Share

BAGIAN 2 - Namanya Aksa

“Tempat praktek baru Mba Lana udah bisa dipersiapkan mulai besok mba. Tapi, untuk apartemen baru bisa ditempati mulai minggu depan karena kami harus memasang kitchen set dan melengkapi perabotannya terlebih dahulu. Ini buku desain interiornya. Mba Lana dan Mba Nina bisa memilih untuk apartemen kalian masing-masing.” Nina dengan semangat 45 mengambil buku yang berisikan model-model interior ruang untuk apartemen baru yang baru saja kami lunasi pembayarannya. Aku menyimpan kunci untuk tempat kecil yang tidak jauh dari tower kami yang kujadikan sebagai tempat praktek baru nanti.

“Kalau untuk desain interior tempat praktek saya yang baru bagaimana, Pak?”

“Kalau untuk tempat praktek Mba Lana tidak ada syarat bagi kami untuk membatu desain. Karena memang dari awal hanya apartemen yang desainnya bisa memilih sesuai keinginan, dan nanti kami yang kerjakan. Kalau Mba Lana mau kami tentu saja bisa bantu. Tapi ya pastinya ada ongkos tersendiri.” Aku tidak mau ambil repot untuk mengunjungi satu per satu toko untuk melihat serta bertanya desain yang seperti apa yang nanti sekiranya cocok untuk tempat praktekku. Lebih baik membayar sedikit lebih mahal dan aku tidak perlu ambil pusing.

“Iya, saya paham. Saya minta tolong bantuannya ya pak. Nanti masalah ongkos kita bicarakan.”

“Mba Lana mau ruang praktek yang bernuansa seperti apa memangnya?”

“Saya mau bernuansa putih dengan perabotan yang serba abu-abu. Minimalis. Tidak perlu banyak. Cukup untuk manaruh bed pasien dan disediakan tempat untuk alat-alat saya pak. Satu meja dan satu kursi di dalam serta di luar untuk suster. Juga kursi untuk pasien yang akan menunggu.” Pak Feri yang merupakan bagian marketing hanya manggut-manggut mendengar permintaanku.

“Baik. Nanti saya diskusikan dengan bagian interior.”

Aku mengiyakan dan mulai bergabung dengan Nina untuk memilih apa desain seperti apa yang akan kami terapkan pada apartemen kami.

***

“Sebaiknya saat kita pindah nanti Rakan tidak usah diberitahu kita pindah kemana ya Lan.” Tanganku yang sibuk bergerak mempersiapkan makan siang yang telah kubeli barusan sukses kaku seketika. 

“Dia kemari lagi?” ternyata dia belum menyerah? Apakah ucapanku waktu itu masih belum jelas?

“Iya. Bersikeras untuk menemui kamu.”

“Lebih baik kita pindah secepatnya dari sini. Aku juga sudah tidak nyaman.” Nina mulai memakan makan siangnya. Aku? Rakan benar-benar mengganggu ketenangan hidup.

“Tadi ada pasien, wajahnya tampan datang kemari. Aku bilang kita sedang tutup untuk makan siang. Kalau dia mau menunggu boleh saja. Dia memutuskan untuk pergi.”

“Pasien tampan?”

“Sangat tampan nan rupawan, Lan. Wangi lagi. Aku bahkan sudah ada niat menjodohkannya denganmu.” Haish, ini Si Nina kenapa?

“Nina jangan mulai gila deh.”

“Tapi aku serius. Dia benar-benar tampan dan wangi. Aku berani jamin dia seratus persen tipe kamu” karena aku dan Nina sudah bersama sejak dahulu kala, Nina jadi hapal betul tipe laki-laki kesukaanku. Sebenarnya tidak perlu terlalu tampan asalkan enak dilihat, tinggi, bersih dan wangi tentunya. Tipe secara fisik seperti itu. Hal yang lebih penting tentu bukan itu melainkan harus seiman, pintar, berwawasan luas, bertanggung jawab, penyayang. Yah, tipeku kurang lebih hampir sama lah dengan tipe perempuan perempuan di luar sana. Tapi ya aku sadar diri apabila di dunia ini tidak ada lelaki yang sempurna. Jangan mencari lelaki yang sempurnya, carilah lelaki yang bersyukur. Lelaki yang bersyukur memilikimu jadi ia tidak akan selingkuh sana sini. Zaman sekarang banyak sekali laki-laki tidak bersyukur. Wajah pas-pasan hobinya ghosting.

