Share

TARO
TARO
Penulis: extraice

BAGIAN 1 - Coffe Shop Baru

“Selamat siang, mba. Mau pesan apa?” Pertanyaannya membuatku melirik nama-nama menu yang tertulis di daftar menu minuman yang terpajang di dinding belakang. Keramaian di coffe shop yang baru buka tiga hari yang lalu ini membuatku benar-benar tidak nyaman. Coffe shop ini bagai dibanjiri pengunjung kampungan yang seolah tidak pernah menyesap rasa kopi, green tea, ataupun frapuccino serta teman-temannya itu. Hampir semua pengunjungnya adalah kaula muda.

“Aku pesan taro polos tanpa topping dan satu crepes green tea.” Aku sedikit menggeser tubuhku setelah memberikan selembar uang lima puluh ribu rupiah pada sang pelayan. Sepertinya ini kunjungan pertama dan terakhirku ke coffe shop ini. Aku merasa terlalu tua berada diantara para remaja ini. Mungkin di ruangan ini akulah yang memiliki beban hidup yang paling banyak. Ah, lupakan.

“Satu taro dan cerepes greentea, selamat menikmati dan jangan lupa berkunjung kembali.” Cepat kuraih satu cup taro dan crepes yang hanya dibungkus dengan pegangan kertas. Hell, tidak bisakah aku mendapatkan plastik sebagai wadah?

Tak mau ambil pusing, sebisanya aku menampung taro dan crepes di tanganku bersamaan dengan tas dan juga dompet yang menyesakki lengan bahu, tangan kanan dan kiriku.

Naasnya saat aku berbalik, seseorang dengan tubuh tegapnya menghalangi jalanku dan membuatku menabraknya hingga taro di genggamannku terhenyak ke jasnya hingga berakhir jatuh ke lantai. Nasib crepes green tea jauh lebih parah. Ia telah hancur berkeping keping.

“Shit!”

 “Maaf, aku benar-benar tidak sengaja.” Buru-buru kubuka tasku untuk mendapatkan tisu guna mengelap jasnya. Tak kuperhatikan siapa yang sebenarnya kutabrak barusan sampai aku benar-benar telah membersihkan jasnya.

“Tidak apa-apa.” Saat aku mau mengelap untuk memastikan jika jasnya benar-benar telah kering ia beranjak dari tempatnya berdiri dan berusaha membantu mengambilkan dompetku yang tadi ikut terjatuh. Ketika ia memberikan dompetku disitulah aku benar-benar bertemu tatap dengannya.

“Maaf, ini semua salahku. Biar aku bantu bersihkan jika kamu tidak keberatan.” Tawarku yang merasa bersalah. Jika dilihat look-nya dari atas sampai bawah, bisa kutebak jika dia adalah pengusaha muda. Dilihat dari penampilannya dapat aku simpulkan jika laki-laki di depanku ini benar-benar tampan. Aduh, salah fokus.

“Kamu memang harus membantuku membersihkannya. Ini kan salahmu.” Sukses aku berjengit mendengar perkataannya yang terkesan dingin barusan. Apa maksudnya? Jelas-jelas tadi dia yang bilang kalau tidak apa-apa.

Mata kami bertemu tatap. Astaghfirullah, zina mata, istighfar. Dapat kulihat dengan jelas alisnya yang begitu tebal, bola mata coklat muda, serta rahang yang kupikir sangat kokoh karena rahang itu mampu menciptakan ketegasan di wajahnya.

“Baiklah. Nanti aku akan bilang pada pelayan di sini untuk meminjamkanku stop kontak. Kebetulah di mobilku ada hair dryer. Akan aku bantu untuk mengeringkan bajumu.”

“Nanti?”

“Iya, sebentar lagi. Tolong sabar sedikit karena aku mau mengantri lagi, aku lapar.” Tanpa mau menjelaskan lebih jauh kakiku sudah membawaku ke antrean paling belakang. Dia? aku tidak tahu itu gilirannya atau bukan untuk memesan karena dia kembali ke kasir dan berbicara pada kasir.

Nampaknya, ada satu hal yang tidak menjadi fokus perhatianku sedari tadi yaitu, orang-orang di sekelilingku. Setelah kuamati beberapa detik ternyata sekarang semua pandangan sedang menatap kelaparan pada laki-laki yang kutabrak tadi. Ah, rasanya makin sesak saja berada di sini.

