Share

8. CALON ISTRI

Hati Aiza terasa lebih tenang setelah melihat keluarganya, walau hanya lewat video call. 

Apa lagi, karena wajah orang tua yang sangat ia cintai itu tidak merasa keberatan dengan apa yang ia keluhkan. 

Terlebih ketika ayahnya dengan wajah yang datar, menerka kalau pengeluaran mereka kemungkinan tidak sampai 1 juta untuk membuat sebuah taman yang dimaksud.

“Teman-temanku benar. Kenapa aku harus segalau ini memikirkannya? Masih ada waktu untuk berfikir. 

Lagi pula, kenapa aku seperti keberatan? Ini kan memang sudah resiko?” batin gadis itu pun berontak.

“Kamu mikirin apa?” tanya Ria temannya dalam satu kamar.

“Ah,nggak. Barusan aku menelpon keluargaku. Aku menjelaskan ukuran taman itu pada ayahku. Ayahku seorang pekerja bangunan. 

Tentu dia tahu, berapa kira-kira dana yang akan kita keluarkan per orang. 

Setelah dihitung-hitung, ayahku bilang kemungkinan kita akan mengeluarkan uang 1 juta per orang untuk taman ukuran 7 meter dikali 70 centimeter itu…” papar Aiza.

“Oooh, iya. Kita memang paling mengeluarkan uang segitu. Dari senior sebelumnya, mereka juga mengeluarkan kocek sekitar segitu juga kok…” jawab Ria dengan simple.

“Aku cuma mikir. Kita di sini baru seminggu. Masih ada sekitar 10 minggu lagi. 

Apa kira-kira, uang aku masih cukup untuk pengeluaran buat taman itu nanti yah?” gumam Aiza yang sengaja jelas terdengar di telinga temannya itu.

“Perasaan dari tadi galaumu karena memikirkan taman saja? 

Apa nggak ada yang perlu kamu cemasin selain itu? 

Kita kan tadi sudah bahas kalau membuat taman itu masil lama. 

Kamu juga barusan bilang kalau kita di sini juga baru seminggu…” Ria kembali mengingatkan Aiza.

“Iya sih memang. Tapi… maksud aku biar nggak terlalu memberatkan orang tua, Ria…” Aiza pun menyampaikan pendapatnya.

“Nggak salah sih, Za kalau kamu berfikir seperti itu. Cuma yah… kan nanti bisa difikin nanti. 

Ingat kamu masih harus PKL lama. 

Kalau gara-gara memikirkan hal itu, besok kamu sakit, gimana?” ujar Ria.

“Hopedah….( Kamu ini...)” sahut Aiza memelas pada temannya itu.

“Makanya. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu…” sanggah Ria. 

“Eh, ngomong-ngomong… Pak Riyan itu keren yah…?” jujar Ria.

“Nggak, biasa ajah…” jawab Aiza tabgkas dan singkat.

“Hhhhmmm… itu kan menurut kamu. Kalau menurut aku sih, Pak  Riyan itu memang ganteng. Masih muda udah bakal menggantikan ayahnya…”

“Selama kita masih di sini, aku berharapnya Pak Rakib yang masih memimpin…” tukas Aiza. 

Ria pun menoleh. 

“Memangnya kenapa? Kok sepertinya kamu nggak suka sekali mlihat Pak Riyan?” tanya Ria. 

“Nggak sih, aku cuma nggak terlalu tertarik lihat pria sok cool…” jawab Aiza.

“Ooohh, itu artinya kita berbeda selera. 

Kalau aku sih, suka banget sama pria yang macho dan cool. 

Dengan sikap yang tegas seperti itu, membuat banyak wanita hanya bisa mengagumi dalam diam. 

Dan sudah tentu, dia nggak akan menanggapi banyak perempuan.  

Berbeda dengan lelaki yang terlalu ramah pada banyak wanita. 

Bisa jadi itu kata lain dari pecicilan…” Ria menjelaskan pendapatnya.

“Nggak juga. Ada kok pria yang juga cool tapi bisa menyapa banyak orang dengan tegas tapi lembut…” sanggah Aiza.

“Kamu lagi jatuh cinta, ya? 

Sepertinya kamu sedanag memuji seseorang?” curiga Ria.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Aiza pun gelagapan untuk memberi jawaban.

“Eeh, nggak juga…” elaknya. 

“Hhhmmm, ini nih muka orang yang mau mengelak. Hehehe…” ledek Ria.

“Apa sih,” Aiza pun menahan tawanya.

“Aku benarkan? Kamu udah punya pacar, makanya kamu nggak terlalu tertarik menanggapi cowok seperti Pak Riyan…” Ria pun membenarkan.

“Aku nggak punya pacar. Hanya saja, lagi dekat…” sanggah Aiza.

“ P D K T, maksudnya…?” tanya Ria menegaskan.

“Yah, begitulah. Tapi jujur saja, aku berharapnya jangan ada kata pacaran. 

