Ponsel di nakas berbunyi nyaring. Dua orang yang meringkuk di atas tempat tidur tanpa sehelai benang melekat di tubuh, menggeliat. Lala membuka mata ketika tangan yang melingkari perutnya bergerak dan punggungnya di gesek dengan hidung.
“Mas Aiden, ada telepon tuh,” kata Lala dengan suara serak.
Dia duduk. Bersandar pada kepala ranjang sambil menarik selimut sampai ke dada, sedangkan Aiden dengan mata setengah terbuka meraih ponselnya. Menempelkan ke telinga.
Lala mengamati kamar Aiden yang mirip kapal pecah. Meja belajar Aiden berantakan. Lantai kamar berserakan seragam SMA dan tas mereka. Kasur yang selimutnya tak beraturan lagi bentuknya. Bra dan celana dalamnya terletak mengenaskan di kursi meja belajar. Baju kaos dan celana dalam Aiden bahkan tersangkut di kusen jendela.
Lala menghela napas. Ada sesal datang menyusup setelah dia melakukan hal terlarang bersama Aiden dua jam lalu.
“Kamu nyesal?” Aiden meletakkan ponselnya lalu duduk di samping Lala dan memeluknya.
Cewek itu mendesah lirih. “Harusnya kita nggak ngelakuin ini, Mas. Merayakan anniv satu tahun kan bisa dengan cara lain? Aku nggak tahu kenapa aku nggak bisa nolak saat kamu dengan lembutnya cium bibir aku. Dan … tanpa sadar kita sudah begini.”
Aiden mencium pucuk kepala Lala. “So, kamu nyesal?”
“Nyesal nggak ada gunanya juga, kan? Nyesal nggak akan mengembalikan apa yang sudah hilang. Aku takut hamil. Aku baru kelas dua SMA, Mas. Sedangkan kamu udah mau lulus. Gimana sekolah aku kalau itu sampai kejadian?”
Lala menengadah. Menatap wajah kekasihnya, Aiden Baratya. Cowok tertampan di sekolah. Jadi yang paling kaya juga. Entah dapat rezeki apa Lala yang tidak ada cantik-cantiknya dan juga miskin melarat ini sampai bisa memacari Aiden. Kisahnya mirip kisah Cinderella.
Cowok beralis tebal itu tersenyum lembut. Pelukannya semakin mengerat. Pelukan sayang, setidaknya itulah yang Lala rasakan.
“Kamu nggak akan hamil. Percaya deh. Kita juga baru sekali ngelakuin ini, kan? Jadi kamu nggak bakalan hamil.”
Meskipun kata-kata itu Aiden ucapkan dengan nada penuh penenangan, tapi tidak sedikitpun membuat Lala tenang. Raut cemas tergambar jelas di wajahnya. Mengetahui itu Aiden lalu berkata, “Kalau kamu hamil, aku akan tanggung jawab.”
Lala malah semakin nelangsa. Jika ada bayi yang tumbuh di perutnya kelak, keluarga Baratya tidak akan tinggal diam. Mereka akan melakukan segala macam cara untuk mempertahankan nama baik mereka. Manusia seperti Lala hanyalah aib. Apalagi bayinya, dia adalah kutukan.
Mereka pasti akan menyuruh Lala menggugurkan kandungan atau menyuruh Lala pergi dari hidup Aiden selamanya dengan uang yang sanggup menghidupinya selama dua puluh tahun ke depan.
Aiden mencubit pelan pipi Lala. “Jangan murung gitu dong. Aku jadinya makin merasa bersalah.”
“Kalau aku beneran hamil, keluarga kamu pasti nggak akan terima, kan?”
Aiden tertawa. “Keluarga mana yang kamu maksud, La? Aku cuma hidup sama mama, papa aku udah nggak ada. Kamu tahu sendiri mamaku kayak gimana? Cinta mati sama kamu. Jadi … jangan murung lagi dong.”
Aiden memajukan bibir sambil mengerjapkan mata. Mau tak mau Lala tertawa melihatnya. Ditambah lagi Aiden menggelitiki pinggangnya. Makin pecah tawa Lala sampai dia harus memukul lengan Aiden agar berhenti.
