Share

BAGIAN 5 - Simbiosis Mutualisme

“Ada masalah apa kamu dengan laki-laki tadi?” tanya Aksa datar. Aku sangat yakin jika ia penasaran setengah mati karena ulahku tadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa Rakan ada di depan pintu apartemenku. Untungnya tubuh Aksa yang tegak mampu menyembunyikanku dan kami bisa berbalik arah menuju lift kembali. Laki-laki itu cukup pintar untuk tahu kalau aku dan orang asing di depan kamar apertemenku sedang memiliki masalah. Aksa cukup pengertian dengan tidak menanyakan hal-hal yang kuyakini menggangu pikirannya saat kami sedang mencoba melarikan diri. Sekarang kami duduk di sebuah café yang ada di kawasan apartemen. Aku benar-benar berharap Rakan jengah menunggu di depan pintu apartemen dan pergi dari sana. Yah, meskipun aku tahu diriku tidak dalam keadaan yang aman lagi sekarang. Tapi setidaknya aku tidak mau bertemu dia untuk sekarang ini. Hatiku masih terlalu sakit.

“Ada masalah apa kamu dengan laki-laki tadi?” Aksa mengulangi pertanyaannya.

“Biasa. Ada orang asing yang berniat iseng.” Sungguh, jawaban yang benar-benar asal.

“Hah, orang asing?” iya tersenyum mengejek. “Kamu kira aku anak SD apa? Nenek-nenek rabun saja jelas bisa lihat ketakutan wajahmu tadi.” Katanya telak.

“Ketakutan? Aku tidak takut. Aku hanya tidak mau berurusan dengan orang-orang yang hanya akan buang-buang waktu aku.”

“Oke. Kalau gitu biar aku yang naik ke atas dan memastikan atas dasar apa dia mau berbuat hal iseng padamu.” Tanganku tentu dengan sigap menahan tangannya. Tepat saat dia bahkan belum memulai apapun untuk merealisasikan ucapannya. Dasar, Lana bodoh! Tolong ingatkan aku jika pada dasarnya aku tahu jika beginilah ujungnya. Aku harus sedikit memberitahunya.

“Kanapa? Ada masalah?”

“Menurutmu?” bibirnya mengukirkan senyum penuh kemanangan. Ia juga mampu membuatku jengkel setengah mati karena harus bercerita tentang kenangan buruk pada orang asing.

“Intinya, dia adalah mantan pacarku yang berusaha minta balikan. Puas?”

“Sesimpel itu?”

“Hah?”

“Kamu membuatnya jadi rumit dan bertele-tele, dok. Mengapa tidak katakana itu dari tadi dan semuanya akan jauh lebih cepat. Otakku juga bisa bekerja untuk membantumu.” Sombong sekali dia.

“Sifat sombongmu itu sudah ada sejak lahir ya?”

“Apa sifat cemenmu itu juga bawaan lahir ya?” Cemen katanya? Dia bahkan tidak tahu se-runyam apa masalah percintaan yang menerpa hidupku. Dengan entangnya dia mengatakan aku cemen? “Posisimu jelas tidak akan aman lagi, kan? Kalau dia memang sungguh-sungguh untuk mengajakmu balik menjalin kisah cinta seperti dulu lagi mungkin dia benar-benar akan berjuang keras untuk mendapatkan perhatianmu kembali.” Akankah seperti itu? “Jika memang benar itu terjadi, bukan hal mustahil jika dia ada di depan pintu apartemenmu setiap harinya.”

“Itu semacam doa atau apa?” aku tahu itu memang pemaparannya yang sangat jelas dan masuk akal. Tapi aku tidak sanggup jika Rakan harus membuntuti aku kemana-mana. Aku tidak sanggup mendengar pemaparan-pemaparannya lebih jauh.

“Aku hanya berusaha membantumu.” Katanya singkat.

“Membantu? Kamu bisa bantu apa, heh?”

“Kita bisa mengadakan simbiosis mutualisme Dokter Lana.”

“Simbiosis mutualisme? Apa kamu bisa jamin ini akan jadi simbiosis mutualisme? Bukan akan jadi simbiosis parasitisme dimana aku yang akan dirugikan di sini?” Kali ini aku memang butuh bantuan seseorang untuk menjagaku dari Rakan. Sebenarnya mungkin aku akan bisa saja melakukan kabur-kaburan. Tapi tentu itu membuat hidupku tidak akan tenang lagi, kan? Catat! Sebenarnya masalah terpenting yang aku pikirkan adalah aku tidak mau Kak Dio sampai tahu kalau Rakan mencoba hadir kembali ke dalam hidupku.

Mencintai Rakan? Sayangnya rasa itu memang belum sepenuhnya hilang. Tapi rasa sakit di hati ini benar-benar meracuni rasa cinta yang kupunya untuknya.

