Langkah Lala terhenti ketika mendengar suara anak menangis tak jauh dari tempatnya sekarang. Cewek itu segera menghampiri segerombolan anak yang sedang mengelilingi seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu menekuk lutut. Terisak hebat.
“Ruli nggak punya mama ... karena Ruli anak nakal. Mama Ruli nggak suka Ruli karena cengeng dan nakal.”
Begitulah, gerombolan anak itu menyanyi sambil bertepuk tangan. Mereka berdiri membentuk lingkaran lalu mengelilingi seorang anak laki-laki bernama Ruli.
“Ruli nggak nakal! Ruli nggak cengeng!”
“Ruli emang nakal dan cengeng. Weee ….”
Lala buru-buru masuk ke dalam lingkaran dan memeluk Ruli. “Sssttt, kamu jangan nangis lagi, ya. Ada Kakak di sini.”
Dia lalu memandangi teman-teman Ruli satu-satu. “Kalian jangan gitu lagi, ya. Nggak boleh bikin teman kalian nangis. Mau nanti dihukum Tuhan?”
Anak-anak itu langsung pucat. Mereka menggeleng pelan. Satu-satunya anak berbadan gemuk di sana berkata, “Tapi Ruli emang nggak punya mama, Kak.”
Lala mencubit gemas pipinya. “Ruli punya mama kok. Cuma mamanya lagi kerja. Cari uang supaya nanti Ruli bisa beli robot besar. Nanti kamu kalah loh dari Ruli.”
“Aku juga mau punya robot besar! Nanti aku suruh mama kerja!”
Lala terkekeh. “Jangan ngatain Ruli lagi, ya. Janji?”
Anak-anak itu mengangguk serentak. “Janji, Kak!”
Sepeninggal mereka, Lala mengajak Ruli duduk di kursi taman yang terletak tak jauh dari sekolah TK Ruli. Sebelumnya dia membeli es krim di minimarket terdekat untuk mereka berdua.
Lala mengelus rambut lurus Ruli dengan sayang. Sesekali menyapu sudut bibirnya yang belepotan es krim cokelat.
“Punya mama itu rasanya gimana, Kak?” tanya Ruli tiba-tiba. Matanya yang memancarkan keluguan mengerjap pelan. Membuat Lala kasihan.
“Ruli juga mau punya mama, sama kayak yang lain. Sekolah ditemenin mama, makan disuapin mama, tidur dipeluk mama, dimandiin mama. Ruli nggak mau sama ayah. Ruli bosan.”
Lala menyugar rambut Ruli.“Emangnya mama Ruli ke mana?” tanyanya hati-hati.
Anak itu menggeleng pelan lalu mengangkat bahu. Ekspresi polosnya membuat Lala berkaca-kaca. Setengah menit kemudian, air mata lolos dari kedua sudut matanya.
“Kata papa, mama Ruli sudah diambil Tuhan karena Tuhan sayang sama mama. Terus, apa Tuhan nggak sayang sama Ruli?”
“Tuhan sayang kok.”
“Terus kenapa Tuhan ambil mama?”
“Errr ….”
Untuk yang satu itu Lala tidak bisa menjawab karena dia juga punya pertanyaan yang sama. Kenapa Tuhan mengambil ayahnya? Satu pertanyaan yang selalu Lala ajukan kepada mama ketika dia masih seumuran Ruli. Saat itu mama hanya tersenyum sambil terus membelai rambutnya dan mencoba mengalihkan perhatiannya pada hal-hal lain yang lebih menarik.
“Tapi Ruli punya papa yang hebat, kan? Buktinya Ruli bisa segede sekarang berkat papa. Gimana rasanya punya papa? Kakak nggak punya papa loh.”
Ruli mendongak. “Kakak nggak punya papa?”
“Nggak punya. Papa Kakak juga diambil Tuhan, sama kayak Ruli.”
Anak itu semakin murung. Es krim di tangannya dibiarkan mencair. Dia memilih menunduk, memandangi sepatu putih bertalinya yang dibelikan papa sebagai hadiah ulang tahunnya yang kelima, minggu tadi. Sekarang, sepatu itu longgar ikatannya.
