Lebih dari 2 jam di perjalanan.
Akhirnya, mereka pun sampai di tempat yang dimaksud. Kelima anak kuliah yang akan mengabdi di daerah tersebut, langsung memeriksa rumah kontrakan mereka yang sengaja mereka ambil tidak jauh dari lokasi sekolah, tempat mereka yang akan mengabdi selama 3 bulan itu. Yang sudah mereka perkirakan agar tidak banyak memakan biaya transportasi.Dan alamat kontrakan tersebut adalah di Kompleks Perumahan BTN Pandan Nomor 86.
“Kiran, kau bilang kamarnya cuma 2 tapi ini kamarnya 3? Untunglah kita yah,” komentar Ria pada rekannya yang bernama Kiran.“Aku juga nggak tahu. Karena kawan yang ku tanya itu juga bilangnya cuma 2 kamar…” jelas Kiran.
“Dan kamar mandinya juga ada 2…” balas Rosni dengan berbinar.
“Iya kamar mandinya 2.
Tapi nggak mungkinlah bisa kita pakai mandi kamar mandi yang di luar itu…” sahut Ainy.“Yah, setidaknya kamar mandi yang di luar itu masih bisa kita pergunakan kalau lagi kebelet pas kamar mandi utama lagi ada orang, Kamar mandi darurat hehehehe…” Aiza pun turut memberi komentar.
“Betul juga…” balas yang lain sambl terkekeh.
“Aku ambil kamar yang di belakang aja.
Ada yang berminat 1 kamar denganku?” tanya Aiza.“Aku… aku juga mau tinggal di kamar belakang itu…” sahut Ria dengan sikapnya yang memburu.
“Yah sudah, kalau begitu, kita bertiga di kamar bagian depan.
Mau sendiri atau sesekali gentian kamar juga nggak apa-apa yah?” ujar Rosni pada Kiran dan Ainy.“Okey nggak masalah…” jawab mereka.
Masing-masing mereka pun kembali menarik barang bawaannya ke dalam kamar mereka. Begitu juga dengan Aiza dan Ria yang langsung menuju kamar belakang.
“Dari pertama masuk, aku sudah naksir ke kamar bagian belakang ini…” celutuk Ria.
“Memangnya kenapa?” tanya Aiza menanggapi ucapannya itu.
“Ya iyalah, selain besar, sepertinya juga lebih adem, hehehe” sahut Ria yang membuat Aiza menganggkat kedua alisnya sebagai tanda ia juga setuju dengan ucapan teman 1 kamarnya itu.
“Aku justru tidak sabar untuk segera masuk ke sekolah besok,” Aiza pun mengutarakan perasaannya.
“Kau benar. Aku juga. Semoga selama 3 bulan menjadi keluarga di sekolah Almuslimin itu, kita bisa memberikan yang terbaik yah,” ujar Ria sambil membuka kopernya dan menyusunnya di sudut ruangan itu.
Begitu juga dengan Aiza yang mengeluarkan kerangka rak untuk ia gunakan sebagai tempat bajunya.
Ia pun satu persatu menyusun kerangka itu menjadi rak susun betingkat dan kemudian meletakkan pakaiannya di sana.Sedangkan ketiga temannya yang lainnya juga sedang mengatur tata letak barang yang sama halnya masih berantakan.
“Ayo, aku duluan mandi yah…” Ria berseru sambil menuju kamar mandi.
“Iya, tapi jangan lama-lama…” terdengar suara Rosni menyahut dari kamar depan.
“Baiklah kak Roooossss….” balas Ria.
“Aku mandinya nggak laama kok, tapi kalau ada yang nggak sabaran, kan masih ada kamar mandi darurat,” sambungnya.
“Memang sebaiknya kita mandi dan makan siang bersama.
Biar nanti agak sorean kita cek lokasi sekolah. Kan nggak jauh tinggal jalan sekitar 400 meter saja…” jelas Kiran pada rekannya.***
Selesai mandi dan makan sekaligus istirahat, ketika jarum jam di tangan Aiza menunjukkan hampir pukul 15.30, dan mereka pun sepakat untuk mendatangi sekolah yang dimaksud dengan berjalan kaki sejauh 400 meter.
