Masuk“Nilna Muna binti Ahkam Al-Hafiz, sekarang kamu sudah sah menjadi istriku,” ucap Bagas pelan, seperti ingin meyakinkan diri sendiri.
Nada suaranya rendah, tetapi menyimpan beban yang berat. Ia memandangi langit-langit rumah yang tampak kosong seperti hatinya. Diam-diam, ia mengepalkan tangan, seperti berusaha menahan sesuatu. Malam ini, cahaya redup dari ruang depan merambat pelan melalui ventilasi. Menyisakan sinar tipis yang menerangi mereka di dalam kamar. Nilna mendongak. “Iya, Kak,” jawabnya lirih. Ia terduduk lesu di sisi ranjang. Tangan kecilnya menyembunyikan sebuah ponsel di balik selimut. Ia bahkan belum percaya jika statusnya telah berubah menjadi istri. ‘Apa salah kalau aku pengen santai dulu? Apa itu namanya kekanak-kanakan?’ Sisa-sisa pesta masih terasa melekat. Rasa lelah dan gundah berkecamuk di tubuhnya. Kini, hanya sayup-sayup suara petugas yang tengah membereskan rumah. Nilna terperanjat. Ia merasakan getaran di sisi ranjang. Dalam sekejap, ia refleks menoleh. Memandangi Bagas yang telah duduk di sampingnya. Hening menyergap perlahan. Kini, hanya dua insan yang tersisa. Terikat dalam pernikahan halal, meski cinta belum hadir di hati mereka. “Di mana etikamu padaku? Saat malam pertama begini, kamu tetap sibuk dengan ponselmu?” hardik Bagas tegas. Ia hanya ingin sang istri lebih menjaga sikap. “Maaf, Kak.” Nilna menunduk, meremas selimut tanpa tujuan. “Aku belum bisa ngelakuin itu karena aku masih pengen nikmatin masa muda aku,” adunya jujur. Ia menelan ludah dan gugup. Belum terbiasa ditegur dengan tegas oleh pria selain ayahnya. “Kamu ini jangan ke-GR-an dulu. Tidak ada malam pertama seperti yang kamu pikirkan. Kamu ini masih terlalu kecil.” Perkataan Bagas memang benar adanya. Bahkan amat menusuk untuk remaja seperti Nilna. Kalimat itu bukan hanya penolakan, tetapi juga menyatakan ketidakdewasaan secara gamblang. Bagas menarik napas berat. Nada suaranya melunak. Dalam hati, ia amat tahu. Kalimat itu akan menyakiti hati istrinya. Anak kecil. Begitulah pikir Bagas saat menilai Nilna. Gadis itu lugu, kekanakan, dan terlalu muda untuk memahami makna pernikahan. Bagas menegakkan posisi duduk, lalu menoleh ke arah sang istri. “Walaupun sudah menikah, tapi itu hanya formalitas saja. Sampai waktu yang tidak ditentukan,” imbuhnya santai. Nilna terdiam beberapa saat. Hatinya seakan tertampar dengan kenyataan. Ia meremas ujung jilbab tanpa tujuan. ‘Ya Allah, formalitas? Apa aku memang tidak pantas dicintai Kak Bagas?’ Bagas melepas jas yang membuatnya gerah. Lalu menggantungnya di kapstok yang melekat di dinding kamar. Namun, bukankah Qaila dulu pernah remaja? Bukankah dulu dia yang ditunggu? Bukankah rumah ini disiapkan untuknya? Bagas menoleh ke sudut kamar. Tatapannya menyorot sebuah rak buku. Deretan novel tampak rapi dan bersih. Menghiasi detail kamar sehingga membuat lebih hidup. Itu semua adalah sisa kenangan dari Qaila, yang belum sempat ia sisihkan. “Aku hanya ingin setelah kamu merasa lebih baik. Kembalilah bersekolah dan lupakan perkataan konyol untuk menikmati masa mudamu itu. Masa muda bukan untuk bersenang-senang, tapi membangun masa depan,” pungkas pria itu datar. Tatapannya menerawang. Kenangan bersama Qaila menyusup perlahan. Seperti asap yang menyesakkan. Ia terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. Tangannya meraih jas kerja yang menggantung di kapstok. Melihat itu, Nilna tampak bingung dengan perasaan yang campur aduk. Ia hanya bisa menatap punggung Bagas yang perlahan menghilang. ‘Apa Kak Bagas gak suka sama aku? Apa benar aku ini masih kekanak-kanakan?’ Pertanyaan itu berkecamuk dalam benaknya. Bahkan, air mata pun tak sempat jatuh. **** Pukul empat pagi. Alarm berdering pelan. Bagas membuka mata perlahan. Pria itu bangkit dan meneguk air putih. Suara azan terdengar pelan saling menyahut. Setelah kesadaran terkumpul, ia melangkah pelan menuju keran air. Dingin perlahan menyusup kulit, menusuk, tapi ia tahan. “Dingin sekali pagi ini, apa bocah itu masih bergelut dengan selimutnya?” Bagas mendengus kesal. Ia berjalan menuju kamar sang istri. ‘Kalau anak itu belum bangun juga, berarti memang harus diajarkan sejak awal meski perlahan.’ Kamar ia buka perlahan. Masih gelap. Pria itu menyalakan lampu tanpa aba-aba. “Nilna, apa kamu tidak dengar azan tadi?” Bagas bertanya ketus sambil berkacak pinggang. Ucapan yang keras dan lampu yang terang membuat Nilna terbangun dan kaget. “Maaf, Kak. Aku udah salat, kok. Tapi capek banget karena resepsi pernikahan kita tadi malam. Jadi aku tidur lagi,” keluh Nilna. Ia membenarkan jilbab yang berantakan karena terbawa tidur. “Baiklah. Aku hanya ingin mengingatkan kewajibanmu,” ucap Bagas datar. Ia pun langsung melesat keluar kamar tanpa menunggu apapun. Saat mentari mulai meninggi, tiba-tiba Bagas merasa lapar. Entah kenapa, pagi ini tidak seperti biasa. Perutnya keroncongan seakan berteriak meminta untuk segera diisi. “Kak, ayo sarapan dulu,” ajak Nilna lembut. Tangannya tampak lihai menyajikan dua piring nasi goreng telur ke atas meja. Asap yang masih mengepul pertanda masakan baru matang. Aroma masakan itu perlahan menguar. Memperkuat rasa lapar yang sejak pagi meronta. Bagas menatap sang istri heran, tapi juga tak percaya. Ia duduk. Diam. Makan dengan lahap. ‘Ternyata, dia punya inisiatif juga.’ Setelah puas sarapan, Bagas tertegun. Ia tak sengaja memandangi sang istri yang sibuk memunguti piring bekas makan mereka. Ternyata, Nilna tidak seburuk yang ia bayangkan. Bahkan, meja makan pun telah terisi beberapa menu masakan yang berhasil membuatnya lahap pagi ini. “Kenapa kamu mau masak dan membersihkan rumah?” tanya Bagas acuh. Ia tidak mau terlihat lembek. Namun, ia benar-benar kagum melihat inisiatif Nilna. “Nggak papa, Kak. Habis bingung mau ngapain.” Nilna mengangkat tumpukan piring menuju wastafel dan mengguyurnya dengan air agar mudah dicuci nanti. Kebetulan, ia masih lelah dan ingin beristirahat sejenak. “Kamu tahu kan itu bukan tugasmu?” selidik Bagas. “Iya, tahu. Kebetulan aku buka kulkas ada bahan makanan mentah. Jadi, aku masak aja deh.” Nilna tersenyum datar. Ia tak tahu kenapa tingkah makhluk di depannya itu sangat dingin. Membuatnya malas berlama-lama untuk berinteraksi dengan sang suami. Dengan malas, Nilna berjalan menuju ruang tamu dan menjatuhkan diri ke sofa. Bagas memperhatikan Nilna yang masih memandang lurus ke depan. Ia mencoba memahami dan menyesuaikan dengan keadaan Nilna yang berusia jauh di bawahnya. Akan tetapi, ia masih sering terjerembab ke dalam sikap yang menyebalkan, meski sudah berusaha mengendalikannya. Karena pernikahan ini terlalu cepat dan berbanding terbalik dengan ekspektasinya. Hening. Hanya derap langkah Bagas yang terdengar. Ia berjalan pelan mendekati sang istri. “Mulai besok, Bu Hana akan menjadi asisten rumah tangga di sini. Jadi, kamu hanya fokus pada kegiatan sekolah,” jelas Bagas runtut. “Apa? Bener, Kak? Ya Allah, makasih, ya.” Nilna menoleh cepat. Mata itu langsung berbinar. Ia bangkit dan keluar sambil bernyanyi asal. Bagas menggeleng kepala menyaksikan tingkah remaja di masa sekarang. ’Anak-anak,’ batinnya. Namun, ia tersenyum kecil tanpa sadar. *** Hari ini, Nilna sudah merasa baikan. Jadi, ia diantar sang suami untuk bersekolah. Pondok Pesantren Al-Mannan adalah sekolah non formal. Jadi, siswi yang sudah menikah pun diperbolehkan melanjutkan pendidikannya. Seperti Nilna, ia menjadi santri laju. Sayup-sayup suara siswi yang heboh sedikit terdengar di telinga Bagas dan Nilna. Padahal, mobil baru saja berhenti. Nilna turun setelah pintu dibukakan oleh sang suami. Bukan apa-apa, Nilna masih belum terbiasa menaiki mobil. Ia belum begitu paham cara membukanya. “Makasih ya, Kak. Aku berangkat dulu,” ucap Nilna berpamitan, lalu menyodorkan tangan. Namun, Bagas tidak menanggapi. “Hmm, nanti kujemput pukul sebelas seperti yang kamu minta,” ungkap Bagas santai. Ia mengibaskan telapak tangan. Nilna pun tertunduk dan menarik tangannya kembali. “Apa aku terlalu berharap?” ratapnya sedih. Ia memandangi punggung Bagas nanar. Pria itu bahkan langsung pergi tanpa menoleh lagi. Nilna berbalik badan, lalu berjalan menyusuri pelataran pondok menuju kelasnya.Bab 124. PeduliBagas mendekatkan mulut ke telinga Nilna, persis seperti seorang detektif yang merencanakan misi rahasia.Nilna malah meringis geli, menjauhkan telinga dari sana, lalu mengusap-usapnya.“Gimana, dengar, nggak?” tanya Bagas dengan ekspresi datar.“Nggak.” Nilna menggeleng dengan wajah bingung. “Tadi aku belum dengar apa-apa, malah geli karena kayak kena tiup,” sambungnya polos.Bagas malah tergelak, lalu mengaku, “Aku memang belum bicara apa-apa tadi. Hanya ngembusin napas saja.”Nilna menyodok bahu Bagas dengan kesal. “Yang serius, dong!”Bagas kembali terbahak-bahak, dengan Nilna yang masih merengut.“Iya, iya!” Pria itu tak lagi berbisik, malah mengungkapkan rencananya dengan suara yang tenang dan jelas.….“Asna, apa kamu nggak ingin menikah kayak aku?” desak Nilna buru-buru, saat Asna kembali ke kursinya begitu selesai memesan menu makan siang di kantin kampus.“Apa?!” Karena kaget, tubuh Asna hampir terhuyung ke bawah. Kursi tempatnya duduk pun nyaris kabur karena
“Apa?! Nilna benaran sudah hamil, Nduk?” Air mata haru tak terbendung lagi, mengalir dengan deras di pipi putih Bu Mahya. Wanita berkerudung rabbani itu menatap Bagas dengan tatapan nyaris tak percaya. Ketika sorot matanya bertemu dengan tatapan Nilna, ada setitik hal asing yang belum ia mengerti.Mata Nilna mengerling lembut, basah oleh embun air mata yang siap terjun bebas. Ia hanya bungkam, tak kuasa harus berkata apa lagi. Semua orang begitu bahagia dengan kehadiran janin di perutnya. Namun, mengapa hawa dingin di hati kecilnya masih terasa?Sementara itu, Bagas membalas tatapan ibu mertuanya. Sorot matanya yang hitam begitu dalam saat berkata, “Iya, Bu. Alhamdulillah. Kedatangan kami ke sini memang untuk berbagi kabar bahagia itu.”Pak Ahkam ikut menyambung dengan penuh perhatian, “Waah, Bapak juga ikut senang banget ini. Jadi, berapa usia kandungan Nilna sekarang?”“Di minggu ini, menginjak minggu kelima, Pak,” jawab Bagas.Pak Ahkam manggut-manggut, lalu saling melempar pandan