Kurogoh tasku dan mencari ponsel untuk memberitahu Nina jika aku kembali agak telat. Insiden barusan cukup mengulur waktu sekitar dua puluh menitan, mungkin.

Ini” Kuurungkan niatku untuk memberi tahu Nina karena laki-laki tadi kini telah berada di sebelahku sembari menyodorkan satu kantong plastik. Ia yang seolah tau jika aku menatapnya bingung langsung menjelaskannya. “Ini ganti dari minuman dan crepesmu tadi. Membersihkan jasku kapan-kapan saja. Aku ada urusan lain sekarang.” Tangan kananku ditariknya dan ia membuatku mau tak mau menerima pemberiannya.

“Terimakasih.” Gumamku sesaat setelah ia berlalu pergi.

***

 “Lana, dia di dalam.”

“Dia siapa?” tanyaku bingung. Aku baru saja sampai dan sepersekian detik kemudian Nina dengan wajah pucat pasinya mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti.

“Rakan. Rakan ada di dalam.” Hatiku mencelos. Marah, kesal, sedih, senang rasa-rasa itu dengan egoisnya bagaikan ingin menyakiti batinku. Batin terdalamku yang hampir enam bulan ini berusaha kuobati. Mau apa lagi dia kesini? “Aku sudah melarangnya semampuku. Tapi dia memaksa dan mengancam akan mengacau di sini. Aku takut pasien yang sedang menunggu terganggu. Jadi, aku biarkan dia duduk di dalam. Aku minta maaf Lana.”

“Sudah, ini bukan salahmu. Ada berapa pasien yang ada di ruang tunggu?”

“Ada sekitar lima orang.”

“Aku selesaikan urusanku terlebih dahulu setelah itu kamu bisa panggil pasien satu per satu.” Sorot mata Nina seolah bertanya apakah aku siap?

Tanganku terasa membeku sesaat setelah kenop pintu kubuka dan kudapati sosok yang sudah enam bulan ini menghilang dari hidupku. Tubuhnya yang tadinya tenang kini berbalik ke arahku.

“Lana!”

“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Senyum palsu itu berusaha kutampakkan. Dia pergi ke tempat praktekku, otomatis di ruangan praktek aku harus professional. Mungkin saja dia sakit dan butuh bantuan. Pintu sengaja kubuka lebar dan tidak kututup.

“Lana aku ─”

“Ada keluhan apa, pak?”

“Lana aku mohon. Aku hanya ingin bicara sebentar dengan kamu.” Wajahnya terlihat terluka, tapi apakah luka itu sebanding dengan luka yang aku rasakan?

“Bicaralah.” Kataku tak mau memperpanjang. Kami duduk berhadapan. Rasanya berbeda ya? Enam bulan yang lalu kami masih bersama dengan raut wajah bahagia, canda, dan tawa tapi sekarang, bagiku dia hanya seorang laki-laki naif yang ingin kulupakan.

“Icha akan melahirkan minggu depan. Aku harap kamu masih bisa bersabar sampai bayinya lahir, lalu akan kita adakan tes DNA.” Untuk apalagi? Bukankah semua sudah berakhir?

“Untuk apa kamu menyuruhku bersabar? Hidup kita sudah berbeda Rakan. Ups, maksudku hidup aku dan kamu sudah berbeda.”

“Lana, apa yang kamu bicarakan? Kamu seharusnya bersabar jika kamu masih ingin kita kembali seperti dulu.” Lucu sekali dia. Dia marah? Aku harap dia tidak lupa dengan apa yang sudah diputuskannya enam bulan yang lalu.

“Tidak akan ada lagi kita yang seperti dahulu, Rakan. Aku tahu kamu mengetahui hal itu dengan jelas.”

“Lana, kamu tahu persis bagaimana keadaannya!”

“Dan kamu tahu persis bagaimana aku menangis, merintih, memohon, dan merengek agar keputusan bodohmu itu kamu enyahkan dari kategori solusi permasalahan.” Sakit. Sakit sekali mengingatnya.

“Aku tidak punya pilihan lain Lana.”

“Kamu bukannya tidak punya pilihan, Rakan. Tapi kamu terlalu naif. Aku benci laki-laki naif dan pengecut. Kemana saja kamu selama enam bulan ini? Menikmati masa-masa indah sebagai calon ayah?” ejekkan itu terdengan menyakitkan pasti.

“Mana mungkin aku menikmati kehidupan yang membuatku merasa di kerak neraka Lana.”

