Home / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 3: Jejak yang Tertinggal

Share

Bab 3: Jejak yang Tertinggal

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-11-22 15:59:54

Malam itu terasa semakin kelam seiring dengan semakin dekatnya Dante dengan dunia yang telah lama ia hindari. Dunia yang penuh dengan intrik, pengkhianatan, dan kekerasan. Namun, sekarang ia tidak punya pilihan selain melangkah lebih dalam. Baginya, ayahnya bukan sekadar sebuah kenangan, tetapi sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan. Jika ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia harus menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan.

Di dalam kamar hotel yang sederhana, Elena duduk di depan meja, memeriksa dokumen-dokumen yang ia ambil dari markas rahasia. Dante berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang terus berputar.

"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Dante tanpa menoleh.

Elena mengangkat kepala, menyipitkan matanya. "Kita menuju Raven's Nest. Tempat itu tidak akan mudah ditemukan, tapi aku tahu cara masuk."

"Bagaimana kalau ada jebakan?" Dante berbalik dan memandang Elena.

"Jika ada jebakan, kita harus siap," jawab Elena tegas. "Tapi, kita tidak punya banyak waktu. Setiap detik yang terlewat, semakin dekat mereka untuk menghancurkan kita."

Dante menghela napas panjang. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Semua ini... terasa begitu asing."

Elena berdiri dan mendekatinya. "Dante, kau tidak punya pilihan. Dunia ini bukan dunia yang bisa kau pahami hanya dengan duduk di belakang meja. Kau harus terjun langsung ke dalamnya. Tapi aku akan membantumu."

Dante menatapnya, merasakan ketulusan di mata Elena. Ia tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa wanita itu sudah banyak membantu, bahkan lebih banyak daripada yang bisa ia bayangkan.

"Apa yang akan kita temukan di Raven's Nest?" tanya Dante, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.

"Petunjuk," jawab Elena dengan singkat. "Dan mungkin juga jawaban yang kau cari."

---

Keesokan harinya, setelah perjalanan panjang melewati jalanan gelap dan berliku, mereka tiba di sebuah kawasan terpencil di pinggiran kota. Gedung yang mereka tuju terlihat seperti bangunan tua yang sudah lama terbengkalai. Di sekelilingnya, hanya ada deretan gudang-gudang kosong yang terisolasi dari kehidupan kota.

Elena memeriksa keadaan sekitar. "Ini tempatnya," gumamnya. "Tunggu di sini. Aku akan memeriksa dulu."

Dante menahan dirinya untuk tidak bertanya lebih banyak. Ia tahu bahwa Elena lebih tahu dari dirinya soal cara menghadapi situasi ini.

Setengah jam berlalu, dan Elena kembali dengan cepat. Wajahnya tampak serius. "Ada beberapa orang di dalam. Mereka tidak tahu kita datang."

Dante mengangguk. "Bagaimana kita masuk?"

Elena mengeluarkan sebuah perangkat kecil dari sakunya. "Kita masuk lewat pintu belakang. Aku tahu cara membuka kunci di sini. Setelah itu, kita akan bergerak cepat."

Mereka berjalan menuju pintu belakang yang tertutup rapat. Elena memasukkan alat pembuka kunci, dan dalam beberapa detik, pintu itu terbuka tanpa suara.

"Masuk," bisik Elena, memberi isyarat kepada Dante.

---

Setelah masuk, mereka bergerak dengan hati-hati di lorong gelap. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di antara dinding-dinding beton yang dingin.

Elena berhenti sejenak, mendengarkan suara di kejauhan. "Ada pertemuan di ruang tengah. Kita harus hati-hati."

Dante mengangguk, mencoba untuk tetap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Keheningan malam itu terasa menekan, seolah-olah seluruh dunia sedang mengamati setiap langkah mereka.

Mereka mendekati pintu ruang tengah yang terbuat dari logam, dan Elena memberi isyarat agar Dante berdiri di belakangnya. Dengan gerakan cepat, ia membuka sedikit pintu untuk mengintip ke dalam.

Di dalam ruangan, tampak beberapa pria berpakaian formal sedang duduk di sekitar meja besar, berbicara dengan serius. Salah satunya adalah Rafael Moretti, pria yang fotonya sempat terlihat di markas rahasia. Wajahnya yang familiar kini tampak lebih tua, namun tetap berkarisma.

Elena mengernyitkan dahi. "Dia di sini. Tapi... ada sesuatu yang tidak beres."

Dante memandangnya, bertanya-tanya. "Apa maksudmu?"

