Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB, Rania mengakhiri aktivitasnya di dapur umum dan dengan segera bergegas ke dapur guest house melalui pintu belakang. Saat ia tiba di sana telah ada Fatma yang sibuk memanaskan lauk.
“Aku kira kamu tertidur,” ucapan Fatma menyambut kedatangan Rania.
“Aku tidak mungkin ingkar janji, tadi aku dari dapur umum, bantu-bantu yang piket di sana, takutnya kalau aku ke kamar tidak bisa bangun.”
“Subhanaallah kamu baik banget sih Ran,” Fatma memeluk Rania yang berdiri di sampingnya.
“Sudah lah Fat, tidak perlu berlebihan juga,” Ramia mencoba melepaskan tangan Fatma yang memeluk lehernya.
“Kamu ah tidak bisa diajak romantis-romantisan,” Fatma melepaskan tangannya kemudian memasang wajah cemberut.
“Ih, kamu ini ada-ada saja, jelas lah aku tidak mau romantis-romantisan dengan kamu, maunya ya sama suamiku nanti, kalau sama kamu nanti jadinya anggur makan anggur.”
Fatma tertawa mendengar penuturan teman di sampingnya itu kemudian mereka pun tertawa bersama-sama.
“Kamu serius tidak mau menemaniku?” Rania mencoba merayu Fatma untuk menemaninya menata meja makan.
“Tidak, sekali tidak tetap tidak, sudah buruan Ran, berdoa saja tidak ada Ustaz Hanafi dan Ustaz Ahda.”
“Baiklah,” Rania berjalan malas dengan membawa lauk di kedua tangannya.
“Wah anti pagi-pagi sudah di sini,” suara seorang pria mengejutkan Rania membuatnya secara tidak sengaja menyenggol gelas yang ada di pinggir meja, nasib buruk menimpa gelas itu. Jatuh dan menjadi serpihan-serpihan yang tercecer di lantai.
“Innalillahi wa innailai rojiun,” gumam Rania dengan lirih.
“Maaf, saya tidak bermaksud mengagetkan kamu,” ucap Ahda merasa bersalah, suaranya menggambarkan nada penyesalan.
“Tidak apa-apa Ustaz, saya yang salah karena tidak berhati-hati,” Rania berjongkok membersihkan pecahan gelas kaca yang berserakan di lantai.
“Saya benar-benar minta maaf, saya harap kamu tidak kesal pada saya,” Ahda ikut berjongkok membantu Rania.
“Tidak apa-apa Ustaz, sungguh saya tidak kesal, dan ini biar saya saja yang membereskan,” ucap Rania tulus.
“Tidak saya akan membantu kamu, bagaimana pun saya ikut bersalah,” ucap Ahda tidak mau mengalah.
“Saya tidak enak kalau nanti Ustaz Hanafi melihat.”
“Tenang saja tidak apa-apa,” ucap Ahda santai, tidak ada tekanan dalam nada suaranya.
“Tapi..,” belum selesai Rania dengan ucapannya, Ahda sudah berbica terlebih dahulu.
“Siapa nama kamu?”
Dalam hati Rania sebenarnya merasa sedikit kesal karena Ahda memotong ucapannya sebelum selesai tapi ia menyadari bahwa pria di hadapannya itu merupakan seorang ustaz yang harus ia hormati dan hargai.
“Nama saya Rania Ustaz,” ucap Rania beberapa saat kemudian.
“Rania? Nama yang bagus, nama lengkap kamu siapa?”
Rania nampak berpikir sejenak, “Kenapa Ustaz bertanya tentang nama lengkap saya?”
“Tidak apa-apa, sekadar ingin tahu saja, tapi kalau kamu keberatan tidak masalah kok, tidak perlu dijawab.”
Rania semakin merasa kesal dengan pria di hadapannya itu, “Kalau tidak penting kenapa harus ditanyakan,” ucap suara hati Rania.
“Kamu benar-benar tidak ingin memberi tahu nama lengkapmu?” Ahda memecah keheningan yang terjadi beberapa saat sebelumnya.
