Home / Romansa / Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i / Bab 2. Pertemuan Dua Keluarga

Share

Bab 2. Pertemuan Dua Keluarga

Author: Dwi Maula
last update Last Updated: 2025-06-05 14:36:11

"Ada apa ini?” Abah Rasyid memfokuskan penglihatan yang mulai kabur. Ia sedikit menjinjing tongkat kayunya, lalu kembali menjejakkan ke permukaan tanah.

 

Udara panas perlahan merambat. Salat zuhur pun usai dilaksanakan. Segerombol santri tampak antusias melihat arak-arakan yang tak biasa. Alih-alih menuju pondok masing-masing, mereka tampak penasaran dan turut serta menambah kegaduhan yang terjadi.

 

“Maaf, Bah. Begini. Kami melihat mereka berduaan di depan kamar mandi musala sebelah. Diperparah dengan laki-laki yang lepas baju. Jadi kami menuntut untuk menikahkan mereka sekarang juga. Agar tidak menimbulkan fitnah yang semakin keruh.” Satu warga tengah menjelaskan dengan runtut.

 

Gus Bagas. Begitu kata orang memanggilnya. Kini tengah menjadi sorotan beratus pasang mata. Bukan karena prestasi dakwahnya. Bukan pula karena kepiawaian sebagai direktur.

 

Ia tengah diarak oleh warga bersama seorang santriwati. Berkat rumor yang menyebar dengan cepat.

 

“Tenang-tenang, mari kita bicara baik-baik,” tegas Abah Rasyid penuh penekanan. “Kita harus melakukan tabayyun agar tindakan selanjutnya tidak merugikan pihak manapun,” lanjutnya lagi.

 

“Jadi begini, izinkan saya untuk menjadi penengah mereka. Sebelum itu, saya ingin bertanya kepada laki-laki terlebih dulu.

 

Berhubung dia adalah anak saya, jadi sebisa mungkin akan bertindak seadil-adilnya.” Abah Rasyid berusaha membuka negosiasi dengan warga agar tidak terjadi keributan.

 

“Apa? Jadi pemuda ini adalah Gus Bagas yang dulu sering membantu saya memanen padi?” Pak Kasim, warga yang melapor terperangah. Ia hanya bisa menelan ludah dan tertunduk karena sungkan.

 

“Ya Allah, Gus, Anda sudah besar?” tanya Pak Kasim, mencoba mencairkan suasana. “Iya, Pak. Alhamdulillah,” jawab Bagas sopan.

 

“Masya Allah, saya gak tahu, kalau sampean ini Gus Bagas. Karena sejak tahun 2005, Gus sudah keluar kota,” ucap warga lain yang tak kalah heran.

 

“Tidak apa-apa, Pak. Ini hanya salah paham.” Bagas tersenyum lega karena menghirup angin kedamaian yang akan menyelesaikan masalah ini.

 

Begitu juga Nilna, ia pun jadi sedikit bertenaga dan mampu mendongakkan kepalanya yang sedari tadi tertunduk malu. Warga pun berangsur undur diri meninggalkan pelataran pesantren dan menyerahkan segala keputusan pada Abah Rasyid.

 

***

 

Hari telah berganti. Pagi ini, angin segar merambat perlahan. Terdengar sayup-sayup suara murojaah dari santri. Bait demi bait mereka lafalkan dengan seksama. Nadzom pun telah berpegang di tangan mereka. Kelas-kelas kembali tenang, dan siap untuk memulai pelajaran.

 

Terlihat dua orang santri tengah bercakap-cakap di sudut kelas.

 

“Na, kemarin kamu sempet jadi bahan arak-arakan, ya, sama tetangga pondok?” tanya Nara antusias. Ia membuka obrolan saat duduk santai di sela-sela waktu istirahat.

 

“Hmm, aku juga gak nyangka bakal kejadian hal kek gitu.” Nilna memainkan bolpoin dengan kedua jarinya. Ia mengusap wajah asal dan membenamkan ke dasar meja.

