Beranda / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 1: Warisan di Balik Dinding

Share

TAKHTA BAYANGAN
TAKHTA BAYANGAN
Penulis: Zayba Almira

Bab 1: Warisan di Balik Dinding

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 15:33:01

Di Kota Avalon, pagi selalu datang dengan kabut tipis yang menyelimuti jalan-jalan sempit. Kota ini tidak pernah tidur; siang hari milik para pebisnis dan pekerja, malamnya milik penjahat dan bayangan. Namun, di tengah hiruk pikuk itu, Dante Castellano hanyalah seorang mahasiswa biasa yang mencoba menjalani hidup sederhana.

Di luar apartemen kecilnya, klakson kendaraan beradu dengan langkah kaki orang-orang yang terburu-buru. Dante duduk di meja belajarnya, mengenakan kaos kusut dan kacamata bulat. Ia tenggelam dalam buku-buku hukum yang berserakan.

"Sudah pukul delapan pagi," gumamnya, menguap sambil merapikan rambut hitam yang berantakan.

Dante tidak pernah menyukai hidup yang mencolok. Ia menikmati kesunyian perpustakaan, kopi murah di kedai kecil, dan jarak dari apa pun yang berbau masalah. Namun, hari ini berbeda. Ponselnya bergetar, memunculkan nama yang sudah lama ia hindari: Damian.

"Kenapa dia meneleponku?" pikir Dante sambil menatap layar.

Ia menekan tombol jawab dengan enggan. "Halo?"

Suara berat di ujung sana terdengar serius. "Dante, kita perlu bicara. Segera."

Dante mengerutkan kening. Damian adalah tangan kanan ayahnya, Alaric Castellano. Pria itu jarang menghubunginya kecuali jika sesuatu yang serius terjadi. “Damian, aku sudah bilang, aku tidak ada hubungannya dengan urusan ayahku. Aku tidak peduli apa pun yang terjadi.”

Damian terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada dingin, "Ayahmu sudah mati, Dante."

Dunia Dante seakan berhenti berputar.

Sore itu, Dante menemukan dirinya di ruang tamu sebuah mansion besar di pinggiran Avalon. Tempat ini selalu terasa asing baginya, meskipun ia tahu setiap sudutnya. Rumah keluarga Castellano adalah simbol kekuasaan, tetapi juga tempat di mana ia kehilangan masa kecilnya.

Damian duduk di sofa besar, tubuhnya tegap dan mata tajamnya mengamati Dante. “Kematian ayahmu bukan kecelakaan. Ini serangan.”

Dante menghela napas berat. “Kenapa kau membawaku ke sini? Aku bukan bagian dari dunia ini, Damian. Ayahku yang memilih jalan itu, bukan aku.”

Damian mengangkat alis. “Kau pikir mereka akan membiarkanmu hidup bebas setelah ini? Kau adalah putranya, pewarisnya. Musuh-musuh Leviathan tidak peduli kau ingin hidup normal atau tidak. Kau adalah ancaman bagi mereka.”

Dante menatap Damian dengan penuh kebencian. “Aku tidak peduli! Aku tidak ingin ada hubungannya dengan Leviathan, dan aku pasti tidak ingin menjadi seperti Ayah!”

Damian mendekat, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Leviathan sedang berada di ujung kehancuran. Kalau kau tidak mengambil alih, semua orang yang kau kenal akan menjadi target. Termasuk kau sendiri.”

Kata-kata Damian menggema di kepala Dante. Ia ingin berdebat, tetapi ia tahu ada kebenaran dalam apa yang dikatakan pria itu. Alaric Castellano bukan hanya seorang ayah baginya; ia adalah seorang raja dalam dunia kriminal. Selama bertahun-tahun, Alaric berhasil membangun kekaisaran gelap yang tidak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya. Namun sekarang, sang raja telah jatuh, dan tahtanya kosong.

“Siapa yang membunuhnya?” tanya Dante akhirnya.

“Mungkin Viktor Koval. Mungkin musuh dari dalam. Itu tugasmu untuk mencari tahu,” jawab Damian.

Malam di apartemennya terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak seperti pengingat waktu yang terus berjalan. Dante duduk di sofa dengan kepala tertunduk, matanya tertuju pada secarik kertas yang diberikan Damian sebelum ia pergi.

Di kertas itu tertulis satu alamat: Gudang 17, Distrik Pelabuhan.

"Dante," suara Damian bergema di pikirannya. "Kalau kau ingin bertahan, kau harus mulai dari sini. Ada lebih banyak hal tentang ayahmu yang kau tidak tahu."

