Share

6: HARAPAN

Dirga sampai di rumah orang tuanya sekitar pukul satu dini hari. Setelah membersihkan diri, ia beranjak ke pantry untuk minum segelas air hangat yang sudah menjadi ritualnya setiap malam sebelum beranjak tidur.

Sambil menikmati air hangat meluncur melewati tenggorokannya, ia mengetik pesan singkat untuk kekasih hatinya.

[Me]

Aku udah di Bandung.

Sleep tight sayang.

Setelah mengirimkan pesan singkat itu, Dirga menatap foto dirinya dan Andien yang tadi sempat ia ambil. Kedua sudut bibirnya naik kala menyadari pertemuannya tadi dengan sang cinta pertama bukanlah sebatas mimpi.

"Pacar kamu, nak?"

"Astaghfirullah! Mama! Bikin kaget aja."

Dirga lantas refleks mematikan layar ponselnya.

"Kok dimatiin? Mama gak boleh lihat?"

"Sini Ma, duduk dulu. Aku bikinin teh hangat ya?"

"Air putih hangat aja, nak."

Dirga berdiri, beranjak, mengambil segelas air hangat untuk Mama tercintanya - Anggita, lalu kembali ke meja makan dan duduk di samping sang Ibu.

"Pulang jam berapa, nak?"

"Jam satuan tadi Ma... Ngantar Kak Nisa dulu."

Jeda, Dirga diam, menunggu sang Mama menyesap air hangat yang tadi disuguhkannya.

"Ma, Dirga boleh tanya?"

Anggita melirik puteranya seraya menganggukkan kepala.

"Dulu, rencana Mama minta Andien buat Bang Irgi atau aku?"

Wanita paruh baya itu menatap lekat sang putera, takut jika kejadian bertahun-tahun lalu terjadi kembali karena pembahasan satu nama, Andien.

"Dirga udah ga apa-apa, Ma..." ucap Dirga seolah mengerti kekhawatiran sang Mama.

"Kamu, nak." jawab Anggita singkat.

"Mama minta maaf ya, nak." lanjutnya lagi.

"Mama gak salah... Ga mungkin juga kan Mama minta Andien saat aku dan Andien aja masih sekolah. Lagian salah Dirga juga, Dirga gak pernah cerita." jawab Dirga.

"Kamu yang paling tertutup dari keempat anak Mama. Tapi biar bagaimanapun hati seorang Ibu pasti tahu keadaan anaknya. Mama juga salah, saat itu Mama sadar ada yang sedang kamu cari, kamu perjuangkan mungkin lebih tepatnya. Tapi Mama justru menunggu kamu terbuka, padahal Mama tau sifat kamu yang seperti buku tertutup. Harusnya Mama bertanya kan?

"Mama cuma berharap seiring bertambah umurmu, hati Dirga juga bisa lebih terbuka lagi. Jangan sedih lagi ya, nak. Mama minta maaf."

Sepasang netra tua itu kembali mengalirkan tetesan beningnya.

Dirga terenyuh, memeluk sang Mama sambil mengusap lembut punggungnya.

"Ga pernah sekalipun Dirga menyalahkan Mama. Kalaupun ada yang harus disalahkan, diri Dirga sendiri yang salah. Tapi kalau Dirga pikir lagi, memang Allah yang bikin skenario ini, Ma...

"Seandainya Dirga dulu ngungkapin perasaan Dirga, lantas ujung-ujungnya kami terpisah jarak, Dirga ga yakin kami bisa jalanin hubungan itu.

"Seandainya dulu kami putus, Dirga ga yakin sanggup untuk memperbaiki hubungan kami lagi jika kesempatan kembali datang.

"Atau mungkin Dirga akan lebih terluka ketika Andien berjodoh bukan dengan Dirga.

"Jadi Mama jangan nyalahin diri Mama ya."

Dirga melepaskan pelukannya. Memberi jeda sesaat. Mengusap air mata yang sempat mengalir di wajah Anggita.

"Tadi, Dirga ketemu Andien, Ma..."

Netra tua itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

"Kamu ga apa-apa, nak?"

"I'm ok, Ma." Dirga tertawa renyah.

"Kebetulan ketemu?"