“Papa ngelakuin semuanya untuk Ruli. Mandiin Ruli, antar jemput Ruli, nyuapin Ruli, bacain dongeng sebelum tidur. Semuanya. Ruli sebenarnya nggak butuh mama, Ruli cuma kasian liat papa ngurusin Ruli sendirian. Meskipun ada nenek yang kadang datang ke rumah, tapi tetap aja papa nggak mau ngerepotin nenek.”
Lala berjongkok di hadapan anak itu. Dia mengencangkan ikatan sepatu Ruli kemudian tersenyum. “Nah, berarti papa Ruli adalah papa yang hebat. Ruli harus nurut sama papa, ya. Jangan ngerepotin papa. Oke?”
Ruli mengangguk cepat. “Oke, Kak.”
“Good!”
Lala kembali duduk di samping Ruli. Menemani anak itu sampai ayahnya, yang kata Ruli, akan menjemputnya tepat jam setengah sebelas. Lala melirik jam tangannya sebentar. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum papa Ruli datang.
Mereka bicara banyak hal. Lala yang periang berhasil membuat bibir Ruli terkembang senyum merekah. Tak jarang anak itu dibuatnya tertawa cekikikan. Tawa Ruli langsung lenyap ketika melihat mobil papanya memasuki halaman TK yang luas.
“Kak, papa Ruli sudah datang.”
Lala mengangguk. Melihat sekilas mobil mewah berwarna hitam tersebut lalu menyugar rambut Ruli sekali lagi sebelum berdiri. “Ya udah, Kakak pamit, ya.”
“Ketemu sama papaku, yuk, Kak,” ajak Ruli. Langsung ditolak Lala dengan gelengan kepala.
“Bentar aja, Kak.”
“Eee, emangnya buat apa?”
Tanpa menjawab pertanyaan Lala, Ruli langsung menarik tangannya dan membawanya menuju mobil sang papa.
Papa Ruli membuka pintu mobil. Langkah anak itu semakin cepat dan terkesan setengah berlari.
“Papa! Tadi Kakak ini nolongin Ruli dari teman-teman Ruli yang nakal!”
Lala membawa langkahnya mengikuti Ruli menuju sisi mobil. Kepalanya tertunduk karena malu melihat wajah papa Ruli yang diyakininya sangat tampan. Papa Ruli sendiri belum keluar dari mobil sementara pintunya sudah terbuka sedikit.
“Nama Kakak siapa?” Ruli menggoyang tangan Lala yang digenggamnya.
“Lala.”
“Pa, Kak Lala tadi sudah nolongin Ruli.”
“Oh, ya? Sudah bilang makasih?”
Tubuh Lala menegang. Tanpa aba-aba hatinya berdenyut sakit. Entah kenapa. Mungkin karena suara bass milik papa Ruli sangat mirip dengan suara cowok yang selama delapan tahun ini berusaha dia lupakan.
“Makasih, ya, Kak Lala.”
Lala memaksakan senyumnya. Dia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Ruli sebelum menjawab, “Sama-sama. Kakak pulang dulu, ya,”
Dia berbalik tapi Ruli kembali menarik tangannya.
“Nggak mau. Kakak jangan balik sekarang. Ruli masih mau sama Kakak.”
“Eh?”
Papa Ruli yang sejak tadi tak lepas menatap layar ponsel akhirnya keluar. Tubuhnya tinggi besar. Kekar. Kemeja hitamnya tergulung sampai siku memperlihatkan lengan bawahnya yang berukiran urat-urat. Aroma parfum khas laki-laki menyapa indra penciuman Lala. Aroma yang membuat sekujur tubuhnya mati beku.
Bukan karena terpesona. Hanya saja hatinya semakin berdenyut sakit dan mungkin lukanya kembali terbuka. Pasalnya aroma ini sama dengan aroma tubuh orang yang sudah melukai hatinya dulu. Membuat organ satu itu porak-poranda. Sekarang, saat dia yakin seratus persen sudah bangkit dari keterpurukan, bayang-bayang itu datang lagi.
