"Apa yang akan kau lakukan?" Alan menerobos masuk ke dalam kamar Andreas yang memang sudah biasa tidak terkunci.Andreas yang tengah mengancingkan kemejanya dengan tubuh yang masih terasa sedikit nyeri melirik sepupunya itu dengan santai."Selamat pagi, Sepupu!" sapa Andreas dengan senyum lebar yang bagi Alan terlihat mencurigakan."Jawab aku, Maxwell!" desak Alan terdengar jengkel.Andreas mengangkat alisnya dengan senyum kecil."Aku akan mulai menyusun cara untuk menyingkirkan Eddie dari kursinya," jawab pria itu.Alan bertolak pinggang dengan raut cemas."Bukan itu. Kau memasukkan kunjungan ke Divine hari ini," ujar laki-laki berkulit kecoklatan itu pada atasan sekaligus saudaranya.Andreas bergeming. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi."Aku harus berterima kasih, bukan?" ucap Andreas datar.Alan menghela nafas panjang."Tidak, kita tahu tujuanmu bukan itu kesana." desak Alan seraya melipat lengannya di dada.Kekehan Andreas terdengar di kamar yang hening itu."Aku pernah bertemu gadis
Misha berjalan cepat dengan langkah panik."Kau kabur!" sebuah suara sinis menghentikan langkah gadis itu.Misha mengernyit melihat Alan berdiri di pintu keluar rumah baru Andreas."Aku tidak tahu selain materialistis ternyata penolong saudaraku itu seorang pembohong," sinis pria itu.Misha merangsek maju dengan ekspresi marah."Bisakah kalian berhenti menghinaku? Kau sama saja dengan saudaramu!" ujar Misha jengkel.Alan mendengkus kesal."Kami sudah tahu pelaku penusukan Andreas. Dan kau jelas tidak akan kuat melukai saudaraku," kata pria itu.Misha memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin berinteraksi dengan orang-orang yang membuatnya kesal di hidip barunya ini."Aku pernah menyumpahinya celaka. Dan dia benar-benar celaka di depan mataku! Kau puas?!" desis Misha frustasi.Alan mengerjap kaget, lalu sorot sinis di matanya perlahan melunak."Kau... Merasa bersalah ternyata," gumam Alan seolah baru saja menyadari sesuatu.Misha menghindari tatapan pria berwajah tampan itu.Suara langkah
"Pantas tubuhmu berisi," Sebuah komentar bernada geli membuat Misha berhenti mengunyah.Mata biru gadis itu menyorot tajam penuh kemarahan."Kau menghinaku lagi," desis gadis itu kesal.Andreas tergelak pelan."Kau seksi dan terlihat lezat. Aku suka melihatmu, dan itu bukan hinaan," ucap pria itu pelan."Berhentilah menghina fisikku!" ujar Misha dengan marah.Andreas tertawa renyah. Tawa pria itu tampak ringan lepas.Misha membuang nafas kasar antara terpukau dan kesal.Dia sudah mendapat kejutan luar biasa saat membuka pintu dan menemukan seorang Andreas berdiri memasang senyum ramah dengan sebuah jaket hoodie berwarna navy."Bagaimana kau bisa masuk? Apartemenku harus punya kunci lift sendiri untuk naik ke lantai atas," desak Misha dengan pandangan menyelidik.Andreas meneguk segelas soda dingin dengan senyum tipis yang membuat Misha makin kesal."Aku memang tak punya kunci lift, tapi aku punya uang," jawab pria itu dengan senyum penuh arti."Tentu saja," gumam Misha agak sinis."A
"Ya Tuhan, Mish. Sayang, kau baik-baik saja?"Misha mundur dengan jijik dan marah dari pria yang menghambur seolah ingin memeluknya.Harry. Entah bagaimana laki-laki brengsek itu ada di kota ini."Apa yang kau lakukan di sini?" desis Misha dengan tegang.Harry memamerkan senyum memuakkan dengan ekspresi seolah tak berdosa."Aku selesai menemui klien penting di sini. Dan sebuah kejutan yang luar biasa saat aku melihatmu dari taksi menuju hotel," jawab Harry dengan senyum sekilas tampak mengejek.Misha menatap mantan tunangannya itu dengan tegang dan sorot panik."Siapa kau?" tiba-tiba suara bariton bernada dingin menyentak Misha dan Harry sekaligus.Andreas menatap mantan tunangan Misha itu dengan ekspresi dingin yang membuat Misha meremang gelisah.Harry yang tadinya kesal, tampak melotot saat akhirnya menyadari siapa pria dibalik hoodie yang berdiri bersama Misha."Oh, Hai! Kau Andreas Maxwell, kan? Aku Harry Barton, tunangan Misha." ucap laki-laki itu dengan senyum antusias tanpa r
