"Terima kasih atas kedatangannya." Marcel menjabat tangan setiap orang yang hendak keluar setelah meeting selesai.
"Terimalah ini sebagai tanda terimakasih dari saya. Hanya kopi, tapi semoga bermanfaat, ya." Marcel dan Karina membagikan kopi kepada seluruh partner meeting. "Pak Marcel baik banget, padahal yang hadir lumayan banyak loh, Pak." "Eh tidak apa-apa, ini saya bawakan lagi takutnya ada yang tidak kebagian," ucap Kayla sembari membawa beberapa kopi lagi. "Tapi bukankah terlalu berlebihan jika uang perusahaan dipakai untuk barang yang tidak terlalu penting?""Tenang saja, ini pakai kartu kredit pribadi Pak Marcel!" ujar Kayla kegirangan. Setelah beberapa yang hadir meninggalkan ruangan, kini tinggal Marcel dan Karina juga tamu lainnya yang masih bersiap-siap atau hanya sekedar mengobrol dengan sesama. "Pak Marcel baik-baik saja kan?" tanya salah seorang di sana. Marcel tersentak. "Saya baik, tenang saja. Sepertinya akhir-akhir ini saya hanya kurang tidur saja," ucap Marcel. Selama meeting berlangsung, Karina bisa perhatikan raut gelisah Marcel yang sepertinya menyimpan banyak masalah. "Pak Marcel." Marcel menoleh ke arah Karina, ia melempar tatapan penuh tanda tanya padanya. "Kerjaan numpuk," ucap Karina sambil terus berjalan melewati Marcel. Marcel menghela nafas frustasi. Ia mengusap wajahnya kasar kemudian ikut berjalan menuju ruangannya. Saat masuk, bisa ia lihat tumpukkan dokumen di meja kerjanya. "Dokumen apa itu?" tanya Marcel, karena sebelumnya ia tidak merasa punya tugas tambahan. Karina menjawab, "Kayla mengajukan beberapa idenya untuk produk baru perusahaan kita, dia juga mengirimkan beberapa idenya yang lain. Dia hanya menunggu persetujuan dari kamu." "Kamu sudah baca idenya?" "Udah. Kalo belum, ngapain juga aku minta persetujuan kamu!" ketus Karina. Walau begitu, ia tetap selalu berhati-hati. Takutnya tiba-tiba Marcel memotong gajinya. Marcel meraih salah satu dokumen ide Kayla yang Karina katakan. Ia baca sedikit demi sedikit takut ada yang tidak ia mengerti. "Kamu setuju sama proyek produk baru ini?" tanya Marcel. Karina mengangguk. "Setuju. Ide Kayla gak seburuk itu kan buat kamu setujui? Produk kali ini juga pasti menarik minat konsumen luar negeri," ucap Karina penuh semangat. Marcel terdiam sambil memandangi kertas itu. Ide Kayla di produk baru ini memang bagus dan bisa lebih membuat perusahaan jadi lebih terkenal lagi. "Baiklah, kita kerja lembur untuk beberapa persiapan." Marcel kembali membaca dan memeriksa dokumen lainnya. "Siap, Bos!" "Gue harus bisa kerja keras biar gajinya juga gede. Gue harus punya banyak uang dan tabungan!" gumam Karina dalam hati. Ia menjadi lebih bersemangat dengan tujuannya kali ini. ¤¤¤Marcel masuk ke dalam ruangan dengan dua kopi hangat juga sandwich daging di tangannya. Ia berjalan menuju meja Karina yang sama sibuknya dengan dirinya. "Buat kamu. Malam ini harus selesai," ucap Marcel seraya memberikan kopi juga sandwich tadi. Karina menatap Marcel. "Pantes ngasih sesuatu, ada maunya." "Makasih," lanjut Karina. Marcel mengangguk dan kembali ke meja nya. Sedangkan Karina, ia beristirahat sejenak dan mulai melahap sandwich pemberian Marcel. "Ini beli dimana? Kok enak?" tanyanya. "Cafe nya Qia." "Baru tahu ada yang kayak gini, tau gini mah setiap hari gue mau beli!" ujar Karina kemudian kembali melahap makanan enaknya. Saat sedang bersantai dengan mulut penuh, Karina mendapati ponselnya berdering di atas meja. "Marcel, gue boleh angkat telepon bentar