“Siluman Kunti?” ucapku dengan suara pelan.“Siapa kamu bilang?” Kak Yuni tampak mengerutkan dahi mendengar ucapanku.“Sssttt.. diam Kak, jangan terlalu mencolok, jangan sampe dia ngeliat kita disini!”“Dia ngapain disini?” Aku hanya mengedikkan bahu, sebagai jawaban dari pertanyaan Kak Yuni.“Eh, dia cuman beli minuman abis itu pergi,” ujar Kak Yuni terus memperhatikan wanita tua yang menjadi simpanan suamiku itu.“Mobil siapa itu, kayaknya gak asing,” selidikku.Jiwa kepo kami pun meronta saat melihat Winda memasuki sebuah mobil mewah. Di saat Mas Galih terbaring sakit, dia malah pergi dengan orang lain.“Gimana kalo kita ikutin?” ajak Kak Yuni.“Ah gak usah lah, bukan urusan kita, Kak,” ucapku malas.“Oh, ya udah. Kalo gitu kita pulang.” Kak Yuni berdiri hendak membayar pesanan kami ke kasir.Aku lebih dulu menunggunya di parkiran dan duduk diatas motor.“Mobilnya mirip punya Pak Dodi, tapi gak mungkinlah Pak Dodi pergi sama dia, lagian mobil kayak gitu banyak yang punya,” ucapku m
“Tadi malem kayaknya saya liat mobil Bapak di restoran Ayam Gemulai.”“Oh, ah.. masa?” Pak Dodi terlihat gugup dan berkali-kali membenarkan posisi duduknya.“Mungkin saya salah lihat.” Aku tak meneruskan rasa penasaranku karena tak ingin membuatnya merasa tak nyaman.Aku turun dari mobilnya setelah mengucapkan terima kasih. Setelah mobil Pak Dodi melaju, aku berjalan kaki pulang ke rumah Ibu.“Untuk apa aku ingin tau soal itu, bukan urusanku juga!” aku memperingati diriku untuk tidak kepo.“Mur, mampir sini! Kok sering pulang ke rumah Ibu, emang Galih kemana?” Bu Ratna, tetangga julid yang kemarin mencibirku berlagak sok ramah.“Mas Galih lagi dinas ke luar kota, Bu.” Aku menjawab seadanya.“Ooh.. denger-denger kamu bawa barang banyak kayak orang mau pindahan, emang Galih berapa lama dinas ke luar kotanya?” seakan ingin mengorek informasi tentangku, Bu Ratna tak segan melontarkan pertanyaannya kembali.“Maaf, Bu. Saya permisi dulu, nanti ditungguin Ibu.” Aku berkilah, karena jika aku
“Murti… Murti…” suara lirih Mas Galih ku dengar saat akan memasuki pintu ruangannya.Pria tampan yang masih berstatus suamiku itu terus memanggilku sambil memejamkan matanya. Rasa iba tiba-tiba menyeruak dalam hatiku. Sungguh aku tak tega melihat keadaannya yang lemah, wajahnya yang pucat, dan tubuhnya yang sedikit kurus setelah beberapa hari saja sakit.“Ya, Mas.. aku disini,” aku menghampiri Mas Galih dan langsung menggenggam tangannya.“Murti…. Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!” Mas Galih membuka mata lalu menangis sejadinya sambil menenggelamkan wajahnya ke tubuhku.“Iya, Mas. Aku gak akan pergi, kamu cepat sembuh ya,” ucapku.Kalimat itu lolos begitu saja, seketika semua pengkhianatannya musnah dari otakku. Rasa benciku padanya pun entah bersembunyi dimana.Sementara itu, gadis cantik yang mengaku sebagai sekretaris Mas Galih itu, tengah duduk memelas menyaksikan adegan haru kami.“Kamu pulang saja, sudah ada saya disini!” titahku padanya.Aku pun kasihan, karena dia terus seti
“Mas, kamu di rumah sakit,” sahutku.“Kenapa aku disini? Aku mau pulang!”Dia memberontak, hendak melepas jarum infus yang terpasang ditangannya.“Mas, jangan! Biar aku panggil suster.” Aku beranjak mencegahnya.Suamiku seperti orang yang kehilangan ingatan sesaat. Apa dia juga lupa kalau tadi malam meringkih memanggil namaku?“Kenapa aku bisa disini?” lirihnya.“Kamu sakit, Mas.” Jawabku.“Aku sudah baik-baik saja, aku mau pulang sekarang!”“Iya..iya. tunggu suster datang untuk melepaskan infusmu,” ujarku.Beberapa menit kemudian, dua orang suster datang.“Suster, tolong lepaskan infus suami saya, dia ingin pulang,” ucapku.“Kami tidak berani, karena hanya dokter yang bisa memutuskan pasien boleh pulang atau tidak,” cicitnya.“Panggil dokter sekarang!” pinta Mas Galih.Sejurus kemudian, kedua suster itu keluar untuk memanggil dokter. Saat dokter masuk, dia dengan terpaksa menuruti permintaan Mas Galih meskipun sudah dijelaskan bahwa dirinya harus beberapa hari agi dirawat mengingat s
