Beranda / Romansa / TAKLUK DI PELUKANNYA / BAB 3 - TARIK ULUR YANG BERBAHAYA

Share

BAB 3 - TARIK ULUR YANG BERBAHAYA

Penulis: awaaasky
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-20 21:00:07

Auryn pikir, setelah malam itu, Lucien akan berhenti mengejarnya. Tapi pria itu bukan tipe yang mundur begitu saja.

Keesokan harinya, saat dia tiba di kantornya, semua mata langsung tertuju padanya.

Auryn mengerutkan kening. “Ada apa?”

Rekan-rekannya berbisik-bisik, beberapa mencuri pandang ke arahnya.

Begitu dia sampai di mejanya, matanya langsung membelalak.

Di sana, tergeletak sebuah buket mawar merah gelap—begitu indah, begitu mewah, dengan aroma yang langsung menguasai ruangannya.

Tapi itu bukan hal yang membuatnya tercengang.

Di samping bunga itu, ada sebuah kotak kecil berwarna hitam dengan pita emas.

Auryn mengambil kartu kecil yang terselip di antara kelopak mawar.

Aku tidak pernah main-main dengan sesuatu yang kuinginkan. – L

Darahnya berdesir.

Tanpa sadar, jemarinya bergerak membuka kotak itu.

Begitu melihat isinya, napasnya tertahan.

Sebuah kalung emas putih dengan liontin kecil berbentuk kunci. Elegan. Mewah. Dan jelas bukan sesuatu yang murah.

Auryn menggigit bibirnya.

Lucien.

Pria itu benar-benar tidak membuang waktu untuk menunjukkan caranya memiliki sesuatu—atau seseorang.

“Siapa yang ngirimin itu?” Suara rekan kerjanya memecah lamunannya.

Auryn segera menutup kotak itu. “Bukan urusan kalian.”

Dia mengambil buket dan kotak itu, lalu berjalan menuju ruangannya.

Begitu sampai, dia menutup pintu dan menghela napas panjang.

Apa yang dia inginkan dariku?

Baru saja dia hendak meletakkan hadiah itu di meja, ponselnya bergetar.

Lucien.

Tentu saja.

Dengan ragu, Auryn mengangkat panggilan itu. “Apa maksudmu mengirimkan ini ke kantorku?”

“Aku hanya ingin mengingatkanmu.” Suara Lucien terdengar santai. “Bahwa aku ada.”

Auryn memijat pelipisnya. “Lucien, aku bukan—”

“Kau sudah memakai kalungnya?”

Auryn mengerjap. “Tentu saja tidak.”

“Hm.”

“Hm?” Auryn mengulang dengan kesal. “Kenapa kau bersikap seolah aku harus menerimanya?”

“Karena kau memang harusnya menerimanya.”

Auryn menghela napas. “Lucien—”

“Aku tidak suka menunggu, Auryn.”

Nadanya terdengar lebih dingin, lebih dalam, dan entah bagaimana, lebih mengancam.

Auryn merasakan bulu kuduknya meremang.

Tapi dia bukan tipe wanita yang bisa ditekan.

“Dan aku tidak suka dipaksa.”

Hening.

Lalu Lucien tertawa pelan. “Menarik.”

“Kalau kau berpikir aku akan jatuh ke dalam permainanmu, kau salah besar,” lanjut Auryn tegas.

Lucien tidak menjawab selama beberapa detik.

Lalu, dengan nada rendah yang menggelitik telinganya, dia berkata, “Kita lihat nanti, sayang.”

Klik.

Panggilan terputus.

Auryn mendengus, menatap ponselnya dengan frustrasi.

Lucien benar-benar pria yang berbahaya.

Dan yang lebih berbahaya lagi… adalah fakta bahwa dia tidak bisa sepenuhnya mengabaikannya.

Malam harinya, Auryn tidak bisa berhenti memikirkan kejadian hari itu.

Kalung itu masih ada di atas meja.

Dan meskipun dia tidak ingin mengakuinya, ada bagian dari dirinya yang ingin tahu bagaimana rasanya jika dia memakainya.

Jangan bodoh, Auryn.

Dia mengabaikan pikirannya sendiri dan meraih kalung itu, berniat memasukkannya kembali ke dalam kotak.

Tapi sebelum dia sempat melakukannya, ponselnya bergetar lagi.

Lucien.

Auryn menatap layar itu lama sebelum akhirnya menjawab.

“Apa lagi?”

“Kau sedang apa?”

“Bukan urusanmu.”

Lucien tertawa pelan. “Aku akan menjemputmu.”

