Share

Bab 3. Sah!

Penulis: Dwi Maula
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-05 14:37:46

“Kalau begitu, bisakah calonmu hadir dalam waktu dekat?” tanya Abah dengan seksama. Ia membenarkan kaca mata yang sedikit turun. Nada suaranya terdengar tenang, tapi sorot matanya meminta kejelasan.

 

 Bagas menghela napas lega. Emosinya campur aduk karena saat ini adalah penentu jalan hidupnya. Ia tahu, dalam satu panggilan telepon, nasibnya bisa berubah.

 

Cahaya siang menyelinap dari celah jendela. Memberikan sentuhan hangat pada dua keluarga yang tengah mencari titik terang.

 

Bagas merogoh saku dan mengeluarkan ponsel, lalu mulai menghubungi seseorang. Dengan jari yang bergetar, pria itu mengetik nomor yang telah ia hafal di luar kepala. Berharap suara di seberang dapat menyelamatkan hidupnya.

 

“Assalamualaikum, hallo?” Bagas memberi salam setelah panggilannya terjawab. Ia mengaktifkan speaker. Membiarkan semua yang hadir bisa mendengar.

 

 “Waalaikumussalam,” jawab seseorang dari seberang.

 

“Tumben sekali, Kakak menelepon. Apa ada hal penting?” lanjutnya lagi.

 

“Begini, aku ingin mengundangmu ke Kediri. Bertemu Abah,” jawab Bagas sambil melirik sang ayah sekilas.

 

“Maaf, Kak. Pekerjaan di sini tidak bisa aku tinggal. Lebih menyedihkan lagi, kontrak diperpanjang satu tahun. Aku tidak bisa mengelak karena ini demi masa depan karierku. Kakak tidak keberatan kan ... menunggu?” papar Qaila ragu. Suaranya terdengar datar.

 

Bagas terdiam sejenak. Mengatur napas yang kian menyesakkan. Namun, ia kembali lagi dengan suara tegas.

 

“Lalu bagaimana dengan surat yang sudah kuurus, Qaila? Kamu bilang akan ke sini kan lima hari lagi?” desak Bagas lagi. Nadanya mulai meninggi. Kesabarannya perlahan menipis.

 

“Sekali lagi, maaf, Kak. Aku belum bisa menikah sekarang. Tapi, aku tetap menerima lamaranmu. Insya Allah, tahun depan kita menikah.”

 

“Tidak bisa, Qaila. Suatu hal mengharuskan aku menikah secepatnya. Kalau kamu tidak bisa sekarang, berarti posisimu akan digantikan orang lain. Ini menyangkut kehormatan keluarga dan pesantren. Maaf, Qaila. Ini akhir kita. Assalamualaikum.”

 

Sambungan terputus. Kali ini, Bagas nyaris membeku. Ia tak menyangka pujaan hatinya berlaku setega itu.

 

Setelah semua rencana dan berkas yang telah ia perjuangkan. Mimpi yang selama ini ia tunggu, hancur dalam seketika.

 

Hening. Hanya detak jam tua yang melekat di dinding.

 

 “Sudah jelas, kan?”  Abah angkat bicara, meminta kepastian. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menghela napas berat.

 

Suasana tenang yang sedari tadi melekat kini sedikit goyah.

 

 Bagas mendongak, menetralkan perasaan yang berisik. Sekarang, ia tak punya cukup tenaga untuk berdebat.

 

“Kalau begitu, saya akan mempersilakan Bapak, Ibu, maupun Nilna. Barang kali ada sanggahan atau merasa kurang puas dengan perjodohan ini?”

 

Abah menghimpun beberapa berkas yang telah terkumpul di meja. Dokumen milik Nilna telah siap untuk diajukan sebagai persyaratan nikah.

 

“Maaf, Bah. Usia saya baru delapan belas tahun. Sepertinya belum waktunya untuk menikah,” ungkap Nilna takut-takut. Tanpa sadar, ia sedikit meremas tangan sang ibu. Tatapannya tampak mencari perlindungan.

 

“Nilna, gak papa, Nduk,” ucap sang ibu menenangkan putrinya. Ia membelai lembut kepala sang putri. “Maaf, Bah. Anak saya ini memang sedikit bandel,” jelas Bu Mahya, ibunda Nilna. Abah pun terkekeh pelan.

 

Bu Mahya membingkai wajah sang putri dengan kedua tangannya, lalu membelai pelan.  