Kepalanya pusing. Telinganya berdengung. Kilasan masa lalu yang menyakitkan kembali menghantui. Membuat dadanya sesak. Dia hanya ingin pergi menjauh. Dan ketika dia pamit dengan tergesa-gesa, sebuah tangan besar meraih bahunya. Meremasnya dengan lembut. Kepala Lala yang tertunduk, perlahan terangkat. Mendongak.
Mereka sama-sama tercekat saat melihat wajah satu sama lain.
Sialan!
Lala refleks menepis tangan itu. Dia buru-buru lari dari sana. Tunggang langgang. Tanpa arah. Ke mana saja asal menjauh dari cowok itu. Aiden Baratya. Cowok yang sudah membuat hidupnya hampa. Tanpa rasa dan warna.
Dia terus berlari. Tak peduli dengan mata mengabur tertutup oleh air mata sialan yang seharusnya haram untuk muncul.
Apa-apaan?! Delapan tahun hidup dengan tekat sekuat baja untuk tidak menangisi Aiden langsung hancur saat delapan detik melihat wajah cowok itu lagi.
Sialnya langkah kecilnya berhasil diimbangi oleh langkah besar Aiden. Tubuhnya direngkuh kuat dari belakang. Membuat semua sendinya terasa mau copot dan tubuhnya siap melebur ke tanah.
“Lepasin, tolong,” pinta Lala dengan suara serak.
“Lalu kamu akan pergi lagi? Nggak, kalau gitu.” Aiden mengeratkan pelukannya.
“Nggak … nggak ada … kita nggak saling kenal. Kita cuma dua orang asing. Itu aja. Tolong berlakulah seperti itu biar hati ini nggak mengalami sakit yang sama. Tolong ….”
Lala memejamkan mata. Hampir mati rasanya berahan di pelukan Aiden sebelum cowok itu melepaskannya. Lala maju beberapa langkah, menjauh. Membiarkan tangan Aiden mengambang di udara.
“Kamu ke mana aja? Delapan tahun tanpa kabar.” Aiden mendekat. Berdiri di hadapan Lala, tapi cewek itu menundukkan kepala.
Lala cuma menggeleng. Dia berlalu dari hadapan Aiden. Tanpa menoleh dia berkata, “Kamu mending pulang. Kasian Ruli lama nungguin kamu.”
“Nggak sebelum aku minta maaf ke kamu. Maafin aku. Aku tahu memang sangat-sangat terlambat untuk minta maaf dan kesalahanku pun nggak bisa dimaafkan. Aku cuma-.”
“Aku udah maafin kamu,” potong Lala. “Nggak tahu apakah aku benar-benar sudah memaafkan atau aku cuma melupakan. Yang pasti, tolong jangan muncul lagi di hadapanku. Ternyata, waktu delapan tahun nggak bisa mengubahku jadi cewek tegar. Aku masih rapuh. Lebih rapuh dari yang dulu. Apalagi jika menyangkut tentang kamu. Cinta pertamaku yang palsu.”
Ketika mengucapkan kalimat terakhir itu, suara Lala bergetar. Dia berdeham beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sana.
“Aku mau jelasin semuanya ke kamu. Aku-.”
“Terlambat!” Lala menepis tangan Aiden yang mencoba memegang tangannya. “Nggak perlu jelasin lagi. Nggak akan mengubah apapun. Aku nggak mau membuka luka lama lebih dalam dari ini.”
Tanpa pamit. Tanpa menoleh ke belakang. Lala terus melangkah maju. Meskipun ini bukan jalan menuju tempat kosnya. Lala tidak mau ambil pusing. Pokoknya, selama jalan itu tidak mempertemukannya lagi dengan Aiden, dia akan menjalaninya.
Lala terbangun karena mendengar deringan ponselnya. Dengan setengah terpejam dia meraih ponsel itu. Tubuhnya langsung beku ketika tante dengan suara bergetar menyapanya lebih dulu.“Halo, La. Maaf Tante ganggu. Tante cuma mau ngasih tahu kalau besok tenggat terakhir pembayaran biaya rumah sakit mama kamu.”Lala terdiam. Memijit pelipis sejenak sebelum berkata, “Iya, makasih Tante,” dengan lirih.“Kamu sudah ada uangnya?”“Eeemmm … belum,” jawab Lala hati-hati.Terdengar tantenya mendesah pelan di ujung telepon. Hal itu sukses membuat Lala tidak nyaman. Merasa sangat merepotkan adik mamanya itu, yang sudah rela merawat mama selama tiga tahun ini tanpa diberi upah sepeserpun. Tak jarang tante malah memberinya uang untuk menebus obat dan keperluan mama yang lain. Padahal, tantenya sama tidak punya uangnya seperti mereka.“Halo? Kamu masih di sana, La?”
