Sesampainya di rumah, seusai shalat magrib, Pak Ardi pun menyapa istrinya.
“Biado…? Adong do lalu pinjaman i…?” tanyanya lagi.(Gimana…? Ada jadi pinjamannya?)“Adong, abang…”jawab Bu Maya dengan penuh semangat.
(Ada, bang)“Alhamdulillah. Syukur madah… So leng lalu si Aiza na kehe i…” Pak Ardi berucap syukur mendengarnya.
(Alhamdulillah, Syukurlah. Biar Aiza jadi juga pergi.)“Aizaaaa!” Bu Maya pun memanggil putrinya itu.
“Iya, Maaaaak…” sahut Aiza yang segera menghampiri ayah dan ibunya dari dalam kamar.
“Mana adikmu si Sofia…?”
“Di kamar, Mak…”
“Panggil dia ke sini…” suruh Bu Maya.
Aiza pun segera mundur untuk memnaggil Sofia. Lalu keduanya pun mendekati ayah dan ibunya.“Apa, Mak…?” tanya si Sofia.
“Aiza… ini uang untukmu yah, Nak. Ini ada 3 juta. Untunglah tulang Zainal kalian ada uang, dan mau meminjamkannya.
Pandai-pandailah kau mengatur uang ini, Nak. Tadi pun, Tulang kau berpesan, kau harus selalu semangat. Jangan kau sia-siakan sekolahmu yang tinggal sedikit lagi itu…” Bu maya pun menyampaikan pesan adik laki-lakinya itu untuk Aiza.“Iya, Mak…” jawab Aiza. Ia bisa merasakan nada-nada kasih seorang ibu terhadap dirinya yang besok akan segera berangkat untuk melaksanakan PKL selama 3 bulan itu.
“Dan pesan ayah, jangan pernah tinggalkan sholat yah, Nak.
Jaga diri baik-baik di sana,” Pak Ari turut menambahi.“Terima kasih, Ayah…” hanya itu yang bisa dijawab oleh Aiza.
“Kehe ma kakak ‘kan, Mak? Nadoon be donganku marbada…
(Kakak pergi yah, Mak. Aku nggak punya teman berantem lagi.)” ujar Sofia meledek dengan menjulurkan lidahnya pada sang kakak.“Rassoh ma di ho. Giot marbada sajo ma giot mu… Tu halak i nangge barani ho weeeekkk
(Rasakan sendiri. Sibuk nyari gara-gara saja yang kau mau. Sama orang lain kamu nggak berani, weeeekkk.)” Aiza pun tak mau kalah membalas candaan sang adik.Melihat candaan kedua putrinya, Pak Ardi dan Bu Maya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Pala pasuo, marbada sajo hamu. Pala dao, jalak-jalak…” celutuk sang ibu.
(Kalau ketemu kerjaan kailian ribut saja. Sekali jauh, saling mencari…)“Madung, mai. Keta mangan jolo. Madung malean ayah…
(Sudahlah sudah. Ayo, kita makan dulu. Ayah sudah lapar.)” ajak sang ayah, sambil melipat kain sarung yang ia kenakan untuk sholat magrib tadi.Istri dan kedua putrinya itu pun segera bergegas untuk menikmati makan malam bersama.***
Tepat jam 10 pagi, di hari Minggu. 4 temannya yang lain sudah berada di dalam minibus, datang menjemput Aiza yang sudah janjian untuk berangkat bersama.
“On ma rakku mobil nai, (Ini mungkin mobilnya)” ujar Bu Wati melihat Minibus tipe L300 berhenti di depan halte simpang Kampung Kelapa. Tempat mereka sudah menunggu.
“Ayo, Za…!” Seru Kiran dari dalam mobil.
“Iya, Mak. Itu kawan-kawanku…” balas Aiza melihat keempat sahabatnya sudah berada di dalam mobil tersebut.
Dengan penuh semangat, ayah, ibu dan adiknya pun menghantar kepergian Aiza.
Pak sopir pun keluar dari dalam mobil untuk mengangkat dan menyusun barang-barang Aiza ke bagasi. Sedang Aiza pun bersalaman dengan ayah dan ibunya.“Pade-pade ho dainang na mar sikola i..? (Baik-baik yang sekolah ya, Nak)” pesan ayah dan ibunya hampir serentak.“Olo umak, ayah… Adek ligi-ligi umak dohot ayah dah. Kehe kakak jolo. Tolongi umak i pamasak jagal da, Anggi!