“Aku sama sekali tidak tertarik.” Jawabku acuh.

“Kamu belum lihat dia, gimana bisa kamu bilang gak tertarik. Kamu pasti suka.”

“Aku sedang gak berniat untuk suka dengan seseorang dalam waktu dekat.” Jujur perkataan ini keluar dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Aku memang belum ada niat untuk menyukai seseorang dalam waktu dekat.

“Lana, kamu udah dewasa. Aku gak mungkin akan selalu bisa kamu andalkan, kamu perlu laki-laki yang bisa kamu andalkan setiap saat. Pacar mungkin?”

“Pacar?” Untuk apa sih punya pacar kalau ujungnya hanya sakit? Kalau sendiri saja sudah bahagia maka apabila kamu punya pasangan bahagiamu harus double. Tapi kalau nyatanya hanya bikin susah hati artinya dia bukan pasangan yang terbaik untuk kamu. Sejak putus dari Rakan rasanya prinsipku sudah berubah. Untuk apa pacarana? pacaran lama lama? Hanya menambah dosa dan belum tentu berakhir ke pernikahan. Lebih baik berteman terus lamaran. Asik.

***

Besok, aku dan Nina sudah bisa menempati tempat praktek kami yang baru. Sejak dua hari yang lalu, Nina juga sudah menetap di apartemen barunya. Sedangkan aku? Aku belum pindah ke sana karena kupikir jika aku pindah bersamaan dengan pindahnya tempat praktekku akan jauh lebih baik.

“Ini yang terakhir?” Tanyaku sembari mengikat kardus yang ber-isikan alkohol dan seperangkat alat hecting milikku. Nina terlihat fokus mengecek seluruh barang yang akan segera dinaikkan ke mobil pick-up yang sudah menunggu di depan.

“Itu yang terakhir.”

Semua barang diangkat dan dinaikkan ke box mobil. Pick-up itu akan membawa semua barang-barangku untuk di taruh di tempat praktekku yang baru. Kuperhatikan Nina yang terus mengrutkan kening. Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengannya.

“Ada apa?” Kutepuk bahunya dan ia pun mulai tersadar dari pikiran-pikiran rumitnya.

“Aku bingung. Bagaimana kita bisa memasang pemberitahuan jika kita sudah pindah ke tempat lain? Rakan akan mengetahuinya jika kita pasang pemberitahuannya.” Aku mengangguk menyetujui. Salut aku dengannya, ia bahkan berpikir hingga sedetail itu. Ia benar-benar memikirkanku. Aku bahkan tidak terpikir apapun untuk hal  itu.

“Jangan dipasang. Biarakan saja.”

“Nanti pasien kita bagaimana? Mereka tidak akan tahu dimana tempat praktek kita yang baru.”

“Mereka akan menelpon kalau benar-benar merasa nyaman dengan kita.” Kertas pemberitahuan yang siap ditempel di depan pintu dirobek Nina dan dibuangnya ke kotak sampah. Senyum renyah itu tersungging di bibir Nina.

***

“Kapan kamu pindah Lana? Jadi pindah besok?” Semua tatapan sekarang menuju ke arahku. Kak Dio mengerinyit bingung. Mungkin di rumah ini hanya dia yang belum tahu jika aku akan pindah ke apartemen baru. Sejak kepulangannya dari Kalimantan kami memang belum pernah bertemu dan mengobrol lebih jauh. Dia asik menghabiskan waktunya dengan Fero dan Asha, juga istrinya, Kak Umil.

“Kamu mau pindah, dek? Kok gak ngasih tau kakak?”