"Rafael... dia tidak hanya bekerja sama dengan Viktor Koval," jawab Elena dengan pelan. "Dia juga menjalin hubungan dengan orang-orang dari luar kota. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perebutan kekuasaan di sini."

Dante merasa darahnya berdesir. "Apa yang kau maksud dengan lebih besar?"

"Sesuatu yang melibatkan lebih banyak orang, lebih banyak kekuatan," jawab Elena. "Rencana ini tidak hanya soal mafia lokal. Mereka sedang merencanakan sesuatu yang jauh lebih besar."

---

Dante dan Elena mendengarkan percakapan itu lebih lanjut, mencoba menyelidiki lebih banyak informasi. Namun, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Mereka berdua cepat bersembunyi di balik sebuah rak besar yang menumpuk kotak-kotak.

Seorang pria berpakaian hitam melintas dengan langkah cepat, tanpa menyadari kehadiran mereka. Dante menahan napas, merasakan jantungnya berdegup keras.

Elena berbisik, "Kita harus keluar sekarang."

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, Rafael tiba-tiba berdiri dan menoleh ke arah pintu. Seolah merasakan ada yang tidak beres.

"Dante," bisik Elena dengan cemas. "Kita sudah terbongkar."

Tanpa menunggu lebih lama, mereka berlari keluar dari tempat persembunyian mereka, berlari menuju pintu belakang yang tadi mereka buka. Namun, saat mereka hampir sampai, seorang pria muncul di depan pintu, menghalangi jalan mereka.

"Pergi dari sini!" seru Elena sambil mengarahkan pistolnya, tetapi pria itu hanya tersenyum dingin.

"Apa yang kalian cari di sini?" tanya pria itu dengan suara rendah.

Dante merasa ketegangan meningkat. "Kami tidak mencari masalah."

"Tapi masalah selalu mencari kalian," pria itu menjawab, sembari menarik senjata dari balik jaketnya.

Dante merasa waktunya hampir habis. Mereka harus cepat bergerak. Dalam satu gerakan cepat, Elena menembak ke lantai dekat kaki pria itu, membuatnya terkejut dan kehilangan keseimbangan. Mereka berlari melewatinya, keluar dari gedung dengan terburu-buru.

---

Saat mereka akhirnya keluar dari Raven's Nest, Dante merasa napasnya terengah-engah. Mereka berhasil melarikan diri, tetapi tidak dengan tangan kosong.

Elena memandangnya dengan serius. "Ini baru permulaan, Dante. Mereka tahu kita ada di sini, dan mereka akan mengejar kita."

Dante mengangguk, meskipun ada rasa cemas yang menggerogoti hatinya. "Jadi, apa langkah selanjutnya?"

"Langkah selanjutnya adalah membuat mereka percaya bahwa kita sudah mati," jawab Elena, senyum tipis di bibirnya. "Dan kemudian kita akan membalikkan permainan ini."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 130

    Cahaya di altar itu semakin terang, seolah menyelimuti mereka dalam kabut keputus-asaan yang memaksa setiap langkah mereka untuk diambil dengan penuh perhitungan. Ayra bisa merasakan getaran di dalam tubuhnya, seperti sesuatu yang besar tengah berputar di luar kendali mereka. Ini adalah saat penentuan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah segala hal.Dante, yang berdiri di sampingnya, menarik napas panjang dan menatap Ayra. "Apapun yang terjadi, kita sudah sampai di sini bersama. Apa pun konsekuensinya, kita akan hadapi."Ayra merasakan ketenangan dalam kata-kata Dante, meskipun hatinya sendiri berdebar keras. Mereka telah melewati begitu banyak rintangan, begitu banyak tantangan, namun apa yang ada di hadapan mereka ini masih penuh misteri. Adakah mereka benar-benar siap untuk keputusan yang ada di depan mata?"Saya tahu," jawab Ayra dengan suara yang agak gemetar. "Tapi ini bukan hanya tentang kita, kan? Ini tentang semua yang kita cintai. Tenta

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 129

    Ayra merasakan getaran aneh yang mengguncang tubuhnya begitu mereka melangkah lebih dekat ke cahaya itu. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah dunia di sekitar mereka mulai berubah, menyesuaikan diri dengan keputusan yang sudah mereka buat. Cahaya itu semakin terang, dan seiring dengan itu, bayangan yang mengintai mereka juga semakin jelas."Ini terasa seperti... kita menuju ke sesuatu yang tak bisa kita kendalikan," kata Elena, matanya waspada, menatap cahaya yang semakin mendekat. "Tapi kita sudah di sini. Tidak ada pilihan lain selain melangkah maju."Ayra menatap ke depan, merasakan seakan dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Semua ketegangan yang mereka rasakan, semua rahasia yang tersembunyi di balik kabut, terasa seperti beban yang harus mereka hadapi satu per satu. Namun, meskipun mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang tak bisa ditarik mundur, ada kekuatan yang lebih besar di dalam diri mereka untuk tetap melanjutkan.Dante berja