Dante membuang napas berat. Seumur hidupnya, ia berusaha menjauh dari bayang-bayang Alaric Castellano. Namun kini, dunia gelap yang ia hindari menyeretnya masuk tanpa ampun.

"Aku tidak punya pilihan," gumamnya. Ia meraih jaketnya dan meninggalkan apartemen.

Distrik Pelabuhan terkenal dengan reputasinya yang buruk. Jalanan gelap dan sepi, hanya diterangi oleh lampu jalan yang berkedip lemah. Dante menyembunyikan rasa gugupnya sambil melangkah.

Pintu besi tua itu berderit ketika ia membukanya. Di dalam, hanya ada kegelapan dan bau logam tua yang menyengat. Namun, ketika ia melangkah lebih dalam, lampu-lampu menyala secara otomatis, memperlihatkan sebuah ruangan luas penuh dengan meja-meja kayu dan papan tulis besar di dinding.

“Selamat datang, Dante.”

Suara itu datang dari seorang pria berjas hitam yang berdiri di sudut ruangan. Pria itu tinggi, kurus, dengan wajah dingin dan senyum kecil yang tampak seperti ejekan.

“Siapa kau?” tanya Dante waspada.

“Namaku Nikolai,” jawab pria itu. “Aku bekerja untuk ayahmu, dulu. Sekarang aku bekerja untukmu.”

Dante mengerutkan dahi. “Aku tidak meminta siapa pun untuk bekerja untukku.”

Nikolai tertawa kecil. “Mungkin tidak, tapi kau adalah Castellano terakhir. Itu berarti seluruh jaringan Leviathan sekarang adalah tanggung jawabmu. Dan kalau kau ingin tetap hidup, kau harus tahu apa yang kau miliki.”

Sebelum Dante bisa membalas, Nikolai berjalan ke papan tulis besar yang penuh dengan peta dan diagram. Ia menunjuk ke beberapa titik di peta Avalon.

“Ini adalah wilayah yang dikuasai Leviathan,” kata Nikolai. “Sejak kematian ayahmu, Viktor Koval dari Sangkar Besi telah menyerang gudang senjata kita di sini,” ia menunjuk Distrik Timur, “dan menghancurkan salah satu laboratorium kita di sini,” ia menunjuk Distrik Selatan.

Dante mengamati peta itu dengan bingung. “Dan aku harus peduli karena...?”

Nikolai menoleh dengan tatapan tajam. “Karena jika mereka berhasil merebut semuanya, kau bukan hanya kehilangan Leviathan. Kau kehilangan nyawamu. Ini adalah dunia ayahmu, Dante. Mau tidak mau, kau sekarang menjadi bagian darinya.”

Dante menghela napas. Ia merasa seperti terjebak di tengah permainan besar yang tidak pernah ia minta untuk dimainkan.

Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Nikolai melanjutkan. “Ada satu hal lagi. Sebelum kematiannya, ayahmu sedang menyelidiki pengkhianat dalam organisasi ini.”

Dante terkejut. “Pengkhianat?”

Nikolai mengangguk. “Seseorang dari dalam membantu Viktor. Dan aku yakin orang itu sekarang mengincar posisimu.”

Saat Nikolai berbicara, pikiran Dante melayang ke masa kecilnya, kembali ke hari-hari ketika ia masih seorang bocah polos yang memandang ayahnya dengan kekaguman sekaligus rasa takut.

Ia ingat bagaimana Alaric sering membawa Dante ke kantor pribadinya, sebuah ruangan besar yang penuh dengan buku-buku hukum dan peta dunia. "𝘋𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘮𝘢𝘪𝘯𝘢𝘯 𝘤𝘢𝘵𝘶𝘳, 𝘋𝘢𝘯𝘵𝘦," ujar Alaric pada saat itu. “𝘋𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘸𝘢𝘯𝘮𝘶"

Namun, Dante juga ingat malam-malam ketika suara tembakan dan teriakan menggema di luar rumah mereka. Ia akan bersembunyi di bawah selimut, memegang erat tangan ibunya sementara ayahnya keluar untuk ‘menangani sesuatu.’

“𝘋𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘢𝘺𝘢𝘩𝘮𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬𝘮𝘶,” bisik ibunya pada saat itu.”𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘦𝘣𝘢𝘬 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮𝘯𝘺𝘢, "

Kata-kata itu kini terasa seperti peringatan yang terlambat.