 

“Kamu, sih, nyoba kabur lagi. Emang enak diarak sama Gus Bagas, mau dinikahkan. Hmm, hidup kamu mujur banget, Na. Gak tanggung-tanggung. Karena kenakalan receh kek gitu bisa dinikahi sama gus.”

 

Dengan wajah cemberut, Nara berkelakar panjang lebar membayangkan nasib temannya yang sangat beruntung itu.

 

Nilna mendongak. “Apaan, sih? Orang kemaren abah diem aja. Kami gak jadi nikah, tahu!” lanjutnya dengan seruan penuh keyakinan.

 

“Nilna, kamu ditimbali Abah, diutus menghadap ke ndalem sekarang,” kata Zia, teman Nilna yang baru saja masuk kelas. Ia menyedot es dalam wadah plastik dan ikut duduk bersama Nilna dan Nara.

 

“Hah?” Nilna menggaruk kepala yang tidak gatal. Perasaannya berubah tidak enak.

 

“Ciee ... jadi dinikahin gus nih,” canda Nara semringah. Ia meringis lebar.

 

“Udah-udah, jangan berisik,” potong Nilna cepat. Ia langsung melengos dan berjalan meninggalkan kelas untuk memenuhi panggilan abah.

 

Di depan ndalem, ia berpapasan dengan Bagas. Pandangan mereka sempat bertemu. Namun, mereka buru-buru menunduk.

 

Bagas mendesah pelan. Ada gejolak hati yang belum dipahami

 

Di dalam, ternyata sudah ada Abah dan kedua orang tua Nilna.

 

“Bu, Pak, udah di sini ternyata?” tanya Nilna setengah berbisik. Ia beringsut mendekati kedua orang tuanya. Tanpa segan, ia pun bersalaman dengan mereka. Melepaskan rasa kangen setelah dua minggu tidak bertemu. Ia menghambur ke pelukan sang ibu dan saling bertatap.

 

“Begini, sebelumnya saya haturkan terima kasih atas kehadiran Bapak dan Ibu selaku orang tua Nilna.” Abah Rasyid membuka percakapan setelah mempersilakan tamu menikmati suguhan.

 

Mendengar itu, semua hanya tersenyum kecil dan menunduk. “Setelah insiden kemarin, saya telah bersepakat dengan Bapak dan Ibu, untuk menikahkan Bagas Dipta Akhtara, anak saya, dengan putri Bapak dan Ibu.

 

Kami bertiga sudah melakukan pertimbangan yang matang. Insya Allah, ini pilihan terbaik. Meski kesalahpahaman itu sudah terjelaskan, tapi ini adalah jalan Allah untuk mempertemukan mereka,” lanjutnya runtut.

 

Pak Ahkam, selaku ayah Nilna. Ia manggut-manggut setelah menyeruput kopi yang masih hangat. “Dengan senang hati, Bah. Mengingat Nilna sedikit memberontak dan sudah dua kali mencoba kabur dari pesantren, membuat saya kewalahan dan menyetujui saran dari Njenengan,” ungkapnya antusias.

 

Abah Rasyid berusaha rileks demi mesyawarah ini berjalan tidak terlalu tegang. Ia menyesap kopi yang telah tersaji di atas meja sebelumnya.

 

Memandangi satu persatu wajah orang yang berada di hadapannya. Memastikan ekspresi mereka tetap tenang. Karena bagaimanapun, ia tak ingin ada yang merasa terpaksa atas keputusan yang disetujui bersama.

 

Aroma kopi menguar ke udara, memasuki indra penciuman yang menciptakan hangatnya kebersamaan.

Asapnya juga masih mengepul, pertanda kehangatan masih tersimpan di balik secangkir kopi. Seperti dua keluarga saat ini yang sedang membangun kehangatan untuk menjadi satu keluarga.

 

Suasana perlahan bertambah berat. Bagas terdiam beberapa saat. Tatapan Abah Rasyid tertuju padanya. Ia tahu, kalimat yang ia ucapkan dapat menjadi penentu.

 

 Pria itu mendongak. Mencoba megumpulkan keberanian untuk menyampaikan pendapat yang ingin diutarakan.