“Ini akan jadi simbiosis mutualisme. Aku hanya minta kamu untuk setuju dengan permintaanku tadi. Aku akan benar-benar melindungimu dari mantan pacarmu itu. Bagaimana?”

“Apa kamu tidak punya pekerjaan? Kamu mau jadi bodyguard-ku?”

“Jadi bodyguard-mu? Apa aku pernah bilang kalau aku akan jadi bodyguard-mu?”

“Bagaimana caramu menjagaku?” dia bilang akan melindungiku. Aku pikir itu artinya sama dengan menjadi bodyguard-ku.

“Kamu tidak perlu tahu dan repot memikirkan bagaimana caranya, dok. Intinya, kamu setuju atau tidak dengan tawaranku?” Sebenarnya bukan hal yang sulit untuk menggerus obat ataupun menyiapkan menu buah dan sayur. Tapi aneh rasanya kalau aku melakukan semua itu untuk orang yang baru saja aku kenal. “Yes or no?”

“OK. Yes.” Jawabku pada akhirnya.

“Bagus. Kamu membuat pilihan yang sangat tepat Dokter Lana.” Aksa merogoh saku celananya dan menyodorkan ponselnya padaku. “Simpan nomormu di situ.” Jari tanganku mengetikkan dan menyimpan nomor ponselku di sana. Setelah kukembalikan, ponselku ikut berdering. “Simpan nomorku. Kalau ada hal yang mengganggumu atau kamu merasa terancam, kamu bisa langsung menghubungiku. Tidak perlu sungkan.” Sungkan? Untuk apa aku sungkan?

“Baiklah. Tugas pertamamu memastikan apakah laki-laki tadi masih ada di depan pintu apartemenku atau tidak.”

“Siap, dokter.” Aksa langsung mengambil ponselnya dan menelpon seseorang yang aku tidak tahu siapa. Jelas dia meminta seseorang di seberang telfon untuk mengecek apakah Rakan masih ada di depan pintu kamarku.

“Dia masih di sana.” Ujar Aksa beberapa detik setelah ia mengucapkan terimakasih dan memutuskan sambungan telfonnya.

“Huh. Aku harus apa? Ini sudah pukul sepuluh.” Dengusku sebal. Aku tidak mungkin pulang ke rumah jam segini.

“Pesan makanan untuk makan malam kita. Kamu bisa tinggal di apartemenku untuk malam ini.” Suaranya terdengar seperti bos arogan yang tengah memerintah anak buahnya. Belum lagi masker yang ia kenakan membuat suaranya semakin nge-bass.

“Apartemenmu? Apartemenmu ada dibelah kamarku. Kamu lupa atau apa?”

“Ini sudah malam, Dok. Tolong jangan banyak tanya dan ikuti saja. Ini sudah malam dan aku harus segera minum obat. Ini saatnya kamu menjalankan tugasmu.” Ughh… Aksa menyebalkan!

***

Mungkin, sebentar lagi aku akan benar-benar bertanya tentang siapa Aksa sebenarnya. Dia tidak membawaku ke apartemennya yang ada tepat di sebelah kamarku. Bukan, kami bukan ada di lantai 20 sekarang. Dimana kami? Ada di apartemen seseorang di lantai 29. Entah ini apartemen siapa, tapi yang jelas Aksa mengakui kamar ini sebagai miliknya. Sekaya apa sih dia sampai-sampai punya dua apartemen sekaligus di satu tower yang sama?

“Dok? Kenapa obatnya belum digerus?” Suara Aksa yang datang dari pintu dapur mengagetkanku. Ah, iya, obatnya. Aku terlalu asik dengan pikiranku dan dengan desain apartemen Aksa, itu membuatku jadi lupa dengan apa yang akan aku lakukan tadinya.

“Kamu tahu nggak sih kalau obat TB digerus bisa bikin efektivitas obatnya turun. Kamu kayaknya harus benar-benar belajar nelen obat.” Mataku masih sibuk memandangi apartement Aksa. Berani bertaruh kalau kalian akan sangat suka dengan desain apartemen Aksa ini.  I think it’s so tumblr! Aku juga yakin yang mendesain ini semua adalah seorang desain interior ternama.

Untuk beberapa menit kami berada di keheningan. “Jadi bagaimana? Aku nggak bisa nelen obat.”

“Sudah pernah coba nelen obat pake buah?” Sewaktu aku kecil dulu aku belajar menelan obat dengan memasukkan obat ke dalam buah pisang.

“Menurutmu? Sudah pernah lah jelas. Aku tetap nggak bisa.” Bukannya ini ya yang dinamakan the real cemen. Sudah setua ini sibuk merengek tidak bisa menelan obat.

“Kita coba belajar. Nggak usah pake buah pake air putih aja. Cukup telan satu saja dulu hari ini. Seenggaknya untuk memancing keberanian kamu. Dua obat lainnya aku gerus. Gimana?” Mau sampai kapan dia nggak bisa nelen obat? “Coba minum dulu sedikit air nanti baru masukin obatnya ke mulut, terus langsung minum yang banyak.”

“Aku takut obatnya nyangkut di tenggorokkanku.”

“Enggak, ada aku. Nanti langsung aku bantuin kalo kamu sumbatan jalan nafas hahaha.” Sumbatan jalan nafas adalah hal yang paling ditakutkan apabila ada benda asing yang tersangkut.

Aksa mengambil air dari dispenser yang tidak jauh dari kami. Akupun memilih melangkah untuk duduk di meja makan apartemen Aksa tanpa menungu ia mempersilahkan. Ia akhirnya ikut duduk di sebelahku. Apa dia setakut itu sampai matanya bolak balik melirikku seolah mengatakan bisa nggak sih di gerus aja? “kamu pasti bisa!”

Perlahan dia mulai minum dan akupun menyodorkan satu tablet obat berwarna merah yang ukurannya bisa dikatakan cukup besar. Aksa mencoba menelannya sembari meminum lebih banyak air. “Langsung telan nggak usah mikir kalau obatnya akan nyangkut.” Kataku.

Aksa berulangkali bersusah payah meneguk obat yang aku sendiri tidak tahu sudah tertelan atau belum. Air di gelasnya bahkan sudah hampir habis.

“Bisa kan?” sepertinya dia sudah berhasil menelan obatnya. Aksa membuka mulutnya menunjukkan kalau obatnya sudah berhasil ia telan. “Tuh kan bisa! Yuk dua lagi satu satu aja nelennya.”

“Nggak! Udah satu aja. Mungkin ini keliatannya hal mudah bagi kamu. Aku susah payah loh nelennya. Udah deh latihan satu dulu.” Iya sih. Aku nggak bisa menyamaratakan semua orang. Bagiku dan sebagian besar orang menelan obat adalah hal yang mudah. Mungkin ini tidak bagi Aksa. Daripada tidak minum obat sama sekali lebih baik kita gerus obatnya.

Aku sibuk menggerus obat yang harus diminum Aksa sedangkan laki-laki itu memilih untuk duduk di sebelahku sembari mulai berkutat dengan laptopnya. Sedangkan diantara kami, satu plastik makan malam yang masih hangat belum dikeluarkan.

“Lebih baik kamu makan, lalu minum obat.” Aku menyarankan.

“Kita makan sama-sama. Sudah selesai obatnya?” ia melirik tanganku yang masih sibuk menggerus obat yang memang sudah hampir halus.

“Ini sudah halus, kan?”

“Iya, sudah.” Kepala Aksa ikut mengangguk. “Ayo kita makan.” Ajaknya.  

Kami makan dalam keheningan. Aku yang menikmati Soto Babat, dan dia yang sok sibuk dengan laptopnya sembari menyambi makan serta kecanggungan yang meliputi untuk memulai pembicaraan. Maksudku, aku sudah menjudge-nya di awal dan ternyata simbiosis yang ia berikan benar-benar merupakan simbiosis mutualisme. Setidaknya, tinggal di apartemennya yang so tumblr ini saja sudah sangat cukup membantuku melupakan kejadian beberapa jam yang lalu.

“Aksa,” ia mengalihkan tatapannya dari layar laptop ketika panggilanku didengar. “Terimakasih, ya.” Kataku kikuk.

Alis Aksa bertaut namun senyuman terukir di bibirnya. “Terimakasih? Terimakasih untuk apa?” ia menjauh dari laptopnya dan menatapku yang sekarang merasa aneh.

“Terimakasih untuk simbiosis mutualisme ini. Maaf karena awalnya aku agak sangsi denganmu.” Ia tertawa mendengar ucapanku. Sungguh, dia begitu manis ketika tertawa.

“Termakasih juga untukmu, Dokter Lanala Gitraja.” He’s damn fucking hot when he says my name, oh God!!

“Untuk?”

“Untuk waktumu yang sudah menemaniku pergi ke lab, untuk waktumu yang telah membantuku menggerus obat, untuk pertemanan kita dan untuk ucapan terima kasihmu.” Mau tak mau aku ikut tertawa mendengar apa yang disampaikannya. Dia seperti tengah menyampaikan pidato.

Don’t mention it.” Jawabku.

 Perlahan, aku mulai memasukkan sendok nasi ke dalam mulutku. Tapi, Aksa masih belum melakukan apapun dan masih tersenyum ke arahku. Erghhhh.. ini sangat tidak bagus. Aku gerogi!

