Share

TEA SOMMELIER GIRL ( GADIS PERACIK TEH)
TEA SOMMELIER GIRL ( GADIS PERACIK TEH)
Penulis: Lilyana R

Liputan ke Yogyakarta

“Yogyakarta, duh liputan? Ini tugas bisa nggak di canceled.” Sintia menepuk pundakku dari belakang membuatku melompat kaget dari kursi tempatku duduk.

“Awwwww.” Rintihku. "Kakiku masih belum kempes bengkaknya." Sintia pasti mendengar gerutuanku yang keras tadi.

Sorry Mbak, sorry…nggak sengaja. Habis dari tadi melamun terus sih!” Sintia mengambil kursi dari meja kerjanya. Ia duduk di sebelah kubikelku.

“Kamu ini gimana to Sin! Apa nggak bilang sama bos besar kalau kakiku bermasalah!” Rasanya ingin ku cubit keras pipi Sintia, biar dia kapok sudah mengumpankan aku di proyek mangkraknya.”Maksutmu apa Sin?Aku jadi penananggung jawab lapangan, liputan proyek acara di Yogyakarta?”

Sinta gelagapan melihatku ngomel-ngomel tidak jelas.

“Ngomong aja kalau kamu jealouse sama aku Sin! Nggak usah make acara nikung gini!” Rasanya otakku benar-benar mendidih. Mana kaki masih saja perih, dikasih tugas berat pula.

“Kita dah di tunggu di bawah sama crew lain, Mbak Ren! Semua perlengkapan and crew sudah siap tinggal nunggu Mbak Ren!”

“Semprul kamu, Sin! Kaki pincang gini kamu umpankan juga! Tega kamu Sin!”

Terpaksa aku meninggalkan kubikelku, berjalan dengan susah payah turun ke lantai satu setelah melewati lift. Aku merasa ada hal yang aneh. Jelas-jelas aku datang ke kantor hanya untuk mengecek pekerjaan crew siaran dan liputan. Mengapa justru aku yang harus turun tangan! Apa Pak Syaron nggak lagi percaya padaku?Aku bahkan memperlihatkan bengkak kakiku pada beliau saat tadi pagi video call.

Sintia memapahku perlahan. Rasanya benar-benar melelahkan menjadi pesakitan! Percuma saja menangisi keadaan tak akan mengubah apapun.

Semua crew liputan khusus yang akan di berangkatkan ke Yogyakarta sudah berkumpul. Hendra, si tampan blasteran Jerman bagian reportase. Sefa, si cantik asal Palembang di bagian teknis. Dito si kameramen beken, secara ia adalah selebgram tajir yang followersnya berjubel dan tarif endorsenya mahal. Pak Mardi senior pengarah acara.  Si usil Sintia di bagian wardrobe. Aku hanya bisa menghela nafas pasrah. Mereka semua terlihat mengasihaniku. Meskipun tiap hari aku mengomeli mereka. Tapi mereka tahu, jika semua ku lakukan demi kualitas siaran dan rating hasil produksi.

“Sintia hanya di perintah Pak Syaron, Mbak Ren. Bukan niatnya Sintia numbalin kamu!” Penjelasan Pak Mardi membuatku sedikit lega. Ternyata anak itu nggak berniat menikungku. Padahal aku sudah nethink duluan.

“Pak Mar. Kita kok nggak langsung berangkat, nunggu apa to Pak?” Tanyaku penasaran. Perasaanku mengapa berubah tidak enak. Wajah crew yang biasanya cerah hari ini mendadak seperti crew liputan khusus yang akan di kirim ke perbatasan Perang Ukraina-Rusia.

Sintia melihat ke arah pintu depan lobby. Pintu bergeser, sosok tinggi tegap itu mendekat pada kami.

“Siang semuanya. ready ke Yogyakarta?” Tanyanya datar dengan wajah dingin.

Aku malas sekali menengadahkan wajahku. Melihat sosok arogan di depanku. Fyuhhhh. Auranya terasa menyeramkan. Padahal aku hanya mendengar suaranya, bulu kudukku jadi berdiri semua.

“Kamu!” Pria yang berdiri tepat dua meter di depanku menunjuk ke arahku.“Berapa lama kamu jadi karyawan Baskoro Company? Nggak tahu aturan! Aturan buat di patuhi bukan di langar! Ngerti!” Bentaknya.

“Kakinya sakit, Pak!” Celetuk Sintia. Ia kemudian kicep dan menundukkan wajahnya.

“Sandal rumah dan di pakai di kantor? Teddy Bear lagi!” Ia berkelakar meremehkanku. Seketika wajahnya berubah merah padam menyeramkan!

”Ikut aku!” Perintahnya membuatku serasa menjadi terdakwa di atas kursi pesakitan. Ia berjalan meninggalkan lobi dan masuk ke ruang transit di sebelah lobi.

“Gimana nih Mbak Ren?” Sintia kalang kabut.

“Pak Gavrielle apa nggak di kasih tahu Pak Syaron to?” Kata Pak Mardi.

“Pak Mardi tolongin Mbak Renata dong.” Pinta Sintia.

