Share

3.

Indira menyambut tamunya satu persatu. Menebarkan senyuman pada teman-temannya yang tiba. Tepat saat Adia dan Hanif tiba, Indira berseru girang. Teman-teman yang lain juga mendekat, menyapa Hanif, kemudian mereka berbincang tentang kehidupan dan kerinduan. Indira menarik tangan Adia menjauh dari Hanif, membawa Adia bergabung dengan teman-teman perempuannya.

"Adia, ya? Kita kemarin ketemu pas kamu nikah hehehe."

Adia menganggukan kepala, membalas basa-basi mereka.

"Hanif gimana, Di? Dia pas jaman SMA nyebelin banget, masa dia nulis 'kutunggu jandamu Bu Endang' di toilet belakang."

Semua orang terkekeh mendengar perkataan itu. Lalu saat Adia sedang menyimak obrolan-obrolan yang lain, tiba-tiba saja seorang perempuan dengan tas branded melambaikan tangan. Menyapa dengan percaya diri. Cewek-cewek itu langsung berdiri seraya berdecak melihat siapa yang datang, Ashila.

"Shila, ya ampun. Kangen banget kita-kita sama lo!"

Ashila menanggapi dengan elegan. Membalas cipika-cipiki temannya, lantas sedikit mengernyit melihat Adia yang tidak bereaksi apapun.

"Ini Adia, istrinya Hanif. Masa lo nggak tahu sih?"

Perempuan berambut kecoklatan itu mengangguk, "Gak pernah diposting sih, jadi gue sama sekali gak tahu. Sorry." Ashila mengulurkan tangan, langsung dibalas oleh Adia.

"Tidak semua harus jadi konsumsi publik, kan?" celoteh Adia, dibalas cekikikan cewek-cewek di belakangnya.

"Lo masih cantik aja sih, Shil. Bagi resep dong!"

"Duit!" jawabnya lugas, kakinya menjauh, mendekati cowok-cowok yang sedang berkurumun.

Adia memantau dari sini, matanya sesekali menyipit melihat tingkah Ashila. Tepat saat Hanif kembali ke kumpulan cowok-cowok itu, Ashila seketika terkesiap. Menyapa dengan bercipika-cipiki ria. Dari kejauhan, Adia mengembuskan napas gusar.

"Di, kamu udah kenalan sama Ashila?"

Adia tersenyum datar disertai anggukan. Pun dengan Ashila. Perempuan itu memandang dari ujung kepala sampai kaki, kok bisa Hanif menikah dengan perempuan seperti ini? Begitu pikirnya. Adia terlalu sederhana. Dia bahkan hanya mengenakan blouse berwarna mint dengan rok dan tas yang sama sekali tidak bermerk. Melihat ke sana, Ashila merasa jauh lebih unggul dari istri sahnya Hanif.

"Kalau kamu butuh model untuk produk baru kamu, aku siap kok, Nif. Bisa diskon 45% loh!"

"Produk baru ini kolaborasi Hanif sama beberapa temannya, jadi untuk model harus dirundingkan lagi. Lagipula yang kami keluarkan itu cuma merchandise sama alat-alat outdoor, saya sedikit tidak yakin kamu mau endorse produk itu." Adia mengelus tangan suaminya dan undur diri dari hadapan Ashila.

Selepas Hanif dan Adia pergi, Ashila mendesis tajam. Dia merasa sedikit terhina dengan perkataan Adia. Bisa-bisanya melontarkan perkataan seperti itu padanya.

"Selera Hanif berubah, ya ...."

Ashila menoleh pada Indira yang membawakan minuman untuknya.

"Karena semakin dewasa, yang kita butuhkan bukan lagi visual semata, tapi isi kepala." Indira terkekeh. Sedangkan Ashila menandaskan minumannya.

Ashila mengetuk-ngetuk jemarinya, masih merasa kesal pada ucapan spontan Adia. Dan lagi, Indira juga seperti sengaja memanas-manasinya.

"Adia nggak ada apa-apanya dibanding gue. Ya gak sih?"

"Tapi sanggup membuat Hanif bertekuk lutut padanya, kan?" Kembali Indira menyeringai.

Ashila mengemasi tas brandednya. Indira beranjak dari sofa, mengerutkan kening melihat Ashila yang sudah bersiap pulang.

"Kabarnya, sugar daddy lo keciduk KPK, ya?" tanya Indira tenang. Ashila memalingkan wajah, merasa muak lama-lama berada di sini.