“Tadi, kamu kelihatan sibuk. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu.” Bukannya melanjutkan pekerjaannya Aksa malah menutup laptopnya dan mendorongnya agak sedikit ke tengah meja. “Kenapa?” tanyaku.

“Aku sudah selesai. Tadi, hanya butuh untuk mengecek laporan keuangan.” Laporan keuangan? Apa dia pegawai bank? atau pegawai swasta?

“Boleh aku tanya sesuatu?”

Sure” sepertinya menanyakan apa perkerjaannya bukan sebuha masalah besar.

“Sebenarnya apa pekerjaanmu?” tanyaku pada akhirnya.

“Menurutmu?” Kenapa dia balik tanya ke aku?

“Menurutku? Aku belum pernah memikirkan apa pekerjaanmu. Belum pernah menerka. Eh, pernah. Beberapa menit yang lalu. Waktu kamu bilang kamu habis mengecek laporan keungan. Aku pikir kamu pegawai bank?” Memangnya ada kemungkinan apa lagi? “Oh, iya, hampir lupa. Waktu pertemuan pertama kita aku sempat berpikir, bukan, bukan berpikir lebih tepatnya. Tapi, semacam menebak secara jitu. Aku tebak kamu pasti pengusaha.” Aku ingat pernah menebak apa pekerjaan Aksa dari tampangnya saat pertama kali kami bertemu. Mungkin karena pakaian yang dia pakai waktu itu. Pakaiannya rapih sekali. Juga…wangi, kata Nina.

“Aku seorang pengusaha.”

“Jadi, benar?” pertanyaanku dijawab dengan anggukan olehnya. “Pengusaha apa?” Hmm, kenapa pertanyaannya  membuat aku seolah-olah ingin sekali mendalami kehidupan Aksa? Ah, biar deh. Harap maklum. Penasaran.

“Pengusaha yang jual barang halal.”

“Jangan bercanda. Nggak lucu.” Aksa meneguk minumannya dan menatap aku dengan tatapan geli.

“Aku nggak bohong. Nggak ada yang salah. Aku benar jual barang halal, kok.” Kalau bukan barang halal yang kamu jual, kudoakan hidupmu tidak berkah.

“Iya, aku tahu. Tapi apa barangnya? Baju? Makanan? Rumah? Kendaraan?”

“Segitu ingin tahunya ya kamu?”

“Hanya memastikan kalau uang yang kamu gunakan untuk membeli apartemen yang ada di sebelah apartemenku itu dibeli menggunakan uang yang halal. Karena, emmm, kamu tahu kan, saat di sebuah tempat ada kemaksiatan maka orang-orang berada di kisaran daerah itu juga terkena imbasnya. Aku nggak mau kalu tiba-tiba hidupku nggak diberkahi lagi sama Allah.” Pemaparan yang sungguh dan sangat meng-ide! Lanala!

Dia menertawaiku. Aku tahu itu pemaparan yang aneh meskipun itu memang benar. Habisnya aku tidak tahu lagi harus jawab apa dan iya aku sungguh penasaran.

 “Aku bahkan nggak pernah berpikir kalau orang model kamu bisa juga bicara santai. Maksudku, bicara hal yang lucu dan yang bisa buat orang lain tertawa.”

 “Jadi, kamu pikir aku orang yang nggak santai?”

“Bukan begitu. Mungkin karena selama ini aku belum pernah bicara dengan kamu lebih lanjut makanya aku bisa bilang begitu.”

“Selama ini? Selama apa? Aku rasa kita baru kenal beberapa jam yang lalu.”

“Nah, itu dia. Kamu benar. Mungkin waktu yang akan bawa kita untuk saling mengenal.” Tangannya sibuk menuangkan air sedikit demi sedikit ke atas sendok yang telah diisikan gerusan obat yang telah aku hancurkan. Dia terlihat begitu handal memainkan dua sendok untuk melarutkan bubuk obat itu. Dan HAP! EWHHHH… Apa rasanya minum obat yang berwarna sepekat warna darah dan tidak tahu rasa pahitnya seperti apa.

“Bisa jadi.” Katanya setelah menyelesaikan prosesi minum obat perdananya. Bicara seolah-olah kami ini ditakdirkan bersahabat dan perlu mengenal satu-sama lain lebih jauh. Tampaknya juga merasakan obat yang aku pikir jelas pahit terlihat bukan masalah besar baginya. Ia lebih jauh terlihat kesulitan saat menelan obat.  

“Mungkin waktu juga yang akan menjawab pertanyaanmu mengenai pekerjaanku.” Tawanya tergelak dan ia beranjak dari sofa menuju dapur. What the heck!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status