Share

Sebuah Awal

“Apa aku bilang, Ustazah Uswah baik kan, mekipun beliau ustazah riayah tapi beliau itu lembut, aduh pokoknya baik banget ustazahnya itu,” ucap Fatma terus-menerus.

 “Fatma cukup ya, kamu dari tadi tidak selesai-selesai memuji Ustazah Uswah. Lebih baik kamu sekarang diam saja, jangan mengganggu Rania. Biarkan dia berkonsentrasi menyelesaikan papernya, kamu sekarang hafalan jus tiga puluh saja, belum selesaikan hafalan kamu?” ucap Aulia.

Fatma hanya memberikan cengiran khasnya, menyadari bahwa masih banyak surat dari jus tiga puluh yang belum ia hafal, ia pun menghentikan kecerewetannya dan memilih untuk kembali menenggelamkan diri dengan jus amma yang ia pegang.

Rania pun dapat tersenyum kembali berkat kemurahan hati Ustazah Uswah yang bersedia menjadi ustazah pembimbing pengganti untuk dirinya. Tentunya hal itu terjadi juga berkat keberania dua temannya untuk bercerita kepada Ustazah Uswah. Malam itu ia pun begadang di depan riayah untuk menyelesaikan papernya, kebetulan malam itu ada teman yang bersedia bertukar jadwal kharisatu lail dengan dirinya. Sebenanya, malam itu bukanlah jadwal Rania jaga malam tapi karena ia menjelaskan alasannya akhirnya, salah satu teman Rania yang bertugas malam itu bersedia bertukar hari dengannya.

“Ran aku merasa sangat mengantuk, maaf ya aku tidak bisa menemani kamu sampai selesai,” ucap Aulia sambil menguap.

“Iya tidak apa-apa Aul, lebih baik kamu ke kamar sekang dan tidur, besok pagi kamu kan ada jadwal jaga ujian.”

“Oke deh aku pulang ke kamar ya, semangat!” ucap Aulia dengan mata yang tinggal beberapa watt.

“Heh Fat kamu juga lebih baik tidur sana, besok kan ada yang harus kamu urus,” ucap Rania pada Fatma yang masih sibuk dengan hafalan suratnya.

“Tenang saja aku lagi halangan dan aku juga tidak jaga ujian, aku kebagian piket gedung, jadi bisa santai karena mulai jaga kan jam tujuh. Pukul lima waktu presensi di riayah aku bisa titip absen ke temanku untuk izin ke ustazah riayah kalau aku masih di kamar mandi sakit perut, beres,” ucap Fatma dengan santai.

Rania menyipitkan matanya karena kesal, kemudian menghembuskan nafas kasar, “Fatma, ternyata kamu sudah merencanakannya dengan sangat matang ya, tapi sebaiknya kamu batalkan semua rencana gila itu. Itu tidak baik, kalau kamu ketahuan bisa dapat hukuman. Lebih baik jangan cari masalah, tinggal satu bulan lagi kita lulus kelas enam, jadi jangan cari masalah, dan selain itu sepertinya kamu tidak akan bisa bangun terlambat meskipun kamu sedang halangan.”

“Kenapa memangnya?”

“Aduh Fatma kamu pikun? Hilang ingatan? Atau pura-pura amnesia?” ucap Rania geram.

“Kamu apa-apaan sih Ran?” tanya Fatma dengan wajah bingungnya.

“Kamu tidak ingat besok pagi-pagi harus membersihkan guest house, menata makanan dan minuman untuk Ustaz Hanafi dan Ustaz Ahda?” Rania semakin kesal pada temannya itu.

“Ya Allah. Astaghfirullah, aku benar-benar lupa tentang hal itu, sama sekali tidak mengingatnya,” ucap Fatma sambil memegang kepalanya.

“Oleh karena itu, sebaiknya kamu sekarang tidur yang manis agar besok pagi bisa bangun tepat waktu.”

“Tapi aku kan sudah bilang ke kamu. Aku tidak mau bertemu dengan Ustaz Hanafi jadi aku tidak perlu ikut menyiapkan semua itu.”

“Fatma, kamu tidak kasihan denganku. Aku kan jaga malam,” ucap Rania kesal.

“Siapa juga yang menyuruh kamu, kan masih ada Anisa.”

“Anisa itu jaga ujian jadi tidak mungkin bisa.”

“APA!!!” seru Fatma.

“Ih tidak perlu teriak-teriak juga kali, ini sudah malam dan ini di depan riayah.”

“Aduh serius deh Ran, aku  benar-benar tidak mau bertemu dengan Ustaz Hanafi. Aku takut. Ayolah kamu saja ya yang menyiapkan keperluan mereka untuk besok,” Fatma memelas.

“Kamu kenapa sih takut dengan Ustaz Hanafi. Beliau tidak akan mungkin menggigitmu kok. Lagi pula beliau kan masih ada ikatan saudara dengan kamu, kok malah takut.”

“Karena ada ikatan saudara itulah dan juga karena ustaznya mengenalku jadi aku takut, biasanya kalau aku pulang ke rumah juga selalu berusaha menghindari beliau.”

