Udara di pagi hari, masih terasa sangat sejuk. Kelima anggota PKL dari kampus IPTS Padangsidimpuan itu, sudah berada di sekolah se-pagi mungkin.
Karena mereka sudah sepakat untuk hadir lebih awal di sekolah tersebut yang notabene memang salah satu sekolah yang memiliki disiplin tinggi di daerah itu. Terlebih karena sebelumnya juga tertera dalam peraturan bahwa Apel pagi akan selalu berlangsung pukul 07.15. Sehingga, Aiza dan temannya-temannya pun sudah berada di sekolah 10 menit sebelum jam 7 pagi.Berhubung karena mereka tahu tempat untuk mereka tidak tersedia, kelimanya pun hanya meletakkan tas mereka di salah satu ruang kelas. Dan sesuai aturan, mereka pun berbaris berjejer di samping beberapa orang guru-guru muda, yang juga sudah hadir di sana untuk menyambut para siswa di gerbang pintu sekolah. Tanpa banyak kalimat, mereka pun mengikuti apa yang dilakukan guru tersebut, yaitu saling bersalaman menyambut siswa-siswinya dengan ramah, sambil mengucapkan “Assalamu alaikum, Bu” dari para siswa sambil memeriksa kelengkapan atribut anak-anak yang beranjak remaja tersebut.Berhubung pagi itu adalah hari Senin, persiapan upacara pun segera dimulai. Tepatnya pukul 07.30, susunan barisan oleh peserta didik di sekolah itu tampak sangat teratur. Tak jarang Aiza dan teman-temannya merasa takjub dengan pertunjukan baris-berbaris yang dipandu oleh Kepala Sekolah itu sendiri, Hj. Siti Mahanum, S. Pd, M.M. Anak-anak yang sedang melakukan formasi yang indah dalam barisan itu pun tampak seperti para prajurit yang memang sudah terlatih. Ditambah lagi dengan serangam sekolah yang khas berwarna biru laut yang semakin menunjukkan keistimewaan sekolah SMP Swasta Almuslimin.Acara demi acara dalam upacara tersebut pun dilewati secara khidmat. Terlebih pada saat terdengarnya lagu Kebangsaan Indonesia Raya, yang membuat setiap darah bergemuruh bagi mereka yang mendengar.Begitu pula dengan Aiza. Ia bahkan sangat berusaha menahan air matanya agar tidak membasahi wajahnya saat posisi semuanya sedang menghormat Sang Saka Merah Putih tersebut.“Ayah, ibu… Ini hari pertama aku melaksanakan PKL di sekolah yang sangat istimewa ini. Aku marasa sangat bangga di beri kesempatan menyaksikan suasana sekarang ini. Ayah… ibu… aku berjanji, aku akan berusaha membanggakan kalian di sana. Doakam aku ayah, ibu…” tekad Aiza.Tak berapa lama, tibalah waktunya untuk Pembina Upacara, yang tak lain adalah Kepala Sekolah itu sendiri, untuk memberi pengarahan untuk semua warga sekolah tersebut. Meski beliau terkesan tegas dalam memberikan pengarahan, namun Ibu Hj. Siti Mahanum tersebut tak lupa menyambut kehadiran Aiza dan teman-temannya sebagai calon guru yang sedang melaksanakan tugas kuliah. Seolah menegaskan, pada seluruh siswa untuk tetap memberi hormat pada mereka Guru PKL tersebut. “Begitu juga dengan guru-guru yang berada di barisan yang sama. Kiranya bisa memberi suasana yang nyaman untuk Para adik-adik mahasiswa, agar tetap menunjukkan solidaritas yang tinggi sebagai ciri khas sekolah kita. Begitu pula dengan adik-adik Mahasiswi ini, agar mengambil pengalaman yang baik dari sekolah ini. Dan selama bertugas di sini bisa berbaur dan bekerjasama dengan baik…” seperti itulah pesan Kepala Sekolah dalam kesempatan untuk menyambut Aiza dan dan temannya, sebelum menutup Upacara tersebut.Baru saja, selesai upacara. Aiza dan teman-temannya pun segera menghadap ruang Kepala Sekolah yang ternyata mereka diperkenalkan dengan pamong masing-masing, yaitu Guru Mata Pelajaran yang ada di sekolah tersebut, akan menjadi pemandu Aiza dan yang lainnya, yang sesuai dengan jurusan masing-masing.Aiza yang berada di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris akan dipandu dan bekerja sama dengan Bu Ayda Guru Mata Pelajaran ( GMP) Bahasa Inggris.