Gemerlap cahaya lampu menjadi penghias kelab malam yang ramai pengunjung. Lampu-lampu redup di pasang di seluruh penjuru bar. Menimbulkan kesan remang-remang, bahkan tak jarang ada juga yang menganggapnya romantis. Sekalipun musik yang diputar di sana sanggup bikin pekak telinga.Lala, seperti biasa, dengan gaun kurang kain berwarna merah menyala, lipstik merah, dan sepatu berhak yang juga berwarna merah, berjalan gemulai membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Meletakkannya di meja pengunjung yang memesan. Berlalu setelah melempar senyuman manis terkesan genit. Bukan bermaksud menggoda. Tidak ada sama sekali niat menggoda para laki-laki berdompet tebal. Ini murni suruhan atasan. Bos empunya kelab.Lala berkumpul dengan pelayan lain di ujung meja di sudut kelab. Berdiri sambil mengedarkan mata ke seluruh ruangan. Hentakan musik tidak mampu membuat tubuh Lala ikut menari. Dia bahkan tidak menikmati kehadirannya di sini. Walapun sudah tiga tahun bekerja, dia masih
Cowok itu lagi!Sumpah mati Lala tidak sudi melihat mukanya lagi.“Permisi,” pamit Lala sambil melepaskan tangan Aiden dari bahunya.Aiden menggeram. Detik berikutnya dia menyeret Lala keluar kelab.“Kenapa main seret-seret sih?!” maki cewek itu saat mereka sudah di luar kelab.Aiden memandangi Lala dari atas sampai bawah. Wajahnya yang beraut hangat berubah datar dan dingin. “Kamu ngapain di sini?”Lala membuang muka. “Bukan urusan kamu.”Tubuh tinggi Aiden semakin menjulang karena badan laki-laki itu menegap. “Jawab aku, La. Kamu ngapain ada di sini? pakai baju kayak gini, lagi. Baju kurang kain. Kayak bukan kamu aja. Terus, aku liat kamu tadi duduk bareng Deson. Kamu nggak sedang godain dia, kan?”“Aku nggak ada waktu untuk menjawab pertanyaan kamu. Aku sibuk.”Lala berlalu. Bermaksud kembali ke dalam kelab.Aiden menyentak lengannya dan la
Alis Lala bertaut. Pagi-pagi, jam enam, pintu kamar kosnya diketuk. Dia yang tengah sibuk menyetitka baju bangkit perlahan. Berjalan menuju pintu penuh pertimbangan. Habisnya, beberapa tahun dia tinggal di kamar sederhana ini, baru kali ini ada yang mengetuk sepagi ini. Tidak mungkin bu Meira karena wanita setengah baya itu sedang keluar kota.Wajahnya memucat. Sambil menggigit bibir, Lala membuka pintu. Pupil matanya langsung melebar ketika melihat Aiden berdiri gagah di depan pintu kamarnya.“Hai.” Aiden menyapa dengan senyum menawan. Senyuman yang sama persis seperti delapan tahun silam.Lala membeku. Denyutan itu terasa lagi. Membuat sesak. Susah bernapas. Bibir Aiden yang tersungging senyum memaksanya kembali ke memori masa lalu. Indah sekaligus menyakitkan itu.Sweet but shit!Meskipun sudah delapan tahun berlalu, tapi sakit hatinya tidak pernah membaik. Lala dibuat heran dengan dirinya sendiri. Orang lain bis
Sepulang dari sekolah, Lala duduk di sofa menemani Ruli belajar membaca. Setelah selesai merapikan rumah –yang-sebenarnya-tidak-pernah-berantakan-, tapi karena Lala merasa sungkan, digaji puluhan juta sedangkan kerjaannya semrawutan. Akhirnya dia secara sukarela menjadi pembantu di sini. Bersih-bersih rumah, menyiapkan makan siang untuk Ruli dan mencuci piring. Bahkan semua itu tidak sepadan dengan gajinya yang luar biasa.Aiden memang gila. Rela mengeluarkan uang puluhan juta cuma untuk membayar tenaganya yang tidak seberapa. Tanpa sadar Lala menggelengkan kepala. Dia kembali memerhatikan Ruli yang sibuk menulis huruf-huruf di bukunya. Lala akui, anak Aiden ini, kepintarannya di atas rata-rata. Saat anak seusianya masih sibuk menghapal huruf, dia sudah bisa membaca. Saat anak-anak lain masih menghapal angka, Ruli sudah hapal perkalian tiga. Gila!Pasti otak encernya ketularan sang papa. Lala ingat saat masih SMA Aiden pasti, selalu, memenangkan olimpiade. Membua