Auryn langsung waspada. “Apa?”

“Bersiaplah, sayang.”

Klik.

Lagi-lagi, pria itu menutup telepon tanpa membiarkannya membantah.

Auryn menggeram pelan.

Pria ini benar-benar…

Dia menatap kalung di tangannya, lalu membuang napas panjang.

Lucien Morant adalah badai yang tak bisa dia hindari.

Dan entah dia siap atau tidak, badai itu sudah semakin dekat.

Malam itu, Auryn tak bisa tidur.

Lucien Morant.

Pria itu sudah melanggar batas sejak awal, dan semakin lama, dia semakin mendesak.

Auryn sudah terbiasa dengan pria yang berusaha mendekatinya, tapi tidak ada yang seagresif Lucien. Tidak ada yang setenang dan seyakin itu, seolah dia tahu bahwa pada akhirnya, Auryn akan menyerah.

Sialan.

Dia memutar tubuhnya di ranjang, menarik selimut lebih erat.

Tapi pikirannya tetap sibuk.

Lucien.

Tatapan pria itu, cara dia berbicara, cara dia menyentuh tanpa menyentuh—itu semua terlalu berbahaya.

Dan bagian terburuknya?

Auryn tidak bisa sepenuhnya membencinya.

Keesokan harinya, Auryn tiba di kantor dengan raut wajah yang lebih dingin dari biasanya.

Seperti biasa, para rekan kerjanya mencuri pandang ke arahnya, terutama setelah kejadian buket mawar kemarin.

Dia mengabaikan mereka dan melangkah masuk ke ruangannya.

Tapi begitu dia melihat mejanya, napasnya tertahan.

Ada sesuatu di sana.

Bukan bunga.

Bukan perhiasan.

Melainkan sebuah map hitam tebal dengan cap khusus di bagian depannya.

Auryn langsung mengenali itu.

Laporan rahasia dari proyek besar yang sedang ditangani perusahaan.

Matanya menyipit. Siapa yang meletakkan ini di sini?

Perlahan, dia membuka map itu.

Matanya menyapu halaman pertama.

Dan begitu dia membaca isinya, darahnya langsung berdesir.

Dokumen ini seharusnya tidak bisa diakses sembarang orang. Bahkan dia sendiri harus melewati beberapa prosedur ketat untuk bisa melihatnya.

Tapi sekarang… dokumen itu ada di mejanya.

Bagaimana bisa?

Telinganya menangkap suara langkah kaki yang mendekat.

Auryn langsung menutup map itu dan mendongak.

Asisten pribadinya berdiri di ambang pintu.

“Nona Auryn, ada yang ingin menemui Anda.”

Auryn menghela napas dan menegakkan punggungnya. “Siapa?”

Asistennya tampak ragu sejenak, lalu berkata, “Tuan Morant.”

Auryn langsung terdiam.

Lucien.

Tentu saja.

“Aku tidak ada janji dengannya,” katanya tegas.

Asistennya tampak semakin gelisah. “Tapi… dia bilang ini penting.”

Auryn mengepalkan jemarinya di atas meja.

Kalau ini Lucien, maka pasti ada sesuatu.

Dengan berat hati, dia mengangguk. “Bawa dia masuk.”

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan sosok pria itu melangkah masuk dengan santai.

Setelan jas hitamnya rapi, sikapnya tetap tenang, dan senyum tipis itu—senyum yang selalu membuat Auryn ingin menghantamnya—masih terukir di wajahnya.

“Pagi yang indah, Auryn,” sapanya ringan.

Auryn menyandarkan punggungnya ke kursi. “Langsung ke intinya, Lucien.”

Lucien tertawa kecil, lalu duduk di kursi di depannya tanpa menunggu izin.

Matanya menyapu meja, lalu berhenti pada map hitam itu.

Dan Auryn tahu saat itu juga.

Dia yang meletakkannya di sini.

“Kau…” Auryn menggertakkan giginya. “Bagaimana kau mendapatkan ini?”

Lucien hanya tersenyum. “Aku punya caraku sendiri.”

Auryn mengepalkan tangan di bawah meja. “Kau sadar, ini ilegal?”

Lucien mengangkat bahu. “Sebut saja aku memberimu informasi yang seharusnya kau ketahui.”

Auryn menghela napas panjang. “Apa maumu, Lucien?”

Lucien bersandar santai. “Aku ingin kau mempertimbangkan tawaranku.”

Auryn menyipitkan mata. “Tawaran?”

Lucien menatapnya langsung. “Bekerja untukku.”