Ainy, dari Pendidikan Biology akan berdampingan dengan Bu Devi GMP IPA.
Ria, dari Pendidikan IPS Ekonomi akan berdampingan dengan Pak David GMP IPS.
Rosni, dari Pendidikan Matematika berdamingan dengan Bu Rani GMP Matematika.
Dan Kiran, dari Pendidikan Fisika, berdampingan dengan Bu Afni GMP Fisika.
Setelah mendapat pengarahan khusus tersebut, kelimanya pun diminta untuk memperhatikan cara mengajar pamongnya masing-masing sebelum mereka langsung terjun mengajar. Dengan senang hati dan penuh semangat, kelimanya pun langsung mengikuti seniornya ke setiap kelas masing.
Pada saat istirahat, Aiza dan keempat temannya pun kembali berkumpul.
Dan masing-masing dari mereka pun sharing akan kesan pertamanya masing-masing. Sesekali mereka pun tertawa.Akan tetapi, sedang asik berbisik-bisik, tampak beberapa guru yang ada di ruang guru tersebut beranjka dari tempat duduk mereka dan segera mengajak 5 junior itu untuk segera ke kantor Kepala Sekolah.
“Ada apa, Bu?” tanya Kiran pada salah seorang guru di sana, yang mereka juga belum tahu namanya, karena belum semua mereka sempat mengenalinya.
“Ayo dek. Ayo. Kita dipanggil ke kantor, sepertinya ada tamu…” ajak guru tersebut.
“Oh iya, Bu…” jawab Ria yang memang suka cemas di awal, dan mendengar itu mereka pun segera bergegas.
Sesampainya di sana, ternyata benar. Tamu tersebut tak lain adalah Bapak Rakib Salim, pemilik Yayasan tersebut.
Tentu saja, kembali Bu Kepala Sekolah memperkenalkan pada beliau karena di hari yang sama, sekolah tersebut juga kedatangan mahasiswi yang sedang PKL di sekolah yang ia bina.
Dengan keramahannya yang khas, Pak Rakib Salim pun turut mencandai Aiza dan teman-temannya. Kehangatan dan solidaritas yang ada di sekolah itu, benar-benar sangat membuat Aiza dan keempat rekannya yang lain, merasa sangat disambut.
Namun, tak berapa lama, setelah bunyi bel terdengar, para guru pun diminta kembali untuk mengerjakan tugasnya.
“Kami ke sini, juga sangat mendadak. Saya sengaja memberi surprise untuk bersinggah ke sini.
Karena saya nggak mau rekan-rekan guru semua, jadi sibuk membuat persiapan hanya untuk menyambut saya… “ celoteh Pak Salim dengan nada yang bersahabat untuk siapa pun.Begitu juga dengan Kepala Sekolah yang sangat mengerti akan jiwa solidaritas atasannya yang elegan itu.
“Baik Pak. Tapi kami sangat gembira kalau Ayahanda kami mau bersinggah untuk mengunjungi kami…” basa-basi Ibu Hj. Siti Mahanum.Tak berapa lama, para guru pun bubar secara teratur untuk segera melaksanakan tugasnya mendidik generasi bangsa yang sudah menanti di dalam kelasnya masing-masing.
Tapi berbeda dengan Aiza.