Sebelum meninggalkan gudang, Nikolai memberikan Dante sebuah ponsel burner. “Kalau kau ingin tahu lebih banyak, kau tahu cara menghubungiku.”

Namun, saat Dante melangkah keluar dari gudang, ia dikejutkan oleh sosok wanita yang berdiri di dekat mobilnya. Wanita itu mengenakan mantel panjang, dengan rambut cokelat panjang yang berkilau di bawah cahaya bulan.

“Dante Castellano?” tanyanya.

Dante membeku. “Siapa kau?”

Wanita itu tersenyum samar. “Namaku Elena. Aku seorang jurnalis.”

“Kalau kau jurnalis, kenapa kau tahu namaku?”

Elena mendekat, tatapannya penuh rasa ingin tahu. “Aku tahu lebih banyak tentang keluargamu daripada yang kau kira. Dan aku pikir kau ingin tahu kebenaran tentang kematian ayahmu.”

Kata-kata itu membuat Dante terkejut. Ia memandang Elena dengan curiga, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya yakin bahwa ia tidak berbohong.

“Elena, kan?” gumam Dante. “Kenapa aku harus percaya padamu?”

Elena tersenyum kecil. “Karena kita punya musuh yang sama.”

Dante terdiam, mencoba mencerna informasi baru ini. Dalam waktu kurang dari 24 jam, hidupnya berubah drastis. Ia tidak hanya menghadapi ancaman dari luar, tetapi juga rahasia kelam yang mulai terungkap dari dalam dunia Leviathan.

“Kalau begitu, Elena,” kata Dante akhirnya. “Katakan apa yang kau tahu.”

Wanita itu mengangguk. “Tapi tidak di sini. Tempat ini tidak aman.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 130

    Cahaya di altar itu semakin terang, seolah menyelimuti mereka dalam kabut keputus-asaan yang memaksa setiap langkah mereka untuk diambil dengan penuh perhitungan. Ayra bisa merasakan getaran di dalam tubuhnya, seperti sesuatu yang besar tengah berputar di luar kendali mereka. Ini adalah saat penentuan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah segala hal.Dante, yang berdiri di sampingnya, menarik napas panjang dan menatap Ayra. "Apapun yang terjadi, kita sudah sampai di sini bersama. Apa pun konsekuensinya, kita akan hadapi."Ayra merasakan ketenangan dalam kata-kata Dante, meskipun hatinya sendiri berdebar keras. Mereka telah melewati begitu banyak rintangan, begitu banyak tantangan, namun apa yang ada di hadapan mereka ini masih penuh misteri. Adakah mereka benar-benar siap untuk keputusan yang ada di depan mata?"Saya tahu," jawab Ayra dengan suara yang agak gemetar. "Tapi ini bukan hanya tentang kita, kan? Ini tentang semua yang kita cintai. Tenta

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 129

    Ayra merasakan getaran aneh yang mengguncang tubuhnya begitu mereka melangkah lebih dekat ke cahaya itu. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah dunia di sekitar mereka mulai berubah, menyesuaikan diri dengan keputusan yang sudah mereka buat. Cahaya itu semakin terang, dan seiring dengan itu, bayangan yang mengintai mereka juga semakin jelas."Ini terasa seperti... kita menuju ke sesuatu yang tak bisa kita kendalikan," kata Elena, matanya waspada, menatap cahaya yang semakin mendekat. "Tapi kita sudah di sini. Tidak ada pilihan lain selain melangkah maju."Ayra menatap ke depan, merasakan seakan dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Semua ketegangan yang mereka rasakan, semua rahasia yang tersembunyi di balik kabut, terasa seperti beban yang harus mereka hadapi satu per satu. Namun, meskipun mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang tak bisa ditarik mundur, ada kekuatan yang lebih besar di dalam diri mereka untuk tetap melanjutkan.Dante berja

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 128

    Mereka melangkah dengan hati yang penuh ketegangan, menjauh dari tempat Adrian menghilang ke dalam kabut. Setiap langkah terasa berat, seakan beban yang mereka bawa semakin besar. Ayra, yang berjalan di samping Dante, merasa ketidakpastian melingkupi hatinya. Ke mana mereka sebenarnya menuju? Dan lebih penting lagi, apa yang akan mereka hadapi di depan? "Adrian... mengapa ia kembali sekarang?" Ayra berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh angin yang berhembus kencang. "Kenapa tidak sebelumnya?" Dante berjalan dengan langkah tegap, meskipun ia pun merasakan kegelisahan yang sama. Ia tahu Adrian tidak pernah datang tanpa tujuan, dan itu yang membuatnya semakin waspada. "Mungkin itu bukan kebetulan," jawab Dante, suaranya tetap tegas meskipun ada keraguan yang menggerayangi pikirannya. "Mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita ketahui." Elena, yang berjalan sedikit lebih jauh di belakang, tiba-tiba berhenti. "Tunggu

