Beranda / Romansa / TAKLUK DI PELUKANNYA / BAB 2 - JERATAN YANG SEMAKIN DALAM

Share

BAB 2 - JERATAN YANG SEMAKIN DALAM

Penulis: awaaasky
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-20 20:47:01

Auryn menghela napas, tangannya mencengkeram erat surat dari Lucien. Kata-kata pria itu terasa seperti belenggu yang melilitnya perlahan.

Jangan buat aku menunggu terlalu lama.

Dia memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Seharusnya dia tidak terkejut. Lucien bukan tipe pria yang sekadar berbicara tanpa maksud. Jika dia menginginkan sesuatu, dia akan mendapatkannya, dan kini Auryn adalah targetnya.

“Jangan panik,” gumamnya pada diri sendiri.

Dia melipat surat itu dan menyimpannya di laci meja, tepat sebelum sekretarisnya masuk kembali.

“Nona Vale, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda.”

Auryn mengangkat wajahnya. “Siapa?”

Sekretarisnya tampak sedikit ragu. “Dia tidak menyebutkan nama. Tapi dia mengatakan ini penting.”

Auryn mengerutkan kening. Setelah pertemuannya dengan Lucien tadi malam, dia merasa waspada terhadap siapa pun yang datang tanpa pemberitahuan.

“Suruh dia masuk.”

Pintu terbuka, dan seseorang yang tidak ia duga berdiri di ambang pintu.

Ezra Foster.

Mantan tunangannya.

Auryn mengepalkan tangannya. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali dia melihat pria itu, dan sekarang, tiba-tiba dia muncul?

Ezra melangkah masuk dengan percaya diri yang sama seperti biasanya, jasnya rapi, senyum tipis di wajahnya seperti sedang menyimpan rahasia.

“Apa yang kau lakukan di sini?” suara Auryn terdengar dingin.

Ezra menutup pintu dan berjalan mendekat. “Aku dengar Lucien Morant mendekatimu.”

Auryn menyipitkan mata. “Sejak kapan itu menjadi urusanmu?”

Ezra terkekeh pelan. “Sejak kau masih milikku.”

Auryn tertawa sinis. “Jangan konyol, Ezra. Aku bukan milik siapa pun.”

Ezra duduk di kursi di depan mejanya, menyandarkan tubuhnya dengan santai. “Kau tidak tahu siapa yang sedang kau hadapi, Auryn. Lucien bukan pria biasa.”

“Aku bisa menghadapinya sendiri.”

“Kau yakin?”

Auryn diam. Tentu saja dia yakin—atau setidaknya, dia ingin percaya bahwa dia cukup kuat untuk menghadapi pria seperti Lucien.

Ezra menatapnya dalam. “Dulu aku berpikir kau hanya keras kepala, tapi sekarang aku sadar… kau terlalu sombong untuk kebaikanmu sendiri.”

Auryn mendengus. “Dan kau terlalu egois untuk menyadari kesalahanmu sendiri.”

Ezra tersenyum miring. “Kau akan menyesal tidak mendengarkanku, Auryn.”

Sebelum dia bisa menjawab, Ezra berdiri dan berjalan keluar tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut.

Auryn menutup matanya sesaat, mencoba mengatur napasnya.

Lucien.

Ezra.

Dua pria yang berbeda, tapi sama-sama mencoba mengendalikan hidupnya.

Dan dia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Malam harinya, Auryn berusaha menenangkan diri dengan segelas anggur di apartemennya. Ia duduk di balkon, menikmati angin malam yang sejuk, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh segala hal yang terjadi hari ini.

Ponselnya bergetar di meja.

Lucien Morant.

Auryn menatap layar itu cukup lama sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

“Sibuk?” suara Lucien terdengar santai, tapi tetap mengandung otoritas yang sulit diabaikan.

“Apa yang kau inginkan, Lucien?”

Pria itu tertawa kecil. “Langsung ke intinya, ya?”

“Kita berdua tahu kau tidak meneleponku hanya untuk berbasa-basi.”

“Aku ingin mengajakmu makan malam.”

Auryn mengerutkan kening. “Aku tidak tertarik.”

“Tapi aku tidak sedang memintamu, sayang.”

Darah Auryn berdesir. Lucien selalu berbicara dengan nada yang seakan tidak memberi ruang untuk penolakan.

“Aku punya rencana lain,” jawabnya dingin.

Lucien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku akan menjemputmu jam delapan.”

“Lucien—”

Klik.

Panggilan terputus.

Auryn menatap ponselnya dengan frustrasi.

Pria itu benar-benar gila.

