Langit malam di Distrik Avalon tertutup kabut tipis, menciptakan suasana kelam yang menyelimuti gedung-gedung tua di kawasan barat kota. Di dalam mobil yang melaju pelan, Dante duduk dengan gelisah. Pikirannya terus dihantui oleh pertemuannya dengan Damian dan informasi mengejutkan yang baru saja didapatnya.
Di kursi kemudi, Elena tetap fokus pada jalan di depan, sesekali melirik Dante yang tampak tenggelam dalam pikirannya. “Kau baik-baik saja?” tanya Elena tiba-tiba, memecah kesunyian. Dante menghela napas panjang. “Aku tidak tahu harus bilang apa. Semuanya terasa... salah. Kau bilang ayahku dihancurkan dari dalam, dan sekarang aku berada di tengah permainan ini. Tapi aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.” Elena tersenyum tipis, tetapi ada nada serius dalam suaranya. “Kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi? Maka kau harus mulai membuka mata. Dunia ini tidak seindah yang kau pikirkan, Dante. Bahkan ayahmu pun tahu itu.” Dante tidak menjawab. Ia hanya memandang keluar jendela, menyadari bahwa kehidupannya yang dulu sederhana kini telah berubah selamanya. --- Mobil berhenti di depan sebuah gedung kecil yang tampak kumuh di Distrik Barat. Pintu masuknya tersembunyi di antara toko-toko yang sudah lama tutup. Elena keluar lebih dulu, memberi isyarat agar Dante mengikutinya. “Tempat ini terlihat seperti akan runtuh kapan saja,” gumam Dante sambil memandang sekeliling. “Itu justru kelebihannya,” jawab Elena sambil membuka pintu besi tua dengan kunci elektronik. “Tidak ada yang akan mencurigai tempat seperti ini.” Di dalam, Dante dikejutkan oleh ruangan yang dipenuhi dengan papan-papan besar yang tertempel peta, foto, dan dokumen. Ada nama-nama yang dikenalnya: Alaric Castellano, Viktor Koval, Damian, dan beberapa wajah asing. “Ini...” Dante memandangi papan itu dengan tatapan bingung. “Ini adalah jejak permainan yang sedang mereka mainkan,” jawab Elena sambil berjalan menuju papan utama. “Selama bertahun-tahun, aku menyelidiki jaringan Leviathan, Sangkar Besi, dan semua yang ada di antaranya. Dan aku menemukan sesuatu yang menarik.” Elena menunjuk ke sebuah foto di sudut papan. Foto itu menampilkan gudang tua dengan beberapa pria bersenjata di depannya. “Ini adalah salah satu gudang Leviathan yang dihancurkan beberapa hari sebelum ayahmu terbunuh,” jelas Elena. “Dan lihat siapa yang ada di latar belakang.” Dante memicingkan mata, memperhatikan seorang pria berjas hitam yang berdiri agak jauh dari kerumunan. Wajahnya jelas terlihat, seolah sengaja tidak ingin bersembunyi. “Siapa dia?” tanya Dante. “Rafael Moretti,” jawab Elena. “Dia adalah salah satu orang kepercayaan ayahmu. Tapi setelah insiden ini, dia menghilang. Tidak ada jejaknya.” Dante terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Nama Rafael terdengar familiar—seseorang yang sering berada di sisi Alaric, seperti bayangan. “Jadi kau pikir dia pengkhianat?” tanya Dante akhirnya. “Ada kemungkinan besar,” jawab Elena. “Jika Rafael memang bekerja sama dengan Viktor Koval, itu menjelaskan kenapa Leviathan kehilangan banyak kekuasaan dengan begitu cepat.” “Tapi kenapa?” Dante menatap Elena dengan penuh keraguan. “Apa yang dia inginkan?” “Itulah yang kita cari tahu,” jawab Elena sambil melipat tangan. “Tapi aku yakin ini lebih dari sekadar uang. Dia mungkin punya ambisi yang lebih besar.” --- Percakapan mereka terhenti ketika suara pecahan kaca tiba-tiba terdengar dari belakang gedung. Dante langsung menoleh, panik. “Ada apa itu?” bisiknya. Elena tetap tenang, mengambil pistol kecil dari laci meja. “Kita ditemukan. Ikuti aku.” Dante mengikutinya ke balik meja besar di sudut ruangan. Suara langkah kaki mendekat, diikuti oleh bunyi pintu depan yang dihantam keras hingga terbuka. Tiga pria bertopeng masuk, masing-masing memegang senjata. “Dante Castellano,” salah satu dari mereka berkata dengan suara berat. “Keluarlah. Tidak ada gunanya bersembunyi.” Dante merasa tubuhnya menegang. Ia menoleh ke Elena, berharap wanita itu punya rencana. “Pegang ini,” ujar Elena sambil menyerahkan pistol kecil ke