Masuk"Ada apa ini?” Abah Rasyid memfokuskan penglihatan yang mulai kabur. Ia sedikit menjinjing tongkat kayunya, lalu kembali menjejakkan ke permukaan tanah.
Udara panas perlahan merambat. Salat zuhur pun usai dilaksanakan. Segerombol santri tampak antusias melihat arak-arakan yang tak biasa. Alih-alih menuju pondok masing-masing, mereka tampak penasaran dan turut serta menambah kegaduhan yang terjadi. “Maaf, Bah. Begini. Kami melihat mereka berduaan di depan kamar mandi musala sebelah. Diperparah dengan laki-laki yang lepas baju. Jadi kami menuntut untuk menikahkan mereka sekarang juga. Agar tidak menimbulkan fitnah yang semakin keruh.” Satu warga tengah menjelaskan dengan runtut. Gus Bagas. Begitu kata orang memanggilnya. Kini tengah menjadi sorotan beratus pasang mata. Bukan karena prestasi dakwahnya. Bukan pula karena kepiawaian sebagai direktur. Ia tengah diarak oleh warga bersama seorang santriwati. Berkat rumor yang menyebar dengan cepat. “Tenang-tenang, mari kita bicara baik-baik,” tegas Abah Rasyid penuh penekanan. “Kita harus melakukan tabayyun agar tindakan selanjutnya tidak merugikan pihak manapun,” lanjutnya lagi. “Jadi begini, izinkan saya untuk menjadi penengah mereka. Sebelum itu, saya ingin bertanya kepada laki-laki terlebih dulu. Berhubung dia adalah anak saya, jadi sebisa mungkin akan bertindak seadil-adilnya.” Abah Rasyid berusaha membuka negosiasi dengan warga agar tidak terjadi keributan. “Apa? Jadi pemuda ini adalah Gus Bagas yang dulu sering membantu saya memanen padi?” Pak Kasim, warga yang melapor terperangah. Ia hanya bisa menelan ludah dan tertunduk karena sungkan. “Ya Allah, Gus, Anda sudah besar?” tanya Pak Kasim, mencoba mencairkan suasana. “Iya, Pak. Alhamdulillah,” jawab Bagas sopan. “Masya Allah, saya gak tahu, kalau sampean ini Gus Bagas. Karena sejak tahun 2005, Gus sudah keluar kota,” ucap warga lain yang tak kalah heran. “Tidak apa-apa, Pak. Ini hanya salah paham.” Bagas tersenyum lega karena menghirup angin kedamaian yang akan menyelesaikan masalah ini. Begitu juga Nilna, ia pun jadi sedikit bertenaga dan mampu mendongakkan kepalanya yang sedari tadi tertunduk malu. Warga pun berangsur undur diri meninggalkan pelataran pesantren dan menyerahkan segala keputusan pada Abah Rasyid. *** Hari telah berganti. Pagi ini, angin segar merambat perlahan. Terdengar sayup-sayup suara murojaah dari santri. Bait demi bait mereka lafalkan dengan seksama. Nadzom pun telah berpegang di tangan mereka. Kelas-kelas kembali tenang, dan siap untuk memulai pelajaran. Terlihat dua orang santri tengah bercakap-cakap di sudut kelas. “Na, kemarin kamu sempet jadi bahan arak-arakan, ya, sama tetangga pondok?” tanya Nara antusias. Ia membuka obrolan saat duduk santai di sela-sela waktu istirahat. “Hmm, aku juga gak nyangka bakal kejadian hal kek gitu.” Nilna memainkan bolpoin dengan kedua jarinya. Ia mengusap wajah asal dan membenamkan ke dasar meja. “Kamu, sih, nyoba kabur lagi. Emang enak diarak sama Gus Bagas, mau dinikahkan. Hmm, hidup kamu mujur banget, Na. Gak tanggung-tanggung. Karena kenakalan receh kek gitu bisa dinikahi sama gus.” Dengan wajah cemberut, Nara berkelakar panjang lebar membayangkan nasib temannya yang sangat beruntung itu. Nilna mendongak. “Apaan, sih? Orang kemaren abah diem aja. Kami gak jadi nikah, tahu!” lanjutnya dengan seruan penuh keyakinan. “Nilna, kamu ditimbali Abah, diutus menghadap ke ndalem sekarang,” kata Zia, teman Nilna yang baru saja masuk kelas. Ia menyedot es dalam wadah plastik dan ikut duduk bersama Nilna dan Nara. “Hah?” Nilna menggaruk kepala yang tidak gatal. Perasaannya berubah tidak enak. “Ciee ... jadi dinikahin gus nih,” canda Nara semringah. Ia meringis lebar. “Udah-udah, jangan berisik,” potong Nilna cepat. Ia langsung melengos dan berjalan meninggalkan kelas untuk memenuhi panggilan abah. Di depan ndalem, ia berpapasan dengan Bagas. Pandangan mereka sempat bertemu. Namun, mereka buru-buru menunduk. Bagas mendesah pelan. Ada gejolak hati yang belum dipahami Di dalam, ternyata sudah ada Abah dan kedua orang tua Nilna. “Bu, Pak, udah di sini ternyata?” tanya Nilna setengah