"Apakah tidak ada keringanan?! Aku pasti akan segera melunasinya!"
“Halo?! Fuck! Damn it!!” BRAK!! Teriakan Vincent dan suara keramik pecah membuat Elena berdiri dengan gelisah di depan pintu ruang kerja suaminya. Di tangannya ada nampan berisi secangkir teh yang masih mengepul, tapi dia ragu-ragu untuk masuk. Sebab, setelah beberapa kali dipanggil, pria itu tak kunjung memperbolehkannya masuk ataupun membukakan pintu. ‘Apa terjadi sesuatu?’ pikir Elena. Belakangan waktu ini, suaminya memang terlihat menyimpan masalah besar karena sikapnya yang tidak tenang. Elena tak tahu kenapa, karena Vincent sama sekali tak pernah mengajaknya berdiskusi. Tepatnya, semenjak menikah dengan pria itu, Vincent sama sekali tak pernah mengajaknya bicara lebih dari beberapa kata. Kali ini suara lemparan kursi terdengar hingga membuat Elena menggigit bibirnya pelan. "Vincent?" panggil wanita itu lagi. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Vincent. Oleh karena itu, Elena pun memberanikan diri untuk membuka pintu dan menyembulkan wajahnya ke dalam ruangan. Mata Elena membelalak karena kini ruangan yang biasanya rapi dan berdesain aristokrat itu kini tak ubahnya seperti kapal pecah. Tanpa berpikir panjang, Elena berlari masuk untuk menghampiri Vincent yang kini berdiri di depan jendela dengan tangan mengeluarkan darah. “Vincent?! Apa yang terjadi?!!” Sebelum Elena sempat masuk lebih jauh, Vincent sudah lebih dulu berbalik dan menatapnya dengan penuh amarah. “Siapa yang mengizinkan kamu masuk, sialan?!” Elena berhenti berjalan. "Maaf… Aku hanya ingin memberikanmu teh...” Vincent melirik sekilas ke arah teh itu sebelum menghujani Elena dengan tatapan membunuh. "Apa gunanya tehmu itu kalau tidak bisa menyelesaikan masalahku, hah?!" Elena terkejut, tapi kemudian dia memberanikan diri untuk menyodorkan teh itu kepada Vincent. "I–ini teh Chamomile. Seharusnya bisa membuatmu berpikir lebih jernih, karena kamu- AKH!!" Belum sempat Elena menyelesaikan ucapannya, Vincent telah lebih dulu menepis kasar tangan wanita itu hingga tersiram teh panas. “Aku tidak butuh!!” Rasa perih yang diterima oleh Elena membuat air mata mulai menuruni pipi, terlebih ketika perlahan kaki putihnya memerah dan mulai menunjukkan reaksi terbakar. Meski begitu, Elena buru-buru menghapus air mata itu dan berbalik. “Kalau begitu aku akan membuatkanmu kopi–” “Diam di situ!” Langkah Elena berhenti. Saat kembali menghadap Vincent, Elena melihat pria itu yang kini tengah memandang ponselnya dengan seringai lebar. Vincent lantas menarik tangan Elena mendekat dan memindai tubuh wanita itu dari atas ke bawah secara berulang. “Daripada kopi, akan sangat menyenangkan kalau kamu bisa melakukan sesuatu untukku, Elena.” Elena terdiam dan perasaannya mendadak merasa tidak enak. “Apa maksudmu?” “Gunakan tubuhmu dan puaskan Alvaro, karena pria itu menginginkanmu. Dengan begitu hutangku akan lunas.” Elena tertohok dan kini air mata kembali meluncur turun dari pipinya. Dia tak menyangka jika Vincent akan tega menjual dirinya. “Kamu gila!!” Elena mundur dua langkah. “Gila?” Vincent terkekeh sinis. “Tidak tahu diri. Bukankah sejak awal kamu dan keluargamu sudah menghisap banyak uangku?” Jawaban Vincent membuat Elena terdiam di tempat. “Lalu, apa kamu lupa kalau ibumu yang sekarat itu sedang bergantung pada kerendahan hatiku?” lanjut Vincent lagi yang berhasil membuat Elena tersengal. Sosok ibunya yang kini terbaring dengan berbagai macam alat kehidupan membuat Elena jatuh terduduk. Pria itu benar. Nyawa ibunya memang berada di tangan Vincent. Kini Elena merasa dirinya semakin terjebak dan perasaannya semakin sesak sementara dirinya sama sekali tak punya kuasa untuk melepaskan diri. “T-tapi, aku ini istrimu, Vincent!" Elena berseru dengan lirih. “Kumohon jangan perlakukan aku seperti ini..” “Jangan tidak tahu diri, Elena!! Sejak awal, kamu hanya istri di atas kertas.” Vincent langsung menjawab dengan dingin sembari bersiap untuk berjalan pergi. “Ingat. Pernikahan kita hanya sandiwara dan aku tak pernah mencintaimu. Oleh karena itu, bergunalah sedikit dan layani Alvaro!!” Mendengar itu, Elena terisak semakin kencang. Sejak awal, pernikahan