Dan seperti kebiasaan pada umumnya, ketika beberapa anak gadis pendatang baru melewati kerumunan banyak laki-laki lajang, tak heran setiap bunyi suara ban kempes ditujukan pada kelima gadis itu.
Namun mereka tidak mengambil hati perlakuan semacam itu.Tak berapa lama, mereka pun sampai di bagian kantin sekolah itu. Hening. Karena memang hari ini masih hari Minggu.
“Oh jadi ini sekolahnya…?” ujar Ria.
“Yup. Kita hanya bisa memantau dari luar saja. Sekolahnya pasti di tutup yah kan?” jawab Kiran.
Mereka pun memilih untuk mengitari sekolah itu dari bagian luar saja, karena memang pintu pagar dari semua sudut sekolah itu terkunci.
“Aku dengar-dengar, sekolah ini salah satu Sekolah The Best di Daerah Tapanuli Tengah…” komentar Rosni.
“Yah. Dan prestasinya juga sudah sangat banyak. Lagian, peserta didiknya juga bukan hanya berasal dari daerah setempat saja. Tapi juga berasal dari luar kota dengan sistim seleksi…” balas Kiran.
“Aku juga dengar kalau alumni dari sekolah ini, banyak menjadi orang-orang yang hebat…” sambung Aiza.
“Aku jadi semakin grogi untuk masuk ke sini…” kembali sikap pesimis Ria membuat teman-temannya yang lain geleng-geleng kepala.
“Harusnya kamu merasa bangga, walaupun belum menjadi guru, setidaknya kamu sudah ditempatkan di sekolah The Best seperti ini…” nasehat Ainy.
“Seharusnya memang begitu, tapi aku orangnya mudah minder,” akui Ria.
“Jangan banggakan sikap mindermu itu.
Kamu itu calon seorang guru. Jadi kamu harus berani menantang apapun di depanmu…” Aiza menyemangati.“Yup, Aiza benar Ria. Kalau sekarang aja kamu udah minder?
Bagaimana kamu bisa menghadapi murid-murid di depan kelas nanti? Jangan sampai kamu gemetaran apa lagi sampai menangis di depan murid-muridmu, hehehehe…” sambung Rosni.“Hahahah aku jadi ingat cerita pengalaman kawan aku yang PKL 2 tahun yang lalu. Dia nangis karena diolok-olok muridnya, terus dia bilang gini ke murid-murid itu,
‘Ibu nggak apa-apa kalian buat seperti ini sama ibu. Lagian ibu cuma 3 bulan aja di sekolah ini,’ kata si kawan.Yaiyalah selama 3 bulan dia dibuat nangis terus sama murid-muridnya ahahaha…” Rosni mengisahkan cerita yang pernah ia dengar.Terdengar yang lain pun ikut tertawa mendengar ceritanya tersebut.
“Nah , dengar itu Ria. Kamu mau seperti itu?” canda Ainy pada Ria.“Nggak juga sih…” balas Ria.
“Makanya, dari sekarang jangan langsung mundur kalau diberi tantangan.
Memang yah, nervous itu pasti akan selalu ada. Apa lagi untuk kesan yang pertama, yang penting kita harus tetap jaga sikap,” Kiran pun mengingatkan diikuti anggukan teman yang lainnya.Sedang masih asik bicara sambil berjalan mendekati rumah mereka, seorang wanita berpostur tubuh yang lumayan gemuk, menyapa mereka.
“Adik-adik ini yang tinggal di rumah nomor 86 itu yah?” tanya wanita itu.
“Eh iya, Bu…” sahut mereka hampir bersamaan.
“Saya dengar kalian anak PKL yang mau kerja di Almuslimin yah?” tanyanya lagi.
“Iya Bu,”
“Ah, senang sekali mendengarnya.
Kenalin nama saya Wulandari. Yang jualan di bagian kantin Sekolah Almuslimin. Tapi orang mengenal saya Wak Bimbo. Dan ini rumah saya, kita bertetangga…” jelasnya dengan ramah sambil menunjukkan rumah dengan nomor 78 di blok C tersebut yang sama dengan barisan rumah yang mereka kontrak.“Waaaahhh… senang berkenalan dengan Wak Bimbo.