“Mau makan, nggak?”
Lala menggeleng. Dia bangkit dari ranjang lalu memunguti baju-bajunya yang berserakan. “Mau langsung pulang aja. Takut mama nungguin. Aku nggak bilang hari ini mau bolos sama mama.”
Aiden turut memunguti seragamnya. “Kalau kamu bilang mau bolos, jelas mama kamu nggak akan setuju.”
Cowok itu membantu Lala memasang kaitan branya. Hal itu sukses membuat Lala memekik.
“Mesum!”
Aiden tertawa garing. Dia memeluk Lala dari belakang. Menenggelamkan hidung di ceruk leher Lala dalam-dalam.
“Aku cinta banget sama kamu, La. Apapun yang terjadi nanti jangan benci aku, ya.”
Lala melepas pelukan Aiden. Berbalik, menghadap cowok itu. “Emang apa yang akan terjadi sih? Mas tenang aja, mau hujan badai kek, mau kiamat kek, banjir, tsunami, aku akan tetap cinta sama kamu. Titik.”
Aiden tersenyum dan pelukannya di perut Lala semakin mengerat.
* * *
Ketika bel istirahat berbunyi, Lala langsung pergi ke kelas Aiden sambil membawa kotak bekal. Langkahnya ringan dan cepat. Senyum tak pernah luntur dari bibirnya. Sesampainya di depan pintu kelas XII IPA 5, Lala langsung disambut godaan dari teman cowok Aiden. Teman ceweknya malah menatap Lala sinis. Cewek itu memilih tidak menggubris. Sudah sangat biasa mendapat perlakuan begitu.
Dia mengedarkan pandangan menyapu kelas, tapi Aiden tidak ada di manapun juga. Keningnya mengernyit, heran. Lalu Ben, sahabat Aiden, menghampirinya dan menyuruh Lala masuk.
“Kata Aiden, masakan kamu enak banget. Dia mau boker dulu biar bisa makan banyak.”
Punuturan Ben sontak membuat Lala tergelak. Dia lalu masuk. Duduk di bangku Ben yang bersebelahan dengan bangku Aiden.
Tak lama, Aiden datang dengan dua buah botol gelas mineral di tangan. Langsung duduk di samping Lala dan mengecup pipinya singkat. Hal itu sukses membuat teman-temannya yang jomblo berteriak murka.
“Kamu sudah cebok?” tanya Lala ketika Aiden membukakan segel botol air mineral untuknya.
Kening Aiden keriting. “Maksud kamu?”
Lala mengulum senyum. “Kata Mas Ben, kamu tadi boker.”
Aiden yang sedang meminum airnya tersedak. “Sialan!”
Di tengah acara makan siang, seisi kelas XII IPA 5 termasuk Lala dibuat terperanjat. Pasalnya pintu digebrak saat suasana sedang tenang-tenangnya.
Mereka menoleh ke sumber suara. Lala langsung tercekat ketika tahu siapa yang mengusik ketenangannya.
Dauni, siswi tercantik di sekolah. Kelas XII IPS 1. Bucin Aiden. Cewek yang benci melihat kemesraan mereka. Musuh bebuyutan Lala.
Dengan tubuhnya tinggi semampai dan ideal bak model, Dauni menghampiri Aiden dan Lala. Mengambil sebuah kursi dan duduk di hadapan Lala dengan raut bengis.
“Seneng lo satu tahun ini sama Aiden?”
Lala mengangguk antusias. “Ya jelas lah. Nggak liat pipi gue makin hari makin berisi?”
Sebelah sudut bibir Dauni naik. “Terus perut lo, berisi juga?”
Lala langsung berhenti mengunyah. Dia menatap Dauni penuh selidik.
“Jangan didengerin,” bisik Aiden sambil meremas tangannya.
“Sayangnya lo harus dengerin ini, La.”
Dauni menarik kursinya semakin mendekati Lala. Ditatapnya wajah berpipi agak berisi itu dengan sinar mata penuh dendam.
“Lo pikir Aiden beneran cinta sama lo? Nggak, La. Lo cuma jadi yang kesekian yang akan dipatahkan hatinya oleh Aiden. Lo cuma mainannya dia.”