Auryn menahan napas.

“Kau bercanda.”

“Aku tidak pernah bercanda soal hal seperti ini.”

Auryn menekan pelipisnya. “Aku sudah punya pekerjaan.”

“Tapi kau bisa punya pekerjaan yang lebih baik,” Lucien menyela. “Kau tahu itu.”

Auryn tertawa kecil, tapi tanpa humor. “Dan apa imbalannya?”

Lucien menatapnya lama, lalu tersenyum kecil.

“Imbalannya?”

Dia berdiri perlahan, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan kedua tangannya di atas meja, menatap Auryn lebih dekat.

“Nona Vale, kau pintar,” bisiknya. “Kau pasti tahu jawabannya.”

Auryn bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat.

Dia tahu apa yang Lucien inginkan.

Bukan hanya bakatnya.

Bukan hanya kecerdasannya.

Lucien Morant menginginkannya.

Seluruhnya.

Dan itulah yang membuatnya semakin berbahaya.

Auryn menarik napas dalam dan menegakkan tubuhnya.

Dia tidak bisa membiarkan pria ini mengendalikannya.

Dengan senyum sinis, dia berkata, “Aku akan memikirkannya.”

Lucien mengangkat alisnya. “Bagus.”

Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia melangkah keluar, meninggalkan Auryn dengan pikirannya yang semakin kacau.

Sore itu, Auryn duduk di dalam mobilnya, menatap map hitam di kursi penumpang.

Keputusannya seharusnya mudah.

Tolak Lucien.

Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya ragu.

Kenapa aku tidak langsung menolaknya?

Auryn tidak tahu.

Tapi yang pasti, Lucien sudah berhasil menanamkan sesuatu dalam pikirannya.

Dan itu membuatnya semakin berbahaya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 34

    Auryn dan Lucien berjalan cepat di sepanjang lorong gelap itu, keringat dingin mengalir di wajah mereka. Auryn menuntun Lucien, yang masih limbung akibat suntikan dari Hilman. Walaupun tubuhnya sudah bisa bergerak, matanya masih tampak kabur dan ia kesulitan untuk berdiri tegak."Tahan, Lucien. Lo bisa bertahan sedikit lagi," bisik Auryn, sambil merangkulnya untuk memberi dukungan.Lucien mengangguk, meski tubuhnya terasa berat dan penuh rasa sakit. "Kita harus keluar dari sini, Auryn... secepatnya."Namun, mereka baru saja melangkah lebih jauh ketika suara berat dan penuh kebencian itu kembali terdengar di belakang mereka."Kalian pikir kalian bisa kabur dari sini? Tidak ada yang bisa kabur dari gue."Auryn menoleh cepat, mengeluarkan semprotan lada lagi, siap jika Hilman muncul. Namun, yang dia lihat justru sebuah bayangan besar, yang bergerak cepat mendekat.Hilman, dengan tubuhnya yang tampak lebih kuat dari sebelumnya, melangkah perlahan. Matanya bersinar dengan kebencian yang me

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 33

    Malam menua dalam diam yang memekakkan telinga. Hujan telah reda, tapi udara tetap lembap. Seolah dunia menahan napasnya, menunggu badai lain yang akan datang.Auryn tak bisa tidur. Mata dan tubuhnya lelah, tapi pikirannya menolak berhenti. Setiap bayangan, setiap rekaman yang muncul di flashdisk tadi siang masih terpatri kuat. Rasanya seperti kulitnya dibuka paksa, dipajang, ditertawakan.Dia memeluk lutut di atas ranjang. Lampu tidur menyala redup. Lucien duduk di kursi, tepat di depan pintu kamar. Dada bidangnya naik-turun perlahan, namun tatapan matanya tak pernah lepas dari sekeliling.Dia berjaga.Bukan karena tidak percaya pada sistem keamanan, tapi karena kini dia tahu—musuh mereka sudah lebih dari sekadar ancaman virtual. Dia hadir. Nyata. Bernapas di udara yang sama. Mungkin... bahkan lebih dekat dari yang mereka pikirkan.“Lu tidur aja,” bisik Auryn pelan, suaranya nyaris tak terdengar.Lucien menggeleng. “Nggak bisa. Gue nggak akan bisa tidur kalau lo belum aman sepenuhnya