Dan yang lebih mengkhawatirkan, dia tahu Lucien akan benar-benar datang.

Tepat jam delapan malam, suara bel apartemennya berbunyi.

Auryn menghela napas panjang sebelum berjalan ke pintu. Saat ia membukanya, Lucien berdiri di sana, mengenakan jas hitam yang begitu pas di tubuhnya.

Tatapan pria itu menyapu dirinya, dari kepala hingga kaki. “Kau masih memakai piyama.”

“Aku sudah bilang aku tidak tertarik,” balas Auryn tajam.

Lucien tersenyum. Senyum yang berbahaya.

“Kau bisa mengganti pakaianmu, atau aku bisa memilihkan sesuatu untukmu.”

Auryn mendengus. “Kau sungguh menyebalkan.”

“Aku tahu.”

Auryn menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menyerah. Dia tahu Lucien tidak akan pergi sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya.

“Beri aku sepuluh menit.”

Lucien tersenyum lebih lebar. “Aku akan menunggu.”

Makan malam itu terasa lebih seperti negosiasi dibanding pertemuan biasa.

Auryn duduk di seberang Lucien di restoran mewah yang jelas telah dipesan khusus untuk mereka berdua.

“Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanyanya akhirnya.

Lucien menyandarkan tubuhnya di kursi, menatapnya dengan mata gelapnya yang tajam. “Aku sudah mengatakannya, Auryn. Aku menginginkanmu.”

Auryn tertawa sinis. “Kau tidak bisa memiliki seseorang seperti memiliki barang.”

Lucien tidak terlihat tersinggung. “Aku tidak terbiasa ditolak.”

“Aku tidak terbiasa dikendalikan.”

Mereka saling menatap, ketegangan di antara mereka semakin nyata.

“Apa kau pikir aku hanya akan diam saja?” tanya Lucien, suaranya rendah dan penuh ancaman tersembunyi.

Auryn meneguk anggurnya dengan tenang. “Aku tidak peduli.”

Lucien tersenyum. “Kau akan peduli, sayang.”

Auryn tidak membiarkan dirinya terpengaruh.

Tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu…

Ini baru permulaan.

Setelah makan malam yang penuh ketegangan itu, Auryn berpikir Lucien akan memberinya ruang. Tapi ternyata, pria itu punya rencana lain.

Begitu mereka keluar dari restoran, sebuah mobil sudah menunggu. Lucien menarik tangannya, membimbingnya masuk tanpa memberinya pilihan.

“Lucien,” Auryn memperingatkan. “Aku bisa pulang sendiri.”

Lucien hanya menatapnya sekilas sebelum menutup pintu mobil. “Aku tahu.”

Pria itu masuk dari sisi lain, duduk di sebelahnya. Mobil mulai melaju.

Auryn melirik ke arah sopir yang tampak tenang, seolah ini adalah kejadian biasa. Seolah membawa seorang wanita melawan kehendaknya adalah hal yang lumrah dalam dunia Lucien Morant.

Auryn menyandarkan punggungnya, menahan gejolak emosinya. “Kemana kita pergi?”

Lucien mengamati wajahnya sebelum menjawab, “Ke tempatku.”

Jantung Auryn berdebar. “Aku tidak mau.”

Lucien tersenyum tipis. “Aku tidak memintamu untuk mau.”

Pria ini benar-benar membuatnya gila. Auryn tahu dia harus tetap tenang, mencari cara agar tidak masuk lebih dalam ke dalam permainan ini.

“Aku tidak suka dipaksa,” ujarnya tajam.

“Aku tidak suka ditolak.”

“Lucien.”

“Sayang.”

Auryn mengepalkan tangannya. Pria ini jelas menikmati bagaimana dia bereaksi terhadap setiap kata-katanya.

“Kenapa aku?” tanyanya akhirnya.

Lucien menatapnya dalam. “Karena kau menantangku.”

Auryn tersentak.

“Semua orang takut padaku,” lanjutnya dengan nada santai, seolah itu fakta yang sudah diketahui semua orang. “Tapi kau… kau berani membantahku. Itu menarik.”

“Jadi aku hanya tantangan bagimu?”

Lucien tersenyum kecil. “Lebih dari itu.”

Mobil melambat, berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah.

Sebelum Auryn bisa berkata apa-apa, pintu mobil terbuka dan seorang pria berbadan besar menunggu di luar, siap membantu mereka keluar.

Lucien keluar lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya.

Auryn menatapnya ragu.

“Aku bisa berjalan sendiri.”

Lucien mengangkat bahu. “Baiklah.”

