Masuk“Kalau begitu, bisakah calonmu hadir dalam waktu dekat?” tanya Abah dengan seksama. Ia membenarkan kaca mata yang sedikit turun. Nada suaranya terdengar tenang, tapi sorot matanya meminta kejelasan.
Bagas menghela napas lega. Emosinya campur aduk karena saat ini adalah penentu jalan hidupnya. Ia tahu, dalam satu panggilan telepon, nasibnya bisa berubah. Cahaya siang menyelinap dari celah jendela. Memberikan sentuhan hangat pada dua keluarga yang tengah mencari titik terang. Bagas merogoh saku dan mengeluarkan ponsel, lalu mulai menghubungi seseorang. Dengan jari yang bergetar, pria itu mengetik nomor yang telah ia hafal di luar kepala. Berharap suara di seberang dapat menyelamatkan hidupnya. “Assalamualaikum, hallo?” Bagas memberi salam setelah panggilannya terjawab. Ia mengaktifkan speaker. Membiarkan semua yang hadir bisa mendengar. “Waalaikumussalam,” jawab seseorang dari seberang. “Tumben sekali, Kakak menelepon. Apa ada hal penting?” lanjutnya lagi. “Begini, aku ingin mengundangmu ke Kediri. Bertemu Abah,” jawab Bagas sambil melirik sang ayah sekilas. “Maaf, Kak. Pekerjaan di sini tidak bisa aku tinggal. Lebih menyedihkan lagi, kontrak diperpanjang satu tahun. Aku tidak bisa mengelak karena ini demi masa depan karierku. Kakak tidak keberatan kan ... menunggu?” papar Qaila ragu. Suaranya terdengar datar. Bagas terdiam sejenak. Mengatur napas yang kian menyesakkan. Namun, ia kembali lagi dengan suara tegas. “Lalu bagaimana dengan surat yang sudah kuurus, Qaila? Kamu bilang akan ke sini kan lima hari lagi?” desak Bagas lagi. Nadanya mulai meninggi. Kesabarannya perlahan menipis. “Sekali lagi, maaf, Kak. Aku belum bisa menikah sekarang. Tapi, aku tetap menerima lamaranmu. Insya Allah, tahun depan kita menikah.” “Tidak bisa, Qaila. Suatu hal mengharuskan aku menikah secepatnya. Kalau kamu tidak bisa sekarang, berarti posisimu akan digantikan orang lain. Ini menyangkut kehormatan keluarga dan pesantren. Maaf, Qaila. Ini akhir kita. Assalamualaikum.” Sambungan terputus. Kali ini, Bagas nyaris membeku. Ia tak menyangka pujaan hatinya berlaku setega itu. Setelah semua rencana dan berkas yang telah ia perjuangkan. Mimpi yang selama ini ia tunggu, hancur dalam seketika. Hening. Hanya detak jam tua yang melekat di dinding. “Sudah jelas, kan?” Abah angkat bicara, meminta kepastian. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menghela napas berat. Suasana tenang yang sedari tadi melekat kini sedikit goyah. Bagas mendongak, menetralkan perasaan yang berisik. Sekarang, ia tak punya cukup tenaga untuk berdebat. “Kalau begitu, saya akan mempersilakan Bapak, Ibu, maupun Nilna. Barang kali ada sanggahan atau merasa kurang puas dengan perjodohan ini?” Abah menghimpun beberapa berkas yang telah terkumpul di meja. Dokumen milik Nilna telah siap untuk diajukan sebagai persyaratan nikah. “Maaf, Bah. Usia saya baru delapan belas tahun. Sepertinya belum waktunya untuk menikah,” ungkap Nilna takut-takut. Tanpa sadar, ia sedikit meremas tangan sang ibu. Tatapannya tampak mencari perlindungan. “Nilna, gak papa, Nduk,” ucap sang ibu menenangkan putrinya. Ia membelai lembut kepala sang putri. “Maaf, Bah. Anak saya ini memang sedikit bandel,” jelas Bu Mahya, ibunda Nilna. Abah pun terkekeh pelan. Bu Mahya membingkai wajah sang putri dengan kedua tangannya, lalu membelai pelan. “Dua puluh satu tahun itu untuk anak yang manut dan bisa