Share

3.

Matahari masih belum muncul sepenuhnya. Langit bahkan masih sedikit gelap, namun Misha sudah terbangun dan tengah duduk diam di kasurnya dengan wajah muram.

Senyum ceria dan ekspresi ramab yang sebelumnya Misha tunjukkan di hadapan tetangganya hilang tak berbekas saat dia sendirian.

Wajah cantik Misha masih sesedih sebelumnya. Juga luka yang masih basah di hatinya masih berdenyut perih dan memicu rasa benci yang semakin membesar.

"Aku harus berhenti peduli pada apapun, selain diriku sendiri mulai hari ini," batin gadis itu.

Misha melirik sekilas bayangannya yang tampak muram di cermin besar kamarnya.

Karena tak ingin terlambat, dia bergegas mandi tanpa memikirkan hal tak penting lagi.

Dia tidak ingin membuat Lizzie menunggu, jadi dengan cepat Misha mengikat rambut panjangnya dan hanya memoleskan sebuah pelembab berwarna pink samar di bibirnya yang sedikit pucat.

Tak lama, suara ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya.

"Aku datang!" teriak gadis itu lalu berlari pergi setelah mengambil ransel biru navy kesayangannya.

Misha membuka pintunya dengan antusias. 

Akhirnya dia melihat Lizzie memakai seragam kerja khas petugas kebersihan berwarna abu-abu yang tampak rapi dan bersih. 

"Kau cantik," puji Misha dengan tulus.

Lizzie memutar matanya dengan gemas.

"Katakan lagi sepulang kerja nanti," jawab tetangganya itu dengan geli.

Keduanya saling tertawa.

"Tentu saja kita pasti akan lebih cantik lagi nanti," seloroh gadis itu pada calon teman kerjanya.

Lizzie tergelak geli mendengarnya.

"Siapa yang menjaga Barry?" tanya Misha penasaran.

"Ibuku. Sudahlah, ayo pergi!" ajak Lizzie sambil menarik lengan Misha dengan cukup kencang.

***

Misha sampai di sebuah rumah mewah bergaya modern yang tampak jelas baru saja dibangun.

Rumah itu terlihat megah dan kokoh, seolah terbuat dari pahatan beton yang dibuat berliku dan bersudut yang sekilas membuat Misha bingung.

"Ya Tuhan…! Bagaimana cara membersihkan bangunan sebesar ini?"  ucap Misha dalam hati dengan gelisah.

Gadis itu lalu meringis ngeri melihat banyaknya sampah bekas pembangunan yang masih bertumpuk dan menutupi keindahan rumah megah itu.

Bahkan masih terlihat cukup banyak balok-balok kayu yang bertumpuk di sekitaran rumah itu.

Misha mengernyit gusar.

"Apa aku harus mengangkat itu juga?" gumam gadis itu tanpa sadar.

Lalu dia kembali teringat jika mereka tim yang terdiri dari beberapa orang lainnya hingga akhirnya Misha bisa merasa sedikit lega.

"Ayo kita mulai! Pekerjaan sangat banyak, Misha," ujar Lizzie sambil menggandeng tangannya memasuki rumah itu.

"Rumah ini terlalu besar untuk orang normal," guman Misha takjub saat memasuki ruang depan rumah kosong itu.

Lizzie tertawa pelan.

"Jika kau kaya, rumah sebesar ini akan terasa kurang. Percayalah, uang akan membuat seseorang jadi aneh." ucap Lizzie seraya mengedip iseng.

Misha tersenyum setuju.

"Kita ke atas!" Ajak Misha dengan semangat.

Mereka bertugas membersihkan debu-debu di lantai dua yang cukup luas hari ini, dan Misha merasa cukup antusias meski pekerjaannya mungkin seperti yang Howard katakan. Tidak terlalu bergaya.

Gadis itu tersenyum kecil pada dirinya sendiri.

"Kurasa hidupku akan membaik setelah ini," gumam Misha meyakinkan dirinya.

Lizzie dengan baik hati memilih ruangan dan sudut yang tampak lebih sulit karena berpikir Misha masih harus beradaptasi di hari pertamanya bekerja.

"Aku akan membersihkan kamar utama yang di pojok itu saja," pinta Misha sambil menunjuk sebuah ruangan berpintu hitam besar yang menjorok ke teras luar.

Lizzie melihat ke arah yang ditunjuk dan mengangguk. 