 

“Maaf, Bah. Tapi, saya sudah punya calon istri. Rencananya mau saya ceritakan, tapi belum sempat,” ungkapnya sesopan dan setenang mungkin.

 

Mendengar itu, semua terdiam. Seluruh pasang mata tertegun. Menatap Bagas dengan nanar. Seolah semuanya berubah hanya karena satu kalimat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 75. Rumah Sejati

    “Iya, Bah. Benar apa kata Mas Zidni.” Pandangan Bagas beredar, dan menetap sejenak ke sorot mata Zidni. Lalu melanjutkan, “Tentunya, kami sedang berusaha untuk melakukan yang terbaik.” Kalimat itu meluncur dengan tenang, meski ada gugup yang tersembunyi. Namun, hanya Nilna yang dapat merasakan gugupnya Bagas. Hati Nilna berdenyut ngilu. Ia mengerti, jawaban dari sang suami tak pernah menyinggung dirinya yang belum mampu menjadi istri seutuhnya. Diam-diam, wanita muda itu ingin mengutuk diri sendiri.“Ayo, Nilna! Sudah nggak ada waktu lagi buat kamu! Kamu harus bisa jadi istri selayaknya mulai sekarang!” serunya dalam hati.Di hadapan mereka, Abah Rasyid mengangguk samar. Jemari keriputnya mengetuk pelan permukaan meja. Sekali, dua kali. Tidak ada raut amarah yang menetap, hanya sorot penuh pertimbangan. “Hm,” ucapnya pendek. Seolah benar-benar menangkap gestur kejujuran dari putra bungsunya.Salwa hampir kehilangan kendali. Wajahnya mengetat dengan raut wajah sewot dan tak suka. Hati

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 74. Melangkah Lebih Jauh

    "Kalau sampai ada celah, keluarga kita bisa jadi sasaran.” Bagas menyelesaikan pendapatnya dengan kening yang berkerut. Hidungnya membuang napas dengan cepat, lalu meletakkan map ke atas meja. Tubuhnya tertopang di sandaran kursi, dengan rasa gundah yang merambat.Abah Rasyid mengangguk tipis, dan menyahut, “Sudah Abah duga. Makanya, musyawarah ini bukan hanya soal bisnis, tapi keberkahan keluarga adalah tetap yang utama. Kalau niatnya bersih, pasti akan dimudahkan!”Hening kembali mengambil alih. Angin sore berdesir melalui celah jendela kayu, mengibaskan tirai tipis dengan lembut.Di tengah suasana yang masih serius, Nilna diam-diam menjulurkan pandangan. Seketika, sepasang manik pekat dari Bagas menyambutnya. Singkat, dan buru-buru ia tarik lagi. Detik itu, cukup untuk membuat dada Nilna kembali bergetar tak beraturan. ‘Mas, bahkan di tengah suasana serius ini, bayangan semalam masih menempel di pikiranku! Apa ini benaran pertanda, kalau sudah waktunya untuk melangkah lebih jauh?’

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 73. Kilau Jernih

    Langkah Nilna terasa berat ketika memasuki ndalem sang mertua, sekaligus guru besarnya, Abah Rasyid. Di sisi kiri dengan sedikit lebih maju, Bagas berjalan dengan langkah jenjang yang terlihat lebih tenang. Bagas menyadari hal itu, lalu menoleh ke arah istrinya, dan mundur selangkah untuk menyejajarkan posisi berjalan. Ia menurunkan wajah, menatap sepasang kilau jernih di mata istrinya, lalu berkata, “Tenang, Dek. Semua tak lepas dari rencana Allah.”Nilna yang mendengar itu seketika menjawab, “Iya, Mas. Aku mengerti.” Diiringi dengan anggukan kecil dan senyum tipis.Bagas kembali meluruskan pandangan, dan kembali berjalan dengan menggenggam tangan Nilna.Ketika tiba di ambang pintu ndalem, aroma kayu jati tua berpadu dengan wangi khas kopi tubruk. Menampar kehadiran mereka dengan seuntai ketenangan yang tak bisa disamakan di tempat mana pun. Di balai depan yang klasik dan sederhana, kursi-kursi rotan telah disusun melingkar. Abah Rasyid duduk di tengah, dengan sorot mata yang teduh