 

“Dua puluh satu tahun itu untuk anak yang manut dan bisa dipercaya untuk mempertanggungjawabkan pendidikannya. Lha ini, baru 18 tahun kamu bikin Ibu pusing dan kabur dari pondok.

 

Apa gak bahaya buat kamu, Nduk? Kamu sudah melenyapkan kepercayaan Ibu dengan tingkahmu sendiri. Sekarang, terima keputusan kami sebagai konsekuensi atas perbuatanmu,” tutur sang ibu pada putrinya.

 

Ia menatap mata sang putri dengan lembut tapi tegas. Tak ada lagi yang bisa dibantah. Nilna terdiam, hanya bisa menurut dan berbesar hati.

 

“Hmm, kenapa aku gak seneng aja? Kan kalau nikah, aku jadi bebas dari orang tua dan pesantren. Kenapa gak kepikiran dari tadi coba,” celoteh Nilna dalam hati.

 

Ia tersenyum tipis. Membayangkan kehidupan setelah menikah itu menyenangkan. Terbebas dari tekanan orang tua dan pesantren. Namun, benarkah begitu?

 

***

 

Pagi itu, udara berembus pelan, membawa butir-butir embun yang basah. Aula pesantren Al-Mannan dipenuhi dengan antusiasme dan kegembiraan.

 

Suara perkusi dari rebana terdengar nyaring. Berpadu dengan alunan salawat yang tampak mendayu dan menyentuh hati. Menambah riuh ramai dan semaraknya acara.

 

Dekorasi indah telah tersaji sejak malam lalu. Menciptakan suasana yang romantis dan sakral. Para santri dan perewang sudah mulai berdatangan.

 

Mereka tampak gembira menyambut pasangan pengantin yang akan menikah hari ini.

 

Di ruang rias, Nilna, pengantin wanita sedang menyelesaikan persiapan terakhir dengan bantuan keluarga dan teman-temannya.

 

 “Wahh, cantik banget Nilna,” celetuk Zia tiba-tiba. Ia baru saja datang karena harus rewang di bagian dapur sebelumnya.

 

“Zia, aku kemarin berpikir kalau nikah aku bakal bebas dari tekanan orang tuaku dan pesantren. Tapi, kok sekarang aku jadi sedih, ya?” ucap Nilna dengan nada sendu.

 

Emosinya kian bergejolak. Ia bahkan tak tahu harus menerima atau memberontak.

 

Mendengar itu, Zia terdiam sejenak. Tatapannya menangkap kegelisahan di wajah Nilna.

 

“Kenapa sedih, sih?” Zia mencoba mencairkan suasana. “Beruntung loh kamu bisa nikah sama seorang gus. Udah ganteng, dewasa lagi,” ungkap Zia, berusaha menenangkan sang sahabat.

 

“Ya ... gimana? Dulu aku ngebayangin masa remaja yang penuh dengan kesenangan dan kesuksesan. Namun, sekarang udah pupus karena  menjadi istri orang dan ibu rumah tangga.”

 

Nilna tersenyum getir. Ia menyadari, itu semua adalah konsekuensi yang harus ditelan. Demi mempertanggungjawabkan ketidaksabarannya dalam berproses.

 

“Gak papa lagi.” Zia menuntun Nilna untuk duduk. “Jadiin pelajaran dan dibawa happy aja,” pungkasnya tenang. Tangannya membawa segelas teh hangat untuk menenangkan Nilna yang akan menikah pagi ini.

 

Bagas, sang pengantin pria juga sedang mempersiapkan diri di ruang lain, ditemani oleh Wahyu yang sibuk memakaikan jas untuknya.

 

Setelan jas navi dan kemeja putih itu memancarkan wibawa. Namun, sorot mata pria itu tetap gugup.

 

Pukul delapan pagi, acara ijab kabul segera dimulai. Tamu undangan sudah siap menyaksikan prosesi pernikahan ini.

 

Pengantin pria dan wanita akan mengucapkan janji pernikahan di hadapan penghulu. Disaksikan oleh keluarga dan kerabat.

 

Suasana semakin hening ketika penghulu memulai prosesi ijab qobul. ”Yaa waladii Bagas Dipta Akhtara,” ucap penghulu dengan khidmat.

 

“Labbaik.” Bagas menjawab dengan lantang, mencoba menetralkan perasaan grogi yang menggebu karena disaksikan ratusan orang.

 

“Qobiltu nikaahaha watazwijaha bilmahril madzkuur. Haallaan.”