mereka memang hanyalah sebuah sandiwara yang pria itu ciptakan demi mendapatkan warisan dari orang tuanya. Sebagai timbal balik, Elena akan mendapat perawatan intensif untuk ibunya. Tapi bodohnya, selama ini dia pikir Vincent akan berubah dan menganggapnya sebagai seorang istri sejalan waktu. Ternyata dia salah… Pria itu sama sekali tak pernah peduli padanya, apalagi mencintainya. Sebelum pergi, Vincent mengambil ponsel dan menelepon sekretarisnya. “Ya, carikan aku pakaian yang seksi. Ukuran M. Ya, aku tunggu dalam satu jam.” Setelah telepon itu terputus, Vincent berkata lagi kepada Elena. “Saat Jose datang, pakai apa pun yang dia berikan padamu. Aku tak mau mendengar adanya penolakan.” Satu jam kemudian, Elena sudah berdiri di hadapan Vincent dengan mengenakan gaun backless bertali spageti yang mengekspos bagian punggung, belahan dada, dan pundaknya. Gaun hitam itu terlihat menantang karena jika tali yang diikatkan pada pundak Elena ditarik, maka akan langsung jatuh tanpa ada hambatan. “Apa kita bisa menggantinya dengan gaun lain?” Elena berkata dengan perasaan tidak nyaman. “Aku merasa ini terlalu…seksi..” Tangan gadis itu lantas menarik bagian depan untuk mencoba menutupi dadanya, sedangkan satu tangannya lain berusaha untuk menutup bagian pundaknya yang terbuka. “Apa maksudmu?” jawab Vincent sambil mendelik tak suka. “Gaun itu sudah bagus. Sebagai penebus hutang, kamu memang harus terlihat menggoda, Elena.” Vincent kemudian menatap Elena dari kepala hingga kaki, seperti hendak memastikan bahwa penampilannya layak untuk dijual. “Baru dengan begitu, Alvaro bisa tertarik padamu.” Tindakan suaminya itu membuat Elena membuang muka, merasa terhina. Namun, ia hanya bisa menelan emosinya bulat-bulat karena tak sedang berada di posisi yang bisa menolak atau membantah. “Tuan, anak buah Alvaro sudah datang menjemput Nyonya Elena.” “Kami akan segera keluar.” Vincent menjawab. Setelah langkah kaki pelayan itu pergi, Vincent kembali menghadap ke arah Elena dan berkata pelan. “Ingat, Elena. Kalau kamu tidak mau melakukannya dan tau berbuat macam-macam, jangan salahkan aku kalau kamu akan segera menerima berita kematian ibumu. Paham?” “Ya.” Elena membalas perkataan Vincent dengan nada suara yang gemetar. “Tidak perlu kamu ingatkan lagi.”Awan mendung menggantung rendah di atas area pemakaman. Rintik hujan tipis turun seolah turut merasakan duka yang membekap hati Elena. Di sisi liang lahat, Elena berdiri kaku, mengenakan pakaian serba hitam. Wajahnya pucat, matanya sembab, namun kali ini ia tak lagi menangis.Di sebelahnya, Alvaro menggenggam tangannya erat, tak melepaskan sedetik pun. Ia menjadi satu-satunya penopang Elena sekarang.Elena menatap nisan baru itu, bibirnya bergetar pelan. "Istirahatlah dengan tenang, Bu… Aku akan hidup lebih baik meski tanpamu."Setelah upacara selesai, Alvaro membawa Elena pulang. Sepanjang perjalanan, Elena bersandar di pundaknya dan terlihat hanya diam. Sesampainya di rumah, Alvaro mengajak Elena duduk di ruang tamu. Ia merogoh saku jas dalamnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru biru tua.“Ini…” ujarnya pelan, lalu menyerahkan kotak itu ke Elena.Dengan tangan gemetar, Elena membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah cincin emas putih sederhana dengan satu mata ber
Elena masih memberontak di pelukan Alvaro, tangisnya tak kunjung reda. Namun sesaat kemudian, pintu kamar terbuka cepat. Seorang dokter bersama dua perawat masuk dengan langkah tergesa.“Pak, kami harus memberinya penenang,” ucap dokter itu tegas.Alvaro mengangguk cepat dan menyingkir perlahan, meski tangannya masih menggenggam tangan Elena erat-erat.Perawat segera memegangi tubuh Elena. “Tolong tenang, Bu Elena.”Dokter lalu menyuntikkan obat penenang ke lengan Elena. Tubuhnya masih sempat menegang, bibirnya mengucap lirih, “Aku mau Ibu… Aku mau Ibu aku…”Namun perlahan, efek obat itu mulai bekerja. Tubuh Elena melemas, tangisnya melemah menjadi isakan, dan akhirnya matanya tertutup. Hening.Alvaro berdiri terpaku, menatap wajah pucat Elena yang kini terbaring tenang di ranjang. Perasaannya hancur, namun ia berjanji akan menemani Elena melewati masa-masa sulitnya ini. Alvaro pernah merasakan sakitnya kehilangan saat dia ditinggal ibunya. Tetapi mungkin, rasa sakit itu tak seberapa