“Nikmatilah kehidupan kerak nerakamu Rakan. Itu pilihanmu. Sekarang aku minta kamu untuk keluar dari ruanganku karena aku banyak pasien.” Ini terlalu menyakitkan bagiku. Aku rasa dia terlalu bodoh untuk memutuskan solusi dari permasalahannya sehingga kami, aku dan dia yang dikorbankan. Tapi ini pilihannnya. Mungkin ini sudah jalannya

***

“Cepat sembuh ya, bu. Nanti jangan lupa antibiotiknya harus habis.” Pasien terakhirku hari ini beranjak dari tempat duduknya dan menghilang dibalik pintu. Kedatangan Rakan siang tadi benar-benar membuat konsentrasiku terganggu. Mau apa lagi dia? Semua sudah selesai, Rakan. Meskipun sakit di hati ini belum selesai.

 “Lana, ayo pulang!” Seruan Nina membuatku bergegas membereskan barang-barang. Ah, sudah pukul sepuluh malam saja.

Aku dan Nina berkemas dan mengunci ruko kecil dimana aku membuka praktek mandiri sebagai seorang dokter umum. Tidak, tidak hanya di sini aku juga bekerja di rumah sakit. Nina dan aku bersama sejak SMP. Hanya saja kami terpisah saat aku melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran sedangkan dia memilih untuk menjadi perawat karena menurutnya mengambil pendidikan dokter perlu waktu dan biaya yang tidak bisa dikatakan sedikit. Padahal di zaman sekarang apabila di hitung-hitung sekolah perawat juga mahal.

“Jangan melamun. Rakan sudah mati, ya kan?”

“Hahaha iya. Dia sudah mati.”

“Kalau begitu siapa yang kesini tadi siang?” tanyanya.

“Menurutmu?”

Kami masuk ke dalam mobil dan dengan perlahan mobilku melaju di jalan pulang. Rumahku dan Nina searah. Kami hampir setiap hari pulang dan pergi bersama. Tapi, sesekali Nina berangkat dan dijemput Rio, calon suaminya. Aku harap mereka segera menikah. Jadi Nina tidak perlu lagi hidup susah sebatang kara. Meniang ibunya meninggal dua tahun yang lalu, dan itu membuatnya sukses mendapat gelar sebatang kara. Ayahnya telah tiada sejak Nina kecil, ia anak tunggal, sejak kematian ayahnya, sang ibu sama sekali tak ada niatan menikah lagi meskipun ibu Nina masih tergolong muda dan cantik. Hidupnya keras, namun Tuhan cukup adil dengan memberikan Rio untuknya. Sejak SMA mereka telah bersama, dan semoga selamanya tetap bersama.

“Tadi cari makan siang kemana?”

“Ke coffe shop baru yang ada di ujung Jalan Morotai.”

“Enak?” Pertanyaan Nina mengingatkanku akan satu cup minuman Taro yang membuatku nyaris tak mau merhenti menyeruputnya. Itu adalah minuman dengan rasa terbaik yang pernah aku cicipi. Oke, meskipun posisinya tidak akan mampu menggantikan kebutuhan air putih.

“SANGAT! Tadi aku pesan minuman Taro. Dan rasanya benar-benar enak. Mungkin besok kita bisa ke sana sama-sama. Kamu harus coba! Harus!”

“Sebegitu enaknya kah?”

“Hmmm..” kepalaku mengangguk. “Tapi tadi siang ada kejadian buruk. Minumanku tumpah dan membasahi jas laki-laki tampan yang entah darimana asalnya dan tidak diketahui identitasnya?” Kejadian tadi siang teringat dan terputar kembali. Bola mata coklat muda itu terasa begitu melekat di ingatanku.

“Kejadian buruk? Apa bertemu laki-laki tampan adalah sebuah kejadian buruk?”

“No! Bukan itu maksudnya. Bagian bertemu laki-laki tampan adalah anugerah. Catat, anugerah! Tapi menjadi tontonan banyak pasang mata membuatnya menjadi musibah.” Jelasku.

“Dibalik musibah selalu ada anugerah.” Sepertinya kalimat yang benar bukan seperti itu.

“Dibalik musibah selalu ada hikmah. Itu yang benar!”

“Hahahahahaha, mungkin pepatahnya sudah berubah.” Satu hal yang sangat kusukai dari sahabatku ini. Tawanya. Tawa Nina benar-benar renyah dan begitu bersahabat. Itu yang membuatku sangat suka berteman dengan Nina di awal-awal masa sekolah dasar kami. Ah, itu sudah sangat lama, sangat sangat lama.