Berhubung karena pamongnya, Bu Ayda sedang free les, ia pun mendapat kebebasan yang sama.“Kakak ke luar dulu yah dek, mumpung free 1 les. Kan lumayan bisa ngerjain yang lain selama 40 menit,” papar Bu Ayda dengan ramah kepada Aiza.
“Terus, les selanjutnya kakak, ada les yah…?” tanya Aiza.
“Iya, dek…”
“Kalau kakak pergi, aku mau ngapain yah hehhehehe…?” canda Aiza seolah meminta usul pada seniornya untuk melakukan apa selama ia sendirian sedang teman-temannya yang lain mengikuti pamongnya masing-masing masuk ke kelas sesuai jadwal mengajarnya.
“Yah, kamu kan bisa mengerjakan hal yang lain yang bisa kamu kerjain.
Kalau kamu mau, kamu bisa bahas-bahas materi selanjutnya di kelas 8, biar nanti kalau kamu siap, kamu bisa maju untuk menjelaskan pada siswa kelas 8,” saran By Ayda. Senior Aiza yang juga masih single itu.“Ah, iya. Terima kasih kak,” ucap Aiza dengan senyumnya yang khas.
Tak lama kemudian, Bu Ayda pun meninggalkan Aiza yang masih berdiri dalam kebingungan.Suasana sekolah kembali tertib, sunyi dan penuh aura semangat karena masing-masing siswa sedang menimba ilmu.
Aiza pun merogoh ponsel dari jas Almamaternya. Tampak ada sebuah nama tertera di sana. Pesan WA dari pria idamannya, Fadlan.
“Assalamu ‘alaikum Adik Aiza…? Apa khabar, Dik? Apa Dik Aiza nggak rindu sama bang Fadlan?” tulisan itu seperti magnet yang menarik senyum Aiza.Sambil tersenyum ia pun mencoba membalas sambil berjalan menuju pondok kosong yang ada di hutan sekolah.
Akan tetapi, karena terlalu semangat untuk membalasnya, Aiza tidak sengaja menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik sebuah mobil sedan berwarna hitam.Sambil tersenyum ia pun mencoba membalas sambil berjalan menuju pondok kosong yang ada di hutan sekolah.Akan tetapi, karena terlalu semangat untuk membalasnya, Aiza tidak sengaja menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik sebuah mobil sedan berwarna hitam.“Alaaaa umaaak…” lontar Aiza tersentak, saat ia menubruk sesosok tubuh tinggi.Dan secara tidak sengaja, tangan Aiza berpegangan pada lengan kekar pria tersebut.“Kalau jalan lihat ke depan, jangan lihat layar HP. Bahaya…” tegur pria yang tingginya sekitar 15 centimeter lebih dari tinggi badan Aiza.Wajahnya tampak begitu datar tanpa ekspresi.“Eh… iya.. maaf, Pak…” ujar Aiza dengan gugup karena malu melihat pria itu atas kecerobohannya sendiri.“Awasss….!” Tepis pria itu dengan nada yang kurang bersahabat, meninggalkan Aiza yang masih bingung dengan keterkejutannya.“Ganteng-genteng cerewet huuuuuu…” gerutu Aiza ketika sosok itu hilang di baling tembok s
“Kamu ini anak PKL ‘kan?” tanya pria itu pada Aiza.Dengan sangat yakin, Aiza pun mengangguk mengiyakan.“Iya, saya anak PKL. Memangnya kenapa, Pak?” Aiza membenarkan.“Kamu nggak mau bertanya saya siapa?” tanya pria itu membuat Aiza merasa geli dengan pertanyaan tersebut.Namun, sebagai orang baru, tentu saja Aiza tetap bersikap rendah hati menanggapinya.“Maaf Pak. Saya memang belum tahu Bapak ini siapa, tapi yang saya tahu tadi Bapak mengantarkan Pak Rakib Salim, yah ‘kan?” dengan penuh keyakinan, Aiza pun melayani pertanyaan pria itu.“Iya, benar. Kamu… baru sehari di sini, udah 2x membuat saya kesal. Apa kamu tahu itu?” singgung pria itu lagi, memancing reaksi Aiza yang sebenarnya mulai kesal dengan pertanyaan itu.Aiza pun menggerutu dalam hatinya.“Ini orang kenapa yah? Aneh. Supir tapi sok bicara seperti ini?” batinnya.“Kamu dengar saya tanya apa?” suara pria itu kembali membuyarkan suara hatinya.“Eh iya, saya