Auryn keluar dari mobil tanpa menyentuh tangannya, meskipun dia bisa merasakan tatapan Lucien yang mengawasinya dengan intens.

Mereka masuk ke dalam gedung, naik lift yang terasa terlalu sunyi.

Begitu pintu terbuka, mereka langsung memasuki penthouse Lucien—luas, modern, dan mewah.

Auryn memandang sekeliling, lalu berbalik menghadap Lucien. “Aku sudah di sini. Apa yang kau inginkan?”

Lucien berjalan mendekat, membuatnya mundur selangkah.

“Tunggu—”

Pria itu mengangkat tangannya, menyentuh dagunya dengan lembut. “Aku ingin kau memahami sesuatu, Auryn.”

Mata mereka bertemu.

“Kau bisa melawanku sekeras yang kau mau,” bisiknya. “Tapi pada akhirnya, aku akan menang.”

Darah Auryn berdesir.

Dia ingin membalas, ingin mengatakan sesuatu yang tajam, tapi Lucien terlalu dekat. Terlalu mendominasi.

Dan yang paling mengganggunya… adalah kenyataan bahwa dia tidak merasa takut.

Dia merasa tertantang.

Lucien menurunkan tangannya, memberinya ruang. “Aku akan mengantarmu pulang.”

Auryn mengerjap. “Apa?”

“Kau tidak berpikir aku akan memaksamu tetap di sini, kan?”

Auryn menatapnya curiga. “Kau…”

Lucien tersenyum. “Aku tidak perlu memaksamu, Auryn. Aku tahu kau akan kembali dengan sendirinya.”

Auryn merasakan hawa panas menjalar di tubuhnya.

Pria ini benar-benar terlalu percaya diri.

Tapi entah kenapa, dia tidak bisa menyangkal… bahwa mungkin, hanya mungkin, ada bagian dari dirinya yang tertarik untuk kembali.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 34

    Auryn dan Lucien berjalan cepat di sepanjang lorong gelap itu, keringat dingin mengalir di wajah mereka. Auryn menuntun Lucien, yang masih limbung akibat suntikan dari Hilman. Walaupun tubuhnya sudah bisa bergerak, matanya masih tampak kabur dan ia kesulitan untuk berdiri tegak."Tahan, Lucien. Lo bisa bertahan sedikit lagi," bisik Auryn, sambil merangkulnya untuk memberi dukungan.Lucien mengangguk, meski tubuhnya terasa berat dan penuh rasa sakit. "Kita harus keluar dari sini, Auryn... secepatnya."Namun, mereka baru saja melangkah lebih jauh ketika suara berat dan penuh kebencian itu kembali terdengar di belakang mereka."Kalian pikir kalian bisa kabur dari sini? Tidak ada yang bisa kabur dari gue."Auryn menoleh cepat, mengeluarkan semprotan lada lagi, siap jika Hilman muncul. Namun, yang dia lihat justru sebuah bayangan besar, yang bergerak cepat mendekat.Hilman, dengan tubuhnya yang tampak lebih kuat dari sebelumnya, melangkah perlahan. Matanya bersinar dengan kebencian yang me

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 33

    Malam menua dalam diam yang memekakkan telinga. Hujan telah reda, tapi udara tetap lembap. Seolah dunia menahan napasnya, menunggu badai lain yang akan datang.Auryn tak bisa tidur. Mata dan tubuhnya lelah, tapi pikirannya menolak berhenti. Setiap bayangan, setiap rekaman yang muncul di flashdisk tadi siang masih terpatri kuat. Rasanya seperti kulitnya dibuka paksa, dipajang, ditertawakan.Dia memeluk lutut di atas ranjang. Lampu tidur menyala redup. Lucien duduk di kursi, tepat di depan pintu kamar. Dada bidangnya naik-turun perlahan, namun tatapan matanya tak pernah lepas dari sekeliling.Dia berjaga.Bukan karena tidak percaya pada sistem keamanan, tapi karena kini dia tahu—musuh mereka sudah lebih dari sekadar ancaman virtual. Dia hadir. Nyata. Bernapas di udara yang sama. Mungkin... bahkan lebih dekat dari yang mereka pikirkan.“Lu tidur aja,” bisik Auryn pelan, suaranya nyaris tak terdengar.Lucien menggeleng. “Nggak bisa. Gue nggak akan bisa tidur kalau lo belum aman sepenuhnya