“Kakak kan baru pulang jadi aku belum sempet ngabarin kakak.” Sejak ada kabar kalau Kak Dio dipindah tugaskan ke kota ini aku jadi sedikit lebih tenang untuk meninggalkan ayah dan bunda. Biasanya, di rumah hanya ada Kak Umil, ayah, bunda, dan dua keponakanku yang sedang dalam masa pertumbuhan. Tapi sekarang, Kak Dio akan kembali ke tengah-tengah kami. Yah, meskipun tidak ada jaminan jika ia akan terus menetap dan tidak dipindah tugaskan.

“Kenapa kamu pindah sih, dek? Nanti yang jaga kamu siapa? Kalau ada apa-apa gimana?” Nah, sifat asli dan gak santainya mulai keluar. Kak Dio adalah manusia yang sangat-sangat over protektif tingkat dewa. Aku sih bersyukur banget dia bisa dapat istri se-sabar Kak Umil yang selalu bisa menenangkan dikala heboh Kak Dio kumat.

“Kak, aku itu udah 25 tahun bukannya anak ABG 17 tahun yang perlu kakak khawatirin sebegitunya.”

“Bun, bunda kenapa sih izinin adek pindah? Bahaya bun anak gadis tinggal sendirian.” Kalau sudah begini aku nyesel bilang-bilang ke Kak Dio.

“Adik kamu tuh udah besar, Yo. Dia bisa jaga diri kok. Di apartemennya yang baru nanti ada Nina yang bisa jaga dia. Keamanan di sana juga cukup ketat kok.” Bela ayah. Ayah memang selalu bisa aku andalkan.

“Tapi kan tetep aja, Yah. Adek nih gak bisa jaga diri. Aku takut kalo ada apa-apa sama dia. Pokoknya Dio sendiri yang harus pastiin keamanaan apartemen baru adek. Besok besok kalo kakak gak sibuk kakak pergi ke apartemen kamu. Inget ya Lan, kalo menurut kakak apartemen kamu itu jauh dari kata aman, kamu harus tinggal lagi di sini.” Aku mengacak rambutku geram. Yakali? Apartemennya sudah dibeli, sudah lunas. Gimana mungkin tidak ditempati?

“Lana gak mungkin selamanya tinggal di sini. Dia juga punya kehidupan dia sendiri. Sudah saatnya dia mandiri. Coba deh sekali-kali kamu kasih kepercayaan ke dia. Toh nyatanya selama kamu di Kalimantan, Lana yang paling bisa diandalin di rumah ini untuk bantu ayah dan bunda.” Cinta banget sama Kak Umil yang sabar dan selalu bisa buat bibir Kak Dio bungkam hehehe.

Hatiku bersorak menang melihat bibir Kak Dio yang tidak merepet lebih jauh. Bukannya apa-apa, aku sangat tahu jika ia mengkhawatirkan dan peduli padaku. Sejak kecil, dia memang bertugas menjagaku. Dia menjalankan perannya sebagai seorang kakak dengan baik. Tapi, hanya saja terkadang sikapnya begitu mengekang dan sulit memberi kepercayaan padaku. Dia nyaris gila dan memukuli Rakan dengan alasan tidak terima jika adiknya dipermainkan. Ah, kalau ingat kejadian itu aku benar-benar merasa dia menyayangiku lebih dari apapun.

“Lana janji akan jaga diri, Kak. Kakak gak perlu khawatir.” Aku tersenyum mencoba meyakinkan. Kak Umil hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala. Sedangkan ayah dan bunda sibuk mendengarkan kedua cucunya berceloteh.

***

“Selamat siang, Dok.” Aku mengerinyit bingung memandang pasien yang ada di depanku. Dia? Laki-laki yang bajunya pernah terbasahi oleh minumanku. Laki-laki di café baru itu.

“Kamu?” kami kaget secara bersamaan. Buru-buru kuhilangkan kekagetanku dan menyambutnya layaknya seorang pasien.

“Silahkan duduk. Ada yang bisa saya bantu?” Aku mengambil kertas kontrol yang ada di tangan laki-laki itu. Prosedurnya, sebelum menemuiku identitas dan setiap keluhan pasien akan di data oleh Nina. Mereka juga wajib menimbang berat badan dan mengukur tekanan darah.

