Share

Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut
Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut
Author: Ryandhika Rahman

1. PERTEMUAN PENTING

Kota itu tampak lebih bising dari biasanya. Para lelaki dewasa dan pemuda-pemuda hilir-mudik dengan bergesa-gesa. Sedangkan para perempuannya menampakkan wajah cemas dan tegang.

Burung-burung yang biasanya betah bermain lama-lama di jalan-jalan tanah kering kota itu seperti enggan untuk sekedar menancapkan kuku-kuku kakinya di permukaan tanah. Mereka lebih memilih hinggap di pohon-pohon atau tempat yang tinggi sambil mengawasi keadaan kota dari sana.

Tidak jauh dari dermaga pantai di pusat kota, sebuah komplek istana besar yang angkuh berdiri dengan tenang seolah tak peduli dengan aktivitas yang terjadi di dekatnya. Ratusan Pria berseragam keprajuritan berdiri di setiap sudut komplek itu, sudut yang dianggap penting dan perlu untuk dijaga. Semuanya tampak menyeramkan dan tak berpikir panjang untuk bertindak tegas pada siapa saja yang dianggap mengganggu kenyamanan komplek istana itu.

Komplek istana itu tepatnya mempunyai beberapa bangunan. Bangunan utamanya adalah ruangan besar yang lantainya beralas kayu ulin berwarna cokelat pekat yang kokoh. Ada puluhan kursi empuk yang bersusun dengan rapi di sisi-sisi ruangan itu. Terlihat santai namun anggun. Dinding bangunan itu juga terbuat dari kayu ulin kokoh berbalut kain-kain sutra halus berwarna biru laut yang disebar begitu teliti sehingga tak terkesan sedikit pun kalau kain-kain itu merupakan tempelan semata. Atapnya begitu tinggi dengan tujuh tiang penyangga yang begitu kekar dan kokoh. Bergantung lentera-lentera cantik yang cahayanya seperti menembus dinding kokoh bangunan itu, lentera yang begitu indah bagaikan batu pualam yang disepuh dengan intan paling mahal di dunia.

Namun ruangan itu tak hanya berisi benda-benda indah, ada puluhan pria dan wanita yang duduk menempati kursi-kursi di ruangan itu. Mereka semua mengenakan pakaian yang rapi dan bersih. Begitu gagah dan berwibawa para lelakinya, sedangkan perempuan-perempuannya terlihat sangat anggun dan terhormat.

Ada tiga kursi utama yang tampak khusus di ruangan itu. Satu di antaranya berukuran lebih besar dan lebih mewah dari semua kursi yang lain. Tampak seperti singgasana yang memancarkan keagungan. Sedangkan dua kursi yang berada di samping kiri-kanannya berukuran lebih kecil dari satu kursi utama itu, tapi lebih besar dari kursi lainnya.

Kursi yang lebih besar dari kursi lain itu ditempati oleh seorang wanita berusia 24 tahun. Wajahnya sangat bercahaya, putih bersih, kedua bola matanya sangat indah bagaikan sepasang mutiara cerah berwarna cokelat berkilau. Alisnya seperti lukisan liukan sungai yang berwarna gelap namun mempesona. Rambutnya yang lebih panjang dari bahu tergerai lemah seperti medan magnet yang kuat untuk memaksa setiap makhluk untuk membelainya.

Wanita itu seperti hadirin lainnya, juga mengenakan pakaian indah yang menggambarkan kemewahan. Namun pakaiannya tampak lebih berkilau dari yang lainnya, dengan mahkota berwarna perak yang membalut halus kepalanya. Di samping kiri dan kanannya, duduk dengan berwibawa, seorang lelaki paruh baya dan seorang perempuan yang telah beruban, yang juga mengenakan pakaian mewah khas bangsawan.

Seorang pria yang kira-kira berusia tak kurang dari 50 tahun tampak memandang wanita yang berada di kursi besar itu.

“Berarti benar, Paduka Ratu, mereka semakin mendekati garis perbatasan untuk mengawasi kita,” kata pria itu dengan santun.

“Kita harus menyelamatkannya, Paduka,” suara dari arah lain ikut berkomentar.