“Sekali-kali kamu harus bertemu langsung supaya rasa takutmu itu hilang.”

Fatma tetap tidak menghiraukan nasihat Rania, ia tetap bersikeras tidak ingin bertemu dengan Ustaz Hanafi, karena merasa kasihan dan tidak tega dengan temannya itu, akhirnya Rania mengalah.

“Oke temanku yang paling cantik dan paling manja besok aku yang akan menyiapkan semuanya tapi kamu juga harus membantu. Kamu di dapur saja tidak apa-apa kok yang penting ada temannya,” ucap Rania beberapa saat kemudian.

“Asyiiik.... Nah begitu dong, baru namanya Rania yang baik hati tanpa pamrih,” Fatma bersorak gembira.

“Lebih baik sekarang kamu istirahat dan tidur!” usul Rania.

“Oke bos, siap,” ucap Fatma sambil memberikan tanda hormat pada Rania, tangan kanan ia letakkan diujung kening sebelah kanan, kemudian ia berjalan pergi meninggalkan Rania dengan senyum kelegaan.

**

Waktu menunjukkan pukul 03.40 WIB, suara speaker yang melantunkan ayat-ayat suci Al-quran telah berkumandang di seluruh wilayah PM, tepat saat itu pula paper milik Rania selesai. Ia bergegas ke gedung Al-azhar untuk membangunkan para santri yang tinggal di gedung tersebut. Rania tidak hanya sendiri ia bersama dengan tiga orang teman lainnya.

Pukul 04.00 WIB para santri telah meninggalkan gedung dan bergegas ke masjid kecuali para santri yang berhalangan, Rania merasakan matanya sangat berat. Ia mengantuk. Namun, ia berusaha menahannya, ia takut apabila tertidur. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke depan riayah, ia membereskan kertas-kertas miliknya yang berserakan, setelah membereskannya, ia megucap salam di pintu depan pengasuhan tepat saat ia ingin mengucapkan salam Ustazah Uswah keluar dari kamar.

“Rania,” sapa Ustazah Uswah.

“Ustazah saya ingin mengumpulkan ini,” ucap Rania sambil menyodorkan paper miliknya.

“Oh iya, sudah selesai?”

Alhamdulillah sudah Ustazah.”

“Kan akhirnya selesai juga, karena itu jangan menyerah dulu, belum-belum sudah menangis,” Ustazah Uswah mencoba menggoda Rania. Rania hanya terdiam dan tertunduk malu.

“Nanti setelah Salat Subuh saya periksa, sekarang saya ke masjid dulu, sudah kamu istarahat saja dulu, jam tujuh kamu ke sini lagi untuk mengambil papernya.”

“Baik Ustazah, terima kasih,” ucap Rania sopan.

Rania memilih pegi ke dapur umum untuk membantu teman-temannya yang piket dapur, ia merasa khawatir apabila kembali ke kamar ia akan tertidur dan terlambat membersihkan guest house.

Di sisi lain Ahda sedang berjalan menuju masjid depan pondok, milik warga sekitar untuk melakukan ibadah Salat Subuh, ia bersama dengan Ustaz Hanafi. Saat keluar dari pintu utama guest house ia melihat Rania berjalan meninggalkan gedung pengasuhan, letak guest house dan gedung pengasuhan memang saling berdampingan hanya terpisah sekitar satu meter untuk jalan.

Semenjak tadi malam, Ahda memperhatikan Rania, tentunya dengan diam-diam. Ia berbincang-bincang dengan Ustaz Hanafi hingga pukul 23.00 WIB. Pandangan mata Ahda terus mencuri pandang ke arah Rania, sayangnya santriwati itu terlalu serius dengan papernya sehingga tidak menyadari bahwa ada yang memperhatikannya dari jauh. Tentu saja tindakan yang dilakukan Ahda tanpa sepengetahuan Ustaz Hanafi, ia bersyukur karena saat itu ada Ustaz Ali dan Ustaz Azam yang juga ikut meramaikan perbincangan dengan Ustaz Hanafi sehingga Ustaz Hanafi tidak hanya fokus padanya.

“Kamu kenapa terus memandang ke arah pengasuhan? Apa ada yang kamu tunggu?” tanya Ustaz Hanafi tiba-tiba, sontak Ahda merasa terkejut, karena tanpa di sadari Ustaz Hanafi telah berada di sampingnya.

“Ah tidak Ustaz, tentu saja tidak ada, saya tidak mengenal siapa pun di sini, ini pertama kalinya saya berkunjung ke pondok ini.”

“Ya bisa saja kan meskipun baru pertama kali ke sini, siapa tahu saja tadi malam kamu bertemu dengan seseorang,” ucap Ustaz Hanafi dengan tenang, kemudia ia berjalan kembali mendahului Ahda.

Ahda mencoba menetralisasi hati dan pikirannya, kemudian ia berjalan mengikuti Ustaz Hanafi.

Astaghfirullah apa yang sebenarnya aku pikirkan ya Allah, ampuni hamba-Mu ini ya Allah,” ucap Ahda dalam hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status