Kubaca setiap keluhan yang di  tuliskan Nina di kertas yang kupegang. Batuk mengeluarkan darah? Aksa Varadiapsta? Namanya Aksa?

“Sudah sejak kapan Pak Aksa batuk dan mengeluarkan darah?” aku mulai bertanya.

“Kemarin. Kemarin saya batuk dan tiba-tiba mengeluarkan darah. Awalnya hanya batuk, saya pikir hanya batuk biasa dan tidak terlalu saya pedulikan. Yah, meskipun waktu itu sudah sempat ke dokter. Tapi, dokternya sedang tutup makan siang.” Dia curhat, heh? “Kemarin tiba-tiba ada darahnya. Bisa tahu saya kenapa, Dokter Lana?” Nada suaranya seperti ditekan dikala ia mengucapkan namaku. Jujur ini membuatku merasa tidak nyaman. Tatapan matanya juga terlalu menohok.

“Ada keluhan lain? Seperti berat badan yang turun? atau berkeringat di malam hari tanpa sebab?”

“Berat badan turun tiga kilo. Tidak terlalu merasakannya kalau keringat malam karena kalau tidur selalu nyalain AC.”

“Ada demam atau nyeri tenggorokkan Pak sebelumnya?”

“Demam pernah dok tapi tidak terlalu tinggi. Kalau nyeri tenggorokkan tidak ada.”

“Nafsu makannya berkurang nggak pak?”

“Lumayan jadi kurang nafsu makan tapi tidak terlalu.” Berat badannya masih terlihat sangat baik.

“Belum bisa saya simpulkan bapak sakit apa. Tapi, batuk mengeluarkan darah tentunya bukan hal biasa. Saya sarankan bapak segera melakukan pemeriksaan di laboratorium terlebih dahulu. Periksa dahak untuk memastikan kecurigaan saya.”

“Kira-kira saya sakit apa, Dok?”

“Saya tidak bisa memastikan sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk sementara saya hanya bisa kasih obat batuk. Tapi seperti yang saya bilang tadi, bapak harus segera periksa dahak terlebih dahulu pak. Baiknya karena bapak juga sedang batuk, mulai sekarang pakai masker dulu ya pak” Jelasku.

“Apa Dokter Lana ada waktu untuk menemani saya pergi ke dokter laboratorium?” Apa katanya? Minta ditemani? Dia gila atau apa sih? Bisa jelaskan letak kewajibanku untuk menemaninya pergi ke laboratorium? 

“Maaf pak apa tidak ada keluarga lain yang bisa mengantarkan bapak?”

“Anggap saja sebagai permintaan maaf untuk jas saya yang kotor?” Dasar orang aneh! “Bisa kan dokter, Lana? Saya tidak terbiasa pergi ke laboratorium sendiri. Ini pengalaman pertama saya untuk periksa dahak.” Apa iya aku harus menemaninya? Aku hanya menyuruhnya untuk periksa dahak. Dia hanya perlu mengumpulkan dahak di pot yang nanti diberikan orang laboratorium. Apa yang harus ditakutkan?

“Tidak bisakah permintaannya diganti dengan yang lain? Saya akan belikan jas baru sebagai permintaan maaf.” Semoga dia menerima penawaranku dan semoga saja harga jasnya tidak begitu mahal.

“Maaf, saya tidak menerima penolakan. Sampai jam berpa kira-kira laboratorium buka?” Aku mendecak kesal mendengar apa yang dia katakana. Baru kali ini aku kedatangan pasien yang senak jidat meminta.

“Jam sembilan malam.”

“Baik. Nanti jam tujuh saya jemput ya, Dokter Lana. Mana resep obat batuknya?” Ia menengadahkan tangan meminta resep obat batuknya.

Kutuliskan resep obat batuk yang bisa ia tebus di apotik nanti “Ini. Diminum tiga kali sehari sesudah makan.”

“Terimakasih.” Ia mengambil resep yang telah aku tuliskan “Jam tujuh ya, Dokter Lana.” Ia mengedipkan matanya kearahku sebelum menutup pintu dan pergi. Dasar pasien aneh! Semoga dia gak lupa untuk bayar di meja Nina.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status