Share

Sah!

Author: Dwi Maula
last update Last Updated: 2025-06-05 14:37:46

"Sebentar, kalau begitu, bisakah kamu menghadirkan calonmu dalam waktu dekat?” tanya abah dengan seksama. Ia membenarkan kaca mata yang sedikit turun dari posisi seharusnya. Bagas pun lega telah diberi kesempatan untuk mengundang sang kekasih dan segera mempertemukannya dengan abah. Ia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah telepon seluler, lalu mulai mencoba menghubungi seseorang.

 

“Assalamualaikum, hallo?” Bagas memberi salam setelah panggilannya terjawab. Ia pun me-loudspeaker agar semua bisa mendengar percakapannya. “Waalaikumussalam,” jawab seseorang dari seberang.

“Tumben sekali, Kakak menelepon, apa ada hal penting?” lanjutnya lagi.

“Begini, Kakak ingin mengundangmu ke Kediri untuk kuperkenalkan dengan Abah,” jawab Bagas sambil melirik sang abah sekilas.

“Maaf, Kak. Pekerjaan di sini tidak bisa aku tinggal. Lebih menyedihkan lagi, kontrak diperpanjang satu tahun. Aku pun tidak bisa mengelak karena ini demi masa depan karierku. Kakak tidak keberatan kan menunggu?”

“Lalu bagaimana dengan surat yang sudah kuurus, Qaila? Kamu bilang akan ke sini kan lima hari lagi?” tanya Bagas lagi. Nadanya naik satu oktaf. Ia mulai kehilangan kesabaran karena telah mendengar penjelasan yang tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

“Sekali lagi, maaf, Kak. Aku belum bisa menikah sekarang. Tapi, aku tetap menerima lamaranmu. Kita akan menikah tahun depan.”

“Tidak bisa, Qailula Zifara. Suatu hal mengharuskan aku menikah secepatnya. Kalau kamu tidak bisa sekarang, berarti posisimu akan digantikan orang lain. Ini menyangkut kehormatan keluarga dan pesantren. Assalamualaikum.” Sambungan pun terputus. Hatinya panas dan tidak menyangka Qaila akan berlaku begitu tega. Setelah ia susah payah mengurus berkas dan segala perintilan lainnya. Mematahkan mimpi indah yang ia bangun bersama Bagas. Bagaimanapun, Bagas juga sudah lelah menghadapi cobaan dunia luar yang berusaha menjerumuskannya dalam lubang kemaksiatan. Oleh karena itu, ia kadang tidak kuasa menahan keinginan untuk segera menikah.

 

“Sudah jelas, kan?” Abah mencoba meminta kepastian. Suasana tenang yang sedari tadi melekat kini sedikit goyah. Bagas mendongak, menetralkan perasaan yang berisik. Sekarang, ia tak punya cukup tenaga untuk berdebat. “Kalau begitu, saya akan mempersilakan Bapak, Ibu, maupun Nilna, barang kali ada sanggahan atau merasa kurang puas dengan perjodohan ini?” Abah menghimpun beberapa berkas yang telah terkumpul di meja. Ia telah meminta dokumen milik Nilna dari orang tuanya yang akan diperlukan untuk pengajuan persyaratan nikah.

 

“Begini, Bah. Sebelumnya, saya minta maaf. Mengingat umur saya masih 18 tahun, belum ideal untuk menikah. Setahu saya, umur ideal perempuan menikah itu 21, sedangkan lelaki itu 25,” ungkap Nilna takut-takut. Tanpa sadar ia sedikit meremas tangan sang ibu.

 

“Nilna, gak papa, Nduk,” ucap sang ibu menenangkan putrinya. Ia membelai lembut kepala sang putri. “Maaf, Bah. Anak saya ini memang sedikit bandel,” jelas Bu Mahya, ibunda Nilna. Abah pun terkekeh pelan.

 

Bu Mahya membingkai wajah sang putri dengan kedua tangannya, lalu membelai pelan.  “Dua puluh satu tahun itu untuk anak yang manut dan bisa dipercaya untuk mempertanggungjawabkan pendidikannya. Lha ini, baru 18 tahun kamu bikin Ibu pusing dan kabur dari pondok. Apa gak bahaya buat kamu, Nduk? Kamu sudah melenyapkan kepercayaan Ibu dengan tingkahmu sendiri. Sekarang, terima keputusan kami sebagai konsekuensi atas perbuatanmu,” tutur sang ibu pada putrinya. Ia menatap mata sang putri dengan lembut tapi tegas. Kalau sudah begini, Nilna hanya bisa menurut dan berbesar hati.

 

“Hmm, kenapa aku gak seneng aja sih? Kan kalo nikah aku jadi bebas dari orang tua dan pesantren. Ya gak sih? Kenapa gak kepikiran dari tadi coba,” celoteh Nilna dalam hati. Ia tersenyum nakal membayangkan kehidupan setelah menikah itu menyenangkan karena terbebas dari tekanan orang tua dan pesantren.

