aku menunggu sembari mengamati sekitar. Semua stan tertata rapi berdasarkan kategori makanan. Mulai dari makanan berat hingga makanan paling simpel. Aku tidak tahu jika di tempat ini sedang ada festival. Jarak lokasinya pun tidak jauh dari kafeku.
“Memikirkan sesuatu?” Henry menghampiriku dengan menyodorkan Takoyaki di tangannya.
“Apa ini pesananku?” Aku ragu menerima Takoyaki darinya.
Henry tertawa pelan sembari mengangguk, “apa yang kamu perhatikan sampai-sampai tidak mendengar penjual memanggilmu?”
Aku hanya tertawa canggung lalu mengikuti langkah Henry, “bagaimana denganmu? Tidak membeli sesuatu?” Kutusuk takoyaki di tanganku lalu memakannya. Makanan yang direkomendasikan benar-benar enak. Kejunya benar-benar meleleh saat dimakan.
“Enak?” Henry menghentikan langkahnya, menatapku.
Aku mengangguk lalu menusukkan satu dan mengarahkan padanya, “kamu mau mencobanya?”
Henry mengangguk lalu memegang tanganku dan mengarahkan takoyaki ke mulutnya. Aku terdiam, menatapnya terkejut. Aku tidak menyangka jika dia akan melakukan hal tersebut. Melihat reaksiku, Henry tersenyum kearahku sebelum akhirnya melepas tanganku dari genggamannya.
“Enak kok,” Henry berucap dengan senyum yang masih sama.
Spontan aku menarik tanganku dan segera mengalihkan wajah darinya. Apa yang dilakukannya seketika membuatku tersipu. Hal yang dilakukannya berada diluar pemikiranku.
“Ayo, cepat. Sebelum stannya ramai,” Henry berjalan mendahuluiku menuju ke stan tujuannya.
Aku pun segera berjalan mengikutinya dan berdiri di sampingnya yang sudah berada di depan etalase. Stan yang dikunjungi oleh Henry adalah stan yang menjual makanan khas Turki.
“Kebab daging, satu,” ucap Henry pada penjual di belakang etalase.
Penjual tersebut tersenyum lalu menatap kearahku, “bagaimana dengan pacar Anda?”
Mendapat pertanyaan dari penjual kebab, aku pun dengan cepat menggeleng, “t-tidak ... bukan. Aku bukan pacarnya.”
Penjual tersebut terkejut mendengar jawabanku. Dia pun mengalihkan pandangannya menatap Henry. Sedangkan Henry justru tertawa melihat reaksiku dan reaksi dari penjual kebab.
“Dia bukan pacarku, tapi dia akan menjadi pacarku,” Henry berucap sembari tersenyum lebar.
Penjual tersenyum dan mulai menyiapkan makanan pesanan dari Henry. Berbeda denganku yang justru menatap Henry dengan tatapan tidak mengerti.
Henry tersenyum, “carilah tempat duduk dulu. Aku akan menyusul.”
Aku pun berbalik dan duduk di salah satu kursi kosong tidak jauh dari stan. Kuletakkan kotak takoyaki di atas meja dan mulai menikmati makanan tersebut sembari menunggu Henry datang.
Henry mendekat lalu duduk di kursi yang tersisa, tepat di depanku. Di tangannya sudah ada kebab daging pesanannya. “Aku akan membeli minuman. Tunggulah disini,” Henry kembali berdiri dan berjalan menjauh.
Aku bahkan tidak sempat mengatakan apapun dan dia sudah berjalan sangat jauh. Pada akhirnya aku hanya bisa menunggu. Sebuah dering ponsel membuatku menghentikan kegiatan makanku dan segera mengambil ponsel di tasku. Sebuah panggilan dari Alan, kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku.
“Hai, Carissa.”
“Hai, Alan. Ada apa?”
“Aku hanya ingin menghubungimu, menghabiskan waktu istirahat. Kamu sudah makan?”
Aku mengangguk, “sudah.” Tidak mungkin aku mengatakan jika aku sedang pergi dengan laki-laki yang baru kukenal beberapa jam yang lalu.
“Begitu, ya. Maaf ya, hari ini aku tidak bisa mengunjungi kafemu. Karena banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.”
Aku tertawa pelan mendengar permintaan maaf darinya, “tidak masalah, Alan. Tidak perlu seperti itu.”
“Tapi bagiku itu menyebalkan. Aku tidak bisa bertemu denganmu hari ini.”
Aku kembali tertawa, lebih tepatnya tidak tahu harus berkata apa.
“Besok aku akan berkunjung ke kafemu. Aku berharap kamu tidak sibuk.”
Aku berdehem, “aku tidak menjamin jika tidak sibuk. Tapi akan aku usahakan untuk menyempatkan waktu.”
“Bagus. Sampai jumpa besok, Carissa.”
Panggilan berakhir. Kuletakkan ponselku lalu mendongak dan seketika terkejut dengan keberadaan Henry yang sudah berdiri di depanku dengan dua gelas minuman di tangannya.