gak?" "Boleh." Ia angkat teleponnya, rupanya dari Hani. "Iya, Bu?" "Kamu kapan pulang, Rin?" tanya Hani dari seberang telepon. "Agak malem, Ma. Karina lembur hari ini, gak papa, ya?" Hani terdengar menghela nafasnya, "Iya, Rin. Hati-hati di jalannya, ya?" "Iya, Ma." Sambungan telepon terputus dan Karina meletakkan kembali ponselnya di atas meja. "Siapa?" tanya Marcel walau tak menunjukkan wajahnya. Karina mengernyit, "Harus banget, ya, gue kasih tau siapa yang telepon gue?" Marcel menjawab, "Harus. Karena itu menganggu waktu kamu bekerja." "Ibu gue, kenapa?" Marcel terkekeh pelan. "Sama kayak waktu itu, ya, Rin. Khawatiran banget si." Karina membuang muka saat mengingat apa yang Marcel katakan. Mereka berdiam sambil bekerja. Tak ada percakapan setelahnya. Hingga waktu berlalu begitu cepatnya.Marcel bangkit dari duduknya. "Udah, Rin. Udah jam 9, kamu lanjut besok aja," ucapnya. "Jam 9? Cepet banget!" Marcel keluar dan meninggalkan Karina yang masih sibuk membereskan tempatnya. Ia kemudian berlari keluar karena takut akan ketinggalan kendaraan. Ia berjalan cepat menuju pintu utama perusahaan. Hari sudah malam, jalanan juga terlihat sepi tanpa kendaraan. Karina menggigit bibir bawahnya. Hingga suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. "Masuk, gue anter." Marcel membuka kaca mobilnya. Karina mengerutkan dahinya bingung, "Gak papa, gue bisa pulang sendiri," tolak Karina. Melihat lawan bicaranya hanya terdiam, Marcel bangkit dan keluar dari mobilnya. Tangan kanannya meraih tangan Karina dan langsung membawanya masuk ke kursi mobil. "Udah malem, lo cewek dan bahaya kalo malam-malam begini pulang sendiri. Lo pikir gue bos apaan yang nyuruh pegawainya pulang sendiri malem-malem begini?" Karina hanya mampu terdiam menatap Marcel yang melangkah menuju kursi pengemudi. Ia lihat sekeliling mobil, bersih dan harum. Sepertinya Marcel sangat menjaga barangnya. Namun ada sebuah benda yang menarik perhatiannya, lipstick dengan merk yang cukup terkenal. Karina menunduk, ia merutuki dirinya sendiri yang sempat berpikiran jika Marcel mengkhawatirkannya. "Kayak waktu itu, depan gang aja." Karina tak menoleh sedikit pun, begitu juga dengan Marcel yang tak menjawab apapun. Keduanya hanya merasakan kecanggungan selama perjalanan. Padahal biasanya, tak pernah ada rasa canggung antar keduanya. Tak terasa, keduanya sampai di gang rumah Karina. Marcel cepat-cepat berlari menuju pintu Karina dan membukanya. "Makasih," ucap Karina. Marcel mengangguk dan menyuruh Karina untuk segera pulang. Ia perhatikan setiap langkah Karina yang semakin menjauh darinya. Terasa sangat deja vu. Setelah Karina benar-benar menghilang dari pandangannya, Marcel putuskan untuk kembali menjalankan mobilnya. Karina tiba di rumahnya dengan perasaan lelah. Ia harapkan ibunya sudah tidur agar ia juga bisa istirahat dengan tenang. Saat Karina tiba di depan pintu utama, ia dengar ada suara lain dari dalam rumahnya. Tanpa pikir panjang, Karina langsung membuka pintu. "Karina!" ucap ibunya yang sedikit terkejut. "Kenapa anda dan putri 'kesayangan' anda ada di sini?!" tanya Karina penuh emosi. Tatapannya menatap tajam ke netra hitam milik laki-laki yang diketahui adalah ayahnya. Ia sudah sangat muak menatap wajahnya hingga Karina putuskan untuk cepat-cepat mengusir keduanya. "Karina, ayah kamu datang dengan baik-baik. Bagus kamu memperlakukan kami seperti ini!?" balas Ridwan, sang ayah. "Hah? Ayah? Ayah mana yang ninggalin anaknya demi perempuan penggoda