“Kalo aku boleh tau, tadi Rakan bilang apa?” aku terdiam sejenak mendengar nama itu disebut lagi. “Kamu gak perlu jawab kalau belum mampu.” Tatapaan meminta maaf Nina membuatku ingin terbahak. Dia seperti baru mengenalku dan terlalu memikirkan perasaanku.

“Kayak baru kenal di kapal aja. Aku sudah tidak apa-apa Nina! Kamu lihat sendiri kan?” aku berusaha meyakinkan untuk mengenyahkan perasaan tidak enak yang terpancar jelas di wajah Nina.

“Beneran? Apa kamu udah gak sedih lagi?”

“Tadi Rakan cuma mau bilang ke aku kalau ternyata istrinya akan melahirkan minggu depan. Dia minta aku untuk bersabar sampai tes DNA yang akan dia lakukan nanti ada hasilnya. Tapi untuk apa, kan? Toh semua sudah selesai. You know me so well, Nin. Kamu sangat tahu sedalam apa rasa sayangku pada Rakan. Sedih? Sudah pasti. Tapi untuk apalagi diingat. Aku rasa terlalu egois jika aku masih berharap dan harapan itu meracuni semua sel-sel tubuhku. Aku gak mau menyakiti diriku sendiri lebih lama. Sudah cukup, dan sudah berakhir.”

“Lan, tapi kamu tahu jelas kalau harapan itu masih ada. Anak itu belum tentu anak Kak Raksa.” Aku tahu, harapan itu sesungguhnya masih ada. Apalagi, mengingat Icha yang selalu gonta-ganti pasangan tidur. Tapi, apa harus aku masih berharap?

“Aku tahu. Bahkan feeling ku bilang kalau itu bukan anak Kak Raksa.”

“Terus? Kenapa kamu memutuskan untuk gak mau tau hasil tes DNA nanti?”

“Kamu tahu jelas Nin gimana aku memohon ke Rakan. Dia laki-laki yang terlalu naif menurutku. Gimanapun juga, Rakan dan Icha pernah bersama. Ada sesuatu yang sejujurnya terlambat aku sadari.”

“Apa itu?”

“Tatapan mata Rakan ke Icha.” Aku ingat betul bagaimana pilunya Rakan menatap Icha yang waktu itu datang kepada orang tua Rakan dan mengatakan dirinya hamil anak Kak Raksa, kakak Rakan. Sepertinya serpihan rasa di hati Rakan untuk Icha memang masih ada.

“Tapi itu udah lama banget Lan. Rakan putus jauh sebelum Icha bersama Kak Raksa. Rakan juga tahu jelas gimana Icha menghianatinya dan gimana kelakuan Icha di luar sana.” Nina benar. Mungkin Rakan tahu hal itu dengan sangat jelas. Tapi, hati tak punya mata dan otak untuk melihat dan berpikir, kan?

“Udah deh. Gak usah dibahas lagi mendingan ya. Udah mau nyampe juga nih. Oh iya, jadi gak nih kita beli apartemen di tower baru itu?” Aku dan Nina memang berencana untuk membeli apartemen yang lebih dekat dengan kota. Sebentar lagi masa kontrak di ruko yang aku dan Nina tempati juga akan lagi habis. Kami berencana menyewa bangunan yang masih satu kepemilikan dengan tower yang ingin kami beli. Mereka memberikan penawaran diskon yang cukup menarik jika aku juga mengambil salah satu apartemen di tower baru mereka.

“Sepertinya jadi. Uang tabunganku juga udah cukup dan Riko sangat setuju dan terlihat lebih bersemangat untuk menyuruhku pindah. Dia keliatan begitu khawatir kalau aku terus tinggal di rumah yang sekarang. Apalagi dengan adanya masalah tanah sengketa yang ada di dekat rumah, sering banget ada kericuhan. Kata Rico lebih baik aku pindah dan rumahku yang sekarang lebih baik direnovasi dan dikontrakkan. Karena, bagaimanapun juga rumah itu sangat berharga dan menyimpan banyak kenangan. Gak mungkin untuk dijual.” Ah, kamu sangat beruntung, Nin. Riko memang yang terbaik untukmu. Riko is da best!

“Ya sudah. Kalau begitu lebih baik kita ke sana besok. Takutnya kita kehabisan. Tower tower itu sepertinya punya rating penjualan yang sangat bagus.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status