Share

7.

7

Hanif memeluk Adia dari belakang, menghirup tengkuk wanita itu, mencium bahu mulusnya dengan gemas. Adia melenguh kecil. Membuat Hanif semakin merapatkan dirinya, lalu menutup mata, Adia mengusap tangan Hanif yang melingkar. Menolehkan kepala, napas keduanya menderu, Adia melumat bibir Hanif. Mata lelaki itu terbuka. Langsung beradu dengan bola mata Indah Adia.

"Hai," bisik Adia mesra.

Kembali Adia menautkan bibirnya, mengecap rasa manis dan bau sisa isapan rokok di bibir Hanif. Adia terengah-engah, tangannya mengusap setiap inci wajah Hanif, lantas mendorong tubuh itu sampai terjatuh di sofa.

Mata Adia berkedip, menggoda Hanif yang berusaha duduk tenang. Kimono berbahan satin itu perlahan diloloskan. Tersisa dres transparan berwarna hitam selutut, Adia terlihat seksi nan menggemaskan. Hanif melambaikan tangan, tapi Adia hanya berdiam di tempat, sehingga Hanif berinisiatif membawa perempuan itu ke pangkuannya. Namun, Adia memerintahkan untuk duduk kembali. Mau tidak mau Hanif menurut, setengah kesal.

Hanif tercengang sekali lagi melihat aksi yang dilakukan Adia. Istrinya itu meloloskan g-string berukat dari pahanya. Tidak bisa berkata-kata, Hanif hanya melenguh, membayangkan di balik dres itu tidak ada apa-apa sekarang. Sesuatu di balik celananya memberontak, Hanif mendesah memanggil nama Adia beberapa kali.

Melihat suaminya tersiksa, Adia segera duduk di pangkuan Hanif, meremas rambut lelaki itu. Tangan Adia turun ke bawah, meremas sesuatu yang tegang nan keras milik suaminya. Mengocoknya perlahan.

"Sayang ...."

"Ya?" Adia menatap netra sayu Hanif.

Tangan Hanif menyingkap dres, lalu sesuatu yang sudah mengeras itu dimasukkan perlahan, hati-hati.

Mendesah, melenguh, Adia menggigit bibir bawahnya. Hanif menatap dari bawah. Adia benar-benar seksi, dan Hanif tidak bisa menahan diri lagi untuk mendorong sesuatu itu lebih dalam.

Adia menggerakan pinggulnya, mengikuti permainan Hanif. Keduanya bersahutan, memanggil nama masing-masing untuk mencapai puncak kenikmatan.

Bibir Hanif mengecap leher Adia, meninggalkan bercak kemerahan di dadanya. Meremas dada itu untuk dijadikan pegang. Sementara Adia semakin kuat menggoyangkan pinggulnya.

Keduanya melenguh panjang, mencapai klimaks bersama. Setelah itu saling berpandangan, tersenyum malu-malu. Hanif membawa Adia ke ranjang, mengusap peluh dan menyelimutinya.

"Terima kasih, Sayang." Hanif mengecup dahi Adia sekali lagi.

Adia melingkarkan tangannya di perut Hanif. Matanya menyapu pada laut lepas di luar sana. Merasakan damai melihat ombak yang berlarian. Ingatan Adia kembali pada saat Hanif mengungkapkan perasaannya beberapa tahun yang lalu. Di sebuah pantai yang ada di Jawa Barat. Hanif belum seganteng sekarang, ia hanya mengenakan boxer dan kemeja pantai, serta sendal jepit dekil.

"Nif, sebenarnya kita ini apa?" Adia melirik Hanif yang sedang menatap matahari tenggelam.

Hanif membalas tatapan Adia, sedikit ragu untuk menyatakan apa yang selama ini menjadi beban dalam hatinya.

"Aku gak mau kita jalan terus tanpa ada ikatan yang jelas, Nif. Aku gak mau cuma jadi teman penghilang bete kamu doang. Sebenarnya aku ini siapa kamu?"

"Aku bingung, Di ...." Hanif mendesah.

"Bingung kenapa? Kamu tinggal jawab jujur ke aku. Kalau memang cuma mau sekadar jadi teman, kamu jangan sok memperlakukan aku istimewa. Kamu bisa langsung bilang!" Adia menaikkan nada suaranya. Adia kesal karena takut Hanif memberikan jawaban yang tidak memuaskan.

"Memangnya kalau lebih dari teman kamu mau?"

"MAU!" seru Adia cepat.

Mengingat hari itu, Adia malu dan kesal sendiri. Namun, jika tidak ditegaskan, sampai hari ini mungkin keduanya tidak akan menjadi pasangan suami-istri. Hanif begitu plin-plan dan penakut dulu. Saat Adia tanya, kenapa tidak mengungkapkan perasaan dari dulu, Hanif hanya menjawab, "Yang suka ke kamu banyak, Di. Aku mundur aja lah," Adia menyubit perutnya, sebal. Hanif bahkan mundur sebelum persaingan dimulai.

"Tapi pada akhirnya kamu milih aku, Di. Gak nyangka banget, padahal aku gak ganteng-ganteng banget."

"Maka dari itu, aku mau bantu kamu supaya ganteng banget, Hanif!"

Kembali ke hari ini, Adia menelungkupkan wajahnya, merasa malu mengingat kejadian beberapa tahun lalu.

Hanif mengisap rokok, sebelah tangannya mengusap punggung telanjang Adia.

"Aku lapar, Nif." Adia mendongak.

"Apa tadi menggunakan cukup banyak energi, Sayang?"