Telepon di tangan Elena hampir terjatuh. Wajahnya seketika pucat pasi, tubuhnya limbung.Melihat perubahan drastis di wajah Elena, Alvaro dengan sigap memegang kedua bahunya. "Apa yang terjadi?"Elena menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Suaranya bergetar saat menjawab, "Ibuku... kritis. Aku harus ke rumah sakit sekarang."Tanpa banyak bertanya lagi, Alvaro langsung meraih kunci mobil dari saku jasnya. "Ayo. Aku antar kamu."Elena mengangguk cepat, cemas. Alvaro menggenggam tangan Elena erat-erat, memberikan kekuatan tanpa berkata apa-apa, lalu mereka berdua bergegas keluar dari ruangan.Di lorong, Jose yang baru saja lewat, melihat mereka dengan heran. Tapi saat menangkap ekspresi panik atasannya, dia segera tahu bahwa ada yang tidak beres. Karena itu, dia hanya menunduk tanpa berkata apa-apa, membiarkan mereka melewatinya begitu saja.Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Elena hanya bisa menggenggam erat sabuk pengaman, bibirnya terus-menerus bergumam dalam hati,
Elena diam di tempat. Matanya menatap Alvaro tanpa ekspresi. Alvaro yang tidak sabar, berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Elena. Tanpa aba-aba, pria itu langsung mengangkat tubuh Elena di pundaknya bak sebuah karung beras. “Lepaskan, Al. Kita sedang di kantor.” “Tidak peduli,” seru Alvaro. Teriakan Elena tak cukup untuk membuat pria itu menghentikan aksinya. Dari semalam dia sudah menahan diri, sekarang saat masalah sudah selesai. Elena masih bersikap dingin padanya. Itu membuatnya sangat marah. Elena meronta di atas pundak Alvaro, tangannya memukul punggung pria itu dengan sia-sia. "Alvaro! Turunkan aku sekarang juga!" Tapi Alvaro tetap berjalan dengan langkah besar. Para karyawan yang kebetulan lewat di lorong terkejut tapi tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa orang buru-buru menunduk, pura-pura tak melihat. Dengan wajah datar nan tegas, Alvaro membuka pintu lift dan masuk sambil tetap menggendong Elena di pundaknya. Begitu pintu lift menutup, suasana semakin panas. Al
Keesokan harinya, di dalam ruangan rapat direksi.Suasana ruang rapat terasa begitu menegangkan. Para petinggi duduk berderet dengan wajah penuh tanya. Sebagian berbisik pelan, sebagian lagi hanya sibuk melirik jam.Pukul delapan tepat, Alvaro masuk dengan langkah tegap, wajahnya terlihat serius. Di belakangnya, Jose membawa laptop dan map. Suasana hening seketika.Alvaro langsung memberikan isyarat kepada Jose. Jose pun mengangguk dan mulai berbicara. “Terima kasih sudah hadir dalam rapat hari ini,” suara Jose tegas. Ia berdiri di depan meja rapat, sedang Alvaro duduk dengan tatapan tak lepas ke arah Elena yang duduk di kursi paling ujung.“Menindaklanjuti kasus Elena kemarin, ada satu hal penting yang harus kalian lihat.” Jose bergerak cepat. Ia menyalakan proyektor dan menghubungkan laptopnya. Tak butuh waktu lama, layar besar di depan ruangan menampilkan serangkaian bukti.“Beberapa minggu terakhir, akun milik Elena digunakan untuk mengakses sistem keuangan perusahaan dari peran
Alvaro menatap layar ponselnya lama. Pesan singkat dari Elena membuatnya semakin gelisah.“Shit!”Ia menghubungi Jose lagi. "Percepat penyelidikannya!”"Saya mendapat sesuatu Tuan. Ada satu ha yang menurut saya sangatl mencurigakan. Saya sudah mengecek log IT minggu lalu. dan saya menemukan ada aktivitas login dari perangkat berbeda, menggunakan VPN, ke akun Elena. Di luar jam kerja."“Siapa?”Wajah Alvaro menegang. “Masih kami telusuri. Tapi… ada satu nama yang muncul beberapa kali di sistem audit internal. Asisten Delisa—Rani. Aku rasa dia tahu sesuatu.”“Cari dia! buat bicara!”“Baik.”Alvaro mematikan panggilan. Dia menatap lurus ke depan dengan tajam. Tangannya menggenggam setir kemudi dengan erat.***Di salah satu ruangan kecil yang biasa digunakan untuk istirahat staf, Rani duduk gelisah. Ia memainkan flashdisk kecil di tangannya. Berkali-kali ia menoleh ke pintu. Wajahnya cemas.Sejak kejadian siang tadi, ia tak bisa berhenti merasa bersalah. Ia memang tidak tahu apa-apa d