"Mmm, tiga bulan lalu Ian ngabarin aku kalau dia ketemu sama Andien, Ma. Sepupu Ian nikah sama anak sepupunya Andien. Mereka ketemu pas lamaran. Ian sempet ngobrol banyak sama Andien di acara itu. Setelah acara itu Ian ngubungin Dirga. Ian yang cerita kalau Andien sekarang single mother. Akhirnya Dirga minta satu undangan sama Ian, biar Dirga bisa ketemu sama Andien. Dan ternyata, orang tua mempelai wanita itu teman kuliahnya Bang Ari, Dirga juga baru tau pas tadi pagi ke rumah Kak Nisa karena lihat undangan yang sama ada di sana. Berhubung Bang Ari hari ini ada operasi cito, akhirnya Kak Nisa yang datang bareng sama Dirga. Di resepsi itulah Dirga ketemu lagi sama Andien."

"Lantas bagaimana kabar Andien?"

Dirga mengangguk "Kayak yang tadi Dirga bilang, Ma... She's single mother. With three kids. Bahkan anaknya masih kecil-kecil. Yang paling kecil baru dua tahun"

"Ya Allah. karena apa?"

"Her husband passed away, Ma."

Sang mama terdiam, masih menatap lekat manik kelam sang putera. Tangannya menggenggam kedua tangan Dirga.

"Sekarang Dirga mau mencoba?" tanya sang mama.

"Mau, Ma... Mama restuin ga?"

"Kamu bisa menerima keadaannya? Apalagi dengan tiga anak yang harus kamu cintai juga."

"Mama ingat kan kondisi Dirga? Adanya anak-anak itu justru seperti hadiah tambahan dari Allah, Ma..."

"Kalau Mama, apapun yang bisa bikin anak Mama bahagia pasti Mama dukung. Apalagi sejak perceraianmu lima tahun lalu, ga sekalipun Mama pernah mendengar kamu bersama seseorang. Jujur, Mama khawatir Dirga. Jadi, jika memang Andien yang kamu inginkan, berusahalah, Mama tak akan menghalangi. Semoga Allah mudahkan ya, nak."

Dirga kembali memeluk hangat Ibunya, berterima kasih tanpa kata atas semua dukungan yang telah diberikan perempuan itu padanya. Lima tahun Dirga memilih sendiri, Anggita tak pernah sekalipun mengusiknya. Bahkan kala kerabat dan orang lain menanyakan status dudanya, Anggita tetap menghargai keputusan sang putera yang masih memilih sendiri. Anggita tahu, ada cerita di balik perceraian Dirga yang meninggalkan trauma bagi anak ketiganya itu, dan hanya waktu serta ijin dari sang Pencipta yang mampu membuka hati Dirga kembali.

***

"Assalammu'alaikum... El sendiri, nak?" sapa Dirga hangat begitu ia berada tepat di depan pintu rumah Andien yang terbuka.

Eldra, putera pertama Andien, yang sedang asik memainkan stik PSnya langsung menoleh kala mendengar suara Dirga.

"Om Dirga!" serunya sambil meletakkan stik PS itu di sofa tempatnya duduk dan beranjak ke arah Dirga untuk menyalam tangan pria itu.

"Salam Om belum dijawab lho."

"W*'alaikumsalam."

"Om boleh masuk?"

"Iya boleh, Om."

"Kok sepi El? Mama mana?" tanya Dirga saat menelisik kondisi rumah dan mendapati hanya El yang ada di sana.

"Beli roti sama Nutella. Tadi Anne nangis rotinya habis." jawab El polos.

"Oh!"

Dirga duduk di sofa tepat di samping El, mengamati permainan yang dilajutkan oleh putera sulung kekasihnya itu. Hingga akhirnya obrolan keduanya berlangsung seraya bermain bersama. Beberapa saat kemudian, terdengar suara motor yang masuk ke garasi rumah itu.

Dirga menghentikan permainan PSnya dan beranjak menuju pintu utama. Melihat kedua puteri kecil Andien membuatnya merendahkan diri - menumpukan tubuhnya diatas lutut. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk lengkung sempurna.

"Assalammu'alaikum Anne, Cantika."

"W*'alaikumsalam." yang menjawab justru Andien dan Sanah.