Tubuh Aiden beku di tempat. Dia mendesis. “Jangan dengerin dia, La. Aku cinta sama kamu, beneran.” Dia semakin meremas tangan Lala.
“Da, lo diem!” bentak Aiden pada Dauni. Hanya dibalas kedikan bahu oleh cewek cantik itu.
Sementara Lala sudah benar-benar berhenti mengunyah. Makanannya dia masukkan secara paksa ke dalam kerongkongan yang mendadak kering.
“Gue nggak bisa diem, Den. Udah satu tahun juga, kan? dan lo udah nidurin dia. So, saatnya jujur.”
Lala menggigit bibirnya sebelum berkata, “Jujur tentang apa?” Dia menatap Aiden dan Dauni bergantian.
“Nggak ada apa-apa, Sayang. Jangan dengerin Dauni, ya. Jangan percaya dia. Cukup percaya sama aku. Oke?”
Lala menggeleng lemah. Raut bingungnya makin kentara. “Ceritain, tolong,” katanya dengan suara bergetar.
Dauni tersenyum lebar. “Jadi, karena lo yang sok jual mahal padahal miskin ini membuat Aiden tergerak untuk bikin tantangan. Katanya dia mau bikin lo jatuh cinta terus ngehancurin lo tanpa sisa.”
“Hah ….”
“La ….” Aiden meraih kedua bahu Lala. Meremasnya. “Itu semua nggak bener.”
Dauni memegang tangan Aiden. “Kenapa jadi munafik gitu, Den? Bukannnya lo sendiri yang bilang mau jadiin Lala mainan? Lo merasa tertantang ngedekatin cewek yang sok jual mahal kayak dia. Lo bilang Lala bakalan tunduk sama lo kalau lo kasih uang, kan? Jadi, dia udah tunduk dong sekarang. Lo sudah berhasil nidurin dia, juga.”
Dauni menyeingai. “Lo dikasih uang berapa juta buat ganti keperawanan lo?” tanyanya pada Lala.
“Da! Lo Diem! Jangan hancurin hubungan gue sama Lala!” Aiden menggebrak meja dan memelototi Dauni.
“Hubungan yang mana, Den?! Semua orang tahu kalau lo ngedekatin Lala bukan karena cinta!” Dauni ikut meradang.
“Ben! Benicno! Sini lo!”
Ben yang sejak tadi berkeringat dingin di depan pintu kelas mendekat dengan hati-hati setelah dipanggil Dauni.
“Lo saksinya Ben. Bener nggak kalau Aiden ngedekatin Lala cuma buat main-main?”
Lala mendongak. Meminta Ben berkata jujur hanya dengan sinar matanya.
Ben semakin menunduk. “Sori, La ….”
Hancur sudah. Pecah. Remuk hati Lala. Melebur bersama air matanya yang turun deras. Dia berdiri. Menatap Aiden dengan seribu luka yang tersirat di wajah.
“Kamu ….” Lala tak sanggup meneruskan ucapannya. Kedua tangannya terkepal rapat. Bibirnya digigit sampai putih.
“Jadi … ini yang kamu maksud jangan benci kamu apapun yang terjadi?”
Aiden ikut berdiri. Meraih wajah Lala, tapi ditepis oleh gadis mungil itu. “Aku nggak mau ketemu kamu lagi!”
* * *
Lala duduk menekuk lutut di lantai kamar mandi. Wajahnya tersembunyi di antara dia lutut. Bahunya bergetar hebat. Di tangan kanannya tergenggam sebuah test pack dengan dua buah garis berwarna biru.