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 128

    Mereka melangkah dengan hati yang penuh ketegangan, menjauh dari tempat Adrian menghilang ke dalam kabut. Setiap langkah terasa berat, seakan beban yang mereka bawa semakin besar. Ayra, yang berjalan di samping Dante, merasa ketidakpastian melingkupi hatinya. Ke mana mereka sebenarnya menuju? Dan lebih penting lagi, apa yang akan mereka hadapi di depan? "Adrian... mengapa ia kembali sekarang?" Ayra berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh angin yang berhembus kencang. "Kenapa tidak sebelumnya?" Dante berjalan dengan langkah tegap, meskipun ia pun merasakan kegelisahan yang sama. Ia tahu Adrian tidak pernah datang tanpa tujuan, dan itu yang membuatnya semakin waspada. "Mungkin itu bukan kebetulan," jawab Dante, suaranya tetap tegas meskipun ada keraguan yang menggerayangi pikirannya. "Mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita ketahui." Elena, yang berjalan sedikit lebih jauh di belakang, tiba-tiba berhenti. "Tunggu

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 127

    Suasana malam semakin mencekam, udara dingin menggigit kulit mereka yang terasa lebih sensitif setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ketegangan. Langkah-langkah mereka di tengah kabut yang menyelimuti hanya diiringi oleh suara detak jantung yang semakin cepat. Ayra merasa beban yang ada di pundaknya semakin berat. Semakin dekat mereka pada tujuan, semakin jelas bahwa takdir mereka akan segera terungkap, namun apakah itu takdir yang mereka harapkan?"Ayra," suara Dante memecah kesunyian, lembut namun penuh tekanan. "Apa yang kau rasakan sekarang? Kita semakin dekat."Ayra mengangkat wajahnya, matanya penuh pertanyaan. Meski bibirnya ingin berkata sesuatu, kata-kata itu terasa seperti beban yang terlalu berat untuk diungkapkan. Keputusan yang akan mereka buat nanti bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi juga tentang kehidupan mereka, masa depan mereka. Mereka tidak hanya berhadapan dengan pilihan pribadi, tetapi juga dengan sesuatu yang lebih besar,

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 126

    Langkah Dante terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan setiap gerakannya. Udara malam yang dingin menyeruak lewat celah-celah jaketnya, memeluk tubuhnya dengan rasa yang menyusup sampai ke dalam tulang. Jalanan yang mereka lalui semakin sempit, seolah mengarah pada sebuah tempat yang penuh dengan misteri dan ketidakpastian. Kabut tipis yang mulai turun menambah kesan sunyi, menutupi segalanya kecuali langkah-langkah mereka yang semakin terasa berat.Dante menoleh ke belakang, memastikan bahwa Ayra dan Elena masih berada di belakangnya. Mereka berjalan dengan jarak yang sedikit lebih jauh dari biasanya, seolah ketegangan yang ada di udara memisahkan mereka lebih jauh daripada yang sebenarnya. Ayra tampak lebih diam dari biasanya, wajahnya yang biasanya ceria kini diselimuti kekhawatiran yang jelas terlihat. Meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu, matanya yang sesekali tertunduk menunjukkan kegelisahan yang sulit ditutupi.Dante merasa beb

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 125

    Matahari pagi memancarkan sinarnya dengan lembut di atas kediaman keluarga Dante. Udara musim semi yang segar membawa keheningan yang menenangkan, tetapi di dalam hati beberapa orang, badai perasaan masih berkecamuk. Ayra duduk di taman belakang rumah, jari-jarinya memetik kelopak bunga melati yang tumbuh di pinggir pagar. Wajahnya terlihat damai, namun sorot matanya memancarkan kebimbangan yang mendalam. Ia masih mengingat percakapan terakhirnya dengan Dante, di mana pria itu mengungkapkan perasaannya. Kebahagiaan yang meluap-luap masih terasa, tetapi bersamanya datang juga beban. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Ayra menoleh dan melihat Elena berdiri di belakangnya. Wajah Elena terlihat tenang, meskipun Ayra tahu ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan perempuan itu. "Elena," sapa Ayra, mencoba tersenyum. Elena balas tersenyum dan berjalan mendekat, duduk di bangku yang sama dengan Ayra. “Pagi yang indah,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status