 

Ijab qabul telah menggema, mengikat kedua mempelai menjadi sepasang kekasih yang sah. Perasaan yang semula tegang, kini berangsur melunak.

 

Namun, ada kesedihan yang meliputi kedua mempelai. Karena sama-sama menikah tanpa cinta.

 

Semua tamu undangan juga terharu, menyaksikan momen epik ini dengan penuh suka cita.

 

Prosesi inti selesai, mereka akan memulai hidup baru bersama. Belum ada cinta yang hadir. Hanya janji dan nama baik yang menjadi pondasi kuat.

 

Semua tamu undangan memberikan ucapan selamat dan doa terbaik untuk pasangan pengantin yang baru menikah.

 

Mereka telah sah sebagai suami istri. Namun, cinta mereka masih menunggui waktu untuk tumbuh.

 

Nilna menunduk, menyembunyikan rasa bingungnya. Ia resmi menjadi istri seorang Gus. Namun, hatinya belum tahu cara menjadi istri. Hari itu, pesta telah usai, tapi babak baru saja dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 75. Rumah Sejati

    “Iya, Bah. Benar apa kata Mas Zidni.” Pandangan Bagas beredar, dan menetap sejenak ke sorot mata Zidni. Lalu melanjutkan, “Tentunya, kami sedang berusaha untuk melakukan yang terbaik.” Kalimat itu meluncur dengan tenang, meski ada gugup yang tersembunyi. Namun, hanya Nilna yang dapat merasakan gugupnya Bagas. Hati Nilna berdenyut ngilu. Ia mengerti, jawaban dari sang suami tak pernah menyinggung dirinya yang belum mampu menjadi istri seutuhnya. Diam-diam, wanita muda itu ingin mengutuk diri sendiri.“Ayo, Nilna! Sudah nggak ada waktu lagi buat kamu! Kamu harus bisa jadi istri selayaknya mulai sekarang!” serunya dalam hati.Di hadapan mereka, Abah Rasyid mengangguk samar. Jemari keriputnya mengetuk pelan permukaan meja. Sekali, dua kali. Tidak ada raut amarah yang menetap, hanya sorot penuh pertimbangan. “Hm,” ucapnya pendek. Seolah benar-benar menangkap gestur kejujuran dari putra bungsunya.Salwa hampir kehilangan kendali. Wajahnya mengetat dengan raut wajah sewot dan tak suka. Hati

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 74. Melangkah Lebih Jauh

    "Kalau sampai ada celah, keluarga kita bisa jadi sasaran.” Bagas menyelesaikan pendapatnya dengan kening yang berkerut. Hidungnya membuang napas dengan cepat, lalu meletakkan map ke atas meja. Tubuhnya tertopang di sandaran kursi, dengan rasa gundah yang merambat.Abah Rasyid mengangguk tipis, dan menyahut, “Sudah Abah duga. Makanya, musyawarah ini bukan hanya soal bisnis, tapi keberkahan keluarga adalah tetap yang utama. Kalau niatnya bersih, pasti akan dimudahkan!”Hening kembali mengambil alih. Angin sore berdesir melalui celah jendela kayu, mengibaskan tirai tipis dengan lembut.Di tengah suasana yang masih serius, Nilna diam-diam menjulurkan pandangan. Seketika, sepasang manik pekat dari Bagas menyambutnya. Singkat, dan buru-buru ia tarik lagi. Detik itu, cukup untuk membuat dada Nilna kembali bergetar tak beraturan. ‘Mas, bahkan di tengah suasana serius ini, bayangan semalam masih menempel di pikiranku! Apa ini benaran pertanda, kalau sudah waktunya untuk melangkah lebih jauh?’

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 73. Kilau Jernih

    Langkah Nilna terasa berat ketika memasuki ndalem sang mertua, sekaligus guru besarnya, Abah Rasyid. Di sisi kiri dengan sedikit lebih maju, Bagas berjalan dengan langkah jenjang yang terlihat lebih tenang. Bagas menyadari hal itu, lalu menoleh ke arah istrinya, dan mundur selangkah untuk menyejajarkan posisi berjalan. Ia menurunkan wajah, menatap sepasang kilau jernih di mata istrinya, lalu berkata, “Tenang, Dek. Semua tak lepas dari rencana Allah.”Nilna yang mendengar itu seketika menjawab, “Iya, Mas. Aku mengerti.” Diiringi dengan anggukan kecil dan senyum tipis.Bagas kembali meluruskan pandangan, dan kembali berjalan dengan menggenggam tangan Nilna.Ketika tiba di ambang pintu ndalem, aroma kayu jati tua berpadu dengan wangi khas kopi tubruk. Menampar kehadiran mereka dengan seuntai ketenangan yang tak bisa disamakan di tempat mana pun. Di balai depan yang klasik dan sederhana, kursi-kursi rotan telah disusun melingkar. Abah Rasyid duduk di tengah, dengan sorot mata yang teduh