Aku terus memperhatikannya, Pak Dodi yang ku kenal ramah dan ceria ternyata sangat mencurigakan. Siapa sebenarnya dia? Apa tadi dia sengaja mengajakku mengobrol agar Winda dan Mas Galih bisa kabur. Tapi buat apa? Otakku terasa ingin pecah, masalah apa lagi ini, kenapa semakin rumit kurasa. Tak ingin ambil pusing lagi masalah Mas Galih, aku pun memutuskan untuk pulang saja ke rumah Ibu. Tapi sebelum itu, aku mampir dulu ke rumah Mas Galih, siapa tahu dia pulang kesana. Aku masih saja mengkhawatirkannya karena kondisinya yang masih belum pulih total. Sampai di rumah Mas Galih, suasana tampak sepi dan hening. “Mas… Assalamu’alaikum… kamu di dalem Mas?” panggilku sambil kucoba membuka pintu yang ternyata dikunci. Beberapa menit aku bertahan disana karena berpikir mungkin Mas Galih sedang perjalanan pulang, sampai akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja ke rumah Ibu karena tak ada tanda-tanda suamiku akan datang. Hari sudah mulai senja, aku memutuskan untuk naik ojek saja agar cepat
“Astaghfirullah, aku harus gimana ya Allah…” aku terduduk di tepi ranjang sambil mengelus dada.Setelah sedikit tenang, aku pergi ke dapur untuk mengambil minum. Disana juga ada Ibu yang sedang memasak air untuk mengisi termos panas.“Nak, gimana kelanjutan hubungan kamu sama Galih?” lirih Ibu.Setelah menenggak satu gelas air putih, aku duduk bersama Ibu di meja makan, sementara Bapak belum pulang dari surau.“Kamu belum urus perceraian kamu?” tanya Ibu dengan wajah sendunya.“Kayaknya Murti batalin aja, Bu,” jawabku.“Kamu yakin? Apa kamu nanti baik-baik aja? Ibu khawatir, Nak. Ibu pengen kamu tuh bahagia.” Mata Ibu mulai berkaca-kaca.Hal yang paling kubenci adalah melihat Ibu bersedih, apalagi penyebabnya adalah aku sendiri.“Bu, insya Allah Murti baik-baik aja, seperti dikatakan Papa kemarin, Mas Galih masih membutuhkan Murti,” ucapku memberi pengertian.“Jadi kamu akan biarin dia selingkuh dan buat diri kamu menderita terus?” gerutu Ibu.“Gak, Bu. Entah kenapa Murti yakin, sebe
"Ya udah, kalau gitu abis ini kita pulang ke rumah ya, Mas!" ajakku.Mas Galih mengangguk, setuju dengan ajakanku.Lisa tampak keberatan dengan keputusan Mas Galih, namun siapa dia mampu membujuk suamiku. Hanya karena bisa menjual nama Mama mertuaku, bukan berarti dia bisa seenaknya.***Setelah sarapan, sekitar pukul 10.00 pagi, aku membawa Mas Galih kembali ke rumah kami, naik taksi, tapi sebelum itu aku ke rumah Ibu dulu untuk mengambil barang-barang sekaligus berpamitan.“Mur.. kamu yakin akan kembali kesana bersama Galih?” ekspresi cemas wanita yang melahirkanku itu terukir jelas di wajahnya.“Insya Allah, Bu. Doain Murti kuat ya,” jawabku sambil mengenggam tangannya.“Kamu jaga keutuhan rumah tangga kamu dengan baik!” seru Bapak.“Baik, Pak.” Aku menjawab sambil mencium tangan kedua orang tuaku dengan takzim.Setelah berpamitan, aku kembali ke rumah. Mas Galih tersenyum di sampingku. Ingin rasanya aku bertanya apa yang sedang terjadi antara dia, Winda dan Lisa. Tapi nanti saja,
“Apa-apaan kalian…!!!” raungku.Emosiku memuncak sudah, aku menghampiri Lisa dan melayangkan sebuah tamparan keras ke pipi mulusnya.Gadis itu menyeringai sambil menyeka darah yang yang sedikit keluar dari sudut bibirnya. Sama sekali tak terlihat merasa bersalah, aku malah melihatnya tersenyum sinis.“Mur… apa-apan sih, kamu!” hardik Mas Galih.“Kamu mau bela dia? Abis itu kamu mau usir aku lagi? Atau kamu mau balas menamparku? Silahkan, Mas! Tampar aku!!!!” aku berteriak, amarahku telah sampai di puncak ubun-ubun.“Lisa! Masuk kamar!” perintah Mas Galih.Gadis itu menuruti ucapan suamiku, bergerak melewatiku, dan sengaja menyenggol bahuku.“Mas, sebenarnya aku ini kamu anggap apa? Aku masih istrimu atau gak? Aku mohon kejelasan untuk semua ini, Mas. Kenapa kamu perlakukan aku kayak gini!” tangisku pecah, sesak di dada tak dapat kutahan. Aku menangis sejadi-jadinya.Mas Galih memelukku, mengusap punggungku lembut lalu menuntunku untuk duduk diatas kursi taman.Dia hanya menatapku ya