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 32

    Setelah Sasha diamankan oleh pihak keamanan apartemen dan ditangani oleh pihak berwenang, suasana di antara Auryn dan Lucien sempat terasa lega. Tapi rasa lega itu tak berlangsung lama.Lucien duduk di ruang kerja, memandangi layar laptop yang menunjukkan rekaman CCTV dari sekitar apartemennya. Sejak kejadian surat ancaman, dia meningkatkan keamanan, menambah kamera tersembunyi, dan meminta timnya untuk mengecek semua gerak-gerik yang mencurigakan.Namun ada satu hal yang tidak dia perkirakan—bahwa seseorang lain, di luar Sasha, telah mengikuti gerakan mereka jauh sebelum ancaman itu datang.“Auryn…” panggilnya pelan.Auryn yang tengah mengganti baju di kamar tidur langsung menghampirinya. “Kenapa?”Lucien menunjuk layar. “Lihat ini.” Dia memutar rekaman dari seminggu lalu. Terlihat seorang pria berjaket hitam, mengenakan hoodie dan masker, berdiri di seberang jalan tepat menghadap apartemen mereka. Si pria berdiri diam selama 15 menit, lalu pergi tanpa jejak.“Itu bukan Sasha,” gumam

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 31

    Auryn duduk mematung di kursi kayu ruang tamu, jemarinya gemetar menggenggam ponsel. Kata-kata terakhir dari penelepon tadi masih terngiang di telinganya: “Kalau kamu masih berani deket-deket Lucien, kamu bakal tahu rasanya kehilangan segalanya.”Itu bukan sekadar ancaman biasa. Ada nada serius, familiar, dan penuh kebencian dalam suara itu. Auryn tahu, permainan ini mulai masuk ke level yang jauh lebih berbahaya. Tapi bukan Auryn Vale kalau dia mundur.Langkah kaki berat terdengar dari arah dapur. Lucien muncul dengan hoodie kelabu dan rambut sedikit basah, tanda baru saja mencuci wajah. Tatapannya langsung jatuh pada wajah pucat Auryn.“Ada apa lagi?” tanya Lucien serak. “Wajah kamu kayak baru ketemu hantu.”Auryn menoleh, berusaha tersenyum, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kekalutan. “Cuma kecapekan,” jawabnya pelan. “Aku tidur dulu ya.”Lucien menghalangi jalannya sebelum Auryn sempat berdiri. Tangannya menggenggam pergelangan tangan Auryn. “Jangan bohong lagi. Kali ini, aku

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 30

    Langit malam menurunkan hujan gerimis yang menampar pelan jendela apartemen Auryn. Di dalam ruangan yang temaram, ia berdiri di depan jendela, menatap lampu kota yang berpendar redup di balik tirai air. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya menyiratkan badai yang tak berhenti berkecamuk.Lucien belum pulang. Biasanya dia akan mengirim pesan setiap dua jam, setidaknya, tapi sejak tadi pagi—tidak ada satu pun kabar. Auryn menahan desakan rasa khawatir yang perlahan menjelma jadi amarah. Bukan karena dia cemas, tapi karena dia tahu… Lucien sedang menyembunyikan sesuatu.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Bukan dari Lucien, tapi dari nomor tak dikenal.“Kalau kamu ingin tahu di mana Lucien, datanglah ke tempat pertama kalian bertemu.”Nada suara di seberang terdengar datar dan penuh ancaman.Auryn menatap layar ponsel dengan tatapan dingin. Dia menutup ponselnya, mengambil jaket kulit dan pisau lipat kecil yang selalu dia simpan di laci meja. Hatinya sudah waspada, tapi langkah kakinya mantap.

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 29

    Langit malam itu seperti ikut menjerit dalam diam, seolah menyembunyikan rahasia yang terlalu gelap untuk dibeberkan. Auryn berdiri di balik tirai kamar hotel yang mewah, memandangi kelap-kelip kota yang tak pernah tidur. Di tangannya, ponsel bergetar tanpa henti. Pesan-pesan dari orang-orang yang ia tahu tidak benar-benar peduli terus berdatangan.Lucien baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya basah dan kausnya menempel di tubuhnya yang dingin. Tatapannya langsung tertuju pada Auryn yang tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri."Kamu nggak bisa terus begini, Auryn," ucap Lucien pelan, namun cukup tegas.Auryn tidak menoleh, hanya menjawab lirih, "Aku nggak bisa tenang, Lucien. Semua ini... terlalu cepat. Semuanya berubah."Lucien mendekat, lalu memeluknya dari belakang. Pelukan yang seharusnya menenangkan, tapi justru membuat hati Auryn makin terasa sesak."Mereka mulai mencariku lagi. Ada yang ngikutin kita di hotel ini. Tadi aku lihat dari lobi, ada dua orang yang keliatanny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status