“Temui saja Ren, turuti saja maunya. Kita ini sampah, mau mecat juga gampang buat beliau.” Ucapan Pak Mardi membuatku semakin gelisah.

“Semangat kak.” Ucap Dito.

“Aku padamu, Ren. Selamatkan crew kita.” Hendra mengacungkan jempolnya menyemangatiku. Sedang Sefa justru membuat mood-ku semakin ambyar. Matanya berkaca-kaca. Diantara crew liputan khusus, dialah yang paling sensitive dan mellow.

“Aku bantu ya, Mbak Ren!” Sintia memapahku.

Aku menggelengkan kepala. Kulepaskan tangannya perlahan. Aku berjalan pelan, menyeret kaki kiriku. Semakin mendekati ruang tamu transit, semakin jantungku berdegup kencang. Telapak tanganku mendadak dingin dan berkeringat. Langkah kakiku terasa semakin berat. Aku hanya bisa merapalkan doa sebisaku. Kutatap wajah teman-temanku. Pak Mardi menganggukkan kepalanya. Kudorong pintu kaca di depanku.

"Duduk perintahnya!” Pria arogan di depanku sedang duduk di sofa sembari menyilangkan kakinya. Ku akui ia memang tampan. Pahatan wajahnya bak dewa dalam mitologi Yunani. Postur tubuh suspeknya bisa membuat setiap wanita tunduk di bawah kakinya. Sayangnya, ia arogan dan semena-mena. Kutarik kursi itu perlahan dan aku mendaratkan tubuhku diatas kursi panas empuk itu.

“Re-na-ta At-ma-ja. Berapa lama kamu bekerja di kantor ini?” Sempat-sempatnya ia mengeja namaku. Menyebalkan.

“Lima tahun Pak!” Jawabku pelan.

“Ternyata seperti ini ya, dedikasi karyawan yang katanya di puja-puji sebagai karyawan teladan di kantor ini! Kamu punya mulutkan? Jawab!”

Seumur-umur baru kali ini aku di perlakukan buruk di kantor. Ia berpindah duduk di atas meja tepat di sampingku.

“Kamu cantik-cantik kok bisu? Sugar baby Papa jangan-jangan!” Ia menatap tajam ke arahku.

Sugar Baby! Kutampar wajah tampannya.

Plakkkkkkkk.

Masa bodoh kalau aku di pecat seketika.

“Saya karyawan biasa Pak! Saya akui, saya nggak punya jabatan, kedudukan, atau harta sebanyak yang Bapak punya. Asal Bapak tahu, kalau saya respek pada Pak Syaron karena saya sudah menganggap Beliau seperti ayah kandung saya sendiri.” Tanpa pikir panjang, aku keluar dari ruang transit tamu. Yang kupikirkan hanyalah keluar dari kantor dan pulang.

“RENATA…………” Teriaknya dari dalam ruangan.

Aku masih mendengar teriakan keras si bos arogan, Gavrielel Baskoro. Mendadak semua orang memperhatikanku. Mataku sembab. Aku sudah tidak memikirkan bagaimana riasan wajahku. Masa bodoh. Aku berlari meninggalkan lobi. Teman-teman satu crew-ku terlihat bingung saling menatap satu sama lainnya. Sampai di luar. Aku tidak tahu harus kemana. Kontrakan? Si bos gila itu bisa dengan mudah menemukanku.

“Taksi……..” Aku mendekat ke mobil yang sedang di parkir di badan jalan.

“Jalan!Cepat Jalan Pak!” Pikiranku kalut. Sudah jatuh ketimpa tangga. Andai aku di pecat. Aku terima. Tapi aku tidak terima harga diriku sebagai seorang wanita di lecehkan. Kalau bukan karena Pak Syaron mungkin aku masih berjibaku di kampus atau wara-wiri memasukkan CV ke setiap perusahaan di Jakarta. Ponselku berkedip. Nomor baru tertera di layar ponsel, ada 10x panggilan. Ku silence dering teleponku dan aku pun memasang mode pesawat. Masa bodoh dengan Gavrielle Baskoro!

“Mbak kita mau kemana?” Pertanyaan Pak Sartono mengagetkanku.

“Duh, saya bingung Pak!”

“Lhoh Mbak Renata mau kemana?” Pak Sartono tentu saja menunggu penjelasanku.

“Turunkan saya di taman terdekat, Pak.” Pak Sartono menggelengkan kepalanya.

“Mbak, tamannya masih jauh lho! Gimana? Kok ada mobil yang membuntuti kita?” Tanya Pak Sartono dengan khawatir.

Mati aku! Jangan-jangan Si bos arogan itu mengejarku?Aku hanya membatin. Kalau aku jujur pada Pak Sartono bisa-bisa Pak Sartono menurunkanku di trotoar. Ya Tuhan. BMW hitam di belakangku semakin memepet mobil Pak Sartono.

Pimmmmmm,......

Pak Sartono kaget. Ia menghentikan laju mobil karena melihat kaca mobil di ketuk dari samping.

Astaga……….habislah sudah aku! Dia sungguh-sungguh ternyata!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status