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 127

    Suasana malam semakin mencekam, udara dingin menggigit kulit mereka yang terasa lebih sensitif setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ketegangan. Langkah-langkah mereka di tengah kabut yang menyelimuti hanya diiringi oleh suara detak jantung yang semakin cepat. Ayra merasa beban yang ada di pundaknya semakin berat. Semakin dekat mereka pada tujuan, semakin jelas bahwa takdir mereka akan segera terungkap, namun apakah itu takdir yang mereka harapkan?"Ayra," suara Dante memecah kesunyian, lembut namun penuh tekanan. "Apa yang kau rasakan sekarang? Kita semakin dekat."Ayra mengangkat wajahnya, matanya penuh pertanyaan. Meski bibirnya ingin berkata sesuatu, kata-kata itu terasa seperti beban yang terlalu berat untuk diungkapkan. Keputusan yang akan mereka buat nanti bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi juga tentang kehidupan mereka, masa depan mereka. Mereka tidak hanya berhadapan dengan pilihan pribadi, tetapi juga dengan sesuatu yang lebih besar,

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 126

    Langkah Dante terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan setiap gerakannya. Udara malam yang dingin menyeruak lewat celah-celah jaketnya, memeluk tubuhnya dengan rasa yang menyusup sampai ke dalam tulang. Jalanan yang mereka lalui semakin sempit, seolah mengarah pada sebuah tempat yang penuh dengan misteri dan ketidakpastian. Kabut tipis yang mulai turun menambah kesan sunyi, menutupi segalanya kecuali langkah-langkah mereka yang semakin terasa berat.Dante menoleh ke belakang, memastikan bahwa Ayra dan Elena masih berada di belakangnya. Mereka berjalan dengan jarak yang sedikit lebih jauh dari biasanya, seolah ketegangan yang ada di udara memisahkan mereka lebih jauh daripada yang sebenarnya. Ayra tampak lebih diam dari biasanya, wajahnya yang biasanya ceria kini diselimuti kekhawatiran yang jelas terlihat. Meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu, matanya yang sesekali tertunduk menunjukkan kegelisahan yang sulit ditutupi.Dante merasa beb

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 125

    Matahari pagi memancarkan sinarnya dengan lembut di atas kediaman keluarga Dante. Udara musim semi yang segar membawa keheningan yang menenangkan, tetapi di dalam hati beberapa orang, badai perasaan masih berkecamuk. Ayra duduk di taman belakang rumah, jari-jarinya memetik kelopak bunga melati yang tumbuh di pinggir pagar. Wajahnya terlihat damai, namun sorot matanya memancarkan kebimbangan yang mendalam. Ia masih mengingat percakapan terakhirnya dengan Dante, di mana pria itu mengungkapkan perasaannya. Kebahagiaan yang meluap-luap masih terasa, tetapi bersamanya datang juga beban. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Ayra menoleh dan melihat Elena berdiri di belakangnya. Wajah Elena terlihat tenang, meskipun Ayra tahu ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan perempuan itu. "Elena," sapa Ayra, mencoba tersenyum. Elena balas tersenyum dan berjalan mendekat, duduk di bangku yang sama dengan Ayra. “Pagi yang indah,

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 124

    Langit pagi menyambut mereka dengan cahaya lembut berwarna jingga. Kabut tipis masih menyelimuti lembah, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Di kejauhan, suara burung-burung pagi mulai terdengar, mengiringi langkah mereka yang perlahan kembali ke rumah utama.Ayra berjalan sedikit di depan, langkahnya ringan namun pikirannya jauh melayang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi semalam. Kata-kata Dante masih terngiang di telinganya, seperti melodi yang tidak selesai dimainkan.“Kenapa rasanya semakin sulit untuk memahami hatinya?” gumam Ayra dalam hati. Ia menggenggam erat syalnya, seolah mencari kehangatan di tengah udara pagi yang dingin.Elena, yang berjalan di samping Dante, mencuri pandang ke arah pria itu. Wajahnya tampak letih, dengan sorot mata yang kosong. Elena tahu Dante sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari arah yang benar.“Kau tahu, Dante,” kata Elena, memecah keheningan di antara

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 123

    Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 122

    Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status