Share

Bab 4. Malam Pertama

Author: Dwi Maula
last update Last Updated: 2025-06-05 14:39:55

“Nilna Muna binti Ahkam Al-Hafiz, sekarang kamu sudah sah menjadi istriku,” ucap Bagas pelan, seperti ingin meyakinkan diri sendiri.

 

Nada suaranya rendah, tetapi menyimpan beban yang berat. Ia memandangi langit-langit rumah yang tampak kosong seperti hatinya. Diam-diam, ia mengepalkan tangan, seperti berusaha menahan sesuatu.

 

Malam ini, cahaya redup dari ruang depan merambat pelan melalui ventilasi. Menyisakan sinar tipis yang menerangi mereka di dalam kamar.

 

Nilna mendongak. “Iya, Kak,” jawabnya lirih. Ia terduduk lesu di sisi ranjang. Tangan kecilnya menyembunyikan sebuah ponsel di balik selimut. Ia bahkan belum percaya jika statusnya telah berubah menjadi istri.

 

‘Apa salah kalau aku pengen santai dulu? Apa itu namanya kekanak-kanakan?’

 

Sisa-sisa pesta masih terasa melekat. Rasa lelah dan gundah berkecamuk di tubuhnya. Kini, hanya sayup-sayup suara petugas yang tengah membereskan rumah.

 

 Nilna terperanjat. Ia merasakan getaran di sisi ranjang. Dalam sekejap, ia refleks menoleh. Memandangi Bagas yang telah duduk di sampingnya.

 

Hening menyergap perlahan.  Kini, hanya dua insan yang tersisa. Terikat dalam pernikahan halal, meski cinta belum hadir di hati mereka.

 

“Di mana etikamu padaku? Saat malam pertama begini, kamu tetap sibuk dengan ponselmu?” hardik Bagas tegas. Ia hanya ingin sang istri lebih menjaga sikap.

 

“Maaf, Kak.” Nilna menunduk, meremas selimut tanpa tujuan. “Aku belum bisa ngelakuin itu karena aku masih pengen nikmatin masa muda aku,” adunya jujur.

 

Ia menelan ludah dan gugup. Belum terbiasa ditegur dengan tegas oleh pria selain ayahnya.

 

“Kamu ini jangan ke-GR-an dulu. Tidak ada malam pertama seperti yang kamu pikirkan. Kamu ini masih terlalu kecil.”

 

Perkataan Bagas memang benar adanya. Bahkan amat menusuk untuk remaja seperti Nilna. Kalimat itu bukan hanya penolakan, tetapi juga menyatakan ketidakdewasaan secara gamblang.

 

Bagas menarik napas berat. Nada suaranya melunak. Dalam hati, ia amat tahu. Kalimat itu akan menyakiti hati istrinya.

 

Anak kecil. Begitulah pikir Bagas saat menilai Nilna. Gadis itu lugu, kekanakan, dan terlalu muda untuk memahami makna pernikahan.

 

Bagas menegakkan posisi duduk, lalu menoleh ke arah sang istri. “Walaupun sudah menikah, tapi itu hanya formalitas saja. Sampai waktu yang tidak ditentukan,” imbuhnya santai.  

 

Nilna terdiam beberapa saat. Hatinya seakan tertampar dengan kenyataan. Ia meremas ujung jilbab tanpa tujuan. ‘Ya Allah, formalitas? Apa aku memang tidak pantas dicintai Kak Bagas?’

 

Bagas melepas jas yang membuatnya gerah. Lalu menggantungnya di kapstok yang melekat di dinding kamar.

 

Namun, bukankah Qaila dulu pernah remaja?

Bukankah dulu dia yang ditunggu?

Bukankah rumah ini disiapkan untuknya?

 

Bagas menoleh ke sudut kamar. Tatapannya menyorot sebuah rak buku. Deretan novel tampak rapi dan bersih. Menghiasi detail kamar sehingga membuat lebih hidup.

 

Itu semua adalah sisa kenangan dari Qaila, yang belum sempat ia sisihkan.

 

“Aku hanya ingin setelah kamu merasa lebih baik. Kembalilah bersekolah dan lupakan perkataan konyol untuk menikmati masa mudamu itu.

 

Masa muda bukan untuk bersenang-senang, tapi membangun masa depan,” pungkas pria itu datar. Tatapannya menerawang. Kenangan bersama Qaila menyusup perlahan. Seperti asap yang menyesakkan.

 

Ia terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. Tangannya meraih jas kerja yang menggantung di kapstok.

 

Melihat itu, Nilna tampak bingung dengan perasaan yang campur aduk. Ia hanya bisa menatap punggung Bagas yang perlahan menghilang.

 

‘Apa Kak Bagas gak suka sama aku? Apa benar aku ini masih kekanak-kanakan?’

 

Pertanyaan itu berkecamuk dalam benaknya. Bahkan, air mata pun tak sempat jatuh.

 

****

 

Pukul empat pagi.

 

 Alarm berdering pelan. Bagas membuka mata perlahan. Pria itu bangkit dan meneguk air putih. Suara azan terdengar pelan saling menyahut.

 

Setelah kesadaran terkumpul, ia melangkah pelan menuju keran air. Dingin perlahan menyusup kulit, menusuk, tapi ia tahan.

 

“Dingin sekali pagi ini, apa bocah itu masih bergelut dengan selimutnya?” Bagas mendengus kesal. Ia berjalan menuju kamar sang istri.

 

‘Kalau anak itu belum bangun juga, berarti memang harus diajarkan sejak awal meski perlahan.’

 

Kamar ia buka perlahan. Masih gelap. Pria itu menyalakan lampu tanpa aba-aba.

 

“Nilna, apa kamu tidak dengar azan tadi?” Bagas bertanya ketus sambil berkacak pinggang. Ucapan yang keras dan lampu yang terang membuat Nilna terbangun dan kaget.

 

“Maaf, Kak. Aku udah salat, kok. Tapi capek banget karena resepsi pernikahan kita tadi malam. Jadi aku tidur lagi,” keluh Nilna. Ia membenarkan jilbab yang berantakan karena terbawa tidur.

 

“Baiklah. Aku hanya ingin mengingatkan kewajibanmu,” ucap Bagas datar. Ia pun langsung melesat keluar kamar tanpa menunggu apapun.

 

Saat mentari mulai meninggi, tiba-tiba Bagas merasa lapar. Entah kenapa, pagi ini tidak seperti biasa. Perutnya keroncongan seakan berteriak meminta untuk segera diisi.

 

“Kak, ayo sarapan dulu,” ajak Nilna lembut. Tangannya tampak lihai menyajikan dua piring nasi goreng telur ke atas meja.

 

Asap yang masih mengepul pertanda masakan baru matang. Aroma masakan itu perlahan menguar. Memperkuat rasa lapar yang sejak pagi meronta.

 

Bagas menatap sang istri heran, tapi juga tak percaya. Ia duduk. Diam. Makan dengan lahap.

 

‘Ternyata, dia punya inisiatif juga.’

 

Setelah puas sarapan, Bagas tertegun. Ia tak sengaja memandangi sang istri yang sibuk memunguti piring bekas makan mereka. Ternyata, Nilna tidak seburuk yang ia bayangkan.

 

Bahkan, meja makan pun telah terisi beberapa menu masakan yang berhasil membuatnya lahap pagi ini.

 

“Kenapa kamu mau masak dan membersihkan rumah?” tanya Bagas acuh. Ia tidak mau terlihat lembek. Namun, ia benar-benar kagum melihat inisiatif Nilna.

 

“Nggak papa, Kak. Habis bingung mau ngapain.” Nilna mengangkat tumpukan piring menuju wastafel dan mengguyurnya dengan air agar mudah dicuci nanti. Kebetulan, ia masih lelah dan ingin beristirahat sejenak.

 

“Kamu tahu kan itu bukan tugasmu?” selidik Bagas.

 

“Iya, tahu. Kebetulan aku buka kulkas ada bahan makanan mentah. Jadi, aku masak aja deh.” Nilna tersenyum datar.

 

Ia tak tahu kenapa tingkah makhluk di depannya itu sangat dingin. Membuatnya malas berlama-lama untuk berinteraksi dengan sang suami.

 

Dengan malas, Nilna berjalan menuju ruang tamu dan menjatuhkan diri ke sofa.

 

Bagas memperhatikan Nilna yang masih memandang lurus ke depan. Ia mencoba memahami dan menyesuaikan dengan keadaan Nilna yang berusia jauh di bawahnya.

 

Akan tetapi, ia masih sering terjerembab ke dalam sikap yang menyebalkan, meski sudah berusaha mengendalikannya. Karena pernikahan ini terlalu cepat dan berbanding terbalik dengan ekspektasinya.

 

Hening.

 

Hanya derap langkah Bagas yang terdengar. Ia berjalan pelan mendekati sang istri.

 

“Mulai besok, Bu Hana akan menjadi asisten rumah tangga di sini. Jadi, kamu hanya fokus pada kegiatan sekolah,” jelas Bagas runtut.

 

“Apa? Bener, Kak? Ya Allah, makasih, ya.” Nilna menoleh cepat. Mata itu langsung berbinar. Ia bangkit dan keluar sambil bernyanyi asal.