dipercaya untuk mempertanggungjawabkan pendidikannya. Lha ini, baru 18 tahun kamu bikin Ibu pusing dan kabur dari pondok. Apa gak bahaya buat kamu, Nduk? Kamu sudah melenyapkan kepercayaan Ibu dengan tingkahmu sendiri. Sekarang, terima keputusan kami sebagai konsekuensi atas perbuatanmu,” tutur sang ibu pada putrinya. Ia menatap mata sang putri dengan lembut tapi tegas. Tak ada lagi yang bisa dibantah. Nilna terdiam, hanya bisa menurut dan berbesar hati. “Hmm, kenapa aku gak seneng aja? Kan kalau nikah, aku jadi bebas dari orang tua dan pesantren. Kenapa gak kepikiran dari tadi coba,” celoteh Nilna dalam hati. Ia tersenyum tipis. Membayangkan kehidupan setelah menikah itu menyenangkan. Terbebas dari tekanan orang tua dan pesantren. Namun, benarkah begitu? *** Pagi itu, udara berembus pelan, membawa butir-butir embun yang basah. Aula pesantren Al-Mannan dipenuhi dengan antusiasme dan kegembiraan. Suara perkusi dari rebana terdengar nyaring. Berpadu dengan alunan salawat yang tampak mendayu dan menyentuh hati. Menambah riuh ramai dan semaraknya acara. Dekorasi indah telah tersaji sejak malam lalu. Menciptakan suasana yang romantis dan sakral. Para santri dan perewang sudah mulai berdatangan. Mereka tampak gembira menyambut pasangan pengantin yang akan menikah hari ini. Di ruang rias, Nilna, pengantin wanita sedang menyelesaikan persiapan terakhir dengan bantuan keluarga dan teman-temannya. “Wahh, cantik banget Nilna,” celetuk Zia tiba-tiba. Ia baru saja datang karena harus rewang di bagian dapur sebelumnya. “Zia, aku kemarin berpikir kalau nikah aku bakal bebas dari tekanan orang tuaku dan pesantren. Tapi, kok sekarang aku jadi sedih, ya?” ucap Nilna dengan nada sendu. Emosinya kian bergejolak. Ia bahkan tak tahu harus menerima atau memberontak. Mendengar itu, Zia terdiam sejenak. Tatapannya menangkap kegelisahan di wajah Nilna. “Kenapa sedih, sih?” Zia mencoba mencairkan suasana. “Beruntung loh kamu bisa nikah sama seorang gus. Udah ganteng, dewasa lagi,” ungkap Zia, berusaha menenangkan sang sahabat. “Ya ... gimana? Dulu aku ngebayangin masa remaja yang penuh dengan kesenangan dan kesuksesan. Namun, sekarang udah pupus karena menjadi istri orang dan ibu rumah tangga.” Nilna tersenyum getir. Ia menyadari, itu semua adalah konsekuensi yang harus ditelan. Demi mempertanggungjawabkan ketidaksabarannya dalam berproses. “Gak papa lagi.” Zia menuntun Nilna untuk duduk. “Jadiin pelajaran dan dibawa happy aja,” pungkasnya tenang. Tangannya membawa segelas teh hangat untuk menenangkan Nilna yang akan menikah pagi ini. Bagas, sang pengantin pria juga sedang mempersiapkan diri di ruang lain, ditemani oleh Wahyu yang sibuk memakaikan jas untuknya. Setelan jas navi dan kemeja putih itu memancarkan wibawa. Namun, sorot mata pria itu tetap gugup. Pukul delapan pagi, acara ijab kabul segera dimulai. Tamu undangan sudah siap menyaksikan prosesi pernikahan ini. Pengantin pria dan wanita akan mengucapkan janji pernikahan di hadapan penghulu. Disaksikan oleh keluarga dan kerabat. Suasana semakin hening ketika penghulu memulai prosesi ijab qobul. ”Yaa waladii Bagas Dipta Akhtara,” ucap penghulu dengan khidmat. “Labbaik.” Bagas menjawab dengan lantang, mencoba menetralkan perasaan grogi yang menggebu karena disaksikan ratusan orang. “Qobiltu nikaahaha watazwijaha bilmahril madzkuur. Haallaan.” Ijab qabul telah menggema, mengikat kedua mempelai menjadi