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 72. Tanda Tanya Besar

    “Nggak apa-apa kalau sekarang Adek hanya mampu pegang tangan Mas dulu. Itu pun sudah baik karena Adek sudah ada kemauan. Hm?”Deg!Kalimat itu meluncur dengan halus, tetapi bagai panah lancip yang menusuk ego Nilna. Nilna merasa malam ini tak sama dengan malam kelam yang ia kenal sebelumnya. Malam ini, Bagas bukan lagi seorang perampas yang harus ditakuti. Suaminya sekarang menjadi penanti yang rela menghabiskan waktu hingga berabad-abad. Asalkan pintu terbuka dengan hati Nilna yang rela!Nilna tertunduk lagi, dengan bahu yang berguncang kecil. Air mata terjun bebas tanpa sempat memberi aba-aba. Nada bicaranya terdengar sendu saat berucap, “Aku, udah nggak takut lagi, Mas. Aku sudah mengakhiri rasa takutku yang tak berujung itu!”Saat mengucapkan kalimat itu, Nilna kembali mengangkat wajah tanpa ragu. Bagas yang melihat istrinya mampu duduk tanpa goyah, kembali mengembangkan senyum kecil. Lalu menyematkan rambut Nilna kembali ke belakang telinga.“Itu saja sudah jadi anugerah terinda

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 71. Nyaris Patah

    Tangan Nilna bergetar saat meraih gagang pintu yang sedikit terbuka. Ia kembali sibuk dengan hatinya sendiri dan berucap, “Ya Allah, apa aku benar-benar bisa malam ini? Tapi, aku harus benar-benar bisa!”Sesaat berlalu, ia ingin berbalik, lari, entah ke mana. Namun, bayangan wajah teduh Bagas menamparnya dengan lembut. Kedua mata Bagas yang hitam pekat dan bersih tadi berkaca-kaca, dengan suara isakan yang memanggil Nilna, “Dek ….”“Suamiku harusnya bahagia. Tetapi, karena aku yang lemah dan egois membuatnya rapuh. Kalau bukan sekarang aku mengakhirinya, kapan lagi?”Kriettt ….Tangan Nilna tak sadar telah mendorong pintu hingga terbuka bertambah lebar! Cahaya lampu kamar yang redup menyambut langkah kecilnya yang terasa berat. Dari ambang pintu, Nilna dapat menatap secara jelas sepasang manik berwarna hitam bening, memantulkan cahaya lampu dengan lembut. Ada setitik putih yang dapat Nilna tangkap dari setiap manik itu.Bagas duduk di sisi ranjang, dengan tubuh tegap yang sedikit mem

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 70. Garis Takdir Baru

    Bagas menyipitkan mata, dengan tubuh yang kembali menegang. Ia merasa seperti seorang predator yang bersiap menerkam mangsa! “ … akan coba, ya!” Nilna merasa lega karena telah berhasil menyelesaikan ucapannya, tetapi ada sejumput rasa takut dan ragu yang masih mengiringi. Glar! Bagas terperangah. Ucapan Nilna bagai petir yang mengagetkan karena muncul saat cuaca cerah. Kelopak mata pria berkaos biru itu mulai menahan genangan air yang meronta keluar. Ia bahkan sedikit tertawa karena belum percaya apa yang baru saja didengar. “Dek,” panggilnya sedikit terisak, dengan suara yang bergetar. Entah mengapa rasa bahagia membuatnya tak kuasa untuk menahan tangis. Beberapa tetes air telah terjun bebas dan habis di tengah garis wajah yang tegas. Pipi merah Nilna ia bingkai, dan diraihlah ke dalam pelukan lagi. Nilna hanya menurut dengan patuh. Wanita berumur dua puluh tahun itu sepenuhnya telah sadar. Suaminya sama sekali tak jahat. Hal yang Bagas minta adalah manusiawi. Namun, kilas bali

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status