“S-Sejak kapan kamu berdiri disitu?” tanyaku tanpa bisa menyembunyikan keterkejutanku.
Henry tersenyum lalu meletakkan minuman yang dibawanya di atas meja, “beberapa detik yang lalu. Omong-omong, telepon dari siapa? Kulihat dari jauh kamu terkadang tertawa dan mengangguk.”
Aku tersenyum kaku dengan wajah yang sudah memerah karena malu, “d-dia temanku.”
Henry kembali tersenyum lalu duduk di depanku, “begitu ya. Ohya, aku membelikanmu minuman strawberry. Apa tidak masalah?” Henry mengganti topik pembicaraan dengan cepat.
Aku mengangguk dan mulai mencicipi minuman di depanku, “enak kok.”
“Syukurlah,” Henry tersenyum dan mulai menikmati makanan di depannya.
Kami berbincang ringan sembari menghabiskan makanan masing-masing. Setelah itu, Henry kembali mengajakku berjalan, menuju stan berikutnya. Kami menghabiskan waktu hampir seharian di festival dan tanpa sadar matahari sudah mulai menyingsing.
Tepat pukul 5 sore. Henry mengantarku sampai ke kafeku yang sebentar lagi akan tutup. Henry menatapku lalu tersenyum, “terima kasih untuk hari ini, Carissa. Aku sangat senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Lain kali ayo lakukan lagi.”
Aku tertawa pelan, “lain kali jangan tiba-tiba muncul dan mengajakku.”
Henry mengangguk sembari tertawa, “tenang saja. Aku tidak akan muncul secara mendadak. Jika aku memiliki tiket makan atau apapun, aku akan membaginya denganmu. Sepertinya sudah waktunya pulang. Aku duluan. Bye, bye, Carissa.” Henry melambaikan tangan lalu berbalik.
Keesokan harinya, tepat pukul 9 pagi. Dua tumpuk kardus berisikan bahan makanan harus susah payah kubawa menuju kafe. Karena hari ini kardus-kardus ini baru saja sampai setelah tiga hari pemesanan.
“Aku bahkan tidak bisa melihat depan,” gumamku dengan berusaha menyeimbangkan tumpukan kardus di kedua tanganku.
BUGH!!!!
.
.
Sesuatu yang keras menghantamku membuat keseimbanganku goyah dan akhirnya dua kardus yang kubawa terjatuh, termasuk diriku yang terduduk di atas trotoar. “Apa kamu tidak bisa melihat jalan?” sebuah pertanyaan pelan namun sangat tajam membuatku seketika mendongak, menatap laki-laki berjas rapi yang berdiri di depanku. Melihat tatapan dingin darinya, aku segera berdiri dan meminta maaf, “maaf, tuan. Saya tidak sengaja. Maaf.” “Perhatikan jalanmu,” laki-laki berucap singkat lalu berjalan mendahuluiku. Mataku hanya mengikuti langkahnya tanpa beranjak dari posisiku. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti lalu berbalik menatapku, “kenapa diam saja? Aku masih belum sepenuhnya memaafkanmu. Traktir aku makan. Di kafe itu.” Dia menunjuk kafeku yang berada tidak jauh darinya. Satu kesan untuk orang ini, menyebalkan. Aku segera mengambil kardus yang berjatuhan lalu kembali membawanya. Dia bahkan sama sekali tidak ingin membantuku. Dia menyuruhku jalan lebih dulu, karen
Laki-laki itu keluar ruangan. Aku pun tidak memiliki kesempatan untuk menyela ucapannya. Aku berdecak kesal lalu duduk di kursi sembari memijat pelipisku. Pandanganku menatap tumpukan kertas di atas meja. Mengerjakan semua ini? Jangan bercanda denganku.Aku diam sejenak, berusaha mencari jalan keluar. Namun sama sekali tidak mendapatkan satu ide pun. Aku menghembuskan napas panjang. Sepertinya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Pukul 10 siang, aku mulai mengerjakan pekerjaan berat ini. Pekerjaan ini dua kali lipat jauh lebih berat dibanding aku meninjau laporan keuangan kafeku. Lebih parahnya lagi, aku tidak tahu kapan aku akan menyelesaikan semua kertas-kertas ini. Satu jam. Dua jam. Aku berhasil menyelesaikan setengah dari tumpukan sebelumnya dan sekarang aku mulai bosan. Kurenggangkan otot tanganku sembari bersandar di kursi. Mungkin istirahat sejenak akan lebih baik.Pandanganku mengedar menatap satu persatu hiasan dinding. Ruangan ini
Dia menautkan alisnya, menatapku dengan tatapan kesal, “apa yang aku lakukan di sini? Ini kamarku.”Sontak aku langsung bangkit dari tidurku dan justru mengakibatkan kepalaku berdenyut cukup kuat hingga membuatku didekap oleh laki-laki di depanku. Aku segera menjauhkan diri dengan berusaha menahan pusing di kepalaku. Mataku beralih menatapnya, “bagaimana aku bisa di kamarmu? Kamu tidak melakukan sesuatu, kan?”“Aku tidak tertarik melakukan sesuatu padamu,” jawabnya dingin, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.Aku menghela napas pelan. Lagipula pakaianku masih lengkap. Sejak awal pun dia lebih suka mempermainkanku karena dia keturunan laki-laki menyebalkan. Suara lembut sebelumnya mungkin hanya imajinasiku saja.“Makanlah,” laki-laki itu menyodorkan nasi yang sudah dicampur dengan sup ayam.Aku mengangguk dan menerima mangkuk darinya. Perlahan namun pasti, aku mulai makan. Makanan ini enak, mirip den