Lala menyesal karena sudah menerima tawaran Aiden untuk bekerja dengannya. Semuanya jadi runyam. Hidupnya yang sekarang, juga yang akan datang semakin tidak jelas arahnya. Harusnya dia menolak saja tawaran Aiden itu. Peduli setan dengan gaji puluhan juta jika akhirnya akan begini jadinya. Dia merasa semakin terperosok jauh ke dalam lubang gelap. Semakin gelap ketika Marina mengatakan sepatah kalimat yang tidak pernah Lala sangka sebelumnya.“Menikah dengan Aiden, ya, La.”Menikah dengan Aiden? Sialan! Gila apa?! Menikah dengan Aiden tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Bahkan bertemu dengan cowok itu pun tidak pernah dia harapkan. Dia sudah bertekad akan berhenti bekerja dengan Aiden ketika ibunya sudah sembuh. Lala yakin itu tidak akan lama lagi. Karena kata tante, kesehatan ibunya sudah jauh lebih baik.Hanya satu niatnya berkerja untuk Aiden. Uang. Adien adalah ATM berjalannya. Setelah dia tidak
Lala harus segera berhenti bekerja dengan Aiden. Pokoknya dia harus bisa melepaskan diri dari sana sebelum ketahuan ibunya. Bisa mati dirajam dia kalau sampai wanita kesayangannya itu tahu kalau dia kembali berhubungan dengan Aiden. Cowok yang sudah membuatnya dan sang ibu terpuruk selama delapan tahun.Setelah mengetahui kebenaran perasaan Aiden dari mulut Dauni saat itu, yang Lala rasakan adalah langit runtuh menimpa dirinya dan bumi menghimpit tubuhnya. Seketika itu juga Lala merasa mati adalah pilihan yang tepat daripada harus menahan hati yang terus menggaungkan luka. Tambah lagi, dia harus menanggung akibat dari perbuatan mereka saat merayakan anniversary itu.Lala pernah hamil. Lima bulan. Lalu janin yang sangat dia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Padahal, Lala bersumpah akan menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dia rela berhenti sekolah karena tidak mau menggugurkan kandungannya.Dia tahu ibu sangat kecewa padanya. Untungnya w
Lala mengerjap beberapa kali. Menyesuaikan dengan cahaya terang dari tempat asing ini. Ruangan yang serba putih. Bau obat tercium kuat semakin membuatnya pusing. Hampir muntah. Lala sungguh tidak tahan berada di sini. Ruangan yang dia yakin sebagai rumah sakit ini terasa begitu sunyi.Dia menoleh ketika pintu terbuka. Aiden masuk sambil membawa makanan. Lala bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Baru diasadari di tangan kirinya tertanam selang infus. Tangannya sedikit berdenyut nyeri ketika benda itu tak sengaja tertarik.“Kamu tiduran aja dulu, La.” Aiden mengganjal punggungnya dengan bantal lain.“Aku mau pulang.”Lala memalingkan wajah karena tidak tahan mencium bau tubuh Aiden yang tidak pernah bisa dialupakan.“Nggak boleh.” Aiden mengambil kursi kecil dan duduk di samping ranjang. “Kata dokter kamu nggak boleh pulang dulu. Kumpulin stamina kamu. Baru bisa pulang.”&