Share

2.

Akhir pekan kali ini Adia dan Hanif memutuskan di rumah saja. Mereka berniat membereskan halaman belakang bersama, setelah itu makan dan rebahan seharian. Adia menggunakan daster selutut dengan rambut tergelung asal-asalan, sibuk bolak-balik memberikan apa yang Hanif butuhkan. Pasalnya, lelaki itu sedang menata tanaman dan bunga-bunga ke dalam pot.

"Aku jadi gak sabar nikmatin teh sore-sore sambil natap tanaman ini," ujar Adia, Hanif menanggapi dengan tersenyum.

Selesai dengan tanaman, Hanif memilih mandi. Dan Adia menyiapkan makanan. Perempuan itu bergelut dengan wajan dan segala tetek bengek lainnya. Baru saja Adia meletakan perabotan kotor di wastafel, terdengar suara ketukan. Adia mengerlingkan mata, siapa yang bertamu siang bolong seperti ini?

Pemandangan yang sangat kontras saat pintu terbuka. Perempuan dengan dres berwarna lilac itu sedikit mengerutkan kening melihat Adia dengan dasternya, tapi beberapa detik setelah itu tersenyum anggun. Mau tidak mau Adia juga tersenyum.

"Selamat ya untuk pernikahan kalian, maaf waktu itu tidak datang," ucapnya ramah.

Adia mengerutkan dahi, tapi juga menganggukan kepala.

"Indira, teman Hanif pas SMA. Pasti gak tahu ya? Iya, awalnya aku kuliah di Jerman, eh keterusan sampai kerja di sana ...." Indira terkekeh, tangannya melambai entah pada siapa. Namun, sebuah box dan beberapa paper bag berukuran sedang kali ini sudah ada di depan Adia. "Ini kado dan oleh-oleh, semoga bisa bermanfaat, ya. Eh siapa nama kamu? Ashila?"

Adia meralat cepat, "Adia." Indira tersenyum lagi sembari melenggang ke ruang tamu.

"Ashila kan mantan Hanif, ya. Eh ...."

"Hah?" Adia melongo, Indira menutupi mulutnya. Mungkin keceplosan, tapi Adia yakin itu sengaja. Tidak tahu tujuannya apa. "Hanif lagi mandi, sebentar ya. Mau minum apa?"

"Air putih aja, nggak apa-apa."

"Kebetulan juga nggak ada apa-apa, hehe." Adia sedikit dongkol setelah mendengar mantan Hanif. Entah kenapa ia menjadi sebal kepada Indira.

"Di, aku cek toko dulu ya bentar. Kamu bersih-bersih deh, istirahat, ya." Hanif menatap istrinya dari anak tangga. Lelaki itu sudah rapi, di tangannya terdengar gemerincing kunci mobil.

Sebelum Adia menjawab, Indira sudah menyambar cepat dari sofa. Adia mendesis seraya membawa minum dan makanan ringan.

"Nif, kamu beda banget, ckckck," kata Indira, berdecak kagum.

"Loh, Indi? Kapan datang?" Hanif tergesa mendekati sahabat lamanya. "Beda gimana? Ah, sama aja perasaan."

Indira tersenyum lagi, tangannya membalas uluran Hanif.

"Kamu makin ganteng, Nif. Gak kelihatan udah punya istri," balasnya tanpa melirik Adia.

Adia mengangkat bahu, sedangkan Hanif tersenyum dan mengelus pundak istrinya dengan sayang.

"Dia Indi, temanku yang kuliah di Jerman."

Kembali Adia mengangguk. Sekarang Hanif dan Indira terlibat perbincangan yang cukup seru. Adia pamit untuk bersih-bersih, terakhir ia mendengar Indira membahas mantan Hanif lagi, Ashila.

"Ashila bisa jadi model buat produk kamu yang baru, Nif. Profesi dia kan influencer, bisa lah kamu endorse dia."

Hanif tampak mengangguk-angguk, "Nanti dipertimbangkan lagi sama yang lain. Soalnya produk baru ini kolaborasi aku sama temanku juga, Di."

"Kayaknya kamu mau pergi, Nif."

"Nggak kok, santai," balas Hanif lagi.

"Nggak apa-apa aku ngobrol sama Adia aja kalau kamu mau pergi."

"Aduh, aku gak enak banget sama kamu, Di. Next time kita ngobrol lagi deh, maaf banget ya," sesal Hanif. Indira mengangguk mantap, tak lama Adia turun, dia terlihat segar setelah mengganti pakaian dan menggerai rambutnya.

"Iya, Sayang. Kris udah chat aku, dia nungguin kamu kayaknya."

"Yaudah, aku pergi dulu, ya. Kamu temanin Indira di sini." Hanif menyodorkan punggung tangan yang langsung Adia sambut dengan hangat.