"Udah berapa milyar uang rakyat yang dia pake buat biayain lo? Ups, jangan tersinggung, wong fakta kok."

Hampir saja Ashila kehilangan kesabaran dengan mengacak-acak pesta Indira. Namun, sebelum itu, dua polisi datang. Indira dan semua orang kaget, mereka berkerumun untuk mengetahui alasan polisi-polisi itu.

"Bisa ikut ke kantor polisi, Mbak Ashila?"

Ashila terperanjat, kaget.

"Anda terlibat dalam korupsi dana bansos bersama Pak Hendrawan."

"Loh, saya nggak tahu apa-apa!" Ashila tersenyum kecut. "Bapak ini ada-ada saja, salah orang kali." Perempuan dengan tas seharga 1 buah unit mobil itu masih menyangkal.

"Silakan menjelaskan lebih lanjut di kantor polisi," ucap polisi dengan kumis tebal seraya menunjuk mobil.

Ashila mendesis. Tidak terima. Kenapa ia harus kebawa-bawa? Biarlah si tua bangka itu membusuk di penjara. Kenapa pula harus melibatkan Ashila yang jelas-jelas hanya kecipratan sedikit dari uang haram itu. Dengan terpaksa, Ashila mengikuti dua polisi tadi.

Dari balik kaca mobil, ia melihat teman-temannya berbisik, pasti menggunjingnya. Sialan. Padahal belum tentu Ashila bersalah.

"Udah gue duga sih kalau dia simpanan om-om!"

"Iya lah, masa cuma jadi selebgram doang bisa liburan tiap bulan, beli barang-barang branded, tinggal di apartemen mewah. Kabarnya, dia juga udah nyicil rumah. Gila gak tuh!"

"Makanya jangan nilai orang dari covernya doang."

"Gue yakin kalau pun dia gak ditahan karena ikutan nilep dana bansos, pasti karena hal lain. Lihat aja."

****

"Nif, aku kerja dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang." Adia mengelus pundak suaminya, lelaki itu mengangguk dan mendaratkan ciuman di pipi Adia.

"Di, lihat deh." Hanif memajukan dagu pada televisi yang sedang memuat berita pagi.

Adia membesarkan volume televisi. Suara seorang reporter terdengar merdu di telinganya. Perempuan dengan jas dan rambut rapi itu membawakan sebuah kabar hangat pagi ini, Ashila terlibat dalam kasus yang cukup serius.

"Kok bisa, ya?" Adia berdecak.

"Dia simpanan ketua partai," balas Hanif sembari menyimpan cangkir kopi.

"Udah lah gak penting juga."

"Aku gak mau kamu cemburu-cemburu gak jelas lagi," gumam lelaki itu.

Adia mengedikkan bahu, menyambar kunci mobil dan melenggang.

Setelah istrinya pergi, Hanif mandi dan berganti pakaian. Bersiap pergi ke kantor untuk meeting pagi bersama Kris. Selesai meeting, mampir ke toko untuk melihat stok barang.

"Ini siap dikirim ke Garut sama Tasikmalaya, Mas." Kiki, karyawan tetap Hanif sedang mengemas barang.

"Toko rame?" tanya Hanif lagi.

"Lumayan, Mas. Lebih rame di online, sih, hehehe."

"Alhamdulillah. Ini kopi sama makanan, sok makan. Saya mau ke atas dulu."

Hanif berlalu, melihat lantai atas outletnya. Melihat adiknya yang baru bangun tidur.

"Gimana kolaborasi sama mas Kris, Mas?"

"Bulan depan launching." Hanif menyalakan rokok, dan duduk di sofa, melihat Kian yang bergegas mandi.

"Gimana kuliah kamu?" tanya Hanif lagi. Kian mengangguk.

"Aman, Mas."

Hanif termangu, matanya menatap ke sembarang tempat. Rokok kembali dihisap dalam-dalam. Ada rasa sesak setiap melihat Kian. Ingatan masa kecilnya berkilatan. Hanif merasa sedih, sekaligus marah. Namun, entah kepada siapa ia harus menyalurkan itu semua.

"Hari ini ulang tahun ibu, Ki. Kita ke sana, ya."

Sejenak Kian menghentikan aktivitasnya. Ia membalikan tubuh, menatap sang kakak yang menunduk lesu.

"Ibu nggak akan ngamuk lagi 'kan, Mas?" tanya Kian sedikit ragu.

Hanif menarik napas berat, kepalanya menggeleng.

"Nggak, Ki. Mas ajak mbak Adia juga."