Hari-hari pun berlalu begitu saja, hingga tidak terasa seminggu sudah berlalu.Semua proses yang mereka lewati di SMP swasta Almuslimin itu berjalan dengan sangat baik.Dan dalam seminggu saja, ada banyak kesan baik dan bermanfaat yang bisa mereka ambil dari sana.Mulai dari bimbingan cara membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik, cara menarik minat belajar siswa dengan strategi menarik, dan juga sikap sosial dari orang-orang di dalamnya.Memang, terasa begitu melelahkan.Namun semua itu terbayarkan dengan ilmu yang sudah mereka dapatkan.Hari itu, didampingi ibu Hj. Siti Mahanum, Riyan Qalbun Salim, begitu namanya terngiang di telinga kelima para mahasiswi yang sedang mengabdi di sekolah itu.Pria itu memanggil mereka berlima untuk segera menghadap ke ruangannya.Tentu saja, kelimanya pun memenuhi panggilan tersebut.“Adik-adik mahasiswi semua, Bapak Riyan memanggil kalian ke ruanga
Hati Aiza terasa lebih tenang setelah melihat keluarganya, walau hanya lewat video call.Apa lagi, karena wajah orang tua yang sangat ia cintai itu tidak merasa keberatan dengan apa yang ia keluhkan.Terlebih ketika ayahnya dengan wajah yang datar, menerka kalau pengeluaran mereka kemungkinan tidak sampai 1 juta untuk membuat sebuah taman yang dimaksud.“Teman-temanku benar. Kenapa aku harus segalau ini memikirkannya? Masih ada waktu untuk berfikir.Lagi pula, kenapa aku seperti keberatan? Ini kan memang sudah resiko?” batin gadis itu pun berontak.“Kamu mikirin apa?” tanya Ria temannya dalam satu kamar.“Ah,nggak. Barusan aku menelpon keluargaku. Aku menjelaskan ukuran taman itu pada ayahku. Ayahku seorang pekerja bangunan.Tentu dia tahu, berapa kira-kira dana yang akan kita keluarkan per orang.Setelah dihitung-hitung, ayahku bilang kemungkinan kita akan mengeluarkan uang 1 juta per orang untuk taman ukuran 7 meter
“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu.Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan.Tampak pintu ruangan khusus Pak Riyan itu terbuka lebar.Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat.Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya.&nbs
Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir.Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kele
Riyan baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa, tepatnya di dekat sang ibu. Wajahnya menunjukkan rasa lelah bercampur rasa kesal. Karena itu, Bu Ria Salim pun menyapa putra bungsunya itu.“Kamu kenapa? Wajahnya kok kesal begitu?” tanya ibunya.“Gimana nggak kesal, Bu? Cintya mendatangi aku sampai ke sekolah…” umpatnya.“Memangnya kenapa? Nggak boleh? Dia kan calon istri kamu?” ujar wanita itu.Mendengar kalimat iunya itu, Riyan pun menoleh kepada ibunya.“Kenapa sih, Bu? Ayah sama ibu berharap sekali kalau Cintya itu bisa cocok sama aku? Ibu kan sudah tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan sikapnya yang manja dan keras kepala itu?” tuntutnya dengan perasaan semakin kesal. Namun Bu Ria menanggapinya dengan tersenyum.“Yah, perempuan dengan watak yang keras kan nggak semuanya buruk, Nak?” ujar Bu Ria berdalih.“Tapi, Bu… Cintya itu juga wanita yang nekad, dia bisa saja berbuat semaunya demi mengabulkan apa yang dia mau…” Riyan pun tet
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama