Home / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 9: Retakan di Antara Kita

Share

Bab 9: Retakan di Antara Kita

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-11-27 22:17:37

Malam di persembunyian terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tetapi karena ketegangan yang menggantung di udara. Dante duduk di sudut ruangan, menatap peta kota di depannya. Tangannya mengepal di atas meja, sementara pikirannya terus berputar mencari jawaban atas serangan mendadak tadi malam.

Lorenzo berdiri di dekat jendela, wajahnya penuh kebingungan dan luka batinnya jelas terlihat. Di sisi lain, Elena mondar-mandir dengan raut wajah frustrasi, menggosok dahinya berulang kali. Semua orang terjebak dalam pikiran mereka sendiri, tetapi kebisuan itu akhirnya pecah oleh suara Elena.

"Kita tidak bisa terus begini," katanya dengan nada tinggi, berhenti di tengah ruangan. "Ada yang harus dijelaskan. Kalau bukan oleh musuh di luar, maka oleh seseorang di antara kita."

Dante mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya dingin tetapi sarat emosi yang sulit ditebak. "Apa maksudmu, Elena?"

Elena menatapnya balik tanpa rasa takut. "Aku tidak bisa mengabaikan ini, Dante. Lorenzo ada di daftar Rafael, lalu kita diserang oleh kelompok misterius tak lama setelah kita mengambil dokumen itu. Ini bukan kebetulan."

Lorenzo langsung bereaksi. "Kau serius menuduhku, Elena? Setelah semua yang kita lalui bersama?!"

"Bukan soal tuduhan," balas Elena tajam. "Tapi soal fakta. Fakta bahwa namamu ada di dokumen itu. Fakta bahwa serangan tadi malam terlalu tepat waktu. Kalau kau punya penjelasan, kami ingin mendengarnya."

---

"Sudah kubilang aku tidak tahu kenapa namaku ada di sana!" bentak Lorenzo, suaranya meninggi hingga membuat Elena terdiam sejenak. "Aku mempertaruhkan nyawaku untuk kalian! Untuk Dante! Kalau aku ingin berkhianat, aku sudah melakukannya sejak dulu, bukan sekarang."

Elena mendekat, tatapannya tajam seperti pisau. "Tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa kita diserang. Dan kau satu-satunya yang punya alasan untuk membuka posisi kita. Jadi katakan padaku, Lorenzo, apa kau benar-benar ada di pihak kita?"

"Sudah cukup!" suara Dante memotong ketegangan di antara mereka. Ia bangkit berdiri, menatap keduanya dengan amarah yang terkendali. "Elena, Lorenzo bukan musuh. Kalau dia ingin menjual kita, dia tidak akan berada di sini sekarang."

"Tapi bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanya Elena dengan nada penuh emosi. "Kita tidak punya bukti apa-apa. Semua ini hanya berdasarkan asumsi dan kepercayaan, Dante. Dan kepercayaan mudah sekali dihancurkan dalam situasi seperti ini."

Dante menghela napas panjang, mencoba meredam kemarahannya. Ia tahu Elena tidak sepenuhnya salah, tetapi ia juga tidak bisa menerima tuduhan itu dilemparkan begitu saja kepada Lorenzo. "Kita tidak bisa membiarkan keraguan ini menghancurkan kita dari dalam," katanya akhirnya. "Kalau kita mulai saling menuduh, Rafael sudah menang bahkan sebelum dia menyerang lagi."

---

Percakapan itu selesai begitu saja tanpa solusi nyata, tetapi luka yang ditinggalkannya masih terasa. Elena pergi ke dapur, mencoba menenangkan diri, sementara Lorenzo duduk kembali di dekat jendela, menatap keluar dengan tatapan kosong.

Dante kembali ke peta di mejanya, tetapi fokusnya sudah hilang. Kepalanya dipenuhi dengan keraguan dan rasa bersalah. Ia memikirkan kata-kata Elena, juga pembelaan Lorenzo. Keduanya punya poin, tetapi ia tidak tahu harus percaya pada siapa.

Elena kembali beberapa saat kemudian, membawa secangkir kopi untuk dirinya sendiri. "Aku tidak bermaksud membuat keadaan semakin buruk," katanya pelan, nada suaranya lebih lembut.

"Aku tahu," jawab Dante tanpa menoleh. "Kau hanya mengatakan apa yang ada di pikiranmu. Aku menghargai itu."

"Tapi itu tidak berarti aku salah," lanjut Elena, duduk di kursi di depannya. "Kita berada di situasi di mana kepercayaan adalah satu-satunya senjata kita. Kalau itu runtuh, semuanya selesai."

