Share

Bab 7 Peceraian

Karina terus terduduk di depan pintu kamarnya. Ia tak mau siapapun masuk ke kamarnya saat ini. Termasuk ibunya. Sudah hampir 2 jam ia terdiam dengan pipi yang terus membasah.

Karina sudah tak bisa menyeka air mata dengan tangannya sendiri. Selama ini, dirinya hanya mencoba tegar dan menerima semuanya. Ia mencoba untuk terus diam terhadap semua perlakuan ayahnya pada dirinya juga pada ibunya.

Karina terlalu lemah. "Padahal semua udah mulai baik-baik aja, kenapa sih masalah datang lagi!? Padahal gue udah mulai nyaman kerja di tempat musuh gue! Padahal..." Karina kembali menangis dalam diam.

Dadanya kembali terasa sesak. Ia tak punya siapapun, dirinya tak punya pegangan untuk kembali melangkah. Karina terlalu hancur untuk kembali membuka mata dan melihat dunia.

Malam itu, Karina malah mengingat lagi kejadian yang sama sekali tidak ingin ia kenang. Kenangan yang terus membuat luka di benaknya. Perceraian kedua orang tuanya.

Flashback On

"Ma, kenapa kita pindah?" tanya Karina pada ibunya di dalam bus.

Hani tak menjawab dan bergerak menggenggam tangan putri semata wayangnya. "Untuk mulai kehidupan baru, Rin. Mama harap kamu mengerti, ya? Kita sekarang akan bebas, sayang."

Karina mengeryitkan dahinya. "Bebas dari apa, Ma?"

"Ayah kamu."

Bibir Karina tertutup rapat. Ia tak mampu lagi menanyakan hal lainnya. Ternyata hari yang paling ia takuti tiba. Karina pikir alasan kepindahannya adalah karena pekerjaan ayahnya, Ridwan, di pindahkan.

Dalam diamnya, Karina memandangi luka lebam di bagian leher juga sudut bibir ibunya. Perlakuan ayahnya memang tak bisa di maafkan, kekerasaan yang ia lakukan tidak bisa Karina anggap wajar.

Karina menahan tangisnya habis-habisan. "Mama tenang aja, pas semua udah membaik, Karina bakal nyari kerja yang bisa dapat banyak uang."

Hani tersenyum mendapati anaknya yang sangat ia sayangi tersenyum hebat. Keduanya tiba di sebuah rumah yang minimalis. Netra Karina tak henti-henti memandangi bangunan kecil namum indah di hadapannya.

"Sini masuk," ucap seorang wanita yang usianya tak jauh beda dari ibu Karina.

"Ayo, Nak." Hani mengajak Karina masuk juga dengan penuh senyuman.

Karina berpikir keras, kenapa ibunya masih bisa tersenyum kepada wanita itu, Riana. Mau tak mau Karina putuskan untuk ikut masuk. "Ma, kenapa kita harus masuk ke rumah wanita itu!?" tanya Karina kelewat kesal.

"Hei, jangan gitu. Dalam hukum dia juga ibu kamu," ucap Hani.

"Ibu Karina apaan, ibu Karina cuman satu. Ibu doang!"

"Kamu! Jadi anak tuh jangan ngelawan ke orang tua ya! Dasar anak kurang ajar!" bentak Riana.

Karina mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rasa kesalnya sudah menjalar ke seluruh saraf di tubuhnya. "Maksud tante apa bilang saya kurang ajar!? Yang kurang ajar itu tante yang udah ngerebut kebahagiaan saya sama ibu saya! Kalian semua yang kurang ajar!"

"Karina."

"Mama, jangan marah sama kakak, ya?" ucap seorang gadis yang usianya selisih 4 tahun dengan Karina. Gadis yang sangat feminim dan tutur katanya yang lembut.

"Kakak mungkin lagi cape jadi marah-marah. Mama jangan ikutan marah, maafin Kakak, ya?" ucap gadis itu, Luna.

"Lo gak usah bela gue! Gue gak butuh!"

Hani menarik pelan tangan Karina agar berdiri di belakangnya. "Karina!" teriak Ridwan yang baru masuk.

"Kamu gak usah bilang yang tidak-tidak di sini!" bentak Ridwan.

"Pa... Kan mereka yang salah bukan Karina, kenapa malah Karina yang..."

"Cukup, Karina! Kamu itu udah besar!"

Bibir Karina tertutup rapat. Tenggorokannya terasa sangat kering disertai dada yang menjadi sesak. "Papa," gumam Karina pelan sambil menahan tangis.

Setelah pertengkaran yang melibatkan Karina selesai, semua orang di sana masuk ke ruang tamu kecuali Karina dan Luna. Kedua anak gadis itu duduk terdiam di kamar Luna.

"Mas, maksud kamu apa? Dia siapa? Kenapa aku sama Karina kamu suruh dateng ke rumah ini?" tanya Hani pada suaminya.

"Saya istri pertama Mas Ridwan. Maaf kalo baru ngasih tau karena ini rahasia keluarga kami," balas Riana.

Hani mengernyitkan dahinya bingung. "Maksudnya? Mas, maksudnya gimana?"

"Kamu istri kedua saya. Kenapa begitu? Karena 18 tahun yang lalu saat Riana menikah dengan saya kami belum juga di karuniai momongan, alhasil kami putuskan buat nikah lagi. Dan ya, kamu yang beruntung."

Ridwan menjelaskan dengan sangat ringan, seolah ucapannya bukanlah sebuah sayatan pedang di hati Hani.

"Saya akan mengurus perceraian kita, kamu sama Karina bisa tinggal di kota ini. Untuk biaya juga akan saya tanggung sebagai bukti pertanggungjawaban atas fakta yang saya sembunyikan," ucap Ridwan.

Hani bisa rasakan pipinya membasah, ia tak sanggup lagi mendengar setiap kata yang selalu lolos menyayat hatinya.

Di sisi lain, Karina merasa jengkel pada Luna yang selalu memperhatikannya. Ia tak henti menatap setiap inci Karina. "Ngapain sih lo? Risih tau gak!?" ketus Karina.

"Maafin Luna, Kak. Kak Karina cantik banget soalnya. Itu alasannya Papa betah tinggal sama Kakak, ya?" ucap Luna.

"Heh, asal lo tau. Papa itu ayah gue dan bukan ayah lo. Jadi stop bilang kalo kita itu satu ayah!"

"Itu bener, Kak. Mama bilang kita satu ayah. Dan jadinya, karena kita adik kakak Luna boleh kan jadi 'pengganti' kakak di hidup Papa?"

Luna menekan dengan jelas kata 'pengganti' yang terus tergiang di pikiran Karina. "Kalo gitu, Luna mau bikin minuman dulu buat Kakak, ya?"

Karina masih duduk termenung. Wajah lugu Luna sangat berbanding terbalik dengan tutur katanya. Karina camkan dalam hati agar selalu waspada pada gadis licik itu. Tak berselang lama, Luna datang dengan dua gelas susu cokelat panas di tangannya.

Karina tak menoleh sedikit pun. "Kak," panggil Luna.

Karina menoleh. "Kita lihat siapa yang akan Papa sayang." Seraya tersenyum miring, Luna tumpahkan susu cokelat panas itu ke tubuhnya dan berteriak.

Pecahan gelas terdengar sangat jelas beserta teriakan dua gadis dalam kamar itu. Karina ikut berteriak dan membulatkan matanya kaget melihat tingkah Luna barusan.

"Lo apa apaan!?"

"Karina! Luna!" panggil Ridwan yang langsung membuka pintu kamar.

"Karina, kamu ngapain adik kamu!? Kamu mau bikin adik kamu dalam bahaya iya!?" bentak Riana.

"Karina..."

Karina menggeleng kuat. "Karina enggga ngelakuin apa-apa. Dia sendiri yang nyiram susu panas itu ke badannya!" bela Karina.

"Ma, Pa, Tante. Jangan marah sama Kakak, ya? Kak Karina mungkin gak sengaja tumpahin susu cokelat yang udah Luna buat. Luna gak papa kok." Luna tersenyum sembari menghadap kedua orang tuanya.

Amarah Karina sudah tak bisa ia tahan lagi, Karina kemudian membanting setiap barang yang ada di dekatnya kemudian berjalan keluar kamar. "Asal kalian tahu, Gue gak suka susu cokelat!"

"Karina!"

Flashback off

Karina membuka matanya saat cahaya mulai masuk melalui jendela kamarnya. Ternyata sudah pagi, dirinya tertidur dalam posisi duduk persis seperti kemarin malam.

Ia berjalan perlahan menuju cermin, matanya bengkak. Karina menghembuskan nafas gusar. jika kondisinya seperti ini, bagaimana bisa ia pergi bekerja?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status