Entah kenapa hari ini perasaan Banyu sangat tidak nyaman. Pikirannya melayang ke sosok Mayang sejak tadi. Setelah menyelesaikan transaksinya dengan Siska, Banyu segera memacu mobilnya pulang untuk menemui Mayang.
Tidak membutuhkan waktu lebih dari 30 menit dan Banyu sudah tiba di rumahnya. Saat memarkir mobilnya dan mendapati motor Mayang berada di tempat biasanya, membuat Banyu merasa lega, setidaknya Mayang aman sekarang.
“Den? Baru datang?” sapa bibi saat melihat Banyu.
“Mayang ke mana, Bi?” tanya Banyu yang mendapati suasana rumah yang sangat sepi menurutnya.
“Mungkin sedang tidur, Den. Dari tadi bibi juga belum lihat, habis ngasih makan Koi tadi pagi non Mayang masuk lagi.” jelasnya.
Banyu mengangguk, mencari Mayang ke kamarnya dan menemukan ruang yang kosong dan sepi. Banyu segera meraih ponselnya dan mencoba menelepon Mayang, tapi hanya
Banyu dan Mayang sedang menyantap makan malam sekarang.“Mas kok tumben datang ke sini?” tanya Mayang disela makannya.“Ini kan rumahku juga Yang.” Banyu bersikap secuek mungkin.“Hmmm … Mas tadi nyampe jam berapa?”“Kamu kapan tau tentang ruangan di balik rak buku itu?” Banyu sangat ingin menanyakan hal itu.“Tadi pas baca gak sengaja kebuka pas aku naikin raknya.”“Ngapain naik rak?”“Gak nyampe, yang pengen aku baca ada di atas soalnya.”Banyu baru saja menyelesaikan makannya dan meraih air perasan lemon yang diberi sedikit es batu, meneguknya perlahan lalu membawanya serta berdiri dari duduknya, “Aku nonton TV, habisin dulu makananmu.” Banyu segera berlalu dari tempat itu.Mayang tersenyum, s
Mayang semakin dekat dengan Banyu mau pun dengan mama Banyu. Bahkan terkadang Mayang juga menemani Banyu yang sedang panen di peternakan ayam, atau pun ikut ke rumah Ngunut untuk melepas rindunya dengan ibunya di Malang. Rasa hangat yang diberikan mama Banyu membuat Mayang sangat nyaman ketika berada di dekatnya. Seperti sekarang ini, Mayang dalam perjalanan pulang setelah seharian menemani mama Banyu di Ngunut.“Nanti aku tinggal, ya?” Banyu sesekali menoleh ke Mayang meski sedang berkendara sekarang.“Tapi aku mau bobok sama Mas, kan udah beberapa minggu ini Mas bobok di Ngunut terus.” manja Mayang.“Iya, tapi gak bisa. Mama pengen kita nikah baru boleh tidur bareng.”“Tapi kan gak pernah ngapa-ngapain.”“Kamu pengen kita ngapa-ngapain?”“Ya … bukan itu maksudku, ah … Mas gak se
Marco memilih mengajak Mayang untuk mencari sarapan hari ini, setelah mengetahui bahwa Mayang belum makan dan berniat ingin kembali ke Tulungagung tempatnya bekerja. Dan sarapan nasi pecel lodeh adalah perpaduan yang komplit menurut kebanyakan orang seperti Marco dan Mayang saat ini.“Kamu kuliyah di mana?” tanya Mayang.“Surabaya, aku masih tiga hari di Malang dan sangat beruntung karena bisa bertemu denganmu.” Marco berbicara sambil menikmati sepiring nasi komplit dengan lodeh gori dan balado telur.“Iya, ini memang udah direncanain mau temu kangen sama ibu. Oiya, makasih ya, ATM sama tempat buat ibu jualan, masih aku gunain sampe sekarang.”“Gak usah dipikirin, yang penting berguna. Kamu juga dateng di acara semalem?”“Ada acara apa, kok aku harus dateng?