itu!" "Rin, sudah," ucap Hani meredakan amarah Karina. "Pa, Kak Karina mungkin lagi cape jadinya bilang kayak gitu. Papa gak usah marah, ya?" bela Luna, adik tiri Karina. "Diem lo, anak sialan! Lo gak pantes bela gue kayak gitu! Lo sama ibu lo itu sama aja, tukang rebut!!" "Karina!" Plak! Mata Hani juga Karina melotot. Karina meneguk salivanya kasar, ia tak percaya apa yang barusan ayahnya lakukan padanya. Sebuah tamparan yang sangat melukai hatinya. Ia tatap perlahan wajah ayah yang selalu ia rindukan. "Pergi!" Semuanya terdiam. Karina sudah sangat lelah menghadapi ayahnya yang semakin mirip orang gila. Hanya keluarga ayahnya saja yang sepertinya sangat membencinya. "Saya bilang keluar! Orang gila kayak kalian gak berhak nginjak rumah ini! Keluar!!" teriak Karina sambil berlalu meninggalkan semuanya. Ia masuk ke kamarnya dengan dada yang sesak, air matanya lepas membasahi pipi. Ia terduduk dan menopang kepala dengan kedua tangannya. Karina hancur malam itu, bersamaan dengan kenangan manis bersama keluarganya duluMinggu terakhir di bulan itu, Marchel mencoba untuk menyendiri lebih dulu. Di teras lantai dua rumahnya, terlihat sudah secangkir kopi dan biskuit yang menemani Marchel untuk kali ini.Dia sama sekali tidak ingin terlalu banyak pikiran setelah beradu debat dengan orang terdekatnya di kantor, Daniel.“Aku sama sekali tidak menyesal mengeluarkan dia. Harusnya dia yang menyesal karena sudah aku keluarkan di perusahaanku,” ucap Marchel sambil memandang ke arah taman rumahnya.Meskipun pikiran sedang ruwet, tetapi Marchel bukan lah orang yang suka menyesap sigaret. Dia selalu saja membiarkan dirinya termenung dan mengisitrahatkan pikirannya.“Benar, aku harus segera menjelaskan kepada mama secaptnya,” ucapnya.Pagi hari itu memang sudah dijadwalkan oleh Marchel untuk berbicra empat mata dengan Tania. Meskipun di balik itu semua Kayla tetap saja ragu dan takut kalo saja mama bisa marah atas tindakan yang dilakukan oleh kakanya.Karena tidak mendapat izin untuk berunding, Kayla hanya
Hari ini sesuai dengan janji Marchel, dia akan membawa Karina datang ke rumahnya. Semua dilakukan agar Tania atau mama kandungnya sendiri yang harus segera mengetahui semua sebelum Rosa berulah lagi.“Dengarkan aku, Karina,” ucap Marchel sambil memegang tangan Karina yang dingin karena merasa gugup sudah berada di depan rumah Marchel.“Mama tidak menakutkan seperti yang kamu pikirkan. Dia orang yang punya empati yang tinggi dan bisa melihat masalah dari berbagai sisi.Jadi, tolong berikan citra positif dan yakinkan dia bahwa kamu bukan orang yang sembarangan dan semua tuduhan itu salah,” ucap Marchel meyakinkan.Karina hanya memandang ke arah Marchel dengan dalam lalu menghela napas dalam saat melihat pintu rumah Marchel masih tertutup rapat.Karina mengangguk dan melepaskan seat belt lalu turun berdampingan dengan Marchel masuk ke rumah tersebut.Agenda ini memang sudah dijadwalkan untuk Karina sendiri karena Tania juga siap untuk menerima penjelasan dari karina.Dari situ,
