Share

KOMPOR MELEDUK

Author: DEAR GREEN
last update Huling Na-update: 2023-02-23 16:31:02

Keesokan harinya, di sekolah.

 “Sudahlah Ti, ceraikan saja suamimu itu, gugat dia! untuk apa bertahan kalau dia saja tidak mau berubah!” tegas Kak Sumi, guru mata pelajaran seni.

Aku melotot kaget mendengar ucapan wanita bertubuh gempal yang memecahkan keheningan di ruang guru.

“Ka..kakak tau dari mana?” ucapku gugup seraya menoleh ke Kak Dea.

Namun Dea juga berekspresi kaget, ia mengangkat kedua bahunya, menggelengkan kepalanya menandakan bahwa dia tidak membongkar rahasia itu.

“Maaf kalau kalian berdua kaget, aku gak sengaja mendengar percakapan kalian berdua kemarin, aku sedang duduk di meja piket depan, tiba-tiba mendengar Murti menangis, tapi aku gak berani masuk, sekali lagi maaf.” Ucap kak Sumi.

Aku dan Kak Dea menarik nafas panjang, pasrah, karena rahasiaku telah di dengar orang lain.

“Aku gak bisa Kak, berat banget rasanya ninggalin dia,” ucapku lemah. “Kakak tolong jangan cerita ke siapa-siapa ya,” pintaku lagi.

“Kita perempuan jangan mau diinjak, harus tegas! Ambil keputusan segera mungkin, kalau kamu gak mau terus-terusan menderita sama kelakuannya!” ucap kak Sumi dengan nada kesal.

“Tenang, aku bisa kok jaga rahasia!” lanjutnya.

Aku hanya terdiam, dan kembali fokus ke komputerku dan berpura-pura mengerjakan sesuatu.

“Biaya cerai gak mahal, Kakak sudah pernah menemani sepupu untuk menggugat suaminya yang juga tukang selingkuh,” sambungnya.

Aku hanya menoleh  sekejap lalu menarik nafas pelan, tak ingin menanggapi ucapan dan saran dari Kak Sumi karena dia tidak tahu perasaanku dan kejadian yang seperti apa.

“Memangnya berapa biayanya Kak?” Kak Dea mulai angkat suara.

“Cuma enam ratus ribu rupiah, datang langsung ke Pengadilan Agama. Gak mahal kan? Prosesnya juga gak ribet kok,” Kak Sumi yang seperti kompor meleduk terus mendukungku agar segera menceraikan suamiku yang tengah selingkuh.

Aku masih menatap layar kompter, pikiranku kalut. Sudah setahun menikah, tapi aku terus bertahan dengan sikap Mas Galih, dan aku masih belum juga bertindak sesuatu.

 “Biar Murti sendiri yang memutuskan, dia juga masih bimbang kak, kita doakan saja semoga Murti menemukan jalan terbaiknya,” ujar Kak Dea menimpali.

Keadaan di ruang guru kemudian senyap, hanya ada kami bertiga saat itu. Dan juga persoalan tentang Mas Galih yang selingkuh saat ini, hanya diketahui oleh Kak Dea dan Kak Sumi, mereka berdua sudah seperti kakak bagiku. Aku berharap Kak Sumi bisa menyimpan rahasia ini.

 “Satu sisi aku juga ingin bercerai, aku berpikir untuk apa pernikahan ini kupertahankan kalau aku tidak bahagia. Tapi disisi lain, aku masih cinta sama Mas Galih dan juga dia tidak mau bercerai denganku, jadi aku saat ini seperti terbelenggu, Kak.” Ucapku memecah keheningan, karena sejak tadi kami bertiga hanya diam, sibuk dengan pikiran masing masing.

“Kamu sudah coba sholat istikharah ?” Tanya Kak Dea.

Aku mengangguk lemah, malam tadi aku mempelajarinya dan langsung mempraktekkannya. Aku berdoa dan banyak meminta pada Tuhan, Kak Dea bilang luapkan semua keluh kesah kita saat berdoa, karena Allah maha mendengar.

“Ajarin aku, Kak De!” pintaku.

Kak Dea hanya mengangguk sambil melemparkan senyum kepadaku. Aku menyadari bahwa diriku terlalu jauh dari sang pencipta, sehingga mungkin saja hal ini adalah sebuah ujian untukku agar lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta.

Karena selama ini aku tidak pernah melakukan kewajiban sebagai hamba, sholat yang masih sering bolong, pakaian yang masih sering terbuka dan masih banyak lagi hal lain yang aku langgar dalam agama, maka dari itu aku butuh seseorang yang mampu membimbing ke jalan yang benar.

“Assalamu’alaikum… loh, ada apa ini kok senyap banget.” Pak Dodi seorang guru mata pelajaran Penjaskes masuk ke ruang guru dan mengejutkan kami bertiga yang tengah terhanyut oleh kisah ku.

