Share

Sweet #4

Sesuatu yang keras menghantamku membuat keseimbanganku goyah dan akhirnya dua kardus yang kubawa terjatuh, termasuk diriku yang terduduk di atas trotoar.

“Apa kamu tidak bisa melihat jalan?” sebuah pertanyaan pelan namun sangat tajam membuatku seketika mendongak, menatap laki-laki berjas rapi yang berdiri di depanku.

Melihat tatapan dingin darinya, aku segera berdiri dan meminta maaf, “maaf, tuan. Saya tidak sengaja. Maaf.”

“Perhatikan jalanmu,” laki-laki berucap singkat lalu berjalan mendahuluiku. Mataku hanya mengikuti langkahnya tanpa beranjak dari posisiku. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti lalu berbalik menatapku, “kenapa diam saja? Aku masih belum sepenuhnya memaafkanmu. Traktir aku makan. Di kafe itu.” Dia menunjuk kafeku yang berada tidak jauh darinya.

Satu kesan untuk orang ini, menyebalkan. Aku segera mengambil kardus yang berjatuhan lalu kembali membawanya. Dia bahkan sama sekali tidak ingin membantuku. Dia menyuruhku jalan lebih dulu, karena dia tidak mau aku menabraknya lagi. Menyebalkan! Benar-benar menyebalkan!

Kuletakkan kardus yang kubawa di depan kafe karena kebetulan Beni ada di luar. Beni menerimanya lalu mempersilakan bagiku untuk masuk. Laki-laki tadi masih saja mengekoriku tanpa sepatah katapun.

Aku mempersilakan baginya untuk duduk sembari menyerahkan buku menu padanya. Aku berniat berbalik dan menjauh namun suara dingin dan datar menahanku.

“Kamu mau kemana? Duduk di sini dan temani aku,” ucap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya.

Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dengan sangat terpaksa aku duduk di depan laki-laki itu yang sedang memilih makanan. Mako yang baru saja berdiri di sampingku, menatapku dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah pertanyaan ‘ada apa dengan Nona?’ namun aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Hanya sebuah helaan napas yang bisa kukeluarkan.

“Dark Coffee,” ucap laki-laki itu setelah beberapa saat memandangi buku menu di tangannya.

“Pesanan Anda akan segera siap, Tuan,” Mako berucap ramah.

“Satu lagi untuknya,” sambung laki-laki itu sembari menunjuk kearahku.

Mako kembali mengangguk lalu beranjak menjauh.

Tidak ada pembicaraan diantara kami. Aku pun tidak berminat untuk menatap laki-laki di depanku saat ini meskipun beberapa pengunjung kafe memerhatikannya. Berbeda dengannya yang justru dengan terang-terangan menatapku masih dengan tatapan dinginnya.

“Silakan pesanan Anda, Tuan,” Mako datang ke meja kami dan meletakkan dua cangkir di atas meja. Satu untukku dan sisanya untuk laki-laki menyebalkan di depanku.

Kualihkan pandanganku menatap secangkir kopi di depanku. Aroma khas mulai tercium. Hitam pekat sangat kontras dengan cangkir yang berwarna putih bersih. Pandanganku beralih menatap laki-laki di depanku yang sudah mencicipi kopi di depannya.

“Lumayan,” laki-laki itu menurunkan kopi di tangannya lalu menatap kearahku. Dia tidak mengatakan apapun. Jika aku bisa menebak, dia menyuruhku untuk mencoba kopi di depanku saat ini.

Kuraih cangkir di depanku dan perlahan mencicipi Dark Coffee yang untuk pertama kalinya aku meminumnya. Rasa pahit begitu kental dengan rasa manis yang sangat sedikit. Rasanya hampir sama dengan kopi yang sering kupesan, namun rasa ini lumayan enak. Setidaknya moodku yang buruk akan sedikit terobati.

“Tidak suka pahit?” laki-laki itu membuka suara.