Mayang sedikit menggigil. Tidur dengan posisi duduk di atas toilet dan tidak memakai apa pun selain celana dalam tipis yang sudah tidak nyaman dikenakan itu. Dia pun juga tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya, dia takut kalau Eric akan melakukan seperti semalam lagi.Tok. Tok. Tok.“May, aku membawakan makanan untukmu, aku akan menaruhnya di depan pintu dan akan keluar setelah ini, cepatlah keluar, aku janji akan segera mengantarmu ke Tulungagung.” Eric sangat khawatir karena tidak mendengar apa pun dari dalam sana. Segera meletakkan nampan berisi sepiring nasi dan lauk yang Eric yakin Mayang akan suka, dan juga segelas teh hangat, ke lantai di depan pintu toilet itu dan keluar dari kamar itu lagi setelahnya.Mayang tetap bergeming di tempatnya. Setelah cukup lama dan tidak mendengar suara apa pun di balik pintu itu, Mayang membuka pintu toilet perlahan dan
Setelah menenangkan debaran jantungnya dan beberapa kali menghirup udara segar melalui hidung dan mengeluarkannya melalui mulut, Mayang berdiri dan memantapkan langkahnya untuk menyusul Banyu ke kamarnya. Dia tidak ingin lari jika memang Banyu sudah mengetahuinya.Suara gemercik terdengar dari balik pintu kamar mandi. Mayang yakin Banyu masih belum menyelesaikan kegiatannya. Setelah menunggu selama beberapa menit, tidak terdengar lagi suara air yang mengalir melalui kran dan Banyu keluar dari kamar mandi itu dengan tubuh basah dan handuk yang melingkar di pinggangnya.Mayang menundukkan pandangannya. Entah, terasa ada yang berdesir di dalam sana melihat Banyu yang seperti ini.Banyu melirik dari ekor matanya, membiarkan saja Mayang yang menunduk dan lebih mementingkan ganti bajunya sekarang. Tak lupa Banyu bersisir dan memberi gel pada rambut basahnya dan menyemprotkan parf
Banyu mengikuti permainan Mayang. Dengan tangan yang masih setia mengelus punggung telanjang itu, percayalah yang di bawah sana sudah menegang sekarang.Mayang melepas pagutannya, meraih ujung kaos yang dikenakan Banyu dan melepaskannya dari tubuh seksi Banyu, dia rindu menyentuh kulit telanjang itu.“Aku kunci dulu pintunya, besok pagi kalau mama tiba-tiba masuk ke kamarku bagaimana?” Banyu memperingatkan Mayang dan menumpu tubuhnya dengan kedua telapak tangannya yang diletakkan di samping agak belakang tubuhnya.“Gendong ... nanti aku yang ngunci.” rengek Mayang manja, sungguh merdu terdengar di telinga Banyu.Banyu terkekeh, bersiap mengangkat bokong Mayang lagi dan menggendongnya. Berjalan perlahan ke pintu kamar dan sedikit menunduk agar Mayang bisa menjangkau dan memutar kunci yang tergantung rapi di lubang ku
Ibu Mayang merasakan atmosfer di sekitarnya semakin menipis sekarang. Seseorang yang sangat dihindarinya telah duduk dengan santai di kursi pelanggan, dengan tatapan yang mengintimidasi, siap menerkam ibu Mayang.“Aku ingin berbicara denganmu.” suara tegas yang membuat semua orang akan takut jika mendengar bentakannya, dan itu sudah berlaku untuk ibu Mayang sekarang.Tanpa menunggu aba-aba ke dua, ibu Mayang segera mendekat dan duduk di seberang kursi dan berhadapan dengan orang tersebut, “Ada apa, Pak?”“Aku sudah pernah memperingatkanmu dan juga putrimu yang keras kepala itu, aku sebenarnya tidak terlalu suka kekerasan, tapi jika itu terpaksa dilakukan, kenapa tidak?”“Maaf, Pak. Saya sudah menolak nak Eric semalam tapi jika---““Tapi jika dia membawaku atau bundanya, kamu akan menerimanya, itu maksudmu?” ayah Er
Mayang menatap pantulan wajahnya di dalam cermin. Entah sejak kapan wajahnya memucat seperti sekarang ini. Nafsu makan yang biasa besar, sirna begitu saja.Banyu mengecup puncak kepala Mayang. Diusapnya pundak rapuh itu dengan sayang, “Ada sesuatu yang membuat senyummu hilang?”Bukannya menjawab, tapi air mata sialan itu malah dengan lancangnya keluar dari pelupuk mata Mayang. Mayang tidak tahu, apakah berbagi dengan Banyu adalah sesuatu yang benar sekarang.“Hey ... .” dipeluknya tubuh Mayang, Banyu tidak tahan jika harus melihat gadis manisnya bersedih.“Aku lelah Mas, aku pengen berhenti.” Mayang meraung dalam pelukan Banyu.“Apa di SPBU semelelahkan ini?” Banyu tidak ingin berpikir yang lain sekarang.Mayang menggeleng. Sungguh dia tidak tega jika harus menceritakan semuanya ke Banyu sekarang.&