Share

2.

Misha memasuki sebuah flat sederhana berkamar 1 yang baru saja disewanya untuk beberapa bulan ke depan.

Dia memakai sebagian uang simpanannya untuk membiayai hidupnya di tempat lain yang cukup jauh dari kota asalnya, setelah dia mengundurkan diri dari restoran tempatnya bekerja. 

Misha juga memutus semua komunikasi dengan orang-orang yang dikenalnya.

Gadis itu mengembuskan nafas dengan keras, saat menatap satu persatu ke arah koper dan kotak yang masih berserakan setelah diturunkan salah satu mobil ekspedisi tadi.

"Baiklah...Misha. Mari mulai hidupmu dari awal," gumam gadis itu pada dirinya sendiri.

Sebuah dering ponsel terdengar memenuhi seisi ruangan kecil itu kemudian.

Misha tersenyum kecil melihat nama Howard di layar ponselnya.

Dia begitu beruntung memiliki sahabat seperti Howard yang bisa memudahkan nyaris seluruh proses kepergiannya.

"Hallo temanku yang sebaik peri!" sapa Misha sebelum menyalakan fitur speaker di ponselnya.

"Hei! Berhentilah mengejekku, bodoh! Bagaimana sarang barumu?" kata teman sekolahnya itu.

Misha tertawa pelan sambil terus mengeluarkan pakaian dari beberapa koper yang dibukanya.

"Uhm, kecil. Tapi aku menyukainya, Howard. Terima kasih," jawab gadis itu seraya melirik ponsel yang diletakkan di tempat tidur kecilnya.

"Yah, kurasa sarang seukuran kandang burung pun cukup untuk wanita mungil sepertimu," goda Howard dengan tawa baritonnya yang terdengar menyenangkan.

Misha tergelak. Howard selalu bagai keluarga baginya, karena laki-laki itu sudah mengenalnya sejak di usia sekolah dasar hingga sekarang.

Meski kini temannya itu berada di Jerman untuk sekolah kedokteran, tapi mereka terus berkomunikasi tanpa pernah lupa meski tidak setiap hari.

"Ah! Terima kasih juga untuk nomor barunya, Howard," ucap Misha dengan tulus.

Howard tertawa kencang.

"Jangan sungkan. Itu milikku. Jadi tidak akan yang bisa mengaitkannya denganmu," jawab Howard dengan ceria.

"Emh... Misha?" suara Howard tiba-tiba terdengar ragu.

Misha langsung berhenti memasukkan baju ke dalam lemarinya, mematikan speaker ponselnya lalu duduk di kasur dengan tenang.

Dia sudah sangat mengenal Howard, termasuk sikap ragu-ragu pria itu saat ingin membicarakan sesuatu yang serius.

"Aku mendengarkanmu, Howard." ucap Misha sambil meremas-remas tangannya dengan gugup.

Dia tahu hari ini akan tiba. Howard jelas bertanya banyak hal yang belum sanggup Misha jawab saat itu. Dia malah berjanji akan menjawab pertanyaannya setelah dia pergi jauh dari sana.

Untungnya temannya itu mengalah, dan dengan baik hati menghubungi koneksi dekatnya untuk mencarikan tempat yang sahabatnya inginkan.

"Kenapa kau tiba-tiba pergi, Misha?" tanya Howard terdengar serius kali ini.

Misha menggigit bibirnya menahan rasa ngilu yang muncul kembali dalam hatinya setiap dia mengingat rasa sakit yang dialaminya minggu lalu.

"Aku memergoki Harry dan Miranda di ranjang, Howard. Itu terlalu buruk untuk aku tanggung," kata Misha dengan getir.

Howard terdengar mengumpat kasar di seberang sana.

"Harry brengsek! Aku sudah pernah mengancamnya jika menyakitimu, Mish," geram  laki-laki itu tak menutupi nada marahnya.

"Aku tahu. Mereka hanya terlalu brengsek, kurasa." guman Misha tersenyum pahit sambil memilin ujung baju yang dipakainya.

"Miranda bilang dia hanya ingin membantuku dengan meniduri calon iparnya," sinis gadis itu. 

Howard terdengar mengumpat sekali lagi. Bahkan Misha bisa mendengar cukup jelas umpatan kasar pada kakaknya dari pria itu.

"Aku tahu kakakmu memang wanita kurang ajar sejak dulu, Mish. Tapi aku tidak mengira dia akan mengkhianati adiknya sendiri," geram Howard.

Misha menggembungkan pipinya dengan ekspresi sedih.

"Howard, sudahlah. Lebih baik aku tahu sebelum kami menikah, bukan?" sela gadis itu dengan senyum sendu. 

"Ya, memang. Tapi mereka kejam sekali padamu. Ya Tuhan.... Misha, rasanya aku ingin menghajar keduanya sampai remuk," gerutu Howard jelas ikut merasa marah dan sakit hati.

Misha tertawa pelan.