 

.

 

Pagi itu, udara berembus pelan, membawa butir-butir embun yang basah. Aula pesantren Al-Mannan dipenuhi dengan antusiasme dan kegembiraan. Dekorasi indah telah tersaji sejak malam lalu, menciptakan suasana yang romantis dan sakral. Para santri dan perewang sudah mulai berdatangan, mereka tampak gembira menyambut pasangan pengantin yang akan menikah hari ini.

 

Di ruang rias, Nilna, pengantin wanita sedang menyelesaikan persiapan terakhir dengan bantuan keluarga dan teman-temannya. “Wahh, cantik banget Nilna,” celetuk Zia tiba-tiba. Ia baru saja datang karena harus rewang di bagian dapur sebelumnya. “Zia, aku kemarin berpikir kalau nikah aku bakal bebas dari tekanan orang tuaku dan pesantren. Tapi, kok sekarang aku jadi sedih, ya?” ucap Nilna dengan nada sendu. “Kenapa sedih, sih? Beruntung loh kamu bisa nikah sama seorang gus. Udah ganteng, dewasa lagi,” ucap Zia berusaha menenangkan sang sahabat.

 

“Ya gimana, dulu aku ngebayangin masa remaja yang penuh dengan kesenangan dan kesuksesan. Tapi sekarang udah pupus karena udah jadi istri orang dan ibu rumah tangga.” Nilna tersenyum getir karena bagaimanapun ia juga sadar, itu semua adalah konsekuensi yang harus ditelan demi mempertanggungjawabkan ketidaksabarannya dalam berproses.

 

“Gak papa lagi. Jadiin pelajaran dan dibawa happy aja.” Zia membawa segelas teh hangat untuk menenangkan Nilna yang akan menikah pagi ini.

 

Bagas, sang pengantin pria juga sedang mempersiapkan diri di ruang lain, ditemani oleh Wahyu yang sibuk memakaikan jas untuknya. Sang pengantin pria terlihat tampan karena dipadukan dengan kemeja putih yang telah terbalut dengan jas navi dan sarung serta kopyah hitam. Setelan itu cukup membuat aura Bagas terkesan tegas dan tampan.

 

Pukul delapan pagi, acara ijab qobul segera dimulai. Tamu undangan sudah siap menyaksikan prosesi pernikahan ini. Pengantin pria dan wanita akan mengucapkan janji pernikahan di hadapan penghulu dan disaksikan oleh keluarga dan kerabat.

 

Suasana semakin hening ketika penghulu memulai prosesi ijab qobul. ”Yaa waladii Bagas Dipta Akhtara,” ucap penghulu dengan khidmat. “ Labbaik". Bagas menjawab dengan lantang, mencoba menetralkan perasaan grogi yang menggebu karena disaksikan ratusan orang.

 

“Qobiltu nikaahaha watazwijaha bilmahril madzkuur. Haallaan.” Ijab qabul telah menggema, mengikat kedua mempelai menjadi sepasang kekasih yang sah. Semua tamu undangan juga terharu, menyaksikan momen epik ini dengan penuh suka cita.

 

Prosesi inti selesai, mereka akan memulai hidup baru bersama. Meski kedua belah pihak belum ditumbuhi rasa cinta, tapi takdir telah menyatukan mereka. Semua tamu undangan memberikan ucapan selamat dan doa terbaik untuk pasangan pengantin yang baru menikah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sweet Husband   Sikap yang Menyebalkan

    "Nilna, kok kamu sekolah lagi, sih? Bukannya hidup kamu udah terjamin, ya? Ngapain capek-capek mondok?” cerocos Zia tanpa mengerem. Ia menguncang-guncang badan Nilna saking gemasnya.“Aduh, ya nggak gitu juga dong.” Nilna menangkap kedua tangan Zia agar ia berhenti mengganggunya. “Kak Bagas ngizinin aku, kok,” jelas Nilna santai. Ia meninggalkan Zia yang masih shock menuju bangku dan terduduk lega. Zia pun mengikuti dan duduk di samping Nilna. “Terus gimana? Kamu udah nggak perawan lagi, dong?” celetuk Nara tiba-tiba. Ia tergesa menghampiri Nilna dan Zia. Tangannya membawa setumpuk buku yang ia letakkan asal di atas meja. “Nara!” sergah Nilna emosi. “Jangan ngomongin itu, bukan ranahnya di sini,” lanjutnya dengan membungkam mulut Nara. Akhirnya perdebatan mereka pun usai saat bel tanda masuk kelas berdebum. Semua siswi serentak memasuki ruang kelas masing-masing dan menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan.“Assalamualaikum.” Bu Isma membimbing pelajaran dengan khidmat. Ia meng