berbisik. Ia beringsut mendekati kedua orang tuanya. Tanpa segan, ia pun bersalaman dengan mereka. Melepaskan rasa kangen setelah dua minggu tidak bertemu. Ia menghambur ke pelukan sang ibu dan saling bertatap. “Begini, sebelumnya saya haturkan terima kasih atas kehadiran Bapak dan Ibu selaku orang tua Nilna.” Abah Rasyid membuka percakapan setelah mempersilakan tamu menikmati suguhan. Mendengar itu, semua hanya tersenyum kecil dan menunduk. “Setelah insiden kemarin, saya telah bersepakat dengan Bapak dan Ibu, untuk menikahkan Bagas Dipta Akhtara, anak saya, dengan putri Bapak dan Ibu. Kami bertiga sudah melakukan pertimbangan yang matang. Insya Allah, ini pilihan terbaik. Meski kesalahpahaman itu sudah terjelaskan, tapi ini adalah jalan Allah untuk mempertemukan mereka,” lanjutnya runtut. Pak Ahkam, selaku ayah Nilna. Ia manggut-manggut setelah menyeruput kopi yang masih hangat. “Dengan senang hati, Bah. Mengingat Nilna sedikit memberontak dan sudah dua kali mencoba kabur dari pesantren, membuat saya kewalahan dan menyetujui saran dari Njenengan,” ungkapnya antusias. Abah Rasyid berusaha rileks demi mesyawarah ini berjalan tidak terlalu tegang. Ia menyesap kopi yang telah tersaji di atas meja sebelumnya. Memandangi satu persatu wajah orang yang berada di hadapannya. Memastikan ekspresi mereka tetap tenang. Karena bagaimanapun, ia tak ingin ada yang merasa terpaksa atas keputusan yang disetujui bersama. Aroma kopi menguar ke udara, memasuki indra penciuman yang menciptakan hangatnya kebersamaan. Asapnya juga masih mengepul, pertanda kehangatan masih tersimpan di balik secangkir kopi. Seperti dua keluarga saat ini yang sedang membangun kehangatan untuk menjadi satu keluarga. Suasana perlahan bertambah berat. Bagas terdiam beberapa saat. Tatapan Abah Rasyid tertuju padanya. Ia tahu, kalimat yang ia ucapkan dapat menjadi penentu. Pria itu mendongak. Mencoba megumpulkan keberanian untuk menyampaikan pendapat yang ingin diutarakan. “Maaf, Bah. Tapi, saya sudah punya calon istri. Rencananya mau saya ceritakan, tapi belum sempat,” ungkapnya sesopan dan setenang mungkin. Mendengar itu, semua terdiam. Seluruh pasang mata tertegun. Menatap Bagas dengan nanar. Seolah semuanya berubah hanya karena satu kalimat.Bab 124. PeduliBagas mendekatkan mulut ke telinga Nilna, persis seperti seorang detektif yang merencanakan misi rahasia.Nilna malah meringis geli, menjauhkan telinga dari sana, lalu mengusap-usapnya.“Gimana, dengar, nggak?” tanya Bagas dengan ekspresi datar.“Nggak.” Nilna menggeleng dengan wajah bingung. “Tadi aku belum dengar apa-apa, malah geli karena kayak kena tiup,” sambungnya polos.Bagas malah tergelak, lalu mengaku, “Aku memang belum bicara apa-apa tadi. Hanya ngembusin napas saja.”Nilna menyodok bahu Bagas dengan kesal. “Yang serius, dong!”Bagas kembali terbahak-bahak, dengan Nilna yang masih merengut.“Iya, iya!” Pria itu tak lagi berbisik, malah mengungkapkan rencananya dengan suara yang tenang dan jelas.….“Asna, apa kamu nggak ingin menikah kayak aku?” desak Nilna buru-buru, saat Asna kembali ke kursinya begitu selesai memesan menu makan siang di kantin kampus.“Apa?!” Karena kaget, tubuh Asna hampir terhuyung ke bawah. Kursi tempatnya duduk pun nyaris kabur karena
“Apa?! Nilna benaran sudah hamil, Nduk?” Air mata haru tak terbendung lagi, mengalir dengan deras di pipi putih Bu Mahya. Wanita berkerudung rabbani itu menatap Bagas dengan tatapan nyaris tak percaya. Ketika sorot matanya bertemu dengan tatapan Nilna, ada setitik hal asing yang belum ia mengerti.Mata Nilna mengerling lembut, basah oleh embun air mata yang siap terjun bebas. Ia hanya bungkam, tak kuasa harus berkata apa lagi. Semua orang begitu bahagia dengan kehadiran janin di perutnya. Namun, mengapa hawa dingin di hati kecilnya masih terasa?Sementara itu, Bagas membalas tatapan ibu mertuanya. Sorot matanya yang hitam begitu dalam saat berkata, “Iya, Bu. Alhamdulillah. Kedatangan kami ke sini memang untuk berbagi kabar bahagia itu.”Pak Ahkam ikut menyambung dengan penuh perhatian, “Waah, Bapak juga ikut senang banget ini. Jadi, berapa usia kandungan Nilna sekarang?”“Di minggu ini, menginjak minggu kelima, Pak,” jawab Bagas.Pak Ahkam manggut-manggut, lalu saling melempar pandan