Pukul 9 malam. Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Hampir seharian aku tidak memeriksa ponselku dan begitu kubuka 3 panggilan tidak terjawab serta 5 pesan belum terbaca. Tiga panggilan tersebut dari Ren dan Alan. Sedangkan untuk pesan, dari Ren, Henry dan yang terbaru dari nomor tidak kukenal. Nomor baru? Siapa? Kubuka satu persatu pesan tersebut. Pertama pesan dari Ren yang mengingatkanku mengenai acara besok lusa. Aku segera membalasnya lalu berganti membaca pesan berikutnya dari Henry, dia mengirimkan sebuah foto tiket makan malam di salah satu restoran. Aku pun segera membalasnya walaupun sangat terlambat karena pesan darinya kuterima pukul 10 siang. Terakhir, pesan dari nomor tidak dikenal. Belum sempat aku membaca pesan tersebut, sebuah panggilan dengan nomor yang sama menghubungiku. Kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku, “ya, halo. Dengan siapa?” “Ini aku,” seseorang di seberang telepon menjawab. Nada yang s
Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?” “Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.“Tiketnya hany
Keesokan harinya, aku sedikit trauma dengan kejadian semalam dan hari ini rasanya aku ingin di rumah seharian, tanpa melakukan apapun. Sebuah ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ruang makan. Dengan penuh kehati-hatian, aku melihat orang yang mengetuk pintu dari jendela. Septian? Aku membuka pintu dan mendapati Septian yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku diam, begitu juga dengannya. Aku menundukkan kepala lalu berucap pelan, “aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini.” “Kenapa? Kamu demam?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku lalu kembali menyimpan tangannya. Aku menggeleng pelan, “aku... hanya tidak ingin pergi.” “Menyingkir,” Septian berucap pelan namun tajam. Kudongakkan wajahku menatapnya dan dia menatapku dengan tatapan dinginnya. “Menyingkir,” ulangnya. Spontan, aku menepi dan membiarkan Septian masuk. Pintu kembali tertutup. Aku mengikuti langkah Septian yang menuju
Keesokan harinya, aku bersiap menunggu Ren datang menjemput. Kemarin sore, Septian benar-benar kembali dengan beberapa makanan hangat. Dia juga ikut makan malam denganku. Saat aku tanya mengenai cokelat itu, dia hanya menjawab kalau dia mendapatkan cokelat tersebut dari pemilik kedai dan sama sekali tidak berniat untuk memakannya. Karena itu dia memberikannya padaku. Mendengar jawabannya justru membuatku tertawa. Septian sama sekali tidak ingin berkata jujur. Sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas mengintip melalui jendela, memastikan kalau orang yang mengetuk pintu adalah Ren. Dan benar, Ren berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian santainya. Aku segera membuka pintu, “berangkat sekarang?” Ren tersenyum, “tentu. Ayo.” Aku keluar rumah, tanpa lupa mengunci pintu kemudian berjalan mensejajari Ren. Hari ini, Ren mengajakku ke sebuah bazar dengan motornya. Bazar tersebut digelar setiap tahun. Bazar yang menjual aneka jenis buku, no
Di tempat lain, seorang wanita berdiri di belakang jendela dengan sebuah senyum misterius. Dia meraih ponselnya lalu mendekatkan ke telinganya, “lanjutkan ke tahap berikutnya. Pastikan dia menyadari posisinya.”Wanita itu menyimpan ponselnya dengan sebuah seringai misterius. Sebuah derap langkah perlahan mendekat pada wanita itu. Dia menatap wanita di depannya dengan tatapan sedih.“Apa yang akan kamu lakukan, Riska? Tidak bisakah kamu merelakannya?” laki-laki itu enggan untuk lebih dekat lagi. Dia berdiri dengan jarak beberapa meter.Wanita bernama Riska tersebut menoleh, menatap laki-laki yang berdiri di belakangnya, “tidak, Kak Henry. Aku akan menghancurkan siapapun yang mendekati calon suami masa depanku.”“Carissa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Septian. Jika kamu ingin mendapatkan Septian kenapa harus mengurusi kehidupan Carissa? Kakak tidak suka apa yang kamu lakukan saat ini,” cerca Henry, b