(Iya ayah, mak… Adek juga lihat-lihat ayah dan ibu yah. Kakak pergi dulu. Bantuin ibu jualan yah, dek!)” Aiza pun tak lupa memberi pesan pada Adiknya.“Madung do…?” tanya pak Supir.
(Sudah siap?)“Sudah Pak Supir. Hati-hati dah…” Pak Ardi pun memberi pesan pada Pak Sopir yang akan membawa putrinya itu.
Tak lama kemudian, perjalanan pun dimulai.
Aiza pun berangkat bersama keempat teman PKL nya, Ainy, Ria, Rosni dan Kiran. Kelima gadis itu pun berangkat ke tempat baru untuk mengabdi selama 3 bulan di tempat baru.Sebelumnya, Aiza juga tidak terlalu kenal dengan keempat temannya ini.
Aiza pun baru mengenal mereka saat pembagian tempat PKL. Ditambah lagi, karena mereka yang diutus ke sana juga berbeda bidang. Aiza dari Pendidikan Bahasa Inggris. Ria dari Pendidikan IPS Ekonomi. Ainy dari Pendidikan Biologi. Rosni dari Pendidikan Matematika. Sedangkan Kiran dari Pendidikan Fisika.Baru saja beberapa menit, minibus itu berjalan, salah satu dari mereka pun membuka pembicaraan.
“Kiran, gimana rumah kontrakan yang kau bilang kemarin…? Berapa jadi…?” tanya Ria, anak dari Pendidikan Ekonomi.“Ah iya, katanya 6 juta setahun nggak kurang…” sahut gadis bernama Kiran itu.
“Mahal juga yah ternyata…?” komentar Ria.
“Iya, Say. Di Sibolga itu kontrakan memang mahal-mahal.
Itu juga udah lumayan. Kan kita Cuma ambil 3 bulan…?” sahut Kiran.“Berarti 6 juta dibagi 4 jadi 1 juta 500 ribu yah…?” sahut Rosni yang dari Pendidikan Matematika.
“Kenapa jadi bagi empat…?” tanya Ainy bingung.
“Iyalah, 1 tahun kan 12 bulan. Dan tiga bulan itu seperempat dari setahun.
Jadi harganya 1 juta 500…” jelas Rosni.“Oh iya yah…” Ainy pun segera tanggap.
“Berarti, 1 juta 500 itu dibagi 5.
Masing-masing kita 300 ribu yah…?” Aiza pun turut berkomentar.“Yap. Nantilah di sana kita bahas. Tapi kayaknya kita harus sabar-sabar yah.
Karena kamarnya Cuma ada 2. Jadi mau nggak mau kita harus maklum dengan situasi kita…” Kiran yang sepertinya lebih dewasa pun mengingatkan akan situasi di sana.“Iya deh. Pokoknya dalam kondisi apapun di sana, kita harus kompak.
Kita semua juga baru saling kenal dan sama-sama perantau di sana. Jadi, seperti pengalaman-pengalaman senior sebelumnya, kita nggak boleh ribut hanya karena hal-hal yang nggak penting…” Aiza pun menanggapi.“Okey yah. Nanti di sana kita bahas.
Aku kalau diperjalanan nggak bisa ngobrol banyak. Jadi, harus tidur,” ujar Ainy.“Hehehe.. iya…” sahut Ria.
Masing-masing pun mengambil posisi. Ada yang tidur, ada yang main HP.
Begitu juga dengan Aiza, ia sibuk memandangi ke sekeliling perjalanan yang dilewati. Angannya pun melayang jauh akan pantai Sibolga yang sering ia dengar dari orang-orang. Namun kembali lagi, ia teringat akan pesan ayah dan ibunya.Mimik wajah orang tuanya terus membayang dalam ingatannya.
“3 bulan ke depan, aku akan berpisah dengan mamak, ayah, dan juga sofia. Aku akan merindukan kalian semua. Walaupun Sibolga itu memang tidak terlalu jauh.Ayah… ibu… aku tahu bahu kalian terlalu kuat untuk memperjuangkan anak-anakmu. Aku janji, aku akan membanggakan ayah dan ibu dan nantinya. Do’akan anakmu, ayah… ibu…” Aiza kembali membatin. Hingga tidak terasa kembali juga air mata itu mengiringi perjalanannya.Sibolga dan kota Padangsidimpuan memang bukanlah jarak yang jauh.