 

Bagas menggeleng kepala menyaksikan tingkah remaja di masa sekarang. ’Anak-anak,’ batinnya. Namun, ia tersenyum kecil tanpa sadar.

 

***

 

Hari ini, Nilna sudah merasa baikan. Jadi, ia diantar sang suami untuk bersekolah.

 

Pondok Pesantren Al-Mannan adalah sekolah non formal. Jadi, siswi yang sudah menikah pun diperbolehkan melanjutkan pendidikannya.

 

Seperti Nilna, ia menjadi santri laju.

 

Sayup-sayup suara siswi yang heboh sedikit terdengar di telinga Bagas dan Nilna. Padahal, mobil baru saja berhenti.

 

Nilna turun setelah pintu dibukakan oleh sang suami. Bukan apa-apa, Nilna masih belum terbiasa menaiki mobil. Ia belum begitu paham cara membukanya.

 

“Makasih ya, Kak. Aku berangkat dulu,” ucap Nilna berpamitan, lalu menyodorkan tangan. Namun, Bagas tidak menanggapi.

 

“Hmm, nanti kujemput pukul sebelas seperti yang kamu minta,” ungkap Bagas santai. Ia mengibaskan telapak tangan. Nilna pun tertunduk dan menarik tangannya kembali.

 

“Apa aku terlalu berharap?” ratapnya sedih.

 

Ia memandangi punggung Bagas nanar. Pria itu bahkan langsung pergi tanpa menoleh lagi.

 

Nilna berbalik badan, lalu berjalan menyusuri pelataran pondok menuju kelasnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 75. Rumah Sejati

    “Iya, Bah. Benar apa kata Mas Zidni.” Pandangan Bagas beredar, dan menetap sejenak ke sorot mata Zidni. Lalu melanjutkan, “Tentunya, kami sedang berusaha untuk melakukan yang terbaik.” Kalimat itu meluncur dengan tenang, meski ada gugup yang tersembunyi. Namun, hanya Nilna yang dapat merasakan gugupnya Bagas. Hati Nilna berdenyut ngilu. Ia mengerti, jawaban dari sang suami tak pernah menyinggung dirinya yang belum mampu menjadi istri seutuhnya. Diam-diam, wanita muda itu ingin mengutuk diri sendiri.“Ayo, Nilna! Sudah nggak ada waktu lagi buat kamu! Kamu harus bisa jadi istri selayaknya mulai sekarang!” serunya dalam hati.Di hadapan mereka, Abah Rasyid mengangguk samar. Jemari keriputnya mengetuk pelan permukaan meja. Sekali, dua kali. Tidak ada raut amarah yang menetap, hanya sorot penuh pertimbangan. “Hm,” ucapnya pendek. Seolah benar-benar menangkap gestur kejujuran dari putra bungsunya.Salwa hampir kehilangan kendali. Wajahnya mengetat dengan raut wajah sewot dan tak suka. Hati

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 74. Melangkah Lebih Jauh

    "Kalau sampai ada celah, keluarga kita bisa jadi sasaran.” Bagas menyelesaikan pendapatnya dengan kening yang berkerut. Hidungnya membuang napas dengan cepat, lalu meletakkan map ke atas meja. Tubuhnya tertopang di sandaran kursi, dengan rasa gundah yang merambat.Abah Rasyid mengangguk tipis, dan menyahut, “Sudah Abah duga. Makanya, musyawarah ini bukan hanya soal bisnis, tapi keberkahan keluarga adalah tetap yang utama. Kalau niatnya bersih, pasti akan dimudahkan!”Hening kembali mengambil alih. Angin sore berdesir melalui celah jendela kayu, mengibaskan tirai tipis dengan lembut.Di tengah suasana yang masih serius, Nilna diam-diam menjulurkan pandangan. Seketika, sepasang manik pekat dari Bagas menyambutnya. Singkat, dan buru-buru ia tarik lagi. Detik itu, cukup untuk membuat dada Nilna kembali bergetar tak beraturan. ‘Mas, bahkan di tengah suasana serius ini, bayangan semalam masih menempel di pikiranku! Apa ini benaran pertanda, kalau sudah waktunya untuk melangkah lebih jauh?’