Baru saja beberapa langkah, Hanif meraba celananya, kemudian berbalik lagi dengan senyuman. Adia mendesah seraya memberikan kunci mobil.

"Aku pulang cepat, Sayang." Hanif mengecup pipi istrinya pelan.

"Pelupa dia tuh. Suami kamu gitu gak?" tanya Adia, mengempaskan pantatnya ke sofa.

"Aku belum nikah, Di." Indira menjawab tenang. "Dan kayaknya emang nggak bakal nikah deh," lanjutnya lagi.

Adia mengerutkan kening, sementara Indira menyilangkan kakinya elegan.

"Aku udah biasa hidup sendiri, Di. Udah nyaman kayak gini, jadi ngerasa ogah aja harus terikat pernikahan." Jawaban Indira membuat Adia terkekeh pelan.

"Tapi suka ngerasa kesepian gak sih?" Adia kembali bertanya, matanya terfokus pada Indira yang cantik.

"Kadang," jawabnya singkat.

"Lihat-lihat ke belakang, yuk. Aku sama Hanif lagi bikin taman gitu ceritanya."

Indira langsung mengiyakan. Ia dan Adia melangkah bersamaan.

"Adia, maaf ya yang tadi."

Adia menoleh, lantas memberikan jus pada Indira. Mereka duduk di kursi kayu yang menghadap taman yang belum selesai itu.

"Aku ngomongin Ashila, aku tahu kamu tadi nguping obrolan aku sama Hanif," ucap Indira lagi.

"Gak apa-apa, Di. Aku udah nggak cemburu lagi sama hal kayak begini. Lagian kan itu masa lalu, semua orang punya itu."

Indira tersenyum senang mendengar respon Adia.

"Tapi kamu harus hati-hati sama Ashila, Di." Kembali Indira menajamkan matanya, Adia tersenyum tidak mengerti.

"Kabarnya, Ashila suka goda-goda suami orang," bisik Indira, Adia mengerutkan dahi.

"Masa sih? Kamu tahu darimana?"

Indira berdecak, diseruputnya jus sampai habis. Mata yang menyorot tajam itu sukses membuat Adia memundurkan wajah.

"Dia simpanan sugar daddy!"

"Bapak gula?" Adia mengernyit.

"Pokoknya gitu-gitu deh." Indira bergidik.

"Kamu juga simpanan sugar daddy?" celetuk Adia. Indira memalingkan muka, sedikit kesal karena Adia kurang ajar.

"Aku mah melihara brondong kinyis-kinyis, Di. Hehehe."

"Sugar baby?" Pertanyaan Adia disambut pelototan Indira.

"Kadang aku kesepian, Di. Aku cari deh brondong-brondong manis gitu," bisik Indira jujur.

"Kamu sama Ashila gak ada bedanya, Indira!" Adia menyeringai.

"Bedanya, aku tiap bulan keluar duit biayain sugar babyku. Kalo si Ashila, dia yang dibiayain."

Adia dan Indira tertawa bersamaan. Lalu, Indira pamit pulang. Sebelum itu memberikan undangan berwarna keemasan kepada Adia.

"Kamu harus datang, Di. Aku bikin syukuran sama reuni kecil-kecilan gitu di rumah." Indira melambaikan tangan sebelum memasuki mobil. "Eh, nanti kita gibah lagi ya, Di."

"Kamu suka gibah juga di Jerman?"

Indira mengelus dada mendengar kelakaran Adia.

"Kadang-kadang sih, Di. Gibah sama pembantu rumah tangga kalau di sana."

"Ngomongin apa sama mereka?"

"Ngomongin aktor yang baru keluar penjara dikalungin bunga bak pahlawan. Kalau dengar yang kayak gitu aku udah bisa tebak, pasti di Indonesia."

****

Jemari Adia masih bergerak lincah di atas keyboard laptop, mengetik kata demi kata dengan seksama, sesekali menyesap kopi yang sudah mulai mendingin. Dilirik jam tangan yang melingkar, Adia mendesah lantas menutup laptop. Sudah waktunya beristirahat.

Sementara itu, Hanif tengah melakukan videocall dengan salah seorang rekan bisnisnya. Saat Adia kembali ke ranjang, Hanif menutup perbincangan, dia tersenyum sekilas pada istrinya yang bersiap tidur.

"Tadi ada undangan dari Indira." Adia memulai pembicaraan. Hanif menoleh dan mengerutkan kening bersamaan.

"Undangan apa?"

"Reuni kecil-kecilan katanya," balas Adia, sedikit tidak tertarik.

Lelaki itu mengangguk, lalu matanya kembali pada laptop. Entah apa yang sedang dikerjakannya itu. Adia menarik selimut menutupi separuh badannya, pelan ia menutup mata. Namun, tiba-tiba saja ucapan Indira siang tadi terngiang. Adia mengangkat kepala, melihat apa yang membuat Hanif fokus.

"Kamu lagi ngapain?" Adia menyipitkan mata.

"Lagi baca-baca berita bola, Di," jawab Hanif sembari cengir.

"Aku kira lagi ngerjain apa gitu!"

"Ini akhir pekan, Adia. Biarin lah kita istirahat dulu, jangan dipaksain kerja. Kamu juga harus begitu besok-besok, ya." Hanif tersenyum, tangannya bergerak kembali di atas mouse.

Adia menyandarkan kepala di pundak Hanif. Tiba-tiba matanya menangkap berita yang cukup menarik. Adia meminta Hanif mengklik artikel berjudul 'Selebgram berinisial SS terjerat kasus prostitusi online di sebuah hotel di Bandung'.

"Ngapain sih baca beginian?" Hanif mengerlingkan mata bosan. Namun, Adia tetap membaca kata demi kata di artikel tersebut.

"Kenapa ya dia melakukan ini?" Adia mendongak pada Hanif, suaminya mengangkat bahu.

"Padahal aku yakin dia kaya loh," sambungnya lagi.

"Kurang bersyukur. Udah dikasih fasilitas, cantik, terkenal, masih aja ngerasa kurang." Hanif mengisap rokoknya dalam.

"Influencer cantik-cantik, ya? Si SS ini pasti cantik banget sih!"

"Kan yang mereka jual itu visual, Di. Kalau good looking ya pasti pas jadi ambassador banyak orang yang tertarik juga, secara yang ngiklanin juga begitu," gumam Hanif, lalu menyimpan laptop di meja. Ia dan Adia sama-sama menatap langit-langit kamar yang remang-remang.

"Eh, mantan kamu juga influencer, kan? Tadi aku sempat dengar Indira ngobrolin itu ke kamu."

"Iya, followersnya 500 ribuan kalau gak salah," balas Hanif lagi.

Adia menarik napas, menganggukan kepala.

"Kamu follow dia?" Adia beringsut, matanya menatap curiga. Hanif mengangkat pundaknya sebagai jawaban. "Apa username-nya? Aku mau follow dia juga," sindirnya lagi.

"Dia sempat DM aku, tapi kita nggak saling follow kok."

Adia membulatkan mulut. Entah kenapa perasaannya agak kurang baik setelah Hanif mengatakan itu.

"DM ngucapin selamat sama pernikahan kita. Terus juga beberapa kali ngajak ngopi," ujar Hanif jujur.

Adia melirik, hatinya langsung merasa kesal. Apa mereka pernah bertemu diam-diam? Memikirkan itu rasanya semakin membuat Adia mual.

"Tapi nggak pernah aku temuin, sibuk. Gak tahu kalau nanti senggang," ungkapnya lagi.

"Cantik dia?" tanya Adia, alisnya terangkat.

Hanif menjawab sambil terkekeh, "Ya gitu deh." Setelah mengatakan itu, Adia tidak merespon apapun. Perempuan itu menarik selimut dan memiringkan tubuhnya.

"Gitu gimana?"

Terdiam, Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Indira bilang kamu mau jadiin dia ... eh siapa namanya?"

"Ashila."

"Nah itu si Ashila, mau jadi model buat produk baru kamu?"

Hanif melirik istrinya. Hanif mendengar nada suara Adia berubah. Sedikit sewot dan serak. Cemburu? Tumben!

"Aku masih harus meeting lagi sama Kris untuk itu," bisik Hanif.

"Kan kata kamu jadi infulencer harus punya visual yang baik, berarti secara tidak langsung kamu bilang dia cantik!"

Loh? Diam-diam Hanif menyeringai mendengar Adia yang sedikit menggebu-gebu.

"Ya, dia emang cantik sih. Langsing, putih, penghasilannya gede. Pokoknya sempurna deh."

Adia membalikan tubuhnya, dan ia melihat Hanif sedang mengangguk-anggukan kepala pertanda setuju dengan apa yang diucapkan Adia.

"Kayak, jauh banget gitu sama aku. Aku nggak ada apa-apanya sih dibanding Ashilla."

Untuk kesekian kali Hanif mengangguk. Adia menyilangkan tangan, napasnya menderu menahan kekesalan yang memuncak.

"Kamu emang dari dulu senangnya sama cewek berawalan huruf A ya? Ashila, Anya, Ayu, Adia ... A terus huruf pertamanya!"

"Kenapa jadi bahas ini sih?" Adia mengelus dada menyadari ucapannya yang sedikit frontal.

"Makanya, jangan senggol-senggol masa lalu. Giliran udah dibahas malah kamu sendiri yang bete."

Perempuan itu nyengir kuda.

"Kamu yang duluan ngomongin itu, kamu sendiri yang badmood. Cewek!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status