Kuletakkan kembali cangkir di atas meja lalu tersenyum sembari menatap laki-laki di depanku, “tidak juga. Biasanya aku pesan Dark Smooth Coffee.”

Laki-laki itu sempat terkejut namun detik berikutnya tatapannya kembali dingin, “sering kesini?”

Aku mengangguk. Bukan sering kesini, memang aku pemilik kafe ini jadi sudah pasti aku selalu berada di kafe ini. Bodohnya aku tidak bisa berucap seperti itu.

Sebuah dering ponsel menyela pembicaraan kami. Laki-laki itu menerima panggilan dari ponselnya. Dia hanya menjawab dengan sebuah deheman. Setelah itu dia menyimpan ponselnya dan bangkit dari duduknya, “kamu yang membayar semuanya. Aku harus pergi.” Tanpa menunggu jawaban dariku, dia melangkah keluar kafe meninggalkan kopinya yang masih tersisa setengah cangkir.

Aku menghela napas panjang sembari menyandarkan punggungku. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan laki-laki menyebalkan seperti dia dan berharap aku tidak bertemu lagi dengannya. Sikapnya begitu arogan dan menyebalkan. Hanya parasnya saja yang tampan namun tidak dengan sikapnya.

Keesokan harinya tepat tanggal 30 September. Hari dimana aku harus segera meninjau laporan bulanan dari Mako. Kuparkirkan motorku di parkiran kafe lalu berjalan menuju ke pintu belakang kafe. Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi. Kafe sudah dibuka, beberapa pengunjung pun sudah datang. Tanganku memegang gagang pintu lalu memutarnya sesaat setelah itu suara orang yang kuhindari terdengar tepat di belakangku.

“Tunggu.”

Aku menggeram pelan lalu dengan terpaksa berbalik menatap laki-laki yang berdiri tidak jauh dariku lengkap dengan jas rapi nan mahalnya. Sebuah mobil pun tidak jauh terparkir di belakangnya.

“Ikut denganku,” perintah laki-laki itu.

“Eh?” aku masih terdiam dengan keterkejutanku. Bagaimana tidak terkejut, dia baru saja menyuruhku untuk mengikutinya yang entah tidak tahu akan kemana. Laki-laki ini sedikit tidak waras.

“Jangan hanya melamun. Cepat kesini,” laki-laki itu sudah berdiri di samping mobil dengan seorang sopir di dekatnya.

Aku menggeleng pelan, “maaf, Tuan. Saya masih ada urusan hari ini.” apapun yang terjadi aku harus menghindarinya. Aku berniat berbalik dan menarik pintu di belakangku namun laki-laki itu lebih dulu menahan pintu di depanku lalu mendorongnya keras hingga tertutup rapat.

“Ah!” dengan tiba-tiba kakiku terangkat. Spontan tanganku melingkar di leher laki-laki yang tiba-tiba menggendongku. “Turunkan saya, Tuan,” aku menatap tidak suka padanya. Namun laki-laki itu justru menatapku sekilas dan tetap melanjutkan langkahnya menuju mobilnya. Dia menurunkanku di dalam mobil kemudian dia ikut masuk dan duduk di sampingku.

Aku berusaha membuka pintu di sampingku namun sopir lebih dulu mengunci pintu mobil dan menjalankan mobilnya. Pandanganku beralih menatap laki-laki yang duduk santai di sampingku, “Anda akan membawa saya kemana? Turunkan saya sekarang juga.”

Laki-laki itu menatapku dengan tatapan dinginnya, “berisik. Diamlah.”

Aku menggeleng kuat. Mana mungkin aku terima diperlakukan seperti ini. Aku beralih menatap sopir, “Pak, saya turun di sini.”

“Abaikan saja dia,” sahut laki-laki di sampingku.

Mataku menatap tajam laki-laki tersebut, kembali berusaha untuk membuka pintu di sampingku. “Turunkan aku sekarang. Aku tidak mau ikut denganmu.”