Saya Ria, Wak. Ini teman teman saya Kiran, Aiza, Ainy dan Rosni,” balas Ria sambil memperkenalkan temannya satu per satu.“Bisalah ya Wak, kalau kami ada apa-apa minta tolong sama Wak Bimbo…” Ria pun menanggapi dengan tidak kalah ramah.
“Oh tentu saja… Jangan ragu-ragu…” terima wanita gemuk itu dengan sedang hati.
“Wak Bimbo, mau nanya. Dengar-dengar Almuslimin itu fullday yah?” tanya Ainy.
“Iya, Dik. Di sana memang fullday…” jawabnya.
Mendengar penjelasn itu, Ria kembali mengernyitkan keningnya seolah apa yang ia dengar itu adalah beban terberat dalam hidupnya.“Oh makasih yah Wak Bimbo. Setidaknya biar kita bisa siapin mental dan fisik di sana nantinya,” canda Ainy pada wanita yang baru mereka kenal itu.
“Yah benar itu, Dik. Memang harus dipersiapkan mental dan fisik…” balas Wak Bimbo.
“Terima kasih Wak Bimbo. Kalau begitu kami pulang dulu, lain kali kami singgah yah Wak Bimbo. Soalnya udah masuk waktu Ashar,” ujar Rosni sambil berpamitan.
Setelah mendapat anggukan dari tetangga baru yang tak lain adalah ibu kantin sekolah yang akan mereka masuki, kelimanya pun segera memasuki rumah.
***
Udara di pagi hari, masih terasa sangat sejuk. Kelima anggota PKL dari kampus IPTS Padangsidimpuan itu, sudah berada di sekolah se-pagi mungkin.Karena mereka sudah sepakat untuk hadir lebih awal di sekolah tersebut yang notabene memang salah satu sekolah yang memiliki disiplin tinggi di daerah itu.Terlebih karena sebelumnya juga tertera dalam peraturan bahwa Apel pagi akan selalu berlangsung pukul 07.15. Sehingga, Aiza dan temannya-temannya pun sudah berada di sekolah 10 menit sebelum jam 7 pagi.Berhubung karena mereka tahu tempat untuk mereka tidak tersedia, kelimanya pun hanya meletakkan tas mereka di salah satu ruang kelas. Dan sesuai aturan, mereka pun berbaris berjejer di samping beberapa orang guru-guru muda, yang juga sudah hadir di sana untuk menyambut para siswa di gerbang pintu sekolah.Tanpa banyak kalimat, mereka pun mengikuti apa yang dilakukan guru tersebut, yaitu saling bersalaman menyambut siswa-siswinya de
Sambil tersenyum ia pun mencoba membalas sambil berjalan menuju pondok kosong yang ada di hutan sekolah.Akan tetapi, karena terlalu semangat untuk membalasnya, Aiza tidak sengaja menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik sebuah mobil sedan berwarna hitam.“Alaaaa umaaak…” lontar Aiza tersentak, saat ia menubruk sesosok tubuh tinggi.Dan secara tidak sengaja, tangan Aiza berpegangan pada lengan kekar pria tersebut.“Kalau jalan lihat ke depan, jangan lihat layar HP. Bahaya…” tegur pria yang tingginya sekitar 15 centimeter lebih dari tinggi badan Aiza.Wajahnya tampak begitu datar tanpa ekspresi.“Eh… iya.. maaf, Pak…” ujar Aiza dengan gugup karena malu melihat pria itu atas kecerobohannya sendiri.“Awasss….!” Tepis pria itu dengan nada yang kurang bersahabat, meninggalkan Aiza yang masih bingung dengan keterkejutannya.“Ganteng-genteng cerewet huuuuuu…” gerutu Aiza ketika sosok itu hilang di baling tembok s
“Kamu ini anak PKL ‘kan?” tanya pria itu pada Aiza.Dengan sangat yakin, Aiza pun mengangguk mengiyakan.“Iya, saya anak PKL. Memangnya kenapa, Pak?” Aiza membenarkan.“Kamu nggak mau bertanya saya siapa?” tanya pria itu membuat Aiza merasa geli dengan pertanyaan tersebut.Namun, sebagai orang baru, tentu saja Aiza tetap bersikap rendah hati menanggapinya.“Maaf Pak. Saya memang belum tahu Bapak ini siapa, tapi yang saya tahu tadi Bapak mengantarkan Pak Rakib Salim, yah ‘kan?” dengan penuh keyakinan, Aiza pun melayani pertanyaan pria itu.“Iya, benar. Kamu… baru sehari di sini, udah 2x membuat saya kesal. Apa kamu tahu itu?” singgung pria itu lagi, memancing reaksi Aiza yang sebenarnya mulai kesal dengan pertanyaan itu.Aiza pun menggerutu dalam hatinya.“Ini orang kenapa yah? Aneh. Supir tapi sok bicara seperti ini?” batinnya.“Kamu dengar saya tanya apa?” suara pria itu kembali membuyarkan suara hatinya.“Eh iya, saya