Hanya butuh 2-3 jam untuk menempuhnya. Namun untuk para pejuang nilai, jarak itu sangat berarti. Karena harus berpisah dengan keluarga yang ia cinta.Sedang sibuk berangan, tiba-tiba ponselnya pun berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk ke HPnya.
Seketika wajahnya berbinar. Karena pesan itu adalah dari pria pujaan hatinya, Fadlan.“Assalamu alikum, Adik Aiza…? Sudah jadi berangkatnya, Dik?” sapa Fadlan dalam pesan WA.
“Wa’alaikum salam bang Fadlan. Sudah. Ini baru berangkat setengah jam yang lalu,” balas Aiza.
“Hati-hati di sana yah, Dek Aiza. Bang Fadlan pasti kangen sama Dik Aiza,” pesan sang pria idaman itu lagi.
“Hehehe, iya Bang Fadlan. Aiza juga pasti kangen 3 bulan nggak ketemu,” ketiknya lagi.
“Okey yah. Selamat bertugas. Karena Bang Fadlan juga akan berangkat ke tempat PKL Bang Fadlan di Panyabungan,” balasnya lagi.
“Semoga nilai kita memuaskan yah, Bang,” harap Nesya.
“Amiiin… Iya dek. Assalamu ‘alaikum…”
“Wa’alaikumsalam Bang,”
Percakapan via WA itu pun segera berakhir, meninggalkan binar di wajah Aiza.
Yah, sifat Fadlan yang manis sering membuat Aiza untuk tersenyum sendiri. Pemuda yang tinggi dengan gayanya yang cool selalu hadir menemani mimpi-mimpi Aiza. Ia pun menyandarkan kepalanya di bahu kursi, hingga ia pun terlelap sepanjang perjalanan itu.***
Lebih dari 2 jam di perjalanan.Akhirnya, mereka pun sampai di tempat yang dimaksud.Kelima anak kuliah yang akan mengabdi di daerah tersebut, langsung memeriksa rumah kontrakan mereka yang sengaja mereka ambil tidak jauh dari lokasi sekolah, tempat mereka yang akan mengabdi selama 3 bulan itu.Yang sudah mereka perkirakan agar tidak banyak memakan biaya transportasi.Dan alamat kontrakan tersebut adalah di Kompleks Perumahan BTN Pandan Nomor 86.“Kiran, kau bilang kamarnya cuma 2 tapi ini kamarnya 3? Untunglah kita yah,” komentar Ria pada rekannya yang bernama Kiran.“Aku juga nggak tahu. Karena kawan yang ku tanya itu juga bilangnya cuma 2 kamar…” jelas Kiran.“Dan kamar mandinya juga ada 2…” balas Rosni dengan berbinar.“Iya kamar mandinya 2.Tapi nggak mungkinlah bisa kita pakai mandi kamar mandi yang di luar itu…” sahut Ainy.“Yah, setidaknya kamar mandi yang di luar itu masih bisa kita pergunakan kalau
Udara di pagi hari, masih terasa sangat sejuk. Kelima anggota PKL dari kampus IPTS Padangsidimpuan itu, sudah berada di sekolah se-pagi mungkin.Karena mereka sudah sepakat untuk hadir lebih awal di sekolah tersebut yang notabene memang salah satu sekolah yang memiliki disiplin tinggi di daerah itu.Terlebih karena sebelumnya juga tertera dalam peraturan bahwa Apel pagi akan selalu berlangsung pukul 07.15. Sehingga, Aiza dan temannya-temannya pun sudah berada di sekolah 10 menit sebelum jam 7 pagi.Berhubung karena mereka tahu tempat untuk mereka tidak tersedia, kelimanya pun hanya meletakkan tas mereka di salah satu ruang kelas. Dan sesuai aturan, mereka pun berbaris berjejer di samping beberapa orang guru-guru muda, yang juga sudah hadir di sana untuk menyambut para siswa di gerbang pintu sekolah.Tanpa banyak kalimat, mereka pun mengikuti apa yang dilakukan guru tersebut, yaitu saling bersalaman menyambut siswa-siswinya de
Sambil tersenyum ia pun mencoba membalas sambil berjalan menuju pondok kosong yang ada di hutan sekolah.Akan tetapi, karena terlalu semangat untuk membalasnya, Aiza tidak sengaja menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik sebuah mobil sedan berwarna hitam.“Alaaaa umaaak…” lontar Aiza tersentak, saat ia menubruk sesosok tubuh tinggi.Dan secara tidak sengaja, tangan Aiza berpegangan pada lengan kekar pria tersebut.“Kalau jalan lihat ke depan, jangan lihat layar HP. Bahaya…” tegur pria yang tingginya sekitar 15 centimeter lebih dari tinggi badan Aiza.Wajahnya tampak begitu datar tanpa ekspresi.“Eh… iya.. maaf, Pak…” ujar Aiza dengan gugup karena malu melihat pria itu atas kecerobohannya sendiri.“Awasss….!” Tepis pria itu dengan nada yang kurang bersahabat, meninggalkan Aiza yang masih bingung dengan keterkejutannya.“Ganteng-genteng cerewet huuuuuu…” gerutu Aiza ketika sosok itu hilang di baling tembok s