Dalam hati Rania terus beristighfar, memohon kesabaran untuk menghadapi ustaz yang mulai menyebalkan yang sedang berada di dekatnya itu.
“Maaf, Ustaz saya permisi mau mengambil sapu,” Rania berusaha mengalihkan pembicaraan, ia berdiri dari posisi jongkoknya.
“Jadi, kamu memang keberatan mengatakan nama lengkap kamu?” Ahda tidak menyerah.
Rania tidak ingin terlibat masalah lain dengan Ahda, apa lagi hanya masalah nama, ia pun mengalah, “Nama saya Adibah Rania Zahara,” ucap Rania berusaha tetap sopan.
“Adibah Rania Zahara,” Ahda mengulang kembali nama lengkap Rania dengan senyum yang seakan tidak pernah pergi dari wajahnya.
Rania berjalan tanpa memedulikan ucapan Ahda.
“Tunggu! Rania apa kamu tahu nama depan kita hampir sama, namamu Adibah dan namaku Adib, Adib Ahda Zahiri, oh dan ternyata nama belakang kita juga hampir sama ya, Zahara, Zahiri,” ucap Ahda, nada suaranya penuh dengan semangat, namun Rania tidak berniat untuk menanggapi ucapan pria itu.
Rania melanjutkan perjalanannya, namun langkah kakinya kembali terhenti, “Ini sebuah kebetulan atau takdir?” ucap Ahda tiba-tiba.
“Maksud Ustaz apa?” Rania kini tidak lagi acuh.
Ahda berjalan mendekati Rania, seperti biasa Rania tertunduk tidak menanggapi.
“Itu sebuah kebetulan atau memang takdir dari Allah? Menurutmu apakah pertemuan kita ini juga suatu kebetulan?”
Rania tidak mengerti maksud dari perkataan Ahda, ia diam tidak menjawab, Rania merasakan waktu seakan berhenti berputar, jantungnya berdegup dengan kencang. Ia merasakan dirinya berkeringat karena rasa canggung menyelimuti dirinya.
“Kenapa kamu diam? Apa kamu bingung dan tidak menemukan jawabannya?” suara Ahda kembali terdengar oleh Rania.
Rasa gugup semakin menguasai diri Rania. Namun, sepersekian detik kemudian rasa itu digantikan rasa lega dan bacaan hamdalah dilantunkan Rania dalam hatinya ketika tiba-tiba Ustaz Hanafi masuk ke ruang makan.
“Ada apa ini?” tanya Ustaz Hanafi dengan suara lembut.
Ahda merasa sedikit salah tingkah, ia merasa seperti seekor kucing yang tertangkap pemiliknya saat ingin memangsa seekor tikus, “Tidak Ustaz, tidak ada apa-apa, saya hanya meminta tolong untuk dimasakkan air panas,” kilah Ahda.
“Saya permisi Ustaz,” Rania memberanikan diri untuk meninggalkan ruangan itu.
Ustaz Hanafi hanya mengangguk ramah, Rania pun melangkahkan kaki menuju dapur guest house, sedangkan Ahda masih diam di posisinya, ia merasa bersalah karena berbohong pada guru besarnya.
“Ayo duduklah di sini Ahda,” ucap Ustaz Hanafi yang telah duduk di meja makan sambil menunjuk bangku kosong di sebelahnya.
“Baik Ustaz,” Ahda berjalan ke tempat yang ditunjuk oleh Ustaz Hanafi.
“Kamu kenapa jadi aneh?”
“Aneh? Maksud Ustaz?” Ahda berpura-pura tidak mengerti.
“Kamu ini, saya sudah lama mengenal kamu, jadi jangan pura-pura tidak mengerti Ahda,” Ustaz Hanafi terkikik.
“Ustaz maafkan saya,” Ahda memberanikan dirinya untuk berterus terang.
“Maaf? Untuk apa? Apa kamu telah melakukan sebuah kesalahan?” Ustaz Hanafi mengerutkan keningnya.
“Maaf karena saya telah berbohong kepada Ustaz,” ucap Ahda dengan nada penuh penyesalan.
“Berbohong? Tentang apa?” Ustaz Hanafi merasa bingung dengan tingkah laku pria di sampingnya itu.
“Sebenarnya tadi saya tidak meminta air panas kepada Rania, saya tadi membantunya membereskan pecahan gelas yang tidak sengaja ia jatukan karena saya masuk ke ruang makan dengan tiba-tiba dan membuatnya terkejut.”
Ustaz Hanafi memandang Ahda dengan intens, membuat Ahda semakin salah tingkah, beberapa saat suasana hening, tidak ada tanggapan dari Ustaz Hanafi. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Ustaz Hanafi mengeluarkan suara tawanya, Ahda merasa bingung dengan keadaan sekitarnya, tidak memahami maksud tawa Ustaz yang amat sangat dihormatinya.
“Kamu tidak perlu minta maaf, saya mengerti, sudah lupakan saja,” ucap Ustaz Hanafi setelah menghentikan tawanya.
Ahda tidak mengerti maksud dari guru besarnya itu, demi kesopansantunan ia hanya sanggup menganggukkan kepalanya dan tersenyum, meskipun senyum itu terlihat sangat dipaksakan.
“Sudah jangan dipikirkan, makanlah sarapanmu, waktu kita tidak banyak,” Ustaz Hanafi kembali berbicara, Ahda kembali mengangguk takzim.
∞
“Rania tunggu,” Robert tiba-tiba memanggil Rania yang telah berada beberapa langkah di depannya. “Ada apa Em?” Rania menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Robert. Rober pun berjalan mendekat ke tempat Rania berdiri. “Akar dan batang adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan, tanpa akar tumbuhan akan mati, begitu pula tumbuhan bila tanpa batang bagaimana mungkin ia akan ditumbuhi daun, yang akan terjadi adalah akar yang mengering. Adibah Rania Zahara, aku ingin kita menjadi seperti akar dan batang yang saling menguatkan, yang hidup saling melengkapi, saling menyempurnakan satu dengan lainnya. Rania maukah dirimu menjadi matahari di siang ku dan bulan di malam ku. Aku memang bisa hidup tanpamu, namun aku tidak sempurna tanpamu, seperti langit yang tak akan sempurna di siang hari tanpa matahari dan bulan bintang di malam hari, begitulah diriku tanpamu.” Rania tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata indah tersebut dari Robert. Ia masih m
Rania dan keluarganya segera kembali ke rumah mereka. Faza dan Ahda yang datang ke acara wisuda Rania juga ikut ke rumah Rania. Mereka ingin menikmati kesejukan udara kebun teh. Rania sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan orang-orang yang disayanginya. Meski sempat kesal karena Robert menjahili dirinya, tetapi sesungguhnya gadis itu merasa sangat senang karena pria bermata hazel itu telah memberinya kejutan yang benar-benar mengejutkan.“Jadi, setelah ini kamu mau lanjut S2 atau menikah Ran?” Faza membuka percakapan di dalam mobil. Saat itu Rania, Robert, Ahda, dan Faza berada dalam satu mobil milik Ahda. Rania duduk bersama Faza di kursi belakang sedangkan Robert duduk di kursi penumpang sebelah kursi kemudi mobil yang dikemudikan oleh Ahda.“Kak Faza ini bisa saja. Mau menikah dengan siapa kak? Lagi pula tidak ada calon,” Rania merasa malu dengan pertanyaan itu.“Memang benar tidak ada calonnya? Jangan bilang kamu masih belu
Hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa Rania akhirnya dapat menyelesaikan studinya dalam waktu tiga setengah tahun. Keluarganya merasa bangga atas apa yang telah dicapai oleh gadis itu. Kerja keras dan usaha yang dilakukannya selama ini akhirnya berbuah manis, ia dapat menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dari kebanyanyakan teman-temannya.Banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan Rania dalam tiga setengah tahun terakhir ini. Ia menemukan teman-teman baru yang tentu saja sangat berbeda dengan kepribadia anak-anak pesantren. Mereka berasal dari sekolah yang berbeda-beda, suku berbeda, agama berbeda, dan sifat yang berbeda-beda pula. Namun, gadis bermata teduh itu sangat menikmati segala perbedaan yang ia rasakan.Bukan hanya tentang kehidupan pertemanan saja yang ia temui, tentang percintaan pun ia mengalami. Meskipun bukan Rania yang merasakan cinta. Banyak teman laki-lakinya baik dari jurusan yang sama maupun dari jurusan yang berbeda berusaha mendekati Rania bahk
Matahari musim panas terasa begitu menyengat membakar kulit, gadis Sunda itu sebenarnya sudah terbiasa dengan udara panas karena ia hidup di negeri tropis, tapi baginya udara dan matahari musim panas di London tetaplah berbeda dan membuatnya merasa terbakar.“Kamu bilang tidak suka berada di luar rumah saat musim panas lalu kenapa sekarang kamu berada di sini,” Rania menatap pria di sampingnya yang sedang membersihkan tumbuhan-tumbuhan mati.“Rania, ini masih di dalam rumah, ya meskipun memang tidak beratap, tapi bagiku ini masih kawasan dalam rumah,” ucap pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari batang-batang kering yang ia kumpulkan.“Ah, sudahlah bicara denganmu membuatku selalu terlihat salah,” Rania merasa kesal.Robert menghentikan gerakan tangannya mengumpulkan tumbuhan kering dan memandang ke arah Rania.“Rania, maksudku tidak senang pergi keluar rumah itu, sepetti ke pantai, climbing,
Rania tersenyum pada Robert, “Maaf aku jadi bercerita panjang lebar, padahal harusnya aku hanya menjawab masih atau tidak.”“Tidak Rania, aku senang mendengarkan jawabanmu itu. Aku senang mendengarkan ceritamu,” Robert tersenyum menyakinkan Rania.“Baiklah sudah cukup cerita tentangku. Aku yakin nenek juga pasti sudah banyak bercerita tentang aku, sekarang giliran kamu, aku sama sekali tidak tahu tentang dirimu.”“Eits, tunggu dulu, kamu belum mengatakan jawaban yang diberikan oleh Allah apa atas Shalat Istigharah yang kamu lakukan.”“Allah memberiku petunjuk melalui mimpi dan dari mimpi itu aku memantapkan hatiku untuk tidak melanjutkan hubunganku dengan Ustaz Ahda.”“Memangnya apa mimpimu?” Robert bertanya dengan penuh antusias.“Rahasialah.”“Ah Rania, kamu ini membuatku penasaran. Mimpi tentang apa memangnya?” Robert mendesak Rania untu
Malam hari, usai menjalankan Salat Isya berjamaan dengan Nenek Ainun dan Robert, Rania pun mengutarakan niatnya untuk pulang ke Indonesia pada sang nenek. Sontak saja hal tersebut membuat Nenek Ainun terkejut, pasalnya cucu tercintanya itu baru dua hari menginjakkan kaki di London, tapi sudah ingin kembali pulang ke Indonesia.Nenek Ainun menentang keputusan Rania, ia meminta cucunya untuk setidaknya menetap selama satu minggu lagi. Namun, Rania tetap menolak, ia menjelaskan kepada sang nenek alasan dia harus secepatnya kembali ke Indonesia. Nenek Ainun tetap tidak menerima alasan tersebut. Robert juga membantu Rania menjelaskan pada sang nenek, tetapi perempuan 67 tahun itu tetap tidak menerima. Ia menyuruh agar Rania melepaskan universitas yang menerimanya dan sebagai gantinya Nenek Ainun akan mendaftarkan Rania di London. Namun, dengan lembut gadis bermata teduh itu menolak keinginan sang nenek.“Rania janji Nek, suatu hari nanti Rania akan datang ke sini dan