Kian mengganti pakaiannya dengan yang lebih rapi. Sebentar ia menatap pantulan dirinya di cermin. Tampak menyeramkan dengan rambut yang dibiarkan memanjang.

"Kapan kamu potong rambut?" Hanif menepuk bahu adiknya.

Kian terkekeh, "Masih sayang, Mas. Nanti aja."

"Gondrong doang, gak megang pasar kamu, Ki," kelakar Hanif disambut tawa renyah sang adik.

"Uangnya ditabung buat halalin anak orang, hahaha."

Hanif mengerutkan dahi mendengar ucapan spontan Kian.

"Kamu udah mau nikah?" tanya Hanif, mengekor langkah Kian ke dapur.

Kian menyalakan kompor, memasak mie instan. Sembari menunggu, cowok berusia 20 tahun-an itu duduk di kursi pantri.

"Jangan dulu lah, kamu kerja dulu, cari uang dan pengalaman sebanyak-banyaknya," ujar Hanif lagi.

"Iya, nggak kok, Mas. Belum kepikiran aku kalau sampai harus nikah buru-buru." Kian memasukan bumbu mie. Semenit kemudian membawa mie dengan aroma soto yang menguar ke hadapan Hanif. Menawari kakaknya yang langsung dibalas gelengan cepat.

"Beli apa yang kamu mau, pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Sebelum semuanya berubah, gak sebebas dulu lagi kalau udah nikah, Ki. Beda cerita."

Kian mengangguk, memasukan mie ke dalam mulut, lagi dan lagi. Menyeruput kuahnya, sampai tandas dalam hitungan menit. Kian dan Hanif menikmati rokok di sofa yang sama. Tidak ada pembicaraan, keduanya terdiam.

"Memangnya, setelah nikah gak sebebas itu lagi ya, Mas? Mbak Adia suka ngekang-ngekang kah?" Kian menoleh.

"Nggak dong, cuma kalau udah nikah lebih sadar diri, Ki. Banyak kebutuhan lain, kita kesampingkan dulu nafsu, yang penting kebutuhan tercukupi."

Kian terkekeh, mengangguk. Mencoba menyerap perkataan kakaknya.

"Yuk, kita beli kue dulu, habis itu jemput mbak Adia."

****

"Ibu sudah jauh lebih baik, Mas. Mau makan, minum obat jugak gak ngeyel lagi. Sekarang mau ikut senam, suka nonton tv atau baca-baca koran juga."

Hanif dan Kian tersenyum bersamaan. Merasa lega karena ibu sudah cukup sehat untuk ditemui. Kemudian mereka menuju ruangan ibu. Perempuan berusia 50 tahun-an itu tampak sedang menonton televisi. Tepat saat pintu didorong, Ibu menoleh, dan langsung tersenyum melihat anak-anaknya tiba.

"Ibu kangen sama kalian," ucap ibu, air matanya menggenang.

Kian dan Hanif menghambur ke pelukan beliau. Menikmati dekapan hangat sang bunda.

"Selamat ulang tahun, Ibu."

Tiba-tiba Adia datang dengan membawa kue, tersenyum lembut nan tulus pada mertuanya. Ibu menutupi wajahnya dengan telapak tangan, terisak-isak penuh haru. Hanif dan Kian membantu ibu berdiri untuk meniup lilin.

"Terima kasih, Nak. Kalian luar biasa sekali." Ibu berbinar, detik berikutnya meniup lilin.

"Ibu, ini Adia," bisik Hanif setelah mereka duduk dan menikmati kue.

"Pacarmu, Mas?" tanya ibu sembari menatap lekat pada Adia yang kali ini memakai dres berwarna mocca.

"Istri, Bu."

Ibu terdiam, lalu mengangguk. Tangannya terulur untuk mengelus pundak Adia di sampingnya.

"Kamu mencintai Hanif, Nduk?"

Adia mengangguk cepat, "Kami sudah berpacaran selama 3 tahun, Bu."

"Maaf tidak memberitahu ibu."

"Suster ngasih tahu kok, Mas. Waktu itu kondisi ibu kurang baik, ibu jadi nggak bisa ditemui. Lagipula, ibu tidak akan bisa datang," desah Ibu.

"Doakan pernikahan Mas Hanif sama Mbak Adia ya, Bu. Mereka baik banget sama Kian." Ibu tersenyum mantap mendengar penuturan putra bungsunya.

"Jangan sakiti Hanif ya, Nduk."