Beberapa saat terdiam laki-laki itu berdecak kesal lalu menarik tanganku tiba-tiba dan mendorongku hingga punggungku membentur pintu di sampingku. Matanya menatapku tajam, “diam atau aku akan membuatmu diam.”

Aku balas menatapnya tajam, “tidak. Sebelum kamu menurunkanku.” Bersusah payah aku mencoba melepaskan tanganku dari cengkramannya, namun dia justru mengeratkan cengkramannya.

“Kamu menantangku?” laki-laki itu tersenyum miring dan perlahan mendekatkan wajahnya.

Aku yang berusaha membebaskan tangan kiriku darinya seketika terdiam. Spontan tangan kananku yang terbebas berusaha menahannya untuk tidak lebih dekat lagi. Namun, tenagaku tidak sebanding dengannya. Jantungku mulai berpacu. Wajahnya yang semakin dekat membuatku sontak berucap, “aku akan diam! Sungguh, aku akan diam.”

Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan lalu melepas tanganku dan kembali ke posisi duduknya seperti semula, “good girl.”

Aku mendengus kesal dan duduk dengan malas. Aku tidak habis pikir bisa bersama dengan laki-laki menyebalkan ini. Apa jadinya jika aku tidak menghentikannya tadi.

20 menit mobil berjalan. Akhirnya berhenti di basement sebuah perusahaan megah. Laki-laki itu keluar, begitupun denganku. Aku hanya mengekori laki-laki itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kami memasuki lift dan melesat cepat menuju ke lantai 10. Ini pertama kalinya aku mengunjungi sebuah perusahaan semegah ini. Apa mungkin laki-laki ini pemilik perusahaan megah ini? Jika diperhatikan lagi dari sikap, pakaian, mobil mewah, sudah dapat dipastikan dia-lah pemilik perusahaan ini.

Dentingan lift menggema diikuti pintu lift yang terbuka. Laki-laki di sampingku berjalan keluar, begitupun denganku. Aku mengikutinya hingga kami sampai di depan pintu sebuah ruangan. Laki-laki di sampingku membuka pintu lalu mempersilakan bagiku untuk masuk. Pintu pun tertutup.

Sebuah ruangan yang sangat megah, di situlah aku berada. Ruangan dengan jendela kaca besar tepat di belakang kursi kebesaran. Beberapa hiasan klasik pun terpajang rapi di dinding. Dua sofa dan satu meja kaca melengkapi ruangan di depanku. Tumpukan kertas berada di atas meja dengan satu laptop diantaranya. Aku mulai bertanya-tanya, kenapa aku dibawa ke tempat ini.

Laki-laki di sampingku berjalan lalu berhenti tepat di samping meja kerjanya, “duduk di sana,” dia menatapku lalu berganti menatap kursi kebesarannya.

Aku masih bergeming di tempat, tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya. Melihatku yang tidak beranjak, laki-laki itu menatapku tajam, “cepat lakukan.”

Spontan aku berjalan melewatinya lalu duduk kursi –sesuai dengan perintahnya. Aku sama sekali tidak bisa membaca pikiran orang ini. Laki-laki tersebut meletakkan tangannya di atas tumpukan kertas di depannya lalu menatapku, “selesaikan semua pekerjaan ini. Aku harus rapat di luar. Ada yang ingin kamu tanyakan?”

Aku sempat terkejut namun segera bersuara sebelum laki-laki itu beranjak dari tempatnya, “aku tidak mengerti. Kenapa harus aku?”

“Karena hari ini sekretarisku tidak masuk. Jadi untuk hari ini kamu akan menjadi sekretarisku. Kerjakan semuanya jangan sampai ada yang salah,” laki-laki itu mulai melangkah menuju pintu.

Spontan aku berdiri dan berniat protes namun laki-laki itu lebih dulu berbalik menatapku sebelum dia keluar dari ruangan. Matanya menatapku lalu tersenyum tipis, “bagi seorang pemilik Kafe Coffee, hal ini bukan hal yang sulit bukan? Kuserahkan padamu, Carissa.”

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status