"Sayang..." panggil Dirga dengan suara paraunya yang terdengar begitu memelas di telinga Andien.
Andien menghentikan kegiatan menata isi tasnya, menghela nafas sesaat sebelum menegakkan tubuh dan berputar agar berdiri berhadapan dengan pria yang sudah membuatnya kembali mencinta.
Tak tega melihat raut kesedihan dan serba salah di wajah Dirga, Andien melangkah mendekat untuk memeluk pria itu. Dirga pun membalas pelukan Andien dengan rengkuhan yang lebih erat. Andien menepuk lembut punggung Dirga seraya menghindu aroma khas tubuh yang bercampur dengan notes woody dari <
Andien tertawa mendengar celotehan Dirga. Hidup ini begitu lucu, mereka bahkan tidak bertemu bertahun-tahun. Tidak pula saling mengetahui keberadaan satu sama lain. Pun saat keduanya masih kanak-kanak ataupun remaja, mereka hanya menjadi pengagum jarak jauh bagi satu sama lain. Dan sekarang, bagaimana bisa dalam lima hari kebersamaan Dirga sudah ingin memasangkan cicin sederhana itu ke jari manis Andien? Katakanlah Dirga lebih mengenal Andien karena memang pria itu selalu mencari-cari informasi tentang Andien dari orang-orang sekitarnya, bahkan tak segan mencari akal agar bisa mengamati perempuan itu sedekat mungkin. Tapi Andien? Andien benar-benar tidak mengenal sosok Dirga. Wajahnya saja Andien tak mampu mengingatnya. Satu-satunya fakta yang Andien tau, pria itu hanya mengirimkan salam untuknya sekali
Honda Accord terbaru berwarna crystal black pearl itu membelah jalan tol Jagorawi malam itu, mengantarkan Dirga dan Andien ke tempat tujuannya. "Iya Ummah, ini udah di Tol.""....""Iya maaf Ummah. Tadi ada hal penting yang harus Andien dan Kak Dirga bicarakan.""....""Iya Ummah, Andien janji ga akan begini lagi.""....""W*'alaikumsalam Ummah."
Mereka berdua sampai di rumah Andien lewat pukul 22.00, sudah lewat jam malam mengingat rumah itu dihuni dua orang anak usia sekolah. Andien langsung membersihkan diri, mengganti pakaiannya dengan setelan piyama lengan pendek dan celana panjang berbahan kaos berwarna broken white polos. Perempuan itu memilih untuk melihat ketiga malaikat kecilnya yang sudah terlelap terlebih dahulu, menciumi mereka satu per satu. Bahkan Eldra, putra kesayangannya sempat terbangun dan memeluk leher Andien, mencium pipi mamanya dan bergumam "El sayang Mama" kemudian tertidur pulas kembali. Sem
"Kenapa kalian bertiga sekeluarga cepat pindah saat itu? Apa karena Eric?" Hamdan memulai dengan mengorek kejadian lama yang cukup menggegerkan lingkungan mereka saat itu. Dirga paham, yang dimaksud bertiga oleh Hamdan adalah dirinya, Borne dan Ian. Mereka memang terkenal tak terpisahkan sejak kecil - sejak jaman ngaji bareng di sebuah Madrasah di depan masjid. Bahkan ibu mereka seringkali membeli sarung kodian yang akhirnya membuat mereka terlihat kompak seperti saudara kandung tanpa kemiripan paras sama sekali. "Iya Om. Yang saya ingat, hari itu tiba-tiba Papa pulang dari rumah sakit lebih cepat. Langsung ke kamar saya, mencari-cari sesuatu sampai
"Jadi, kamu sudah atau belum pernah menikah?" Hamdan memulai pertanyaan barunya. "Saya duda, Om." jawab Dirga singkat. Hamdan diam sesaat. Memperbaiki posisi duduknya hingga sedikit menyamping agar berhadapan dengan pria yang dicintai puterinya tersebut. "Cerai hidup atau cerai mati?" "Cerai hidup, sekitar lima tahun yang lalu, Om."
"Perempuan itu menjauh?" tanya Hamdan lagi. Ia ingin memastikan perjalan cinta puterinya kali kedua ini. Memastikan kepantasan dari pria yang dalam waktu singkat bisa meluluhkan hati beku puterinya kembali. "Lucunya, Medusa itu gencar meminta saya kembali. Setelah laki-laki yang menghamilinya lebih memilih istri dan keluarga kecilnya. Setelah akhirnya dia kehilangan janinnya karena keguguran." Dirga menjawab pertanyaan Hamdan dengan tersenyum sinis. Hamdan memijit pelipisnya. Perasaannya tidak enak. Bukan karena pemuda ini, tapi karena julukan Medusa yang diberikan oleh Dirga. Artinya, perempuan itu amat sangat mungkin mengganggu hidup puterinya kan?
"Papaaaaaa... banun! Mmmaah!" "Mmmaah!" "Papaaaaa" Bocah kecil itu terus saja berceloteh memanggil Dirga seraya menepuk-nepuk pipi Dirga dengan tangan kecilnya. Bibir kecilnya berulang kali menciumi pipi pria yang dengan senang hati dipanggilnya Papa. Sang Ibu hanya terkekeh mengamati kelakuan lucu bocah itu sambil duduk di meja di samping sofa yang dijadikan tempat terlelap oleh Dirga. 
Dirga sampai di kantor nyaris pukul sepuluh. Kemacetan sepanjang jalan Bogor - Jakarta nyaris menghabiskan mood dan tenaganya pagi itu. Borne masuk ke ruangnya, membawa segelas es kopi susu ukuran large yang ia pesan lewat aplikasi di ponselnya. "Buat balikin mood lo!" ujar Borne seraya meyodorkan gelas kopi itu kepada Dirga. Dirga menerimanya, mengaduk cairan itu, menancapkan