KISAH CINTA TERLARANG ANDREAS MAXWELL DAN TUNANGAN ORANG.Misha menarik nafasnya yang gemetar karena rasa takut.Dengan tangan gemetar Misha bergegas menutup gorden kamarnya, padahal waktu masih tengah hari.Dia tidak harus menebak siapa pelaku penyebaran berita buruk itu ke media."Harry sudah keterlaluan," gumamnya dengan suara bergetar karena marah.Kehidupan baru yang baru saja dimulai sepertinya tidak akan semudah yang dia bayangkan.Misha mengusap wajahnya dengan frustasi.Drrrrt... Drrrt...Suara getar ponsel di atas meja makan membuat Misha tersentak kaget. Gadis itu mengernyit bingung melihat nomor tak dikenal di layar ponselnya."Hallo!" "Misha?" Suara bariton yang terdengar familiar berbicara dengan nada cemas.Misha menegang kaku mendengarnya."Darimana kau tahu nomorku?" tanya gadis itu panik."Kau bekerja di perusahaan milik Ibu Tiriku, Misha." Jawab lawan bicaranya diikuti kekehan pelan bernada geli.Misha memejam frustasi. Dia bahkan baru tahu jika perusahaan tempatn
"Hai!" Sore hari Misha dibuka dengan sapaan sopan bernada kaku dari seorang pria tampan.Misha mengangguk sopan saat membuka pintu apartemennya dan menemukan Alan berdiri memasang senyum canggung ke arahnya.Dia sudah menghubungi keamanan gedung sebelum pria itu tiba agar memberi izin kepada tamu yang ingin menemuinya, hingga Alan bisa masuk dan naik ke lantai tiga tempat tinggal Misha."Kau mau masuk dulu?" tanya gadis itu berbasa-basi.Alan menggeleng cepat dan tampak tak nyaman."Kita pergi saja. Andreas bisa sangat menyebalkan jika harus menunggu lama." Ujar pria itu dengan senyum tipisnya.Misha mendengkus pelan."Seingatku dia memang orang yang menyebalkan," ucap Misha.Alan tertawa kecil, lalu mengangguk setuju."Baiklah, ayo!" Alan berjalan cepat mendahului Misha yang masih berkutat dengan kunci apartemennya yang baru."Alan, bisakah aku kembali kemari sebelum jam 8 malam?" tanya Misha tiba-tiba.Alan menoleh dan mengeryitkan keningnya dengan kesal."Kau bahkan belum pergi, d
"Misha, kita harus berbicara tentang berita hari ini." Andreas mencegahnya saat baru saja membuka pintu depan rumah mewah itu, dan ekspresi serius di wajah pria itulah yang membuat langkah Misha terhenti.Gadis itu menelan ludahnya gelisah. Rasa khawatir pada gosip yang bisa mengusik hidup barunya kembali menyeruak."Aku tahu, tapi aku ada janji penting hari ini," jawabnya tak sabar.Andreas menggengam lengan Misha dengan senyum menenangkan."Kita lakukan keduanya. Kita akan berbicara, dan kau akan tetap datang menepati janjimu," ujar pria itu dengan yakin.Misha menatap Andreas dengan bimbang, lalu akhirnya mengangguk setuju."Baiklah." jawab Misha dengan senyum lemah.Andreas tersenyum lega, lalu merogoh ponselnya dan menempelkannya ke telinga."Alan, aku membutuhkanmu." Ujar pria itu tanpa melepas tatapannya dari Misha.Tak lama, Alan menyusul mereka ke teras luas rumah megah itu dengan raut penasaran."Ada apa?" tanya pria itu tanpa basa-basi. "Bantu aku mencari kado ulang tahun
Misha menahan senyum melihat interaksi antara Andreas dan Barry yang terlihat dekat dan tak berjarak.Laki-laki yang punya segalanya dan cukup diagungkan banyak orang itu memperlihatkan kebaikan hatinya dengan membaur bersama para tamu di pesta kecil Lizzie tanpa ingin diistimewakan oleh siapapun."Dia bisa baik juga," gumam Misha tanpa sadar.Alan yang duduk di kursi tepat di sebelah Misha meliriknya dengan sorot cemas dan muram."Andreas memang orang baik," jawab Alan dengan tatapan melamun.Misha menoleh dan tersenyum canggung ke arah laki-laki itu. Dia lupa jika sejak tadi Alan seolah mengekorinya kemana-mana."Aku merasa kau selalu mengikutiku." Protes Misha meski dengan cara sopan.Alan melirik sekilas, lalu mengangguk."Ya, Andreas memintaku menjagamu saat dia bermain dengan anak itu," jawab Alan terus terang.Misha mendengkuskan tawa singkat."Dia memang aneh," gumam gadis itu. Misha tanpa sadar terus menatap Andreas yang kini tengah tertawa terbahak-bahak dengan Barry dan se