Cantika lantas berlari kecil menghambur ke pelukan Dirga, merengkuh erat pria itu dengan tangan kecilnya.

"Papa!" ucapnya.

Dirga terkekeh seraya mengusap kepala bocah kecil itu.

Anne pun mendekat pada Dirga, mengulurkan tangan untuk menyalamnya.

"Dari mana sayang?" tanya Dirga pada gadis kecil dengan netra hazel dan rambut berombak itu. Wajahnya mengingatkan Dirga pada sosok Andien kecil yang sangat ia kagumi.

"Beli roti, Om."

"Oti... Tokat!" celoteh Cantika.

"Om juga bawa pizza lho, tuh sama abang El."

Cantika yang mendengar kata pizza langsung melepaskan diri dari Dirga, menghambur ke dalam rumah mencari object yang menarik untuk dicicipnya atau bahkan di acak-acaknya.

"Anne suka pizza?" tanya Dirga lagi.

Gadis kecil itu mengangguk, "Suka, Om."

"Yuk, kita makan sama-sama." ajaknya seraya menggandeng tangan Anne untuk masuk ke dalam rumah.

Di sisi lain yang tidak jauh dari keduanya, Andien tersenyum melihat kedekatan Dirga dengan puteri-puterinya. Jelas, pria itu benar-benar berusaha.

Andien melangkah menuju dapur, meletakkan belanjaanya, membuat secangkir teh dan kopi susu hangat, lalu membawanya ke pusat keriuhan.

Dirga yang melihat Andien mendekat tidak bisa menutupi senyum di wajahnya.

"Ih, aku gak disapa!" canda Andien begitu mendekatkan diri ke Dirga seraya meletakkan suguhannya di atas coffee table di hadapan mereka.

Dirga mendekati telinga Andien "Hai sayang!" bisiknya, lalu mengecup daun telinga dan puncak kepala Andien. menerbitkan senyum termanis di wajah sang kekasih.

'Manis banget sih.' batin Andien.

"Diminum Kak..."

Dirga mengangguk, lalu menyesap kopi susu di hadapannya.

"Udah lama?" tanya Andien pada Dirga.

"Setengah jam deh. Main PS tadi sama El sambil nunggu kalian."

"Iya tadi Anne nangis, rotinya habis. Habis diacak-acak Cantika!"

Dirga tertawa renyah membayangkan kejadian itu.

"Papa, aaaaaaa..." lagi-lagi, bocah mungil itu menyodorkan makanan ke mulut Dirga. Dan tentunya dengan senang hati disambut pria itu.

"Enaaak!" ucap Dirga sumringah.

"Enyaaak!" celoteh bocah kecil itu yang dihadiahi kecupan kecil di puncak kepalanya oleh Dirga.

Andien mengelus kepala Cantika yang kini duduk tenang menikmati potongan pizzanya di pangkuan Dirga.

"Maaf ya, masih dipanggil Papa tuh sama Cantika."

"Kok minta maaf? Hitung-hitung latihan kok."

"Latihan apa?"

"Latihan jadi Papanya anak-anak lah."

Andien terkesiap. Diam tak membalas.

Menyadari kediaman Andien, Dirga menatapnya lekat seraya tersenyum penuh arti.

"Ga usah dijadiin beban."

"Beban apa coba? Kan emang bener suatu saat kamu bakalan jadi Papa."

"Nah gitu dong!"

"Apaan sih, Kak?"

"Kan emang bakalan jadi papanya El, Anne dan Cantika."

Andien terdiam lagi.

"Someday, sayang. Saat kamu siap membuka hati kamu buat aku." ucap Dirga lembut namun ada ketegasan di dalam suaranya, seolah mengisyaratkan jika ia tak main-main dengan hubungan yang sedang mereka jalani saat ini.

Andien masih diam. Terpaku. Dan terenyuh di saat bersamaan. Merasa tersentuh dengan perlakuan Dirga saat berinteraksi dengan ketiga malaikatnya. Tak ada sedikitpun gurat keterpaksaan. Bahkan ketiga anaknya terlihat begitu nyaman berinteraksi dan bersenda gurau dengan kekasihnya itu.

'Ya Allah, masih bolehkah aku berharap?' batin Andien.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status