Aku ingin seperti yang di filem-filem itu. 

Nggak ada pacaran, tiba-tiba nikah…” ujar aiza berharap.

“Iya sih. Tapi itukan filem, Za. Butuh scenario yang panjang. 

Berbeda dengan kenyataannya. 

Hanya sebagian kecil yang terjadi seperti itu dan berakhir dengan bahagia. 

Pada kehidupan nyata, kalau kita nggak kenal baik-buruknya seseorang, susah juga kan?” Ria pun menanggapi.

“Sepertinya kalau urusan seperti itu, kamu sudah hafal yah hehehe…” canda Aiza.

“Nggak juga, cuma mengikuti situasi aja,” ujar Ria.

“Lalu, hubungan kamu dengan cowok itu, bagaimana?” tanya Ria lagi.

“Yah begitulah. Dibilang pacaran sih nggak. 

Tapi rasanya kalau bareng sama dia yah begitu, nyaman saja…” jelas Aiza.

“Laki-laki memang pandai sekali membuat para wanita merasa nyaman. 

Ntar kalau udah nyaman, ditinggal begitu saja tanpa alasan. 

Si perempuan mau marah pun nggak bisa, karena memang nggak ada hubungan yang khusus… 

Yah, cinta memang sering membuat orang melemah, Za hehehhe…”

“Puitis sekali kamu…” goda Aiza pada temannya itu.

“Sudah ah, ayo kita makan dulu. Pasti yang lain sudah menunggu…” ajak Ria. 

Keduanya pun segera keluar kamar untuk menyantap hidangan makan malam yang dimasak oleh rekan mereka yang mendapat giliran memasak.

***

Hari itu, Aiza yang sedang free les sesuai dengan jadwal mengajar pamongnya, sedang duduk di pondok yang ada di hutan sekolah. 

Sambil mengamati tempat yang anntinya aknan mereka ubah menjadi sebuah taman. 

Tiba-tiba seorang wanita dengan perawakan yang gaul berdiri di depan gerbang sambil terus menghubungi ponselnya. 

Tampak wanita itu kesal, sepertinya karena orang yang dihubungi tak kunjung mengangkat panggilannya.

Melihat wanita tersebut yang hanya sekedar melilitkan sebuah kerudung di lehernya, Aiza pun mendekati.

Aiza mengira kalau wanita di hadapannya itu adalah tamu, ataupun wali dari seorang siswa di sekolah itu. Karena untuk menganggap wanita itu sebagai orang tua siswa, sepertinya wanita itu terlalu muda.

“Maaf, Bu. mau bertemu siapa yah?” sapa Aiza dengan ramah seperti yang sudah disarankan agar selalu memberi pelayanan yang baik, pada siapa pun yang akan berkunjung di sekolah itu. 

“Ibu, ibu. Apa tampang saya seperti ibu-ibu?” dengan suara yang pelan, namun terkesan kasar wanita itu menanggapi sapaan Aiza. Akan tetapi dengan sangat tahu diri sebagai orang baru, Aiza tetap menanggapi wanita itu dengan baik.

“Ah, maaf kak. Kakak ini mau ketemu siapa?” tanya Aiza memperbaiki kalimatnya.

“Saya mau ketemu Riyan? Apa dia ada di sini?” tanya wanita itu. 

Mendengar nama ‘Riyan’ disebut, seketika Aiza merasa mual.

“Oh Pak Riyan…? Ada perlu apa, Bu?” tanya Aiza lagi. 

Akan tetapi, wanita itu tidak langsung menjawab. Justru matanya mempreteli Aiza dari atas sampai kaki dengan almamater berwarna biru di tubuh gadis itu.

“Kamu nggak perlu tahu, aku ada urusan apa. Kamu panggilkan Riyan dulu. 

Katakan kalau saya menunggunya di gerbang ini…” tukasnya memberi perintah. 

Akan tetapi, Aiza tampak tidak sabar dengan cara wanita tersebut.

“Maaf, anda bukan atasan saya. Bagaimana mungkin anda bisa menyuruh-nyuruh saya seperti ini? 

Lagian,  saya harus bilang apa kepada Pak Riyan kalau beliau bertanya siapa yang sedang menunggunya?” jawab Aiza.

Mendengar itu, wanita tersebut semakin kesal.

“Katakan padanya, kalau Cintya sedang menunggunya. Saya calon istrinya. 

Jadi, mau nggak mau, sebentar lagi saya juga akan jadi atasan kamu. 

Jadi, kamu harus terima. Lagian, anak PKL sombong sekali cara bicaramu…” ujarnya ketus.

“Maaf, kak. Justru saya terlalu tahu diri kalau saya anak PKL. 

Makanya saya menegur kakak ke sini. 

Saya tidak tahu kalau, kakak ni adalah calon istrinya. 

Kenapa kakak nggak langsung s aja temui Pak Riyannya?” jawab Aiza melunak mengingat wanita itu adalah calon istri seperti yang disebutkan.

“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status