sepasang kekasih yang sah. Perasaan yang semula tegang, kini berangsur melunak. Namun, ada kesedihan yang meliputi kedua mempelai. Karena sama-sama menikah tanpa cinta. Semua tamu undangan juga terharu, menyaksikan momen epik ini dengan penuh suka cita. Prosesi inti selesai, mereka akan memulai hidup baru bersama. Belum ada cinta yang hadir. Hanya janji dan nama baik yang menjadi pondasi kuat. Semua tamu undangan memberikan ucapan selamat dan doa terbaik untuk pasangan pengantin yang baru menikah. Mereka telah sah sebagai suami istri. Namun, cinta mereka masih menunggui waktu untuk tumbuh. Nilna menunduk, menyembunyikan rasa bingungnya. Ia resmi menjadi istri seorang Gus. Namun, hatinya belum tahu cara menjadi istri. Hari itu, pesta telah usai, tapi babak baru saja dimulai.Bab 124. PeduliBagas mendekatkan mulut ke telinga Nilna, persis seperti seorang detektif yang merencanakan misi rahasia.Nilna malah meringis geli, menjauhkan telinga dari sana, lalu mengusap-usapnya.“Gimana, dengar, nggak?” tanya Bagas dengan ekspresi datar.“Nggak.” Nilna menggeleng dengan wajah bingung. “Tadi aku belum dengar apa-apa, malah geli karena kayak kena tiup,” sambungnya polos.Bagas malah tergelak, lalu mengaku, “Aku memang belum bicara apa-apa tadi. Hanya ngembusin napas saja.”Nilna menyodok bahu Bagas dengan kesal. “Yang serius, dong!”Bagas kembali terbahak-bahak, dengan Nilna yang masih merengut.“Iya, iya!” Pria itu tak lagi berbisik, malah mengungkapkan rencananya dengan suara yang tenang dan jelas.….“Asna, apa kamu nggak ingin menikah kayak aku?” desak Nilna buru-buru, saat Asna kembali ke kursinya begitu selesai memesan menu makan siang di kantin kampus.“Apa?!” Karena kaget, tubuh Asna hampir terhuyung ke bawah. Kursi tempatnya duduk pun nyaris kabur karena
“Apa?! Nilna benaran sudah hamil, Nduk?” Air mata haru tak terbendung lagi, mengalir dengan deras di pipi putih Bu Mahya. Wanita berkerudung rabbani itu menatap Bagas dengan tatapan nyaris tak percaya. Ketika sorot matanya bertemu dengan tatapan Nilna, ada setitik hal asing yang belum ia mengerti.Mata Nilna mengerling lembut, basah oleh embun air mata yang siap terjun bebas. Ia hanya bungkam, tak kuasa harus berkata apa lagi. Semua orang begitu bahagia dengan kehadiran janin di perutnya. Namun, mengapa hawa dingin di hati kecilnya masih terasa?Sementara itu, Bagas membalas tatapan ibu mertuanya. Sorot matanya yang hitam begitu dalam saat berkata, “Iya, Bu. Alhamdulillah. Kedatangan kami ke sini memang untuk berbagi kabar bahagia itu.”Pak Ahkam ikut menyambung dengan penuh perhatian, “Waah, Bapak juga ikut senang banget ini. Jadi, berapa usia kandungan Nilna sekarang?”“Di minggu ini, menginjak minggu kelima, Pak,” jawab Bagas.Pak Ahkam manggut-manggut, lalu saling melempar pandan
Asna melotot tajam dengan perasaan tak terima, sementara Dafa malah tersenyum misterius, memandang dua wanita itu secara bergantian.Keributan pun terhenti begitu bel pertanda ujian dimulai berbunyi. Seluruh mahasiswa menghambur ke posisi duduk masing-masing, menenangkan diri untuk menyongsong materi yang diujikan.….“Dek, bagaimana kuliahmu tadi?” Suara pelan Bagas terdengar halus, seperti selimut bulu yang menenangkan tubuh.Di jok sampingnya, Nilna menjawab lirih, “Alhamdulillah, Mas. Ujiannya sangat menantang, tapi masih bisa aku selesaikan.” Nilna menoleh sejenak, melempar senyum tipis ke arah Bagas.“Oh, ya? Bagus, dong!” Bagas tampak antusias. Sembari menyetir, ia memyempatkan diri untuk mengulurkan tangan kiri, mengusap-usap kepala Nilna dengan penuh kasih.Dilihat dari cara merespon dan senyum Nilna yang ringan, Bagas merasa lega dan bersyukur. Sepertinya, Nilna dalam suasana hati yang baik.“Ya, Mas.” Mata Nilna berkilat, memancarkan kebahagiaan Bagas yang beberapa waktu in