Hari-hari pun berlalu begitu saja, hingga tidak terasa seminggu sudah berlalu.Semua proses yang mereka lewati di SMP swasta Almuslimin itu berjalan dengan sangat baik.Dan dalam seminggu saja, ada banyak kesan baik dan bermanfaat yang bisa mereka ambil dari sana.Mulai dari bimbingan cara membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik, cara menarik minat belajar siswa dengan strategi menarik, dan juga sikap sosial dari orang-orang di dalamnya.Memang, terasa begitu melelahkan.Namun semua itu terbayarkan dengan ilmu yang sudah mereka dapatkan.Hari itu, didampingi ibu Hj. Siti Mahanum, Riyan Qalbun Salim, begitu namanya terngiang di telinga kelima para mahasiswi yang sedang mengabdi di sekolah itu.Pria itu memanggil mereka berlima untuk segera menghadap ke ruangannya.Tentu saja, kelimanya pun memenuhi panggilan tersebut.“Adik-adik mahasiswi semua, Bapak Riyan memanggil kalian ke ruanga
Hati Aiza terasa lebih tenang setelah melihat keluarganya, walau hanya lewat video call.Apa lagi, karena wajah orang tua yang sangat ia cintai itu tidak merasa keberatan dengan apa yang ia keluhkan.Terlebih ketika ayahnya dengan wajah yang datar, menerka kalau pengeluaran mereka kemungkinan tidak sampai 1 juta untuk membuat sebuah taman yang dimaksud.“Teman-temanku benar. Kenapa aku harus segalau ini memikirkannya? Masih ada waktu untuk berfikir.Lagi pula, kenapa aku seperti keberatan? Ini kan memang sudah resiko?” batin gadis itu pun berontak.“Kamu mikirin apa?” tanya Ria temannya dalam satu kamar.“Ah,nggak. Barusan aku menelpon keluargaku. Aku menjelaskan ukuran taman itu pada ayahku. Ayahku seorang pekerja bangunan.Tentu dia tahu, berapa kira-kira dana yang akan kita keluarkan per orang.Setelah dihitung-hitung, ayahku bilang kemungkinan kita akan mengeluarkan uang 1 juta per orang untuk taman ukuran 7 meter
“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu.Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan.Tampak pintu ruangan khusus Pak Riyan itu terbuka lebar.Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat.Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya.&nbs
Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir.Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kele
Riyan baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa, tepatnya di dekat sang ibu. Wajahnya menunjukkan rasa lelah bercampur rasa kesal. Karena itu, Bu Ria Salim pun menyapa putra bungsunya itu.“Kamu kenapa? Wajahnya kok kesal begitu?” tanya ibunya.“Gimana nggak kesal, Bu? Cintya mendatangi aku sampai ke sekolah…” umpatnya.“Memangnya kenapa? Nggak boleh? Dia kan calon istri kamu?” ujar wanita itu.Mendengar kalimat iunya itu, Riyan pun menoleh kepada ibunya.“Kenapa sih, Bu? Ayah sama ibu berharap sekali kalau Cintya itu bisa cocok sama aku? Ibu kan sudah tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan sikapnya yang manja dan keras kepala itu?” tuntutnya dengan perasaan semakin kesal. Namun Bu Ria menanggapinya dengan tersenyum.“Yah, perempuan dengan watak yang keras kan nggak semuanya buruk, Nak?” ujar Bu Ria berdalih.“Tapi, Bu… Cintya itu juga wanita yang nekad, dia bisa saja berbuat semaunya demi mengabulkan apa yang dia mau…” Riyan pun tet