Asna melotot tajam dengan perasaan tak terima, sementara Dafa malah tersenyum misterius, memandang dua wanita itu secara bergantian.Keributan pun terhenti begitu bel pertanda ujian dimulai berbunyi. Seluruh mahasiswa menghambur ke posisi duduk masing-masing, menenangkan diri untuk menyongsong materi yang diujikan.….“Dek, bagaimana kuliahmu tadi?” Suara pelan Bagas terdengar halus, seperti selimut bulu yang menenangkan tubuh.Di jok sampingnya, Nilna menjawab lirih, “Alhamdulillah, Mas. Ujiannya sangat menantang, tapi masih bisa aku selesaikan.” Nilna menoleh sejenak, melempar senyum tipis ke arah Bagas.“Oh, ya? Bagus, dong!” Bagas tampak antusias. Sembari menyetir, ia memyempatkan diri untuk mengulurkan tangan kiri, mengusap-usap kepala Nilna dengan penuh kasih.Dilihat dari cara merespon dan senyum Nilna yang ringan, Bagas merasa lega dan bersyukur. Sepertinya, Nilna dalam suasana hati yang baik.“Ya, Mas.” Mata Nilna berkilat, memancarkan kebahagiaan Bagas yang beberapa waktu in
“Apa!!?” Gebrakan serupa guntur menanggalkan senyuman Dafa. Pemuda itu nyaris ambruk di tempat, sementara otaknya tiba-tiba seperti berhenti berfungsi beberapa detik. Asna yang sadar telah melakukan kesalahan fatal sontak membungkam mulutnya, dengan dua bola mata yang membulat lebar. Di tengah kacau itu, Nilna hanya bisa meringis dengan perasaan campur aduk. Ia lantas tak kuat lagi dan melarikan diri, ingin menghilang dari tempat itu sekarang juga. Sementara itu, Dafa dan Asna kompak menyorot sosok Nilna yang makin menjauh, lalu sama-sama saling pandang dengan ekspresi rumit. “Dafa, kenapa kamu tiba-tiba muncul, sih? Kayak setan saja. Aku jadi keceplosan ini.” Asna bercerocos dengan galak, tetapi tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sepucat kertas. Apa lagi ini? Dafa hanya ingin lewat dan menyapa seperti biasa. Bukankah itu hal yang normal? Namun, kenapa ia yang disalahkan? Mahasiswa itu tak habis pikir, memasang wajah ketus saat menjawab, “Aku cuma lewat jalan umum, kenapa ka
Kabut di hati terasa pedih dan menyayat, saat Nilna kembali melihat diri sendiri yang teramat menyebalkan.Ya, Nilna merasa dirinya tak lebih dari seorang pecundang yang kekanak-kanakan. Bagaimana tidak? Ia sangat bodoh dengan ketidakberdayaan dalam menerima malaikat kecil di rahimnya.Akan tetapi, Nilna juga tak mau seperti ini. Dunia tetap berjalan seperti biasa. Jadi, ia memilih untuk menutup hati dan kembali fokus berkuliah.Ketika tiba di gerbang kampus, sosok ceria berteriak memanggilnya dari belakang.“Nilna!” Asna menyejajarkan langkah di samping Nilna yang telah masuk melewati gerbang. “Kamu cepat banget jalannya. Lagi buru-buru, ya?” sambungnya dengan napas yang masih memburu.Nilna terus melangkah sembari menatap Asna sekilas, lalu menyahut dengan suara ketus, “Iya, hari ini ‘kan hari pertama ujian semester enam. Kamu tahu, nggak?”Alis Asna sedikit berkerut karena merasakan tingkah sahabatnya yang tampak terburu-buru dan tidak setenang biasanya. Ia terus mempercepat langka
“Lalu, apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Bagas dengan ekspresi ingin menggali informasi yang jelas. Sebelah alis hitamnya terangkat.Nilna hanya menggeleng tak berdaya, dan menjawab dengan suara lirih, “Aku nggak tahu. Semenjak aku tahu kalau aku positif mengandung, hidupku jadi terasa nggak berarah.”Bagas menghela napas berat. Gurat wajahnya tampak begitu muram dan sulit dimengerti. Nilna menyadari akan hal itu. Ia memutuskan untuk menyudahi pembicaraan ini dengan mengatakan, “Kalau Mas sudah nggak capek, aku mau kita berlanjut ke penginapan, biar bisa beristirahat dengan baik di sana.”Pandangan Bagas jatuh ke arah Nilna sejenak, lalu terdengar ucapan, “Oke. Kita berangkat sekarang.”Kabut berangsur-angsur tipis begitu mereka kembali melaju dengan motor Viction yang menyusup stabil di jalan setapak menuju penginapan. Di sana, udara dingin menusuk dengan tenang, seolah mengingatkan tentang luasnya semesta dan kebesaran Tuhan, serta manusia adalah mahkluk lemah yang







