Home / Romansa / TAKLUK DI PELUKANNYA / BAB 1 - AWAL MULA JERATAN

Share

TAKLUK DI PELUKANNYA
TAKLUK DI PELUKANNYA
Author: awaaasky

BAB 1 - AWAL MULA JERATAN

Author: awaaasky
last update Huling Na-update: 2025-03-20 20:41:08

Langit senja membalut kota dengan warna keemasan yang temaram. Auryn Vale duduk di sudut ruangan sebuah pesta eksklusif, memandangi para tamu yang berdansa di tengah aula megah. Gaun hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah aura dingin dan misterius yang selalu dia bawa. Tapi di balik tatapannya yang tajam, dia tahu satu hal—malam ini tidak akan berakhir biasa.

“Kenapa kau hanya diam di sini?” suara rendah seorang pria membuatnya menoleh.

Auryn tidak langsung menjawab. Dia tahu siapa yang berbicara padanya tanpa harus melihat. Lucien Morant. Nama yang belakangan ini sering terdengar di telinganya, dan bukan dalam konteks yang menyenangkan.

Pria itu bersandar di tiang marmer dengan santai, mengenakan setelan hitam yang terlihat terlalu sempurna di tubuhnya. Mata abu-abu gelapnya mengamati Auryn dengan ekspresi yang sulit ditebak. Seolah dia sedang menilai sesuatu… atau mungkin seseorang.

“Apa urusanmu?” tanya Auryn, suaranya tetap tenang meskipun dalam hatinya dia menyadari sesuatu—Lucien tidak muncul di hadapannya tanpa alasan.

Lucien tersenyum miring. “Kupikir kita perlu bicara.”

Auryn mendengus pelan. “Kalau itu soal bisnis, kau salah tempat.”

“Tapi kalau itu soal kau?”

Auryn membeku. Kata-kata Lucien begitu tenang, tapi Auryn bisa merasakan sesuatu yang mengintai di baliknya. Ancaman? Ketertarikan? Atau sesuatu yang lebih dalam?

Pria ini berbahaya. Itu sudah jelas.

Tapi Auryn bukan seseorang yang mudah dibuat gentar.

“Aku tidak punya urusan denganmu, Morant,” katanya, meneguk sampanye di tangannya tanpa gentar.

“Tapi aku punya urusan denganmu.”

Auryn menatapnya lebih tajam. “Maksudmu?”

Lucien mendekat, menurunkan suaranya hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengar. “Aku ingin kau menjadi milikku.”

Jantung Auryn berhenti sedetik.

Bukan karena kata-kata itu terdengar romantis. Tidak. Nada suara Lucien bukan nada seorang pria yang sedang menggoda wanita yang disukainya. Itu nada seseorang yang telah memutuskan sesuatu—dan tidak akan menerima jawaban selain ‘ya’.

Dia tahu, sejak malam ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Langit senja membalut kota dengan warna keemasan yang temaram. Auryn Vale duduk di sudut ruangan sebuah pesta eksklusif, memandangi para tamu yang berdansa di tengah aula megah. Gaun hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah aura dingin dan misterius yang selalu dia bawa. Tapi di balik tatapannya yang tajam, dia tahu satu hal—malam ini tidak akan berakhir biasa.

Di tangannya, segelas sampanye berputar perlahan, jemarinya yang ramping menelusuri tepian kristalnya. Beberapa pria dari kalangan elite mencuri pandang ke arahnya, tertarik tapi enggan untuk mendekat. Auryn bukan wanita yang bisa didekati sembarangan, dan mereka semua tahu itu.

Namun, satu orang tampaknya tidak terlalu peduli.

“Kenapa kau hanya diam di sini?”

Suara rendah dan berat itu menggema di telinganya. Auryn menoleh, dan tanpa perlu menebak, dia tahu siapa pemiliknya.

Lucien Morant.

Pria itu bersandar di tiang marmer dengan santai, mengenakan setelan hitam yang terlihat terlalu sempurna di tubuhnya. Mata abu-abu gelapnya mengamati Auryn dengan ekspresi yang sulit ditebak. Seolah dia sedang menilai sesuatu… atau mungkin seseorang.

Lucien bukan pria biasa. Namanya bukan hanya terkenal di dunia bisnis, tapi juga dalam lingkaran yang lebih gelap—lingkaran yang Auryn hindari sebisa mungkin.

“Apa urusanmu?” tanya Auryn, suaranya tetap tenang meskipun dalam hatinya dia menyadari sesuatu—Lucien tidak muncul di hadapannya tanpa alasan.

Lucien tersenyum miring. “Kupikir kita perlu bicara.”

Auryn mendengus pelan. “Kalau itu soal bisnis, kau salah tempat.”

