Share

4.

Misha menemukan seorang laki-laki setengah telanjang yang tampak tak sadarkan diri dengan sebuah pisau kecil masih menancap di pinggangnya.

"Ya Tuhan! Kau baik-baik saja?" pekiknya dengan gemetar.

Misha merasakan tubuhnya dingin karena ketakutan.

Dia takut malah menemukan mayat justru di hari pertamanya bekerja.

Dengan kakinya yang terbungkus sepatu olahraga, gadis itu memberanikan diri menyentuh betis laki-laki yang tampak tak bergerak.

"Hei! Kau masih sadar?" tanya gadis itu dengan suara semakin goyah.

Misha lalu mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat menghubungi layanan darurat. Dia tidak ingin jadi saksi jika orang itu benar-benar sudah atau nyaris mati.

Dengan suara nyaris terbata-bata karena panik dan takut, gadis itu menyebutkan nama komplek sekaligus nomor rumah ini.

Misha tidak ingin kelak ditanyai sendirian jika ada hal buruk yang terjadi pada orang itu.

Tapi sebelumnya, dia berusaha memeriksa orang itu sekali lagi.

Dengan ngeri, Misha melangkahi noda darah di lantai kamar mandi lalu berjongkok di hadapan laki-laki itu.

"Aku sudah menelpon ambulan. Kuharap kau akan bertahan," ucap gadis itu dengan gugup.

"Ya Tuhan!"

Misha tersentak mendengar jeritan Lizzie yang datang pasti setelah mendengar Mish menjerit sebelumnya.

"Dia masih hidup?" pekik Lizzie dengan cemas.

Misha menelan ludah dengan takut.

"Kurasa ya, aku sudah menelpon layanan darurat. Bisakah kau panggil para pria kemari, Lizzie?" pinta Misha dengan panik.

Lizzie masih terpana ngeri melihat orang yang terluka itu.

"Lizzie! Kita tidak akan bisa mengangkatnya berdua," ucap Misha menyadarkan temannya.

Lizzie mengangguk panik, lalu bergegas pergi dari sana.

Sebuah gerakan samar dari pria yang terluka itu membuat Misha terlonjak kaget dan berdiri seketika.

"Ya Tuhan! Kau bergerak," ujar Misha karena terkejut.

Kepala pria itu bergerak perlahan.

Erangan kesakitan terdengar dari mulut pria itu yang tampak pucat dan kepayahan.

Misha memperhatikannya dengan seksama, lalu matanya membelalak lebar.

"Andreas?" pekik Misha saat akhirnya mengenali wajah orang yang ditemukannya itu.

Gadis itu mengernyit ngeri dan syok.

"Dia benar-benar celaka," batin Misha saat teringat sumpah serapahnya sendiri.

***

Ambulan akan tiba sekitar 5 menit lagi menurut polisi lokal yang sudah lebih dulu tiba disana. Sedangkan Andreas sudah nyaris tak sadar kembali dan tampak berusaha sendiri menjaga agar tetap sadar.

"Kau menolongku. Aku akan membayarmu nanti," ucap pria itu dengan suara lemah.

Misha menoleh ke arah pria yang kini dibaringkan timnya di lantai yang hanya dialasi sebuah baner bekas iklan properti.

"Dia memang menyebalkan!" rutuk gadis itu dalam hati.

"Diamlah! Kau sedang terluka," jawab Misha dengan kernyitan cemas.

"Aku hanya terluka, bukan mati," bisik pria itu mengejutkan.

Misha mendelik sekilas. Orang kaya dan sifat yang sedikit arogan?

Ya, dalam keadaan sekarat pun masih ada jejak yang terlihat.

"Namamu," bisik Andreas dengan mata terpejam.

"Apa?" tanya Misha sedikit bingung.

"Nama!" jawab Andreas dengan kepayahan.

Pria yang Misha ingat tampak gagah dan sehat itu kini terlihat seolah diambang maut dan tengah berjuang untuk hidup.

"Misha," jawab gadis itu dengan wajah cemas.

Dia tidak peduli sebenarnya Andreas hidup atau mati, Misha hanya peduli pada pekerjaannya yang baru saja dia mulai.

Andreas tidak mungkin jadi bosnya jika pria itu mati, bukan?

"Kalau dia mati, bagaimana bayaranku?" batin Misha gelisah.

Misha rasanya ingin mengumpat karena kesal.

Nasib buruk sepertinya sudah menyapanya bahkan di hari pertamanya bekerja.

"Ya Tuhan...!" gumam Misha karena terlampau kesal.

"Jangan memanggil Tuhan, Misha. Aku belum ingin mati," kata Andreas dengan serak.

Misha mengerjap dan nyaris saja menganga tak percaya.

"Diamlah! Kau bisa benar-benar mati jika terlalu banyak bicara," bisik gadis itu kesal juga akhirnya.