Dante menatapnya sejenak. "Apa kau masih percaya padaku?"

Elena terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Aku selalu percaya padamu. Tapi ini bukan soal kau atau aku. Ini soal bagaimana kita menjaga semua ini tetap utuh."

---

Saat pembicaraan mereka berlangsung, Lorenzo tiba-tiba masuk ke ruangan dengan tergesa-gesa. "Aku menemukan sesuatu," katanya, menunjuk sebuah ponsel di tangannya.

Dante dan Elena langsung memperhatikan. "Apa itu?" tanya Dante.

"Ponsel yang ditinggalkan salah satu penyerang tadi malam," jawab Lorenzo. "Aku mencoba membukanya, dan ternyata ada pesan yang tidak terhapus. Pesan itu menyebut nama seseorang: Victor Vasquez."

"Victor Vasquez?" Elena mengerutkan dahi. "Dia salah satu pengusaha besar di kota ini. Apa hubungannya dengan semua ini?"

Lorenzo mengangkat bahu. "Aku tidak tahu, tapi dia pasti terlibat. Rafael mungkin punya koneksi dengannya, atau mungkin dia adalah pemain baru di papan ini."

Dante mengambil ponsel itu dan membaca pesan-pesan yang tersisa. Salah satu pesan terakhir berbunyi: "Pastikan Dante tidak keluar hidup-hidup."

Pesan itu membuat Dante menggertakkan giginya. "Jadi dia memang mengincar kita. Tapi kenapa Victor Vasquez?"

"Kalau dia pemain baru, dia mungkin mencoba menggantikan Rafael," kata Elena. "Atau dia mungkin hanya sekutu Rafael yang lebih ambisius."

"Kita perlu bertemu dengannya," kata Dante dengan nada tegas.

Elena menatapnya dengan khawatir. "Dante, kalau dia terlibat, itu berarti dia juga berbahaya. Kau tidak bisa begitu saja menemui dia tanpa rencana matang."

"Kita tidak punya waktu untuk rencana matang," jawab Dante. "Kalau kita tidak bergerak sekarang, dia akan menyerang lagi. Dan kali ini mungkin kita tidak akan seberuntung tadi malam."

---

Beberapa jam kemudian, mereka berada di luar gedung mewah milik Victor Vasquez. Dante, Elena, dan Lorenzo mengenakan pakaian gelap, berusaha menghindari perhatian saat mereka menyelinap masuk melalui pintu samping.

Gedung itu dilengkapi dengan keamanan ketat, tetapi Lorenzo berhasil menjebol sistem keamanannya. Mereka naik ke lantai tiga, di mana kantor Victor berada.

Saat mereka membuka pintu, Victor sedang duduk di belakang meja besar, dengan senyum dingin di wajahnya. "Dante," katanya, suaranya tenang tetapi penuh ancaman. "Aku sudah menunggumu."

Dante mengangkat pistolnya, tetapi Victor tidak terlihat takut. "Tenang," kata Victor, mengangkat tangannya. "Kalau kau ingin bicara, kita bisa melakukannya dengan cara yang lebih sipil."

"Aku tidak di sini untuk bicara," jawab Dante dingin. "Aku ingin tahu kenapa kau mengirim orang-orangmu untuk menyerang kami."

Victor tertawa kecil. "Itu bukan serangan, Dante. Itu peringatan. Kau masuk terlalu jauh ke wilayah yang bukan milikmu."

"Wilayah?" Elena menyela dengan nada tajam. "Kau bekerja dengan Rafael, atau kau mencoba menggantikannya?"

Victor menatap Elena sejenak sebelum menjawab, "Rafael adalah masa lalu. Aku adalah masa depan. Kalau kalian tahu yang terbaik untuk kalian, kalian akan pergi sekarang dan membiarkanku mengambil alih."

"Kami tidak akan membiarkanmu menghancurkan kota ini," kata Dante dengan nada keras.

Victor hanya tersenyum. "Kita lihat saja siapa yang menang, Dante. Tapi aku sarankan kau berpikir baik-baik. Karena kalau kau terus menghalangi jalanku, kau tidak hanya akan kehilangan segalanya, tetapi juga semua orang yang kau pedulikan."

Ucapan itu membuat amarah Dante membuncah, tetapi Elena memegang lengannya, mencoba menenangkan dia. "Kita harus pergi," bisik Elena.

