"Mas .... Kok, nggak panggil aku salat?” Suara lembut itu meluncur sempurna dari mulut Nilna, di ambang pintu. Badannya menyembul tiba-tiba dari pintu kamar yang sedikit terbuka. Bagas tersentak kecil, dan buru-buru menoleh ke sumber suara. “Dek, udah di sini?” tanya lelaki itu, sedikit kaget. Buliran air wudhu masih memenuhi wajahnya. Lengan baju pun masih tergulung sampai siku. Jelas saja, ia baru bersiap untuk salat.Nilna melangkah ragu, mendekati suaminya yang berdiri canggung. “Tadi aku nunggu Mas manggil. Eh, nggak ada panggilan juga. Jadi, aku nyamperin Mas aja,” jelas Nilna, jujur. Jemari kecil itu meremas mukena putih yang membalut tubuhnya, menandakan kegugupan yang sulit disembunyikan.Bagas menghela napas lega. Pikiran tak karuan yang mengganggunya ternyata tidaklah benar. Ia terhenti sejenak. Ada sesak yang berangsur menguap dari dada bidangnya.“Mas kira, Adek masih takut.” Pandangan Bagas turun, menatap balutan mukena yang hanya memperlihatkan telapak kaki kecil istr
"Na, masih nunggu Mas Bagas?” Wajah Dafa menyembul dari arah belakang. Membuat Nilna terkesiap dan spontan mengangkat wajah.“Iya.” Nilna menjawab sekenanya. Ia kembali menunduk dan menyibukkan diri dengan menggulir layar ponsel.“Boleh aku duduk di sini?” tanya Dafa hati-hati, menunjuk kursi yang cukup berjarak.“Ini tempat umum, Kak. Nggak usah izin aku.” Suara Nilna terdengar datar, dengan wajah yang masih tenggelam di balik layar ponsel.Dafa menghela napas kasar, lalu duduk perlahan. “Pasti Mas Bagas bangga banget, Na, sama kamu. Istri remajanya udah berhasil naklukin panggung.” Lelaki 20 tahun itu tersenyum hambar, menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang.Nilna meremas ponsel dalam genggaman, lalu melirik lawan bicaranya sekilas. “Itu kuasa Allah. Bahkan aku nggak nyangka bisa melewatinya.”Hening mengambil alih suasana di antara mereka. Hanya suara langkah kaki dan kendaraan dari mahasiswa yang mengisi jarak. “Bisa nggak, sih, kamu nggak ngajak aku ngobrol?” Nilna a
"Kamu lihat, kan, auditorium itu?” Pak Affan tengah berdiri di samping Nilna, tepat sebelum naik tangga, menunjuk beberapa orang yang berderet rapi. Dosen pembimbing itu memberi sokongan dari hati yang paling dalam. “Di sana, duduk orang-orang hebat, yang kadang meragukan kemampuan kita,” lanjut dosen Bahasa Arab itu, dalam. Ia berdiri tegap dengan balutan almamater kebanggaan unversitasnya.“Tapi itu bukan masalah, tugas kita sekarang adalah menunjukkan hal yang terbaik dari kita,” pungkasnya, dengan senyum mengembang. “Iya, Pak. Bismillah,” ucap Nilna, teguh. Hingga akhirnya, Nilna benar-benar berdiri sendiri di atas panggung.“Assalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh ....” Ucapan salam itu meluncur tanpa hambatan dari mulut kecil Nilna. Suaranya tenang, tapi menghasilkan getaran yang menarik ratusan orang mengangkat wajah dan fokus ke sumber suara. Mahasiswi itu berdiri tegak, meski ada gugup dan keraguan yang menumpu pada punggungnya.“Waalaikumussalam warahmatullah wabarakaa
“Mas, kenapa, ya .... Semakin aku berusaha keras, semakin keras juga ujian yang datang.” Suara Nilna terdengar serak, dan sangat pelan. Seakan usai berlari di medan yang terjal.Netra perempuan itu memanas. Sebutir air mata masih bersembunyi di balik pelupuknya. Ia menatap lurus ke depan, dengan pandangan menerawang. Kakinya tertekuk, dengan kabut gelap yang sejak siang enggan untuk melunak.Bagas mengangkat wajah, menjeda jemarinya yang sedari tadi lincah menari di keyboard laptop.“Mas juga merasa begitu, Dek.” Bagas menoleh, memandangi istri kecilnya yang terduduk di ujung ranjang.“Tapi, Allah selalu menyiapkan kejutan yang indah di balik itu semua.” Pria itu memilih bangkit, dan mendekati istrinya. Menggenggam tangan kecil itu tanpa ragu, lama. Sisa hujan di siang hari masih membekas di heningnya malam. Meninggalkan aroma tanah dan daun kering yang khas karena digelayuti butiran air.Nilna tersenyum tipis, menatap wajah suaminya yang kini tidak berjarak. “Mas nggak capek?” samb
"Ya udah, Mas tunggu di balai depan, ya.” Bagas beranjak terlebih dahulu untuk bersiap pamit. Sementara Nilna, ingin ke kamar kecil untuk membersihkan diri.“Iya, Mas. Nanti aku nyusul,” pungkas Nilna, membuka pintu kamar kecil.Langkah kaki Bagas terasa ringan. Embusan angin dari kipas tua yang berderit di sudut balai menerpa senyum teduhnya. Hati pria itu kembali menghangat, dengan untaian kalimat jujur dari Nilna.Tapaknya terhenti tepat di samping sang ayah. “Bah, kok sendirian?” sapanya, pelan.Abah Rasyid terperanjat, lalu menegakkan posisi duduk. “Iya, Mas dan Mbakmu pulang terlebih dulu karena anaknya mulai rewel,” terang pria bersorban itu, dengan suara serak yang khas.Di lantai dapur, Nilna menapakkan kaki bersihnya. Wanita muda itu mematut diri sejenak di depan cermin yang tertaut di lemari tua.“Nilna, kamu masih di sini?” Bayangan Ilham menyembul tanpa permisi di sebelah pantulan wajah Nilna.Nilna terkesiap kaget. “Ilham?” Menantu Abah Rasyid itu memutar tubuhnya cepat,
‘Kenapa dia muncul bareng sama aku? Apa dia sengaja?’ batin Nilna resah. Ia melirik Bagas sekilas dan semakin bertanya-tanya. ‘Kenapa Mas Bagas kaget juga ngelihat dia?’ “Ilham, ayo, masuk,” titah Abah Rasyid tenang, mempersilakan santri ndalemnya masuk. Nilna meremas ujung jilbab. Wanita itu tertunduk dalam, menghindari tatapan lelaki muda yang sempat menyukainya. Bagas memicingkan mata, menangkap ingatan yang kembali hadir dalam benaknya. ‘Dia itu ... lelaki berseragam yang sama dengan Nilna waktu perpisahan Aliyah, kan?’ Putra bungsu Abah Rasyid itu mengepal tangan erat di pangkuan, menahan gejolak was-was yang membuncah. “Injih, Bah.” Ilham memasuki ndalem, berjalan dengan lutut tertekuk. Remaja 19 tahun itu mengecup punggung tangan sang kiai dengan sepenuh hati. “Ini, dia dulu lulus Aliyah di sini. Ilham ini sempat melanjutkan jenjang Uqudul Juman di Blitar. Tapi karena pertimbangan orang tua, dia balik menyelesaikan pendidikannya ke sini. Sambil khidmat di ndalem Abah