tangannya. Dante memandang pistol itu dengan ragu. “Aku tidak pernah menggunakan ini sebelumnya.” “Kalau kau ingin hidup, kau harus belajar sekarang,” balas Elena dengan nada tegas. Pria-pria itu terus mendekat. Elena menunggu sampai salah satu dari mereka cukup dekat, lalu muncul dari balik meja dan menembakkan pistolnya. Pria itu jatuh ke lantai dengan senjatanya terlempar ke sudut ruangan. Dante menahan napas, mencoba tetap tenang. Salah satu pria lain melihat ke arahnya dan mulai bergerak mendekat. Dengan tangan gemetar, Dante mengangkat pistolnya. Ia menarik pelatuknya, dan peluru itu mengenai lengan pria tersebut. Elena melirik sekilas, lalu tersenyum tipis. “Kau belajar cepat.” Pria terakhir mencoba menyerang dari arah samping, tetapi Elena lebih cepat. Dengan gerakan sigap, ia menembak ke arah lantai di dekat kaki pria itu, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh. Saat suasana kembali tenang, Dante menjatuhkan pistolnya ke meja. Napasnya terengah-engah. “Aku baru saja... menembak seseorang,” gumamnya, masih terkejut. Elena menepuk bahunya. “Dan kau masih hidup. Itu yang terpenting.” --- Setelah memastikan situasi aman, Elena memeriksa tubuh salah satu penyerang. Ia menemukan kartu kecil di salah satu saku pria itu, dengan simbol ular melingkari belati di bagian depannya. “Apa ini?” tanya Dante, mendekat untuk melihat lebih jelas. “Ini adalah simbol Sangkar Besi,” jawab Elena sambil memutar kartu itu. Di belakangnya tertulis sebuah alamat: Raven’s Nest. “Tempat apa itu?” tanya Dante. “Markas kecil mereka, atau mungkin tempat pertemuan,” jawab Elena sambil menyimpan kartu itu. “Kita harus pergi ke sana.” Dante ragu sejenak. “Dan jika itu jebakan?” “Setiap langkah di dunia ini adalah jebakan, Dante,” jawab Elena dengan tenang. “Yang penting adalah bagaimana kau keluar darinya.” Dante terdiam. Meski hatinya masih dipenuhi keraguan dan ketakutan, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus bersembunyi. Jika ingin tahu kebenaran tentang ayahnya, ia harus melangkah ke dalam dunia ini, apapun risikonya. “Kapan kita berangkat?” tanyanya akhirnya. Elena tersenyum tipis, melihat keberanian kecil yang mulai tumbuh di diri Dante. “Besok malam. Istirahatlah. Kau akan butuh semua tenagamu.”Cahaya di altar itu semakin terang, seolah menyelimuti mereka dalam kabut keputus-asaan yang memaksa setiap langkah mereka untuk diambil dengan penuh perhitungan. Ayra bisa merasakan getaran di dalam tubuhnya, seperti sesuatu yang besar tengah berputar di luar kendali mereka. Ini adalah saat penentuan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah segala hal.Dante, yang berdiri di sampingnya, menarik napas panjang dan menatap Ayra. "Apapun yang terjadi, kita sudah sampai di sini bersama. Apa pun konsekuensinya, kita akan hadapi."Ayra merasakan ketenangan dalam kata-kata Dante, meskipun hatinya sendiri berdebar keras. Mereka telah melewati begitu banyak rintangan, begitu banyak tantangan, namun apa yang ada di hadapan mereka ini masih penuh misteri. Adakah mereka benar-benar siap untuk keputusan yang ada di depan mata?"Saya tahu," jawab Ayra dengan suara yang agak gemetar. "Tapi ini bukan hanya tentang kita, kan? Ini tentang semua yang kita cintai. Tenta
Ayra merasakan getaran aneh yang mengguncang tubuhnya begitu mereka melangkah lebih dekat ke cahaya itu. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah dunia di sekitar mereka mulai berubah, menyesuaikan diri dengan keputusan yang sudah mereka buat. Cahaya itu semakin terang, dan seiring dengan itu, bayangan yang mengintai mereka juga semakin jelas."Ini terasa seperti... kita menuju ke sesuatu yang tak bisa kita kendalikan," kata Elena, matanya waspada, menatap cahaya yang semakin mendekat. "Tapi kita sudah di sini. Tidak ada pilihan lain selain melangkah maju."Ayra menatap ke depan, merasakan seakan dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Semua ketegangan yang mereka rasakan, semua rahasia yang tersembunyi di balik kabut, terasa seperti beban yang harus mereka hadapi satu per satu. Namun, meskipun mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang tak bisa ditarik mundur, ada kekuatan yang lebih besar di dalam diri mereka untuk tetap melanjutkan.Dante berja