"Adia nggak akan berani nyakitin Hanif, Bu," balas Hanif disertai anggukan yakin.

"Kita foto-foto ya, Bu." Adia menunjuk polaroid di tangannya.

Mereka berfoto dengan berbagai gaya. Ibu bahagia dan terlihat cantik sekali, meski usia tak lagi muda, meski di rumah sakit jiwa ini sudah lebih dari 10 tahun.

"Mbak, boleh foto kita berdua gak?" Pertanyaan Kian segera diiyakan Adia dengan mengambil ponsel miliknya.

"Ibu cantik sekali," puji Adia sembari memperlihatkan hasil jepretan.

"Benarkah?" Ibu menggeser layar ponsel Kian, lantas tersenyum melihat foto dirinya bersama Hanif dan Kian.

Jemari ibu terus menggeser layar, sampai pada sebuah foto yang memperlihatkan Kian bersama ... ayahnya? Ibu membesarkan. Dan benar dugannya, Kian dan mantan suaminya itu terlihat sama-sama tersenyum pada kamera.

"Bu, ini Kian bawa buku-buku biar ibu nggak kesepian." Kian baru kembali setelah mengambil beberapa buku dari mobil. Namun, ia langsung mendapat pandangan tidak mengenakan dari ibu. Kian mengambil pelan-pelan ponsel dari tangan ibu, dan melihat apa yang membuat ibu seperti itu.

"Kamu menemui ayahmu, Ki?"

Kian bergeming. Hanif dan Adia menoleh setelah mendengar suara lugas ibu.

"Kamu menemui si berengsek itu?" Ibu menunjuk putra bungsunya.

"Bu ...." Adia mengelus bahu ibu, menenangkan dan memintanya untuk duduk.

"Kenapa? Kenapa kamu masih menemui dia Kian?" teriak ibu lagi.

Hanif berdehem, "Bu, ibu sudah harus istirahat, dan kami akan pulang." Adia melenggang untuk memanggil suster.

"Apakah kalian masih menemui dia?"

Hanif dan Kian menggeleng.

"Kalian mau membuat ibu tambah sakit?" Ibu mendorong Hanif, melemparkan buku dan makanan dari meja. Berteriak sekeras-kerasnya, lalu menangis, terisak-isak di pojokan kamar.

"Kalian harus bahagia. Jangan temui lagi ayahmu, Mas. Dia sudah jahat sama kalian berdua. Dia sudah jahat sama ibu," desis ibu parau.

Hanif dan Kian hanya bisa terdiam, membiarkan ibu meluapkan emosi.

"Dia ... oh, bahagiakah dia bersama keluarga barunya? Puaskah dia setelah mencampakkan kita, Nak?"

Kian tertunduk lesu, air matanya sudah berjatuhan saat ibu terus mengulang-ulang perkatannya.

"Ibu ditikam rasa sakit setiap hari, ibu merasa akan mati setiap mengingat betapa bejadnya ayah kalian."

Suster tergesa-gesa menarik ibu untuk naik ke atas ranjang. Ibu meronta, menangis dengan keras, meracau tidak jelas. Ingatan masa lalunya membuat ia menjadi seperti ini. Ibu terdiam setelah suster memberikan penenang. Namun, sebelum itu ibu sempat memandang Kian dan Hanif, tertawa membahana melihat kedua putranya.

"Ibu tidak gila Hanif. Ayahmu yang memasukkan ibu ke sini. Dia yang membuat ibu kena mental sampai dilarikan ke sini. Ayahmu yang sebenarnya gila."

"Bu ...." Hanif mengacak rambut.

"Tidak percayakah anak sulung ibu ini?" Ibu kembali tertawa miris. "Kamu tahu sebenarnya sejak beberapa tahun yang lalu dokter sudah memvonis ibu TIDAK GILA. Ibu sudah bisa bebas keluar dari sini, ibu hanya perlu bantuan pisikiater. Namun, entah karena apa, ibu kembali divonis kena gangguan jiwa. Padahal ibu merasa jauh lebih sehat, ibu tidak merasa sakit dan sedih lagi mengingat masa lalu menyakitkan itu. Ayahmu punya koneksi kuat supaya ibu tidak bisa pergi dari sini. Atau malah keluarga barunya yang membuat ibu harus mendekam lebih lama di sini."

Hanif dan Kian berpandangan, kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan.

Benarkah apa yang ibu ceritakan?

"Benarkah, Suster?"

Suster berusia muda itu hanya menggelengkan kepala seraya berlalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status