Tak ada seorang pun yang menjawab, hanya ekspresi Kak Sumi yang mengelus dada dengan mata sedikit melotot karena terkejut dengan suara Pak Dodi yang menggelegar memecahkan suasana hening ruangan saat itu.

Kak Dea yang sibuk dengan materi ajarnya, hanya tersenyum geli. Sementara aku masih tetap termenung menatap layar komputer yang sebenarnya tidak sedang mengerjakan apa-apa.

“Kalian nyeritain saya ya?” Kembali Pak Dodi nyeletuk karena tidak ada yang menanggapinya.

“Jangan seuzon, Pak.” Ucap Kak Dea sambil tersenyum melihat tingkah Pak Dodi.

“Jadi kenapa pas saya masuk kalian langsung diam?” Matanya melirik ke kanan dan ke kiri mengamati Kak Dea dan Kak Sumi.

“Kegeeran Bapak, kami memang sejak tadi sudah diam tanpa kata,” ujar Kak Sumi sambil bercermin memeriksa alisnya.

“Sungguh situasi yang amat langka, tiga wanita terdiam tanpa bergosip di sebuah ruangan,” Pak Dodi bertepuk tangan sambil menggelengkan kepalanya, ia memang dikenal sebagai guru yang ceria dan penuh canda.

Satu-satunya orang yang tidak tertarik dengan gurauan Pak Dodi saat itu adalah aku, yang tetap diam tak berekspresi, apalagi menanggapi.

Pak Dodi yang menyadari hal itu lalu memberikan kode ke Kak Sumi dengan menaikkan alisnya dua kali lalu memiringkan bibirnya kearahku bermaksud menanyakan ada apa denganku yang biasanya ramah tapi hari ini ia temukan wajahku murung. Aku tahu hal itu karena sesekali mengintip dari balik layar komputer.

Kak Sumi hanya mengangkat kedua bahunya berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi dengan seorang operator sekolah yang berbadan mungil ini.

“Eh.. ngomong-ngomong pulang sekolah nanti ngebakso yuk!” ajak Pak Dodi.

“Saya gak bisa Pak, siang nanti mengajar tahsin di TPA,” sahut Kak Dea.

“Kalau Bu Sumi, gimana?” tanya Pak Dodi lagi.

“Saya sih oke, tapi masak cuma kita berdua, apa kata dunia?” Selorohnya sambil merapikan lipstik. Guru seni yang satu ini memang sangat suka bersolek merias diri.

“Gak dong, kita ajak yang lainnya. Kamu gimana Mur?” Pak Dodi melirik kepadaku sambil menaik-turunkan kedua alisnya lalu tersenyum menampilkan giginya yang tersusun rapi.

Aku masih terdiam, tidak fokus pada perkataan Pak Dodi sehingga aku belum menjawab ajakannya.

“Mur..! Murtii..!” panggil Kak Sumi.

“Eh.. iya Kak Sum, ada apa?”

“Pak Dodi nanya sama kamu, dari tadi emang kamu gak denger apa yang kita omongin?” Kak Sumi menghentikan polesan bedak ke wajahnya demi melihat ekspresiku.

“Hahaha, maaf Pak Dod, saya tadi lagi fokus banget ngerjain laporan ini, Bapak tanya apa tadi?” kilahku.

“Mau gak kamu ikut kita ngebakso selepas pulang sekolah nanti, itung-itung buat ilangin stres,” ajaknya.

“Emmm… tapi saya…” ucapku ragu, aku masih trauma dengan yang namanya kafe.

“Udah hayuk, nanti yang lain juga ikutan kok, saya yang traktir deh, khusus buat kamu doang tapi,” Pak Dodi mencoba menghiburku.

“Waahh curang ! kenapa Murti sendiri yang ditraktir, saya gak, Pak?” protes Kak Sumi.

Pak Dodi hanya berdecak lalu mengedipkan matanya kepada wanita beralis tebal itu, memberi kode kocak bahwa hal itu hanya untuk menghiburku yang tengah murung. Meski ia tidak tahu menahu apa masalah yang kini tengah aku hadapi.

“Hari ini hanya khusus untuk Murti, supaya dia semakin semangat mengerjakan laporan,” Pak Dodi nyengir, membuatku akhirnya ikut tersenyum melihat tingkahnya.

“Terima kasih ya, Pak.” Ucapku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • TAK INGIN BERCERAI   DIUJUNG TAKDIR (TAMAT)

    Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si

  • TAK INGIN BERCERAI   PUBER?

    Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa

  • TAK INGIN BERCERAI   KEMUNCULAN PAPA

    “Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”

  • TAK INGIN BERCERAI   BUKAN MAHRAM

    “Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe

  • TAK INGIN BERCERAI   IKHLAS

    “Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau

  • TAK INGIN BERCERAI   MEMBELIKAN RUMAH

    Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status