Dante akhirnya mundur, tetapi ia tahu bahwa ancaman Victor bukan sekadar omong kosong. Perang ini baru saja meningkat ke tingkat yang jauh lebih berbahaya, dan kali ini, lawannya adalah seseorang yang sama liciknya dengan Rafael—mungkin bahkan lebih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 130

    Cahaya di altar itu semakin terang, seolah menyelimuti mereka dalam kabut keputus-asaan yang memaksa setiap langkah mereka untuk diambil dengan penuh perhitungan. Ayra bisa merasakan getaran di dalam tubuhnya, seperti sesuatu yang besar tengah berputar di luar kendali mereka. Ini adalah saat penentuan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah segala hal.Dante, yang berdiri di sampingnya, menarik napas panjang dan menatap Ayra. "Apapun yang terjadi, kita sudah sampai di sini bersama. Apa pun konsekuensinya, kita akan hadapi."Ayra merasakan ketenangan dalam kata-kata Dante, meskipun hatinya sendiri berdebar keras. Mereka telah melewati begitu banyak rintangan, begitu banyak tantangan, namun apa yang ada di hadapan mereka ini masih penuh misteri. Adakah mereka benar-benar siap untuk keputusan yang ada di depan mata?"Saya tahu," jawab Ayra dengan suara yang agak gemetar. "Tapi ini bukan hanya tentang kita, kan? Ini tentang semua yang kita cintai. Tenta

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 129

    Ayra merasakan getaran aneh yang mengguncang tubuhnya begitu mereka melangkah lebih dekat ke cahaya itu. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah dunia di sekitar mereka mulai berubah, menyesuaikan diri dengan keputusan yang sudah mereka buat. Cahaya itu semakin terang, dan seiring dengan itu, bayangan yang mengintai mereka juga semakin jelas."Ini terasa seperti... kita menuju ke sesuatu yang tak bisa kita kendalikan," kata Elena, matanya waspada, menatap cahaya yang semakin mendekat. "Tapi kita sudah di sini. Tidak ada pilihan lain selain melangkah maju."Ayra menatap ke depan, merasakan seakan dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Semua ketegangan yang mereka rasakan, semua rahasia yang tersembunyi di balik kabut, terasa seperti beban yang harus mereka hadapi satu per satu. Namun, meskipun mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang tak bisa ditarik mundur, ada kekuatan yang lebih besar di dalam diri mereka untuk tetap melanjutkan.Dante berja

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 128

    Mereka melangkah dengan hati yang penuh ketegangan, menjauh dari tempat Adrian menghilang ke dalam kabut. Setiap langkah terasa berat, seakan beban yang mereka bawa semakin besar. Ayra, yang berjalan di samping Dante, merasa ketidakpastian melingkupi hatinya. Ke mana mereka sebenarnya menuju? Dan lebih penting lagi, apa yang akan mereka hadapi di depan? "Adrian... mengapa ia kembali sekarang?" Ayra berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh angin yang berhembus kencang. "Kenapa tidak sebelumnya?" Dante berjalan dengan langkah tegap, meskipun ia pun merasakan kegelisahan yang sama. Ia tahu Adrian tidak pernah datang tanpa tujuan, dan itu yang membuatnya semakin waspada. "Mungkin itu bukan kebetulan," jawab Dante, suaranya tetap tegas meskipun ada keraguan yang menggerayangi pikirannya. "Mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita ketahui." Elena, yang berjalan sedikit lebih jauh di belakang, tiba-tiba berhenti. "Tunggu

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 127

    Suasana malam semakin mencekam, udara dingin menggigit kulit mereka yang terasa lebih sensitif setelah perjalanan panjang yang penuh dengan ketegangan. Langkah-langkah mereka di tengah kabut yang menyelimuti hanya diiringi oleh suara detak jantung yang semakin cepat. Ayra merasa beban yang ada di pundaknya semakin berat. Semakin dekat mereka pada tujuan, semakin jelas bahwa takdir mereka akan segera terungkap, namun apakah itu takdir yang mereka harapkan?"Ayra," suara Dante memecah kesunyian, lembut namun penuh tekanan. "Apa yang kau rasakan sekarang? Kita semakin dekat."Ayra mengangkat wajahnya, matanya penuh pertanyaan. Meski bibirnya ingin berkata sesuatu, kata-kata itu terasa seperti beban yang terlalu berat untuk diungkapkan. Keputusan yang akan mereka buat nanti bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi juga tentang kehidupan mereka, masa depan mereka. Mereka tidak hanya berhadapan dengan pilihan pribadi, tetapi juga dengan sesuatu yang lebih besar,