Langkah Lala terhenti ketika mendengar suara anak menangis tak jauh dari tempatnya sekarang. Cewek itu segera menghampiri segerombolan anak yang sedang mengelilingi seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu menekuk lutut. Terisak hebat.“Ruli nggak punya mama ... karena Ruli anak nakal. Mama Ruli nggak suka Ruli karena cengeng dan nakal.”Begitulah, gerombolan anak itu menyanyi sambil bertepuk tangan. Mereka berdiri membentuk lingkaran lalu mengelilingi seorang anak laki-laki bernama Ruli.“Ruli nggak nakal! Ruli nggak cengeng!”“Ruli emang nakal dan cengeng. Weee ….”Lala buru-buru masuk ke dalam lingkaran dan memeluk Ruli. “Sssttt, kamu jangan nangis lagi, ya. Ada Kakak di sini.”Dia lalu memandangi teman-teman Ruli satu-satu. “Kalian jangan gitu lagi, ya. Nggak boleh bikin teman kalian nangis. Mau nanti dihukum Tuhan?”Anak-anak itu langsung pucat. Mereka menggelen
Lala terbangun karena mendengar deringan ponselnya. Dengan setengah terpejam dia meraih ponsel itu. Tubuhnya langsung beku ketika tante dengan suara bergetar menyapanya lebih dulu.“Halo, La. Maaf Tante ganggu. Tante cuma mau ngasih tahu kalau besok tenggat terakhir pembayaran biaya rumah sakit mama kamu.”Lala terdiam. Memijit pelipis sejenak sebelum berkata, “Iya, makasih Tante,” dengan lirih.“Kamu sudah ada uangnya?”“Eeemmm … belum,” jawab Lala hati-hati.Terdengar tantenya mendesah pelan di ujung telepon. Hal itu sukses membuat Lala tidak nyaman. Merasa sangat merepotkan adik mamanya itu, yang sudah rela merawat mama selama tiga tahun ini tanpa diberi upah sepeserpun. Tak jarang tante malah memberinya uang untuk menebus obat dan keperluan mama yang lain. Padahal, tantenya sama tidak punya uangnya seperti mereka.“Halo? Kamu masih di sana, La?”
Gemerlap cahaya lampu menjadi penghias kelab malam yang ramai pengunjung. Lampu-lampu redup di pasang di seluruh penjuru bar. Menimbulkan kesan remang-remang, bahkan tak jarang ada juga yang menganggapnya romantis. Sekalipun musik yang diputar di sana sanggup bikin pekak telinga.Lala, seperti biasa, dengan gaun kurang kain berwarna merah menyala, lipstik merah, dan sepatu berhak yang juga berwarna merah, berjalan gemulai membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Meletakkannya di meja pengunjung yang memesan. Berlalu setelah melempar senyuman manis terkesan genit. Bukan bermaksud menggoda. Tidak ada sama sekali niat menggoda para laki-laki berdompet tebal. Ini murni suruhan atasan. Bos empunya kelab.Lala berkumpul dengan pelayan lain di ujung meja di sudut kelab. Berdiri sambil mengedarkan mata ke seluruh ruangan. Hentakan musik tidak mampu membuat tubuh Lala ikut menari. Dia bahkan tidak menikmati kehadirannya di sini. Walapun sudah tiga tahun bekerja, dia masih
Cowok itu lagi!Sumpah mati Lala tidak sudi melihat mukanya lagi.“Permisi,” pamit Lala sambil melepaskan tangan Aiden dari bahunya.Aiden menggeram. Detik berikutnya dia menyeret Lala keluar kelab.“Kenapa main seret-seret sih?!” maki cewek itu saat mereka sudah di luar kelab.Aiden memandangi Lala dari atas sampai bawah. Wajahnya yang beraut hangat berubah datar dan dingin. “Kamu ngapain di sini?”Lala membuang muka. “Bukan urusan kamu.”Tubuh tinggi Aiden semakin menjulang karena badan laki-laki itu menegap. “Jawab aku, La. Kamu ngapain ada di sini? pakai baju kayak gini, lagi. Baju kurang kain. Kayak bukan kamu aja. Terus, aku liat kamu tadi duduk bareng Deson. Kamu nggak sedang godain dia, kan?”“Aku nggak ada waktu untuk menjawab pertanyaan kamu. Aku sibuk.”Lala berlalu. Bermaksud kembali ke dalam kelab.Aiden menyentak lengannya dan la