  • Sweet Husband   Malam Pertama

    Nilna Muna binti Ahkam Al-Hafiz, sekarang kamu sudah sah menjadi istriku.” Bagas berucap tanpa basa-basi. Memandangi langit-langit rumah meski tidak ada objek yang menarik untuk sekadar ia amati. “Iya, Kak.” Nilna terduduk lesu karena keseruannya membaca novel online harus ia jeda demi memperhatikan sang suami. Keramaian pada pesta pernikahan tadi membuatnya lelah dan ingin bermain ponsel sebentar. Sedetik kemudian, merasakan sedikit getaran pada sofa. Rupanya, Bagas telah beralih duduk di sampingnya. Keadaan menjadi hening, karena sekarang hanya mereka berdua yang ada di rumah itu. Rumah yang telah Bagas siapkan untuk Qaila, namun realitanya tidak demikian. “Di mana etikamu padaku? Saat malam pertama begini, kamu tetap sibuk dengan ponselmu?” hardik Bagas tegas. Ia hanya ingin sang istri lebih menjaga sikap. “Maaf, Kak. Aku belum bisa ngelakuin itu karena aku masih pengen nikmatin masa muda aku.” Nilna tertegun tidak percaya. Ia meneguk ludah dan takut karena baru pertama kali di

  • Sweet Husband   Sah!

    "Sebentar, kalau begitu, bisakah kamu menghadirkan calonmu dalam waktu dekat?” tanya abah dengan seksama. Ia membenarkan kaca mata yang sedikit turun dari posisi seharusnya. Bagas pun lega telah diberi kesempatan untuk mengundang sang kekasih dan segera mempertemukannya dengan abah. Ia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah telepon seluler, lalu mulai mencoba menghubungi seseorang. “Assalamualaikum, hallo?” Bagas memberi salam setelah panggilannya terjawab. Ia pun me-loudspeaker agar semua bisa mendengar percakapannya. “Waalaikumussalam,” jawab seseorang dari seberang. “Tumben sekali, Kakak menelepon, apa ada hal penting?” lanjutnya lagi. “Begini, Kakak ingin mengundangmu ke Kediri untuk kuperkenalkan dengan Abah,” jawab Bagas sambil melirik sang abah sekilas. “Maaf, Kak. Pekerjaan di sini tidak bisa aku tinggal. Lebih menyedihkan lagi, kontrak diperpanjang satu tahun. Aku pun tidak bisa mengelak karena ini demi masa depan karierku. Kakak tidak keberatan kan menunggu?” “Lalu bagaim

  • Sweet Husband   Pertemuan Dua Keluarga

    Hiruk-pikuk pesantren di tengah hari menyambut kedatangan Bagas dan Nilna yang diiringi oleh beberapa warga. Beruntung, cuaca masih mendung, sehingga dapat berteman baik dengan keadaan yang menguras tenaga. Terlihat banyak santri yang berduyun-duyun menuju pondok. Sepertinya, mereka baru saja selesai melaksanakan salat duhur berjamaah di masjid. Seperti biasa, Abah Rasyid, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mannan yang baru selesai memimpin salat tengah berjalan pelan menyusuri pelataran masjid menuju ndalem. Keadaan menjadi tak biasa ketika mereka melihat arakan yang tak lazim ini. Mereka jadi enggan meneruskan langkah karena terheran-heran melihat putra Abah, Gus Bagas, sedang diarak oleh warga bersama dengan seorang gadis. “Ada apa ini?” Abah Rasyid memfokuskan penglihatan yang mulai kabur pada keramaian yang terjadi di depannya. Memastikan jika mungkin ia salah lihat bahwa pria yang berdiri di depannya bukanlah sang anak. Ketika semakin mendekat, ia sangat kecewa ternyata dugaannya be

  • Sweet Husband   Mencuri Pandang

    Peluh keringat membasahi tubuh Bagas, tak terasa mentari pun menyibakkan hawa sejuk yang sedari pagi mengiringi aktivitas pria itu. Kini cuaca beralih menjadi panas, menyurutkan siapa saja yang masih kekeh berkutat di bawahnya. Ia harus cepat-cepat memulangkan beberapa lembar kertas yang telah ditandatangani oleh ketua RT setempat. “Alhamdulillah, semua berkas sudah beres, tinggal setor ke balai desa besok.” Bagas memacu langkah lebih cepat. Entah kenapa hari ini ia sangat semangat, membayangkan berdua dengan Qaila, sang pujaan hati, di hari pernikahan nanti. Langkah kaki pria itu berderap, menciptakan ritme yang menggugah antusiasme semesta untuk ikut bersuka ria. “Hei, Kang!" seru Wahyu, kawan Bagas. Ia terlihat sibuk menyemprot satwa di sangkar kecil yang tergantung di atap teras rumah. “Urusanmu udah selesai?” lanjutnya basa-basi. “Iya, udah plong banget.” Bagas menghentikan langkah sebentar. “ Wuih, ada yang mau dapet jodoh nih, uhuy!” godanya renyah. Bagas pun hanya tersipu m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status