Mereka melangkah dengan hati yang penuh ketegangan, menjauh dari tempat Adrian menghilang ke dalam kabut. Setiap langkah terasa berat, seakan beban yang mereka bawa semakin besar. Ayra, yang berjalan di samping Dante, merasa ketidakpastian melingkupi hatinya. Ke mana mereka sebenarnya menuju? Dan lebih penting lagi, apa yang akan mereka hadapi di depan? "Adrian... mengapa ia kembali sekarang?" Ayra berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh angin yang berhembus kencang. "Kenapa tidak sebelumnya?" Dante berjalan dengan langkah tegap, meskipun ia pun merasakan kegelisahan yang sama. Ia tahu Adrian tidak pernah datang tanpa tujuan, dan itu yang membuatnya semakin waspada. "Mungkin itu bukan kebetulan," jawab Dante, suaranya tetap tegas meskipun ada keraguan yang menggerayangi pikirannya. "Mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita ketahui." Elena, yang berjalan sedikit lebih jauh di belakang, tiba-tiba berhenti. "Tunggu
Suasana malam semakin mencekam, udara dingin menggigit kulit mereka yang terasa lebih sensitif setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ketegangan. Langkah-langkah mereka di tengah kabut yang menyelimuti hanya diiringi oleh suara detak jantung yang semakin cepat. Ayra merasa beban yang ada di pundaknya semakin berat. Semakin dekat mereka pada tujuan, semakin jelas bahwa takdir mereka akan segera terungkap, namun apakah itu takdir yang mereka harapkan?"Ayra," suara Dante memecah kesunyian, lembut namun penuh tekanan. "Apa yang kau rasakan sekarang? Kita semakin dekat."Ayra mengangkat wajahnya, matanya penuh pertanyaan. Meski bibirnya ingin berkata sesuatu, kata-kata itu terasa seperti beban yang terlalu berat untuk diungkapkan. Keputusan yang akan mereka buat nanti bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi juga tentang kehidupan mereka, masa depan mereka. Mereka tidak hanya berhadapan dengan pilihan pribadi, tetapi juga dengan sesuatu yang lebih besar,
Langkah Dante terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan setiap gerakannya. Udara malam yang dingin menyeruak lewat celah-celah jaketnya, memeluk tubuhnya dengan rasa yang menyusup sampai ke dalam tulang. Jalanan yang mereka lalui semakin sempit, seolah mengarah pada sebuah tempat yang penuh dengan misteri dan ketidakpastian. Kabut tipis yang mulai turun menambah kesan sunyi, menutupi segalanya kecuali langkah-langkah mereka yang semakin terasa berat.Dante menoleh ke belakang, memastikan bahwa Ayra dan Elena masih berada di belakangnya. Mereka berjalan dengan jarak yang sedikit lebih jauh dari biasanya, seolah ketegangan yang ada di udara memisahkan mereka lebih jauh daripada yang sebenarnya. Ayra tampak lebih diam dari biasanya, wajahnya yang biasanya ceria kini diselimuti kekhawatiran yang jelas terlihat. Meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu, matanya yang sesekali tertunduk menunjukkan kegelisahan yang sulit ditutupi.Dante merasa beb
Matahari pagi memancarkan sinarnya dengan lembut di atas kediaman keluarga Dante. Udara musim semi yang segar membawa keheningan yang menenangkan, tetapi di dalam hati beberapa orang, badai perasaan masih berkecamuk. Ayra duduk di taman belakang rumah, jari-jarinya memetik kelopak bunga melati yang tumbuh di pinggir pagar. Wajahnya terlihat damai, namun sorot matanya memancarkan kebimbangan yang mendalam. Ia masih mengingat percakapan terakhirnya dengan Dante, di mana pria itu mengungkapkan perasaannya. Kebahagiaan yang meluap-luap masih terasa, tetapi bersamanya datang juga beban. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Ayra menoleh dan melihat Elena berdiri di belakangnya. Wajah Elena terlihat tenang, meskipun Ayra tahu ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan perempuan itu. "Elena," sapa Ayra, mencoba tersenyum. Elena balas tersenyum dan berjalan mendekat, duduk di bangku yang sama dengan Ayra. “Pagi yang indah,