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 73. Kilau Jernih

    Langkah Nilna terasa berat ketika memasuki ndalem sang mertua, sekaligus guru besarnya, Abah Rasyid. Di sisi kiri dengan sedikit lebih maju, Bagas berjalan dengan langkah jenjang yang terlihat lebih tenang. Bagas menyadari hal itu, lalu menoleh ke arah istrinya, dan mundur selangkah untuk menyejajarkan posisi berjalan. Ia menurunkan wajah, menatap sepasang kilau jernih di mata istrinya, lalu berkata, “Tenang, Dek. Semua tak lepas dari rencana Allah.”Nilna yang mendengar itu seketika menjawab, “Iya, Mas. Aku mengerti.” Diiringi dengan anggukan kecil dan senyum tipis.Bagas kembali meluruskan pandangan, dan kembali berjalan dengan menggenggam tangan Nilna.Ketika tiba di ambang pintu ndalem, aroma kayu jati tua berpadu dengan wangi khas kopi tubruk. Menampar kehadiran mereka dengan seuntai ketenangan yang tak bisa disamakan di tempat mana pun. Di balai depan yang klasik dan sederhana, kursi-kursi rotan telah disusun melingkar. Abah Rasyid duduk di tengah, dengan sorot mata yang teduh

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 72. Tanda Tanya Besar

    “Nggak apa-apa kalau sekarang Adek hanya mampu pegang tangan Mas dulu. Itu pun sudah baik karena Adek sudah ada kemauan. Hm?”Deg!Kalimat itu meluncur dengan halus, tetapi bagai panah lancip yang menusuk ego Nilna. Nilna merasa malam ini tak sama dengan malam kelam yang ia kenal sebelumnya. Malam ini, Bagas bukan lagi seorang perampas yang harus ditakuti. Suaminya sekarang menjadi penanti yang rela menghabiskan waktu hingga berabad-abad. Asalkan pintu terbuka dengan hati Nilna yang rela!Nilna tertunduk lagi, dengan bahu yang berguncang kecil. Air mata terjun bebas tanpa sempat memberi aba-aba. Nada bicaranya terdengar sendu saat berucap, “Aku, udah nggak takut lagi, Mas. Aku sudah mengakhiri rasa takutku yang tak berujung itu!”Saat mengucapkan kalimat itu, Nilna kembali mengangkat wajah tanpa ragu. Bagas yang melihat istrinya mampu duduk tanpa goyah, kembali mengembangkan senyum kecil. Lalu menyematkan rambut Nilna kembali ke belakang telinga.“Itu saja sudah jadi anugerah terinda

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 71. Nyaris Patah

    Tangan Nilna bergetar saat meraih gagang pintu yang sedikit terbuka. Ia kembali sibuk dengan hatinya sendiri dan berucap, “Ya Allah, apa aku benar-benar bisa malam ini? Tapi, aku harus benar-benar bisa!”Sesaat berlalu, ia ingin berbalik, lari, entah ke mana. Namun, bayangan wajah teduh Bagas menamparnya dengan lembut. Kedua mata Bagas yang hitam pekat dan bersih tadi berkaca-kaca, dengan suara isakan yang memanggil Nilna, “Dek ….”“Suamiku harusnya bahagia. Tetapi, karena aku yang lemah dan egois membuatnya rapuh. Kalau bukan sekarang aku mengakhirinya, kapan lagi?”Kriettt ….Tangan Nilna tak sadar telah mendorong pintu hingga terbuka bertambah lebar! Cahaya lampu kamar yang redup menyambut langkah kecilnya yang terasa berat. Dari ambang pintu, Nilna dapat menatap secara jelas sepasang manik berwarna hitam bening, memantulkan cahaya lampu dengan lembut. Ada setitik putih yang dapat Nilna tangkap dari setiap manik itu.Bagas duduk di sisi ranjang, dengan tubuh tegap yang sedikit mem

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 70. Garis Takdir Baru

    Bagas menyipitkan mata, dengan tubuh yang kembali menegang. Ia merasa seperti seorang predator yang bersiap menerkam mangsa! “ … akan coba, ya!” Nilna merasa lega karena telah berhasil menyelesaikan ucapannya, tetapi ada sejumput rasa takut dan ragu yang masih mengiringi. Glar! Bagas terperangah. Ucapan Nilna bagai petir yang mengagetkan karena muncul saat cuaca cerah. Kelopak mata pria berkaos biru itu mulai menahan genangan air yang meronta keluar. Ia bahkan sedikit tertawa karena belum percaya apa yang baru saja didengar. “Dek,” panggilnya sedikit terisak, dengan suara yang bergetar. Entah mengapa rasa bahagia membuatnya tak kuasa untuk menahan tangis. Beberapa tetes air telah terjun bebas dan habis di tengah garis wajah yang tegas. Pipi merah Nilna ia bingkai, dan diraihlah ke dalam pelukan lagi. Nilna hanya menurut dengan patuh. Wanita berumur dua puluh tahun itu sepenuhnya telah sadar. Suaminya sama sekali tak jahat. Hal yang Bagas minta adalah manusiawi. Namun, kilas bali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status