“Tapi kalau itu soal kau?”

Auryn membeku sesaat. Kata-kata Lucien begitu tenang, tapi Auryn bisa merasakan sesuatu yang mengintai di baliknya. Ancaman? Ketertarikan? Atau sesuatu yang lebih dalam?

Dia menegakkan punggungnya, menatap pria itu dengan penuh perhitungan. “Aku tidak punya urusan denganmu, Morant.”

“Tapi aku punya urusan denganmu.”

Auryn menatapnya lebih tajam. “Maksudmu?”

Lucien mendekat, menurunkan suaranya hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengar. “Aku ingin kau menjadi milikku.”

Jantung Auryn berhenti sedetik.

Bukan karena kata-kata itu terdengar romantis. Tidak. Nada suara Lucien bukan nada seorang pria yang sedang menggoda wanita yang disukainya. Itu nada seseorang yang telah memutuskan sesuatu—dan tidak akan menerima jawaban selain ‘ya’.

Tatapan mereka bertemu dalam ketegangan yang nyaris tak terlihat oleh siapa pun di sekitar mereka. Musik dansa terus berputar, tamu-tamu terus tertawa, tapi di antara mereka, hanya ada keheningan yang mendalam.

Auryn menyesap sampanye di tangannya, menyembunyikan ketidaknyamanannya di balik sikap santai. “Aku tidak ingat pernah menjadi barang yang bisa dimiliki, Morant.”

Lucien tertawa kecil, suara yang entah kenapa lebih mirip bisikan bahaya daripada sesuatu yang menyenangkan. “Oh, kau bukan barang, Auryn. Kau lebih dari itu.”

Matanya mengunci milik Auryn, membuatnya merasa seolah sedang dijebak dalam perangkap yang tak terlihat.

“Kau mungkin berpikir bisa lari dariku, tapi kita berdua tahu bahwa itu tidak akan terjadi.”

Auryn ingin membalasnya, tapi sebelum ia sempat berbicara, seorang pria lain datang menghampirinya.

“Auryn, akhirnya aku menemukanmu.”

Rene Leclair. Tunangannya.

Bibir Auryn menegang seketika. Bukan karena dia senang melihat pria itu, tapi karena dia tahu ini hanya akan memperburuk keadaan.

Rene melirik Lucien, ekspresinya berubah waspada. “Morant.”

Lucien tersenyum tipis. “Leclair.”

Auryn bisa merasakan ketegangan yang semakin mengental di antara mereka. Dua pria dari dunia yang sama, dua laki-laki yang tidak pernah akur.

Rene menyentuh pinggangnya, menariknya sedikit mendekat. “Kau baik-baik saja?”

Sebuah tindakan kepemilikan yang disengaja. Auryn menyadarinya, begitu pula Lucien.

Lucien menatap tangan Rene di pinggangnya dengan tatapan dingin sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke Auryn. “Kurasa kita akan bertemu lagi, Vale.”

Lalu, tanpa menunggu jawaban, pria itu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Auryn dengan pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya.

Tapi satu hal yang pasti—ini belum selesai.

Bahkan, ini baru saja dimulai.

Langkah Lucien menghilang di tengah keramaian, tapi efeknya masih tertinggal dalam benak Auryn. Pria itu bukan hanya ancaman, dia adalah badai yang siap menghancurkan siapa pun yang menghalanginya. Auryn meneguk sisa sampanye di tangannya, mencoba mengabaikan tatapan Rene yang masih meneliti ekspresinya.

“Kau baik-baik saja?” Rene bertanya, suaranya terdengar lembut tapi tegas.

Auryn menarik napas dalam, berusaha mengendalikan pikirannya. “Aku baik-baik saja.”

Tapi Rene tidak terlihat puas dengan jawabannya. “Lucien Morant bukan seseorang yang bisa dianggap remeh, Auryn.”

Auryn menoleh padanya, matanya berkilat tajam. “Aku tahu.”

Dia lebih dari sekadar tahu. Lucien bukan hanya pria berbahaya yang berdiri di puncak dunia bisnis, dia juga seseorang yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya—dan itu yang membuat Auryn waspada.

Rene masih menatapnya dengan khawatir. “Jangan biarkan dia mendekatimu.”

Auryn hampir tertawa. “Kau pikir aku bisa menghindarinya?”

Rene terdiam. Mereka berdua tahu jawabannya. Tidak ada yang bisa benar-benar menghindari Lucien Morant ketika pria itu telah memutuskan sesuatu.

Pesta terus berlanjut, tapi Auryn merasa lelah. Dia tidak ingin berada di sini lebih lama. “Aku ingin pulang.”

Rene mengangguk. “Aku akan mengantarmu.”