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 126

    Langkah Dante terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan setiap gerakannya. Udara malam yang dingin menyeruak lewat celah-celah jaketnya, memeluk tubuhnya dengan rasa yang menyusup sampai ke dalam tulang. Jalanan yang mereka lalui semakin sempit, seolah mengarah pada sebuah tempat yang penuh dengan misteri dan ketidakpastian. Kabut tipis yang mulai turun menambah kesan sunyi, menutupi segalanya kecuali langkah-langkah mereka yang semakin terasa berat.Dante menoleh ke belakang, memastikan bahwa Ayra dan Elena masih berada di belakangnya. Mereka berjalan dengan jarak yang sedikit lebih jauh dari biasanya, seolah ketegangan yang ada di udara memisahkan mereka lebih jauh daripada yang sebenarnya. Ayra tampak lebih diam dari biasanya, wajahnya yang biasanya ceria kini diselimuti kekhawatiran yang jelas terlihat. Meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu, matanya yang sesekali tertunduk menunjukkan kegelisahan yang sulit ditutupi.Dante merasa beb

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 125

    Matahari pagi memancarkan sinarnya dengan lembut di atas kediaman keluarga Dante. Udara musim semi yang segar membawa keheningan yang menenangkan, tetapi di dalam hati beberapa orang, badai perasaan masih berkecamuk. Ayra duduk di taman belakang rumah, jari-jarinya memetik kelopak bunga melati yang tumbuh di pinggir pagar. Wajahnya terlihat damai, namun sorot matanya memancarkan kebimbangan yang mendalam. Ia masih mengingat percakapan terakhirnya dengan Dante, di mana pria itu mengungkapkan perasaannya. Kebahagiaan yang meluap-luap masih terasa, tetapi bersamanya datang juga beban. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Ayra menoleh dan melihat Elena berdiri di belakangnya. Wajah Elena terlihat tenang, meskipun Ayra tahu ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan perempuan itu. "Elena," sapa Ayra, mencoba tersenyum. Elena balas tersenyum dan berjalan mendekat, duduk di bangku yang sama dengan Ayra. “Pagi yang indah,

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 124

    Langit pagi menyambut mereka dengan cahaya lembut berwarna jingga. Kabut tipis masih menyelimuti lembah, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Di kejauhan, suara burung-burung pagi mulai terdengar, mengiringi langkah mereka yang perlahan kembali ke rumah utama.Ayra berjalan sedikit di depan, langkahnya ringan namun pikirannya jauh melayang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi semalam. Kata-kata Dante masih terngiang di telinganya, seperti melodi yang tidak selesai dimainkan.“Kenapa rasanya semakin sulit untuk memahami hatinya?” gumam Ayra dalam hati. Ia menggenggam erat syalnya, seolah mencari kehangatan di tengah udara pagi yang dingin.Elena, yang berjalan di samping Dante, mencuri pandang ke arah pria itu. Wajahnya tampak letih, dengan sorot mata yang kosong. Elena tahu Dante sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari arah yang benar.“Kau tahu, Dante,” kata Elena, memecah keheningan di antara

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 123

    Malam yang dingin terasa menusuk tulang. Langkah Dante yang berat menyusuri jalan setapak di tengah hutan hanya ditemani oleh suara angin yang menggerakkan dedaunan. Setelah percakapan yang penuh emosi antara dirinya, Ayra, dan Elena, hatinya terasa seperti medan perang. Keputusannya untuk tetap berdiri di tengah-tengah mereka telah menyisakan perih yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.Dante berhenti di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi. Ia bersandar di batangnya yang kasar, menatap langit malam yang dihiasi ribuan bintang. Sebuah napas berat meluncur dari bibirnya, seolah-olah ia mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya.“Dante…” suara itu, lembut namun tegas, terdengar dari belakangnya.Dante menoleh. Elena berdiri di sana, membawa lentera kecil yang sinarnya berkilau redup. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kau seharusnya istirahat, Elena,” kata Dante, mencoba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 122

    Senja mulai mengintip di ujung cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Di tengah reruntuhan kota tua, Dante berdiri dengan tubuh tegap, matanya memandang ke arah Elena dan Ayra yang berada tak jauh darinya. Ada ketegangan yang begitu nyata di udara, namun sekaligus kehangatan yang tak bisa disangkal.Ayra memalingkan wajah, membiarkan angin memainkan rambut hitam legamnya. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi aku masih merasa ada yang kurang,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain.Dante menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat. “Apa yang kurang, Ayra?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang meresap ke dalam kesunyian.“Elena tahu,” jawab Ayra, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Elena yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya, wajahnya diliputi keraguan. “Kau tahu, kan? Apa yang sebenarnya masih kita cari?”Elena terdiam, wajahnya yang biasanya dingin tampak goyah. Ia meng

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status