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 32

    Setelah Sasha diamankan oleh pihak keamanan apartemen dan ditangani oleh pihak berwenang, suasana di antara Auryn dan Lucien sempat terasa lega. Tapi rasa lega itu tak berlangsung lama.Lucien duduk di ruang kerja, memandangi layar laptop yang menunjukkan rekaman CCTV dari sekitar apartemennya. Sejak kejadian surat ancaman, dia meningkatkan keamanan, menambah kamera tersembunyi, dan meminta timnya untuk mengecek semua gerak-gerik yang mencurigakan.Namun ada satu hal yang tidak dia perkirakan—bahwa seseorang lain, di luar Sasha, telah mengikuti gerakan mereka jauh sebelum ancaman itu datang.“Auryn…” panggilnya pelan.Auryn yang tengah mengganti baju di kamar tidur langsung menghampirinya. “Kenapa?”Lucien menunjuk layar. “Lihat ini.” Dia memutar rekaman dari seminggu lalu. Terlihat seorang pria berjaket hitam, mengenakan hoodie dan masker, berdiri di seberang jalan tepat menghadap apartemen mereka. Si pria berdiri diam selama 15 menit, lalu pergi tanpa jejak.“Itu bukan Sasha,” gumam

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 31

    Auryn duduk mematung di kursi kayu ruang tamu, jemarinya gemetar menggenggam ponsel. Kata-kata terakhir dari penelepon tadi masih terngiang di telinganya: “Kalau kamu masih berani deket-deket Lucien, kamu bakal tahu rasanya kehilangan segalanya.”Itu bukan sekadar ancaman biasa. Ada nada serius, familiar, dan penuh kebencian dalam suara itu. Auryn tahu, permainan ini mulai masuk ke level yang jauh lebih berbahaya. Tapi bukan Auryn Vale kalau dia mundur.Langkah kaki berat terdengar dari arah dapur. Lucien muncul dengan hoodie kelabu dan rambut sedikit basah, tanda baru saja mencuci wajah. Tatapannya langsung jatuh pada wajah pucat Auryn.“Ada apa lagi?” tanya Lucien serak. “Wajah kamu kayak baru ketemu hantu.”Auryn menoleh, berusaha tersenyum, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kekalutan. “Cuma kecapekan,” jawabnya pelan. “Aku tidur dulu ya.”Lucien menghalangi jalannya sebelum Auryn sempat berdiri. Tangannya menggenggam pergelangan tangan Auryn. “Jangan bohong lagi. Kali ini, aku

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 30

    Langit malam menurunkan hujan gerimis yang menampar pelan jendela apartemen Auryn. Di dalam ruangan yang temaram, ia berdiri di depan jendela, menatap lampu kota yang berpendar redup di balik tirai air. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya menyiratkan badai yang tak berhenti berkecamuk.Lucien belum pulang. Biasanya dia akan mengirim pesan setiap dua jam, setidaknya, tapi sejak tadi pagi—tidak ada satu pun kabar. Auryn menahan desakan rasa khawatir yang perlahan menjelma jadi amarah. Bukan karena dia cemas, tapi karena dia tahu… Lucien sedang menyembunyikan sesuatu.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Bukan dari Lucien, tapi dari nomor tak dikenal.“Kalau kamu ingin tahu di mana Lucien, datanglah ke tempat pertama kalian bertemu.”Nada suara di seberang terdengar datar dan penuh ancaman.Auryn menatap layar ponsel dengan tatapan dingin. Dia menutup ponselnya, mengambil jaket kulit dan pisau lipat kecil yang selalu dia simpan di laci meja. Hatinya sudah waspada, tapi langkah kakinya mantap.

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 29

    Langit malam itu seperti ikut menjerit dalam diam, seolah menyembunyikan rahasia yang terlalu gelap untuk dibeberkan. Auryn berdiri di balik tirai kamar hotel yang mewah, memandangi kelap-kelip kota yang tak pernah tidur. Di tangannya, ponsel bergetar tanpa henti. Pesan-pesan dari orang-orang yang ia tahu tidak benar-benar peduli terus berdatangan.Lucien baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya basah dan kausnya menempel di tubuhnya yang dingin. Tatapannya langsung tertuju pada Auryn yang tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri."Kamu nggak bisa terus begini, Auryn," ucap Lucien pelan, namun cukup tegas.Auryn tidak menoleh, hanya menjawab lirih, "Aku nggak bisa tenang, Lucien. Semua ini... terlalu cepat. Semuanya berubah."Lucien mendekat, lalu memeluknya dari belakang. Pelukan yang seharusnya menenangkan, tapi justru membuat hati Auryn makin terasa sesak."Mereka mulai mencariku lagi. Ada yang ngikutin kita di hotel ini. Tadi aku lihat dari lobi, ada dua orang yang keliatanny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status