“Apa benar kamu mengajak wanita itu ke hotel, Marchel!” Teriakan itu membuat salah satu asisten rumah tangga di rumah Marchel langsung kembali mengambil alat pel dan keluar dari ruangan tersebut.Satu kalimat yang tinggi itu sontak membuat Kayla langsung berdiri menghadap mama nya sendiri. Termasuk Mmarchel yang juga tidak tau apa tuduhan yang selanjutnya diterima kepadanya.“Apa maksud—”“Berhenti, Marchel!” bantah Tania dengan menodong tangannya ke arah anak pertamanya itu. Sekian dirinya mulai mendapat kabar tentang hotel yang diberikan oleh Rosa berupa sebuah foto.“Sekarang, jawab jujur kepada mama! Apa yang kamu lakukan dengan wanita murahan itu di hotel hah!” bantah Tania.Marchel langsung menggeleng kepalanya karena tidak ingin mendengar Karina mendapat tuduhan wanita seperti itu.Dia pun sadar bahwa mama nya belum bisa mengontrol emosinya atau memang masih mendapat teror dari mertuanya sendiri.“Mah, sekarang Marchel mau jelasin dulu. Mama tenang dulu, duduk di sini
Tuduhan kesekian kalinya membuat Tania sedih. Rosa dan Anita selalu saja datang saat dirinya tak ingin mengharapkan itu.Terlebih lagi soal Marchel yang dituduh menginap di hotel dengan Karina. “Ini benar sesuatu yang tidak bisa aku terima. Apa benar Marchel itu melakukan hal itu?” pikir Tania di dalam hatinya.Pagi menuju siang itu membuat Ttania sedikit pening. Dia pun langsung menutup pintu rumah dan beristirahat sejenak.Kayla, yang sudah mengetahui semua masalah itu pun mengelak bahwa Kkarina tidak mungkin berbuat demikian.“Kak, kamu harus segera bilang ke mama. Aku tidak biasa mendengar tudahan seperti ini. Apalagi ini juga menyangkut kedua keluarga besar.Aku takut citra kakak pasti jelek di antar keluarga mereka,” ucap Kayla kepada Marchel saat berada di ruang tengah.“Sudah pasti, Kayla. Citra kakak sudah hancur saat itu juga. Aku tidak percaya Mama Rosa akan mengatakan hal ini kepadaku terlebih soal tuduhan itu.Ini sangat berbahya buat diriku sendiri dan semua mas
“Kamu gila Marchel! Ngapain wanita penggoda itu malah mau kau jadikan sebagai istrimu?” tanya Tania dengan membentak.“Aku sama sekali tidak pernah setuju mama bilang dia adalah wanita penggoda. Sekarang, tenangkan semua emosi mama.Aku akan menceritakan semuanya dengan jelas. Dengan bukti. Bukti siapa yang menyebarkan video itu dan siapa dibalik dalang semua ini,” tegas Marchel.“Mama tidak—”Tiba saja Marchel langsung keluar dari ruangan tersebut. Percakapan pun berakhir karena Marchel tau jika nantinya ucapan itu akan diteruskan, pasti tidak ada jalan temunya.Semua yang dijelaskan olehnya akan sia-sia saja karena Marchel tidak mau berdebat dengan Tania yang masih marah.Untuk menghindari hal itu, Marchel langsung keluar dari ruangan utama. Kembali ke rumahnya di pagi hari setelah menjalankan satu hari weekend di rumah.Tania memang belum menyentuh rumah Marchel dalam seminggu setelah kasus itu terjadi. Dia merasa sangat gagal mendidik Marchel dan masih terpengaruh oleh uca
“Jadi, dia membayar upah untukmu?” “Maaf, Pak Marchel … Say—”“Berhenti! Mulai sekarang, kamu saya berhentikan kerja di sini. Urus semua data ke HRD hari ini juga! Saya tidak mau tau!” Percakapan singkat itu membuat Marchel semakin geram kepada petugas cctv yang selama ini dia percayai. Bagaimana tidak, petugas tersebut menerima upah dari Daniel untuk meminta salah satu video yang sampai saat ini sudah tersebar.Kecewa yang sangat mendalam itu pun akhirnya membuat Marchel semakin murka. Dia berjalan dnegan langkah yang lebar denganw ajah yang kesal.Bukan kembali ke ruangan kerjanya melainkan ke ruangan HRD. Di dalam ruangan itu, Marchel benar-benar sudah bulat untuk menyampaikan apa yang dia inginkan.“Sekarang, atas nama Daniel. Buat suarat PHK untuknya. Urus semua adm dan segalanya hari ini juga. Saya tidak mau tau, sekarang surat itu harus turun ke Daniel!” gugat Marchel.HRD perusahaan pun kaget melihat emosi Marchel yang mendadak. Dia tidak tau apa yang sedang terjadi, sehingg