“Kamu ini anak PKL ‘kan?” tanya pria itu pada Aiza.Dengan sangat yakin, Aiza pun mengangguk mengiyakan.“Iya, saya anak PKL. Memangnya kenapa, Pak?” Aiza membenarkan.“Kamu nggak mau bertanya saya siapa?” tanya pria itu membuat Aiza merasa geli dengan pertanyaan tersebut.Namun, sebagai orang baru, tentu saja Aiza tetap bersikap rendah hati menanggapinya.“Maaf Pak. Saya memang belum tahu Bapak ini siapa, tapi yang saya tahu tadi Bapak mengantarkan Pak Rakib Salim, yah ‘kan?” dengan penuh keyakinan, Aiza pun melayani pertanyaan pria itu.“Iya, benar. Kamu… baru sehari di sini, udah 2x membuat saya kesal. Apa kamu tahu itu?” singgung pria itu lagi, memancing reaksi Aiza yang sebenarnya mulai kesal dengan pertanyaan itu.Aiza pun menggerutu dalam hatinya.“Ini orang kenapa yah? Aneh. Supir tapi sok bicara seperti ini?” batinnya.“Kamu dengar saya tanya apa?” suara pria itu kembali membuyarkan suara hatinya.“Eh iya, saya
Hari-hari pun berlalu begitu saja, hingga tidak terasa seminggu sudah berlalu.Semua proses yang mereka lewati di SMP swasta Almuslimin itu berjalan dengan sangat baik.Dan dalam seminggu saja, ada banyak kesan baik dan bermanfaat yang bisa mereka ambil dari sana.Mulai dari bimbingan cara membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik, cara menarik minat belajar siswa dengan strategi menarik, dan juga sikap sosial dari orang-orang di dalamnya.Memang, terasa begitu melelahkan.Namun semua itu terbayarkan dengan ilmu yang sudah mereka dapatkan.Hari itu, didampingi ibu Hj. Siti Mahanum, Riyan Qalbun Salim, begitu namanya terngiang di telinga kelima para mahasiswi yang sedang mengabdi di sekolah itu.Pria itu memanggil mereka berlima untuk segera menghadap ke ruangannya.Tentu saja, kelimanya pun memenuhi panggilan tersebut.“Adik-adik mahasiswi semua, Bapak Riyan memanggil kalian ke ruanga
Hati Aiza terasa lebih tenang setelah melihat keluarganya, walau hanya lewat video call.Apa lagi, karena wajah orang tua yang sangat ia cintai itu tidak merasa keberatan dengan apa yang ia keluhkan.Terlebih ketika ayahnya dengan wajah yang datar, menerka kalau pengeluaran mereka kemungkinan tidak sampai 1 juta untuk membuat sebuah taman yang dimaksud.“Teman-temanku benar. Kenapa aku harus segalau ini memikirkannya? Masih ada waktu untuk berfikir.Lagi pula, kenapa aku seperti keberatan? Ini kan memang sudah resiko?” batin gadis itu pun berontak.“Kamu mikirin apa?” tanya Ria temannya dalam satu kamar.“Ah,nggak. Barusan aku menelpon keluargaku. Aku menjelaskan ukuran taman itu pada ayahku. Ayahku seorang pekerja bangunan.Tentu dia tahu, berapa kira-kira dana yang akan kita keluarkan per orang.Setelah dihitung-hitung, ayahku bilang kemungkinan kita akan mengeluarkan uang 1 juta per orang untuk taman ukuran 7 meter
“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu.Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan.Tampak pintu ruangan khusus Pak Riyan itu terbuka lebar.Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat.Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya.&nbs
Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir.Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kele