Alis Lala bertaut. Pagi-pagi, jam enam, pintu kamar kosnya diketuk. Dia yang tengah sibuk menyetitka baju bangkit perlahan. Berjalan menuju pintu penuh pertimbangan. Habisnya, beberapa tahun dia tinggal di kamar sederhana ini, baru kali ini ada yang mengetuk sepagi ini. Tidak mungkin bu Meira karena wanita setengah baya itu sedang keluar kota.Wajahnya memucat. Sambil menggigit bibir, Lala membuka pintu. Pupil matanya langsung melebar ketika melihat Aiden berdiri gagah di depan pintu kamarnya.“Hai.” Aiden menyapa dengan senyum menawan. Senyuman yang sama persis seperti delapan tahun silam.Lala membeku. Denyutan itu terasa lagi. Membuat sesak. Susah bernapas. Bibir Aiden yang tersungging senyum memaksanya kembali ke memori masa lalu. Indah sekaligus menyakitkan itu.Sweet but shit!Meskipun sudah delapan tahun berlalu, tapi sakit hatinya tidak pernah membaik. Lala dibuat heran dengan dirinya sendiri. Orang lain bis
Sepulang dari sekolah, Lala duduk di sofa menemani Ruli belajar membaca. Setelah selesai merapikan rumah –yang-sebenarnya-tidak-pernah-berantakan-, tapi karena Lala merasa sungkan, digaji puluhan juta sedangkan kerjaannya semrawutan. Akhirnya dia secara sukarela menjadi pembantu di sini. Bersih-bersih rumah, menyiapkan makan siang untuk Ruli dan mencuci piring. Bahkan semua itu tidak sepadan dengan gajinya yang luar biasa.Aiden memang gila. Rela mengeluarkan uang puluhan juta cuma untuk membayar tenaganya yang tidak seberapa. Tanpa sadar Lala menggelengkan kepala. Dia kembali memerhatikan Ruli yang sibuk menulis huruf-huruf di bukunya. Lala akui, anak Aiden ini, kepintarannya di atas rata-rata. Saat anak seusianya masih sibuk menghapal huruf, dia sudah bisa membaca. Saat anak-anak lain masih menghapal angka, Ruli sudah hapal perkalian tiga. Gila!Pasti otak encernya ketularan sang papa. Lala ingat saat masih SMA Aiden pasti, selalu, memenangkan olimpiade. Membua
Lala menyesal karena sudah menerima tawaran Aiden untuk bekerja dengannya. Semuanya jadi runyam. Hidupnya yang sekarang, juga yang akan datang semakin tidak jelas arahnya. Harusnya dia menolak saja tawaran Aiden itu. Peduli setan dengan gaji puluhan juta jika akhirnya akan begini jadinya. Dia merasa semakin terperosok jauh ke dalam lubang gelap. Semakin gelap ketika Marina mengatakan sepatah kalimat yang tidak pernah Lala sangka sebelumnya.“Menikah dengan Aiden, ya, La.”Menikah dengan Aiden? Sialan! Gila apa?! Menikah dengan Aiden tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Bahkan bertemu dengan cowok itu pun tidak pernah dia harapkan. Dia sudah bertekad akan berhenti bekerja dengan Aiden ketika ibunya sudah sembuh. Lala yakin itu tidak akan lama lagi. Karena kata tante, kesehatan ibunya sudah jauh lebih baik.Hanya satu niatnya berkerja untuk Aiden. Uang. Adien adalah ATM berjalannya. Setelah dia tidak
Lala harus segera berhenti bekerja dengan Aiden. Pokoknya dia harus bisa melepaskan diri dari sana sebelum ketahuan ibunya. Bisa mati dirajam dia kalau sampai wanita kesayangannya itu tahu kalau dia kembali berhubungan dengan Aiden. Cowok yang sudah membuatnya dan sang ibu terpuruk selama delapan tahun.Setelah mengetahui kebenaran perasaan Aiden dari mulut Dauni saat itu, yang Lala rasakan adalah langit runtuh menimpa dirinya dan bumi menghimpit tubuhnya. Seketika itu juga Lala merasa mati adalah pilihan yang tepat daripada harus menahan hati yang terus menggaungkan luka. Tambah lagi, dia harus menanggung akibat dari perbuatan mereka saat merayakan anniversary itu.Lala pernah hamil. Lima bulan. Lalu janin yang sangat dia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Padahal, Lala bersumpah akan menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dia rela berhenti sekolah karena tidak mau menggugurkan kandungannya.Dia tahu ibu sangat kecewa padanya. Untungnya w