"Baiklah, tapi kita akan berada di sisi bangunan yang berjauhan." kata Lizzie sebelum berlari ke sisi berlawanan darinya.

Dengan hati-hati Misha memasuki ruangan itu, lalu terdiam kebingungan.

Ruangan itu kosong dan masih berdebu. Jelas belum ditempati karena masih belum layak sebelum dibersihkan.

Tapi ada sebuah gorden berwarna abu-abu agak gelap menutup sebagian jendelanya. 

"Kurasa warna gelap tidak cocok untuk tirai kamar," gumam gadis itu.

Misha mulai berjalan masuk dan semakin mengernyit melihat ruangan itu.

Yang paling membuatnya bingung, ada jejak sepatu berukuran cukup besar di lantai kayunya yang masih kotor. 

"Bukankan rumah ini masih kosong?" Misha bertanya dalam hati saat melihat jejak itu.

Sekitar 2 meter dari sana, ada sehelai kain yang terlihat seperti pakaian tampak tergeletak di lantai kayu ruangan yang tampak dua kali lebih besar dari flat miliknya itu.

Misha berkedip kebingungan, perlahan dia mendekati onggokan kain berwarna putih itu lalu terkesiap kaget.

"Apa ini?" batin gadis itu kebingungan.

Itu jelas sebuah kemeja laki-laki yang terlihat dirobek dengan noda darah tersebar cukup banyak dan tampak pekat. 

Mata Misha membelalak ngeri dan jantungnya berdebar cepat karena waspada.

Dengan ragu-ragu, dia memberanikan diri mengangkat kemeja rusak itu karena penasaran.

Noda darah itu tampak melumuri bagian pinggang sebelah kiri kemeja putih itu. 

"Ini… darah? Ya Tuhan! Apakah ada mayat di tempat ini?" batin Misha dengan panik.

Gadis itu lalu melihat sekeliling ruangan dengan wajah pucat dan ekspresi ketakutan.

Siapapun pemiliknya, kemungkinan orang itu terluka cukup parah saat ini.

Rasa ngeri membuat Misha cepat-cepat menjatuhkan kemeja itu lagi dan melangkah mundur tanpa sadar.

Misha menelan ludah dengan tangan gemetaran. Tangannya dengan reflek dia usapkan ke pakaiannya seolah ingin menghapus jejak darah yang tadi disentuhnya.

"Ya Tuhan… Apa itu?"

Mata lebarnya dengan panik memindai lagi seluruh ruangan itu, lalu berhenti pada sebuah pintu yang ada di dekat jendela.

Kamar mandi.

Misha menelan ludahnya dengan gugup.

"Tidak, tidak! Aku tidak harus melihat kesana, bukan? Bagaimana jika ada mayat?" batin Misha berdebat dengan rasa takutnya sendiri.

Gadis itu mulai mundur lagi ke arah pintu keluar, lalu berhenti dengan ragu.

"Tapi bagaimana jika tidak ada apapun?" batin gadis itu semakin bimbang.

Misha menggigit bibirnya tanpa sadar.

Dia merasakan jantungnya berdebar begitu kencang karena penasaran bercampur takut.

"Kurasa, aku harus memeriksanya, bukan? Kamar ini tugasku," ucap Misha dalam hati seolah meyakinkan dirinya sendiri.

Meski takut dan ragu-ragu, akhirnya kakinya melangkah mendekati ruangan dengan pintu tertutup itu dengan tubuh gemetar.

"Ayolah, Mish…!" bisiknya menyemangati diri sendiri.

Misha mulai mengangkat tangannya meski dengan wajah takut, lalu perlahan berusaha membuka pintu kamar mandi kemudian memekik kencang.

"Ya Tuhan! Tolong! Apa ini?!" pekik gadis itu semakin gemetaran.

"Lizzie! Toloong!" teriak Misha sekencang mungkin

Lizzie terdengar berlari mendekat di rumah kosong itu seraya menjawab keras dengan nada khawatir.

"Misha? Kau baik-baik saja?" tanya wanita itu panik.

Lizzie semakin takut  

saat tak menemukan Misha dan malah mendapati sebuah kain bernoda darah di lantai.

Saat memasuki kamar mandi, Lizzie akhirnya menemukan Misha. Tapi belum juga lega, dia melihat sesuatu dan saat itu juga ikut menjerit dengan panik.

"Ya Tuhan!"

"Tolooong!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status