Asna melotot tajam dengan perasaan tak terima, sementara Dafa malah tersenyum misterius, memandang dua wanita itu secara bergantian.Keributan pun terhenti begitu bel pertanda ujian dimulai berbunyi. Seluruh mahasiswa menghambur ke posisi duduk masing-masing, menenangkan diri untuk menyongsong materi yang diujikan.….“Dek, bagaimana kuliahmu tadi?” Suara pelan Bagas terdengar halus, seperti selimut bulu yang menenangkan tubuh.Di jok sampingnya, Nilna menjawab lirih, “Alhamdulillah, Mas. Ujiannya sangat menantang, tapi masih bisa aku selesaikan.” Nilna menoleh sejenak, melempar senyum tipis ke arah Bagas.“Oh, ya? Bagus, dong!” Bagas tampak antusias. Sembari menyetir, ia memyempatkan diri untuk mengulurkan tangan kiri, mengusap-usap kepala Nilna dengan penuh kasih.Dilihat dari cara merespon dan senyum Nilna yang ringan, Bagas merasa lega dan bersyukur. Sepertinya, Nilna dalam suasana hati yang baik.“Ya, Mas.” Mata Nilna berkilat, memancarkan kebahagiaan Bagas yang beberapa waktu in
“Apa!!?” Gebrakan serupa guntur menanggalkan senyuman Dafa. Pemuda itu nyaris ambruk di tempat, sementara otaknya tiba-tiba seperti berhenti berfungsi beberapa detik. Asna yang sadar telah melakukan kesalahan fatal sontak membungkam mulutnya, dengan dua bola mata yang membulat lebar. Di tengah kacau itu, Nilna hanya bisa meringis dengan perasaan campur aduk. Ia lantas tak kuat lagi dan melarikan diri, ingin menghilang dari tempat itu sekarang juga. Sementara itu, Dafa dan Asna kompak menyorot sosok Nilna yang makin menjauh, lalu sama-sama saling pandang dengan ekspresi rumit. “Dafa, kenapa kamu tiba-tiba muncul, sih? Kayak setan saja. Aku jadi keceplosan ini.” Asna bercerocos dengan galak, tetapi tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sepucat kertas. Apa lagi ini? Dafa hanya ingin lewat dan menyapa seperti biasa. Bukankah itu hal yang normal? Namun, kenapa ia yang disalahkan? Mahasiswa itu tak habis pikir, memasang wajah ketus saat menjawab, “Aku cuma lewat jalan umum, kenapa ka
Kabut di hati terasa pedih dan menyayat, saat Nilna kembali melihat diri sendiri yang teramat menyebalkan.Ya, Nilna merasa dirinya tak lebih dari seorang pecundang yang kekanak-kanakan. Bagaimana tidak? Ia sangat bodoh dengan ketidakberdayaan dalam menerima malaikat kecil di rahimnya.Akan tetapi, Nilna juga tak mau seperti ini. Dunia tetap berjalan seperti biasa. Jadi, ia memilih untuk menutup hati dan kembali fokus berkuliah.Ketika tiba di gerbang kampus, sosok ceria berteriak memanggilnya dari belakang.“Nilna!” Asna menyejajarkan langkah di samping Nilna yang telah masuk melewati gerbang. “Kamu cepat banget jalannya. Lagi buru-buru, ya?” sambungnya dengan napas yang masih memburu.Nilna terus melangkah sembari menatap Asna sekilas, lalu menyahut dengan suara ketus, “Iya, hari ini ‘kan hari pertama ujian semester enam. Kamu tahu, nggak?”Alis Asna sedikit berkerut karena merasakan tingkah sahabatnya yang tampak terburu-buru dan tidak setenang biasanya. Ia terus mempercepat langka
“Lalu, apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Bagas dengan ekspresi ingin menggali informasi yang jelas. Sebelah alis hitamnya terangkat.Nilna hanya menggeleng tak berdaya, dan menjawab dengan suara lirih, “Aku nggak tahu. Semenjak aku tahu kalau aku positif mengandung, hidupku jadi terasa nggak berarah.”Bagas menghela napas berat. Gurat wajahnya tampak begitu muram dan sulit dimengerti. Nilna menyadari akan hal itu. Ia memutuskan untuk menyudahi pembicaraan ini dengan mengatakan, “Kalau Mas sudah nggak capek, aku mau kita berlanjut ke penginapan, biar bisa beristirahat dengan baik di sana.”Pandangan Bagas jatuh ke arah Nilna sejenak, lalu terdengar ucapan, “Oke. Kita berangkat sekarang.”Kabut berangsur-angsur tipis begitu mereka kembali melaju dengan motor Viction yang menyusup stabil di jalan setapak menuju penginapan. Di sana, udara dingin menusuk dengan tenang, seolah mengingatkan tentang luasnya semesta dan kebesaran Tuhan, serta manusia adalah mahkluk lemah yang