"Kau tidak sekuat itu, bodoh!" ejek Misha sambil tersenyum sayang membayangkan tubuh kurus sahabatnya yang sedang marah.

"Yah, kau memang menyebalkan. Aku sedang marah dan kau malah menghinaku," protes Howard dengan kesal.

Misha tertawa kencang kali ini. Howard selalu jadi penyelamat di hidupnya. Dia begitu menyayangi laki-laki itu hingga rasa sakit sedalam apapun tetap tak bisa menghalanginya tertawa dengannya.

"Ah, Misha, aku lupa sesuatu. Jangan habiskan tabunganmu terlalu cepat. Temanku Lizzie mungkin hanya bisa memberimu pekerjaan yang bagus, tapi tidak terlalu bergaya," kata Howard. 

Misha mengerjap kaget.

"Kau bercanda? Aku punya pekerjaan?" pekik gadis itu senang.

Howard tertawa pelan.

"Tentu saja, bodoh. Aku tidak mungkin membuatmu harus menjual diri saat kelaparan," kesal laki-laki itu.

"Oh, Howard! Aku sangat menyayangimu," ucap Misha dengan terharu.

"Ya ya ya, aku tahu. Kau hanya terlalu menyebalkan untukku," jawab Howard terdengar geli.

"Temui saja wanita berambut pirang yang bernama Lizzie di flat sebelahmu. Dia yang akan memberimu pekerjaan," kata Howard yang membuat Misha mengangguk tanpa sadar.

***

Misha mengetuk pintu tetangga sebelah rumahnya dengan ragu-ragu. 

Tak lama, pintu unit yang mirip dengan miliknya itu terbuka dan menampakkan seorang wanita cantik berambut pirang ikal yang memakai kaos tanpa lengan dengan noda saus di dadanya.

"Ya?" Wanita itu menatap Misha dengan asing.

"Kau Lizzie?" tanya Misha ragu-ragu.

Perempuan itu mengangguk bingung, lalu membelalak saat tampaknya mengingat sesuatu.

"Kau Misha, teman Howard?" ucap Lizzie dengan senyum tipis.

Misha mengangguk pelan.

"Masuklah! Aku sedang menyuapi anakku," ajak Lizzie dengan ramah.

Misha mengerjap kaget. Usia Lizie terlihat tak jauh dengannya. 

"Kau punya anak?" tanya Misha, lalu ikut berjalan masuk ke rumah tetangga barunya itu.

Misha memasuki rumah kecil yang tampak rapi dan berwarna-warni. 

Di sebuah karpet bulu berwarna putih gading, seorang anak laki-laki yang sangat menggemaskan menatap kearahnya dengan lucu.

"Ya Tuhan! Dia setampan malaikat," puji Misha dengan kagum sambil menghampiri bocah kecil itu dengan antusias.

"Siapa namamu?" Sapa Misha pada anak itu dengan gemas.

"Namaku Barry," jawab anak itu dengan senyum yang sangat memikat.

Misha langsung jatuh hati pada bocah tampan berambut pirang seperti ibunya itu.

Lizzie terkekeh pelan melihat tingkah tetangga barunya itu.

"Misha, kuharap Howard sudah bercerita jika pekerjaan yang akan kutawarkan mungkin tidak sebaik yang kau inginkan," ucap wanita berambut pirang itu tampak tak enak.

Misha menoleh lalu merapikan rambut coklat kemerahannya yang ditarik-tarik anak Lizzie sebelumnya.

"Seburuk itukah? Katakan saja Lizzie, aku akan mencoba," kata Misha dengan serius.

Lizzie tersenyum lembut ke arahnya.

"Kita akan membersihkan rumah-rumah yang baru selesai dibangun. Sebelum pemiliknya mengisi dengan furnitur dan sebagainya, kita ada di tim yang membersihkan sisa debu konstruksinya," jawab wanita itu dengan senyum ramah.

Misha sedikit terkejut saat tahu pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh perempuan secantik dan selembut Lizzie.

"Kita mengerjakan semuanya berdua?" tanya Misha dengan cemas.

Ibu muda satu anak itu tertawa kencang mendengarnya.

"Tentu saja tidak. Kita ada 8 orang dalam satu tim. Para pria mengerjakan bagian yang berat, tentu saja. Dan kita membersihkan sisanya. Seperti membersihkan lantai, jendela dan tempat-tempat berdebu lainnya," terang Lizzie dengan lancar.

Misha menghembuskan nafasnya dengan lega. Ternyata sama sekali tidak seburuk yang dibayangkannya.

"Aku mau! Kapan kita mulai dan dimana?" tanya gadis berambut merah itu dengan bersemangat.

Lizzie tersenyum lebar melihatnya.

"Besok pagi. Dan rumah baru yang akan kita bersihkan adalah milik Andreas Maxwell," 

Misha terperangah kaget mendengar sebuah nama yang pernah didengarnya.

"Apa? Kau pasti bercanda…"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status