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 72. Tanda Tanya Besar

    “Nggak apa-apa kalau sekarang Adek hanya mampu pegang tangan Mas dulu. Itu pun sudah baik karena Adek sudah ada kemauan. Hm?”Deg!Kalimat itu meluncur dengan halus, tetapi bagai panah lancip yang menusuk ego Nilna. Nilna merasa malam ini tak sama dengan malam kelam yang ia kenal sebelumnya. Malam ini, Bagas bukan lagi seorang perampas yang harus ditakuti. Suaminya sekarang menjadi penanti yang rela menghabiskan waktu hingga berabad-abad. Asalkan pintu terbuka dengan hati Nilna yang rela!Nilna tertunduk lagi, dengan bahu yang berguncang kecil. Air mata terjun bebas tanpa sempat memberi aba-aba. Nada bicaranya terdengar sendu saat berucap, “Aku, udah nggak takut lagi, Mas. Aku sudah mengakhiri rasa takutku yang tak berujung itu!”Saat mengucapkan kalimat itu, Nilna kembali mengangkat wajah tanpa ragu. Bagas yang melihat istrinya mampu duduk tanpa goyah, kembali mengembangkan senyum kecil. Lalu menyematkan rambut Nilna kembali ke belakang telinga.“Itu saja sudah jadi anugerah terinda

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 71. Nyaris Patah

    Tangan Nilna bergetar saat meraih gagang pintu yang sedikit terbuka. Ia kembali sibuk dengan hatinya sendiri dan berucap, “Ya Allah, apa aku benar-benar bisa malam ini? Tapi, aku harus benar-benar bisa!”Sesaat berlalu, ia ingin berbalik, lari, entah ke mana. Namun, bayangan wajah teduh Bagas menamparnya dengan lembut. Kedua mata Bagas yang hitam pekat dan bersih tadi berkaca-kaca, dengan suara isakan yang memanggil Nilna, “Dek ….”“Suamiku harusnya bahagia. Tetapi, karena aku yang lemah dan egois membuatnya rapuh. Kalau bukan sekarang aku mengakhirinya, kapan lagi?”Kriettt ….Tangan Nilna tak sadar telah mendorong pintu hingga terbuka bertambah lebar! Cahaya lampu kamar yang redup menyambut langkah kecilnya yang terasa berat. Dari ambang pintu, Nilna dapat menatap secara jelas sepasang manik berwarna hitam bening, memantulkan cahaya lampu dengan lembut. Ada setitik putih yang dapat Nilna tangkap dari setiap manik itu.Bagas duduk di sisi ranjang, dengan tubuh tegap yang sedikit mem

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 70. Garis Takdir Baru

    Bagas menyipitkan mata, dengan tubuh yang kembali menegang. Ia merasa seperti seorang predator yang bersiap menerkam mangsa! “ … akan coba, ya!” Nilna merasa lega karena telah berhasil menyelesaikan ucapannya, tetapi ada sejumput rasa takut dan ragu yang masih mengiringi. Glar! Bagas terperangah. Ucapan Nilna bagai petir yang mengagetkan karena muncul saat cuaca cerah. Kelopak mata pria berkaos biru itu mulai menahan genangan air yang meronta keluar. Ia bahkan sedikit tertawa karena belum percaya apa yang baru saja didengar. “Dek,” panggilnya sedikit terisak, dengan suara yang bergetar. Entah mengapa rasa bahagia membuatnya tak kuasa untuk menahan tangis. Beberapa tetes air telah terjun bebas dan habis di tengah garis wajah yang tegas. Pipi merah Nilna ia bingkai, dan diraihlah ke dalam pelukan lagi. Nilna hanya menurut dengan patuh. Wanita berumur dua puluh tahun itu sepenuhnya telah sadar. Suaminya sama sekali tak jahat. Hal yang Bagas minta adalah manusiawi. Namun, kilas bali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status