"Hanif!" Adia menyembunyikan wajahnya di dada Hanif, malu.

Kenapa Hanif senang menggodanya sih?

****

"Are you ready?"

Adia menoleh disertai anggukan mantap. Kali ini perempuan itu sudah berhadapan dengan Hanif, suaminya menatap intens, satu alisnya terangkat.

Tatapan Hanif membuat Adia salah tingkah. Adia menunduk, bingung.

"Di ...." Hanif mendongakkan dagu Adia, mereka berhadapan kembali.

"Kenapa? Make up aku terlalu menor, ya?" Pertanyaan Adia membuat Hanif menyeringai. Digelengkan kepala sebagai jawaban, lantas tangan kiri menarik pinggang Adia untuk merapat ke tubuhnya.

Adia berdebar, Hanif mengejutkannya sekarang.

"Kenapa perempuan suka sekali overthinking?" bisik Hanif mesra. Deruan napas hangatnya sukses membuat bulu kuduk Adia meremang.

"Di ...." Hanif membisik lagi, mencium aroma parfum yang Adia semprotkan ke belakang lehernya.

"Ya?" jawab Adia, debaran di dadanya sudah tidak sekencang tadi. Adia lebih tenang kali ini.

"Jangan khawatirkan sesuatu yang jelas-jelas tidak terjadi!"

Hanif meremas bahu Adia. Menatap wajah cantik itu tanpa bosan. Seolah sayang untuk dilewatkan walau hanya satu detik.

"Kamu cantik, cantik sekali."

Lagi-lagi Adia terdiam, tidak tahu harus membalas apa. Namun, jujur saja bulu kuduk Adia selalu meremang saat Hanif memuji kecantikannya. Entah benar atau tidak pernyatannya tersebut, tapi Hanif sukses membuat Adia senang. Senang sekali. Karena terlalu senang, Adia hanya bisa pasrah saat Hanif menaruh bibirnya di tengkuk mulus Adia.

Hanif menggerakan jemarinya di wajah Adia. Mengusap setiap inci karya indah Tuhan. Berhenti di bibir, Hanif mengusap bibir bergincu merah itu, kemudian dipagutnya pelan. Adia terlihat kaget, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Namun, sigap Hanif menangkapnya.

Lidah Hanif bergerilya di mulut Adia. Menghisap, menggigit, memagut kembali. Sampai Adia melepaskan diri dan terengah-engah.

Hanif bertanya lewat alisnya yang diangkat tinggi-tinggi.

"Kita mau dinner," desah Adia.

"Eh, maaf ...!" Hanif terkekeh kecil.

"Lipstik aku luntur gak?" Pertanyaan Adia dijawab gelengan. Adia menggandeng Hanif mesra, siap pergi ke restaurant yang langsung menghadap pantai.

"Sedikit luntur, Di. Mungkin bisa dioleskan sedikit lagi," ucap Hanif ragu.

Adia mendengus sembari kembali ke meja riasnya.

Dres sabrina berwarna putih menemani makan malam Adia. Dia terlihat senang saat pelayan mempersilakan duduk di kursi yang langsung menghadap pantai. Cahaya lilin membuat suasana romantis. Adia tidak berhenti tersenyum, tangannya menggenggam Hanif, seolah tidak sebentar saja untuk dilepaskan.

Kemudian hidangan datang, dan mereka menikmatinya. Sesekali saling beradu pandang dan mengobrol ringan.

"Senang gak?" tanya Hanif.

Adia mengangguk setelah menandaskan minum.

"Nanti kita ke Bali, ke Dubai, ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Doain aku biar bisa wujudin itu semua," lanjut Hanif lagi.

"Aku selalu doain kamu, Nif. Selalu ...." Adia tersenyum hangat. Menggenggam tangan Hanif, mengecupnya pelan.

Hanif melenguh, diusapnya bahu Adia.

"Makasih, Adia."

"Sama-sama, Hanif."

Adia dan Hanif bergandengan untuk kembali ke hotel, Hanif memberikan jasnya untuk Adia kenakan. Perempuan itu tampak kedinginan dan sedikit menyesal menggunakan dres tipis nan terbuka.

"Nif, kayaknya aku masuk angin deh!" keluh Adia.

Hanif buru-buru mendekat, memegang dahi Adia, lalu berdecak.

"Iya, harusnya kamu pakai dres yang agak tebal. Angin pantai kencang, Di." Hanif berlalu ke lemari, memberikan piyama bermotif sapi. "Mau kerokan gak biar enakan?"

"Kamu juga milih restaurant yang kayak begitu, harusnya kita makan malam di hotel aja. Nah, besok lunch baru di restaurant itu," balas Adia, "Nif, ini resleting aku nyangkut. Bantuin!" Adia merengek, Hanif mendengus dan segera meloloskan dres Adia.

"Adia ...."

"Hanif?"

"Tapi kamu senang, kan, tadi?"

"Tapi aku masuk angin udahnya!" Adia bersembunyi di balik selimut.

Mata Hanif membulat, selanjutnya melenggang ke kamar mandi sambil menikmati sebatang rokok. Tak lama terdengar ketukan memanggil-manggil namanya.

"Katanya mau kerokin aku?"

"Iya, Sayang. Hayuk!" Kepala Hanif nongol di pintu, tersenyum. Adia mendesis.

"Kayak kepaksa gitu?"

"Nggak, Sayang. Tadi aku ngerokok bentar ...."

Sebelum Hanif melanjutkan perkataannya, Adia sudah berlalu.

"Udah, ya, aku gak mau dengerin penjelasan kamu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status