Sepasang mata biru kelam kini menatap ke arah Misha dengan pandangan goyah.

Pria itu jelas nyaris pingsan kembali saat suara seseorang membuat matanya mengerjap terbuka lagi.

"Kami tidak bisa mencabut pisau itu sembarangan. Karena bisa saja memperburuk keadaanmu," Lizzie mendekat dan berkata dengan cemas ke arah Andreas.

Andreas mengerang kesakitan, matanya juga sudah mulai terpejam lagi.

Tangan kekar pria itu tiba-tiba memegang lengan Misha cukup kencang.

"Misha, bantu aku tetap sadar," bisiknya.

"Tidak! Tutup saja matamu! Ambulan sudah dekat," jawab gadis itu.

Suara ambulan terdengar makin dekat dan akhirnya benar-benar tiba di rumah itu.

Bahkan diikuti sebuah mobil sedan mewah yang tampak dikemudikan seorang pria berjas hitam rapi yang tampak panik.

Andreas dibawa dengan cepat oleh ambulan, menyisakan genangan darah di dekat Misha dan 7 orang timnya yang sekarang terdiam muram.

"Semoga dia baik-baik saja. Aku tidak ingin bosku mati di hari pertamaku bekerja," gumam gadis itu cukup kencang yang membuat beberapa teman kerjanya melirik dengan tatapan kesal.

"Kita hampir menemukan mayat, dan kau malah memikirkan pekerjaan. Bukan main!" ejek salah satu pria di timnya yang bernama Tony.

Misha menatapnya dengan santai.

"Kau benar. Aku terlalu suka bekerja, karena aku sangat cinta uang," jawab Misha dengan senyum ceria.

Lizzie menatap tetangganya itu tanpa komentar, hanya tampak sedikit sorot kecewa di mata cantiknya.

Misha sendiri memilih diam tak ingin peduli pada respon teman barunya itu. Dia lebih sibuk memikirkan pekerjaannya yang bisa saja terancam, dan dia belum ingin susah payah mencari pekerjaan baru lagi.

"Tenang saja. Gaji kita dibayar perusahaan, bukan pemiliknya," ucap Lizzie tanpa senyum ramah yang selalu tampil di wajahnya.

Misha tersenyum tipis lalu mengangguk paham, dia tak begitu tertarik menambah masalah di hari kerjanya.

***

Andreas Maxwell sadar dari kondisinya yang cukup serius 2 hari kemudian.

Dengan wajah pucat dan tubuh kesakitan, laki-laki itu membuka mata dan langsung mencari sepupu sekaligus staf pribadinya.

Seorang pria berambut hitam berusia pertengahan 30 menghampiri Andreas dengan cepat.

"Jelaskan padaku! Darimana luka itu?" geram pria berdarah latin itu pada saudaranya.

Andreas meringis melihat sepupunya itu terlihat sangat marah.

"Kau bahkan tidak menanyakan kabarku, Alan," sinis Andreas pada sepupunya itu.

Alan mendengkus kesal.

"Tidak perlu. Aku menemanimu selama 3 hari, bodoh!" kesal pria itu.

Seringai menjengkelkan tampak di wajah Andreas saat melihat raut kesal sepupunya yang baik hati itu.

"Kau memang manis sekali," ejeknya pada Alan.

Alan mendelik jengkel.

"Jawab aku! Siapa yang melukaimu?" tanya laki-laki berambut hitam itu dengan tegas.

Andreas terdiam dengan wajah serius kali ini.

"Eddie. Dia kesal karena aku selalu menolak dipertemukan dengan putrinya yang seorang dokter," jawab Andreas dengan nada muram.

Dia tidak menyangka jika rekan bisnis sekaligus teman ayahnya itu akan sanggup hingga melukaimya secara fisik.

Alan tampak terperangah sebentar.

"Eddie pasti berfikir dia bisa mendapatkan kembali sahamnya di stasiun TV yang kau akuisisi dengan menggunakan anaknya," gumam pria itu tampak berfikir.

Andreas terdiam dan melempar senyum yang sekilas tampak muram ke arah sepupunya.

"Sayang sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu," sinis pria itu.

Alan memandang sepupunya lama dengan sorot iba, lalu cepat-cepat menepis kesedihannya sendiri yang mulai muncul ke permukaan.

"Kau memang tidak suka perempuan," ejeknya pada Andreas.

"Sepertinya begitu. Karena aku malah sangat menyukaimu, Alan," jawab Andreas sambil menyeringai jahil ke arah sepupunya.

Alan mendengkus kesal, terlalu sering menghadapi sisi Andreas yang menjengkelkan membuatnya hanya bisa menggelengkan kepala menahan kesal.

Andreas tertawa puas, lalu meringis kesakitan karena luka di pinggang kirinya.

"Ah sial! Sakit sekali," umpat pria itu dengan kening mengernyit tak nyaman.

"Kita harus menuntut Eddie. Kau hampir mati," ucap Alan dengan serius.