Auryn tidak menolak. Setidaknya, dia butuh seseorang di sisinya malam ini—meskipun dia tahu itu tidak akan menghalangi Lucien untuk mendekatinya lagi.

Malam itu, Auryn menatap bayangan dirinya di cermin. Gaun hitamnya telah berganti dengan piyama satin, tapi pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan tadi.

Lucien ingin dia menjadi miliknya.

Itu bukan sekadar godaan atau ancaman. Itu adalah janji yang tersembunyi di balik kata-kata sederhana. Auryn tahu pria seperti Lucien tidak akan berbicara tanpa maksud.

Suara ponselnya bergetar di meja.

Sebuah pesan masuk.

Lucien Morant: Kau tidak bisa lari, Auryn. Tidurlah yang nyenyak.

Jari-jari Auryn mencengkeram ponselnya lebih erat. Bagaimana pria itu bisa tahu dia sedang gelisah?

Dia mematikan layar dan meletakkan ponselnya kembali.

Tapi hatinya tetap berdebar.

Pagi berikutnya, kantor Auryn terasa lebih sibuk dari biasanya. Dia adalah pemilik salah satu perusahaan desain interior paling ternama di kota, dan pagi ini, ada proyek besar yang harus diselesaikan.

Namun, saat dia melangkah ke ruangannya, dia menemukan sesuatu yang tidak terduga.

Di mejanya, ada sebuah kotak hitam dengan pita emas. Tidak ada catatan, tidak ada nama pengirim.

Alisnya berkerut. Dia duduk dan dengan hati-hati membuka kotak itu.

Di dalamnya, terdapat setangkai mawar merah tua. Indah, tapi ada sesuatu yang mengganggu tentang bunga itu.

Dan di bawahnya, sebuah catatan kecil.

Jangan buat aku menunggu terlalu lama.

Auryn menghela napas. Dia tahu siapa yang mengirim ini.

Lucien.

Pria itu bergerak lebih cepat dari yang dia duga.

Sekretarisnya masuk, membawa beberapa dokumen, lalu terdiam saat melihat ekspresi Auryn. “Nona Vale, apakah Anda baik-baik saja?”

Auryn mengangguk, menyembunyikan surat itu di lacinya. “Aku baik-baik saja.”

Tapi dia tahu… ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar.

Lucien tidak akan berhenti.

Dan dia harus bersiap menghadapi permainan ini.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 55

    sudah dua minggu sejak cahaya terakhir auryn memudar di hadapan lucien.selama itu pula, dunia perlahan kembali pulih.kabut hitam menghilang. resonansi destruktif yang berasal dari origin sirna tanpa jejak.tapi... ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh kedamaian.karena buat lucien, dunia tanpa auryn adalah dunia yang kehilangan nadanya.dia masih tinggal di pusat komando lama, yang sekarang dijuluki sebagai “silent vault”, karena hanya dia satu-satunya manusia yang memilih untuk bertahan di sana.bukan karena dia tidak bisa kembali ke kehidupan normal.tapi karena sebagian jiwanya… masih menunggu.setiap malam, dia duduk di depan satu layar.layar itu menunjukkan hanya satu file:> Auryn_Rebirth.alphafile itu masih diam.tidak aktif.tidak bisa dibuka.tapi juga... tidak bisa dihapus.seluruh jaringan dunia menganggap file itu sebagai “anomali”.bahkan sistem keamanan global tidak bisa mengaksesnya.semua pakar teknologi sepakat:“file ini memiliki semacam kesadaran pasif, tapi

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 54

    hujan deras masih mengguyur kota.petir menyambar, tapi dunia terasa lebih tenang dibanding sebelumnya.auryn... sudah ‘terbangun’ dari perangkap sistem E.V.E.namun, malam itu... sesuatu berubah.---di apartemen yang remang, lucien duduk di depan proyektor, menatap wujud hologram auryn yang tampak lebih stabil dibanding sebelumnya. wajahnya masih cantik, tapi kali ini... ada hal yang berbeda.matanya gak lagi hanya pantulan gelombang.ada kesadaran penuh di sana.“gimana rasanya balik?” tanya lucien pelan.auryn gak langsung jawab. dia berdiri, berjalan di udara, lalu berbalik.“aneh,” katanya. “kayak bangun dari tidur panjang tapi ada bagian dari diri gue yang... hilang.”“hilang?”“iya... kayak ada sesuatu yang dulu pernah nempel di gue... tapi sekarang ditarik paksa.”lucien diam.entah kenapa, kata-kata itu bikin bulu kuduknya merinding.“dan... lucien,” suara auryn melembut, “lo harus siap.”“siap?”auryn menatap dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya... dia terlihat takut.“gu