Wanita berusia 24 tahun yang dipanggil Ratu itu menghela nafas pendek, “Bagaimana pendapatmu, Paman?”

Seorang pria berambut klimis sangat pendek dan bercambang tipis yang duduk tak jauh dari tempat duduk Sang Ratu mengangguk hormat, “Seperti yang telah Ratu katakan tadi, kita tak mungkin meladeni pasukan mereka untuk bertempur saat ini. Bukan meremehkan kekuatan pasukan kita sendiri, tapi memang pasukan lawan benar-benar tangguh, dan sulit bagi kita untuk menang. Selain itu peperangan hanya akan merugikan rakyat. Tak ada jalan lain selain menyelamatkannya, tapi menyembunyikannya di suatu tempat yang masih mampu dijangkau tentu bukan pilihan yang bijak.”

“Maksud Paman Patih?” Sang Ratu meminta saran.

“Membawanya jauh dari wilayah ini, sampai mereka tak mampu menemukannya”

Pria setengah baya yang duduk di salah satu kursi utama tempat itu angkat bicara, “Putriku, bolehkah aku memberi sedikit saran?”

“Tentu saja, Ayah.”

“Patihmu benar, nak. Kita harus membawanya ke tempat yang jauh dari wilayah ini. tapi kita perlu mendengar saran dari seseorang untuk hal ini”

Sang Ratu terdiam sejenak, penuh kekalutan.

“Aku mengerti maksud ayah,” putus Sang Ratu akhirnya, dengan nada berat. “Tidak ada waktu lagi, sebelum mereka habis kesabaran. Temui Ampu Estungkara”

Ayunda lantas menyelesaikan rapat itu dengan perintah untuk mengawasi perbatasan lebih ketat lagi kepada para kepala prajuritnya sebelum ia beranjak dan membubarka pertemuan penting tersebut.

Ratu Ayunda masuk ke kamarnya. Duduk di tepi tempat tidurnya yang bernuansa biru laut. Terdiam sejenak memandangi lekat-lekat kamar tidurnya itu, hampir seluruh ornamen kamarnya berwarna biru laut. Tirai jendela, alas tempat tidur, atap-atap, dan lemari anggun yang menyimpan berbagai macam pakaian kebesarannya sebagai seorang kepala negara. Praktis hanya karpet yang berwarna merah marun, dan dinding kayu ulin berwarna cokelat khas kayu alami.

Dua tahun lalu ia diangkat sebagai kepala negara termuda sepanjang sejarah kerajaan Danta dan ratu pertama di kerajaan itu. Suatu perjudian besar raja saat menunjuk putrinya untuk menggantikannya. Bukan karena tak ada keturunan lagi yang laki-laki, bukan itu. Ia punya dua kakak yang semuanya laki-laki. Kakak nomor duanya sama sekali tak punya keinginan menjadi raja, ia lebih memilih menjadi pengajar di sebuah sekolah di desa terpencil. Profesi yang agak lucu dari seorang putra raja. Sedangkan kakak tertuanya menurut ayahnya tak punya kapasitas memimpin sebuah kerajaan, entah apa alasannya, yang jelas empat bulan setelah pengangkatan Ayunda, kakak tertuanya itu melakukan pemberontakan dengan pasukan-pasukan setianya, pemberontakan yang dapat ditumpas dengan mudah, dan kakaknya tersebut sampai kini tak ada yang tau kabarnya, entah tewas atau kondisi lainnya.

Dan di tahun keduanya memerintah, ancaman yang lebih besar datang. Menyelamatkan sesuatu yang sangat berharga dari tangan jahat yang ingin memilikinya, yang sudah seminggu ini mengawasi mereka dari bukit perbatasan. Harapan muncul dari mulut sang pertapa dari Gunung Kawah Berapi bernama Estungkara tadi siang, “Bawa ke dunia awam, seseorang telah ditakdirkan untuknya. Namanya adalah Ganendra Aryasathya!!”

“Ganendra Aryasathya...”

Ayunda membatin.

Siapakah gerangan pemilik nama tersebut?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status