Andreas menggeleng tak setuju.

"Tunggu sampai aku menendangnya dari kursi direksi," ucap pria itu.

Alan menghela nafas panjang. Dia tidak terlalu suka jika Andreas sedang bertempur di medan bisnis.

Saudaranya itu cenderung egois dan bisa menghalalkan segala cara.

"Alan, aku butuh data orang-orang yang menolongku," ucap Andreas tiba-tiba.

Alan berdecak pelan.

"Dan kenapa kau tidak pulang ke rumahmu? Kau terluka, dan malah ada di rumah itu?" geram Alan tak habis fikir.

"Kejadiannya tak jauh dari sana. Aku hanya kuat menyetir beberapa ratus meter," jawab Andreas dengan muram.

Alan membelalak marah.

"Kau bisa menelepon ambulan, bodoh!" ujar sepupunya dengan keras.

Tawa sinis terdengar dari Andreas sebagai jawaban.

"Kau pasti tidak memeriksa. Kartu identitas dan dompetku hilang di tempat kejadian itu entah kemana," jawab laki-laki yang masih terbaring itu dengan kesal.

Alan mengerjap kaget.

"Akan aku cari," ucap pria itu dengan mantap.

"Aku minta data mereka, Alan. Apa aku harus mengulanginya? Mereka menyelamatkan nyawaku," kata Andreas dengan nada kaku.

Sepupunya atau bukan, Andreas tidak suka perintahnya diabaikan.

Baginya hal itu sangat penting, karena dia mungkin saja mati jika tidak ditemukan oleh orang-orang itu.

Anehnya, Alan malah memalingkan wajah ke arah jendela kamar perawatan mewah tempat sepupunya berada seolah tak ingin menjawab masalah itu lebih lanjut.

"Kau sudah memintanya sejak masuk unit gawat darurat, Maxwell," jawab Alan pada akhirnya memilih mengalah.

Pria berkulit kecoklatan khas orang Amerika selatan itu lalu mengeluarkan sebuah komputer tablet dari tas hitam yang sehari sebelumnya diantar salah satu pegawainya ke rumah sakit ini.

"Orang yang menemukanku seorang perempuan. Namanya Misha," ucap Andreas dengan serius.

Gerakan tangan Alan berhenti seketika.

Sepupunya itu lalu mendongak ke arahnya dengan ekspresi aneh tak terbaca.

"Ada apa, Alan?" tanya Andreas dengan waspada.

Alan menyerahkan tablet kerjanya pada Andreas tanpa bicara.

Posisi Andreas yang terbaring agak menyulitkan pria itu untuk memeriksa benda yang disodorkan stafnya itu.

Tanpa diminta, Alan langsung membantu menaikkan posisi tubuh sepupunya itu agar lebih nyaman saat memeriksa berkas yang dia minta.

"Mereka tim pembersih dari anak perusahaan Divine. Salah satu perusahaan properti milik ibu tirimu," terang Alan saat melirik logo perusahaan yang tampil di tablet yang Andreas pegang.

"Oke." Andreas menggeser tampilan di layar komputer itu dengan tangan kanannya yang masih dipasangi selang infus.

"Kau sedang sakit. Simpan untuk nanti saja, Andre," ucap Alan dengan nada cemas.

Pria itu terlihat gelisah dan memandang Andreas dengan waspada.

Alan sedikit berharap jika sepupunya dari pihak ibu itu terlahir lebih bodoh dan pelupa saja.

Karena Andreas yang terlalu cerdas dan pemikir justru membuatnya merasa tidak tenang nyaris setiap hari.

"Maxwell, istirahatlah," pinta Alan dengan sehati-hari mungkin.

"Diamlah, Alan!" uja Andreas tanpa mengangkat wajahnya dari layar.

Entah di slide ke berapa, tangan Andreas berhenti bergerak.

Matanya tampak memicing saat membaca salah satu data dengan foto seorang perempuan berambut coklat kemerahan yang tampak mencolok.

"Ini dia. Namanya Misha Aileen, 22 tahun," Andreas terdengar seolah bergumam sendirian.

Alan menutup matanya dengan jantung berdebar saat mendengar gumaman sepupunya yang sering dia lakukan saat membaca sesuatu itu tiba-tiba berhenti.

Ruangan itu terasa hening dan menyesakkan.

Alan membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke arah sepupunya dengan cemas.

Andreas terlihat diam menatap layar dengan rahang mengencang.

Sebuah kekehan pelan mulai terdengar, dan tak lama berubah jadi sebuah tawa yang cukup kencang.

Andreas tampak tertawa geli, tapi sorot matanya yang aneh dan tak terbaca justru membuat Alan entah harus merasa cemas atau ngeri.

"Dia tumbuh dengan cantik, kan, Alan?" ucap Andreas dengan senyum sinis dan ekspresi serius penuh perhitungan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status