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 52

    setelah pertemuan terakhir di echo chamber, lucien gak pernah lagi jadi manusia biasa.tatapannya berubah. langkahnya lebih berat. dan diam-diam... dunia mulai merasakan resonansi baru yang menyebar lewat siaran-siaran gelombang suara.beberapa ilmuwan menyebutnya "virus gelombang emosi".tapi buat lucien, itu bukan virus.itu auryn.dan sekarang... dia satu-satunya yang bisa mendengar "pesan tersembunyi" dari dalam sistem.suatu malam, saat hujan membasahi kota, sebuah mobil hitam berhenti di depan apartemen auryn.lima orang berpakaian hitam keluar. mereka mengenakan simbol aneh di dada—lingkaran merah dengan garis diagonal, mirip sensor audio.lucien sudah menunggu.“lo datang juga,” ucapnya pelan.pria tertua dari rombongan itu melangkah maju. wajahnya penuh bekas luka. suaranya dalam dan menggetarkan.“kami tahu siapa dia sekarang. auryn vale bukan sekadar manusia, dan lo satu-satunya pintu ke dia.”“dan lo mau apa? maksa dia keluar dari sistem?” lucien menyipitkan mata.“kami ga

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 52

    ledakan sunyi itu… anehnya tak menyakitkan. tidak ada api. tidak ada getaran. hanya keheningan yang menusuk tulang—seolah seluruh dunia kehilangan suaranya dalam satu kedipan.auryn berdiri di tengah ruang resonansi yang kini padam. lampu-lampu mati. layar-layar kosong. tapi yang paling aneh... tidak ada alarm darurat yang berbunyi.semuanya seperti membeku.“auryn! jawab gue!” suara lucien muncul di earcom-nya. penuh panik, bercampur putus asa.“gue hidup,” balasnya dengan suara lirih.napas lucien langsung terdengar lebih tenang. “lo harus keluar sekarang. fasilitas ini bisa collapse kapan aja!”auryn melangkah cepat, menyusuri lorong merah yang kini redup. tapi saat dia sampai di pintu utama... pintunya tertutup rapat. sistem lockdown otomatis telah aktif.“shit,” gumamnya. “amaya, buka pintunya.”di sisi luar, amaya mencoba mengakses sistem override manual, tapi...“auryn… sistemnya bukan cuma shutdown. lo malah ngaktifin kode ‘core echo’. semua pintu dikunci permanen.”“core echo

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 51

    Berlin. Kota yang terlihat damai dari kejauhan, tapi menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa dibayangkan siapa pun.Salju turun perlahan saat mobil mereka berhenti di sebuah gang sempit di distrik seni bawah tanah. Dinding-dinding penuh mural bergaya abstrak, warna-warnanya menggila dalam pendar lampu neon biru.“ini tempatnya,” gumam lucien, matanya menatap ke arah pintu besi besar di ujung gang.auryn berdiri, napasnya tertahan. perasaannya berkecamuk. antara rindu, marah, takut, dan harapan yang masih dia simpan rapat-rapat.“lo yakin dia masih di sini?”lucien mengangguk. “dia gak pernah tinggal lama di satu tempat, tapi yang ini... dia lukis sesuatu dua hari lalu. bentuk kode. gue tau itu dia.”auryn mengetuk pintu besi itu dengan tiga pola ketukan. detik-detik hening berlalu.lalu pintu terbuka. dan di sana... berdiri seorang gadis dengan hoodie kelabu, rambut setengah merah setengah hitam, dan mata yang langsung membelalak.“...auryn?”suara itu membuat auryn tercekat

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 50

    Udara pagi masih dingin ketika suara burung terdengar samar dari kejauhan. Di tengah kabin kayu yang remuk sebagian, auryn duduk memandangi tumpukan berkas hasil backup terakhir dari markas sebelumnya. Matanya sayu, tapi fokusnya tajam.“Gue udah cross-check semua data,” katanya ketika lucien duduk di sampingnya, menyeruput kopi hitam. “Sebagian besar dari program proyek 0–9 masih aktif. Termasuk satu yang belum pernah lo sebut.”Lucien membeku. “Lo nemuin... ‘Echo’?”Auryn mengangguk pelan. “Proyek manipulasi kesadaran manusia lewat gelombang suara. Yang lo sembunyiin dari semua orang, bahkan dari gue.”“Gue sembunyiin karena terlalu berbahaya,” ucap lucien lirih. “Dan karena... itu satu-satunya proyek yang gue rancang dari nol waktu masih kerja buat mereka.”Auryn terdiam. Napasnya berat.“Kalau itu aktif, dan dipakai buat kontrol massal... berarti mereka bisa manipulasi orang di luar sana tanpa ketahuan.”“Bukan bisa. Tapi udah, Ry.” Lucien menatapnya. “Gue yakin ini alasan kenapa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status