“Apa!!?” Gebrakan serupa guntur menanggalkan senyuman Dafa. Pemuda itu nyaris ambruk di tempat, sementara otaknya tiba-tiba seperti berhenti berfungsi beberapa detik. Asna yang sadar telah melakukan kesalahan fatal sontak membungkam mulutnya, dengan dua bola mata yang membulat lebar. Di tengah kacau itu, Nilna hanya bisa meringis dengan perasaan campur aduk. Ia lantas tak kuat lagi dan melarikan diri, ingin menghilang dari tempat itu sekarang juga. Sementara itu, Dafa dan Asna kompak menyorot sosok Nilna yang makin menjauh, lalu sama-sama saling pandang dengan ekspresi rumit. “Dafa, kenapa kamu tiba-tiba muncul, sih? Kayak setan saja. Aku jadi keceplosan ini.” Asna bercerocos dengan galak, tetapi tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sepucat kertas. Apa lagi ini? Dafa hanya ingin lewat dan menyapa seperti biasa. Bukankah itu hal yang normal? Namun, kenapa ia yang disalahkan? Mahasiswa itu tak habis pikir, memasang wajah ketus saat menjawab, “Aku cuma lewat jalan umum, kenapa ka
Kabut di hati terasa pedih dan menyayat, saat Nilna kembali melihat diri sendiri yang teramat menyebalkan.Ya, Nilna merasa dirinya tak lebih dari seorang pecundang yang kekanak-kanakan. Bagaimana tidak? Ia sangat bodoh dengan ketidakberdayaan dalam menerima malaikat kecil di rahimnya.Akan tetapi, Nilna juga tak mau seperti ini. Dunia tetap berjalan seperti biasa. Jadi, ia memilih untuk menutup hati dan kembali fokus berkuliah.Ketika tiba di gerbang kampus, sosok ceria berteriak memanggilnya dari belakang.“Nilna!” Asna menyejajarkan langkah di samping Nilna yang telah masuk melewati gerbang. “Kamu cepat banget jalannya. Lagi buru-buru, ya?” sambungnya dengan napas yang masih memburu.Nilna terus melangkah sembari menatap Asna sekilas, lalu menyahut dengan suara ketus, “Iya, hari ini ‘kan hari pertama ujian semester enam. Kamu tahu, nggak?”Alis Asna sedikit berkerut karena merasakan tingkah sahabatnya yang tampak terburu-buru dan tidak setenang biasanya. Ia terus mempercepat langka
“Lalu, apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Bagas dengan ekspresi ingin menggali informasi yang jelas. Sebelah alis hitamnya terangkat.Nilna hanya menggeleng tak berdaya, dan menjawab dengan suara lirih, “Aku nggak tahu. Semenjak aku tahu kalau aku positif mengandung, hidupku jadi terasa nggak berarah.”Bagas menghela napas berat. Gurat wajahnya tampak begitu muram dan sulit dimengerti. Nilna menyadari akan hal itu. Ia memutuskan untuk menyudahi pembicaraan ini dengan mengatakan, “Kalau Mas sudah nggak capek, aku mau kita berlanjut ke penginapan, biar bisa beristirahat dengan baik di sana.”Pandangan Bagas jatuh ke arah Nilna sejenak, lalu terdengar ucapan, “Oke. Kita berangkat sekarang.”Kabut berangsur-angsur tipis begitu mereka kembali melaju dengan motor Viction yang menyusup stabil di jalan setapak menuju penginapan. Di sana, udara dingin menusuk dengan tenang, seolah mengingatkan tentang luasnya semesta dan kebesaran Tuhan, serta manusia adalah mahkluk lemah yang







