Share

8.

"Ini Om Andi, suami baru bude."

Bude Asih menunjuk lelaki berkacamata dengan rambut dicukur rapi.

"Adia sini, Sayang. Boleh nggak bantu-bantu bude?"

Adia mengangguk, mengikuti bude Asih ke dapur. Sementara Hanif mengobrol dengan om Andi.

"Kata bude Asih, om pisikiater. Benar?" Hanif melirik lelaki berkacamata itu. Dijawab anggukan oleh om Andi. Hanif merogoh ponsel dari sakunya. "Ini ibu saya, Om. Sudah lebih dari 10 tahun di rumah sakit jiwa. Kemarin saya dengar pernyataan dari beliau, ibu bilang, sebenarnya dia tidak sakit. Bahkan beberapa tahun lalu dokter sudah memperbolehkan ibu pulang, dengan syarat harus didampingi pisikiater."

Om Andi membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya, mengambil ponsel dari tangan Hanif, mengamati foto perempuan dengan rambut tergelung dan sebuah buku di tangan. Kepala om Andi diangguk-anggukan, selanjutnya berdehem seraya kembali menatap keponakannya.

"Sepertinya yang ibu kamu katakan benar, Nif. Maksud saya ... dia terlihat sehat dan stabil."

Hanif menatap om Andi antusias.

"Ibu saya seorang dosen, Om. Dia juga aktif di beberapa kegiatan sosial. Yang membuat saya cukup yakin dengan pernyataan ibu, suster memberikan buku yang berisi tulisan ibu. Ibu menulis dengan rapi dan logis. Ibu saya menulis artikel tentang politik, Om."

Mengangguk untuk kesekian kalinya. Om Andi menepuk pundak Hanif, "Saya akan mengadakan seminar beberapa minggu lagi di Jakarta, nanti kita temui ibumu bareng-bareng, ya."

****

Adia mematut dirinya di cermin, setelah dirasa pas segera menyambar tas dan ponsel dari meja. Melirik ke ranjang, suaminya masih tertidur pulas, Adia mendesah seraya mendekatinya.

"Nif, aku berangkat, ya." Adia mengelus rambut Hanif. Lelaki itu menggeliat, mengucek mata sebentar, melirik jam di nakas. Selanjutnya mengangguk.

Hanif menarik Adia untuk duduk di kembali di ranjang, Adia terlihat sedikit kesal. Ia bisa telat, dan bajunya bisa kusut seketika.

"Apa?" Adia membalas tatapan sayu suaminya.

Tanpa menjawab, Hanif langsung mendekap Adia, gemas. Mengecup wangi parfum dari dres yang dikenakannya, mengendus leher Adia, tangannya menggerayang. Adia segera menepis dan menegakkan bahu Hanif.

"Nif ...." Adia menaikkan alis, Hanif memasang ekspresi sok imut.

"Ya, Baby," balas Hanif serak.

"Gak boleh, ya. Aku telat, ada meeting sama Pak Hilman. Doakan naskahku diterima, ya." Adia mengecup pelan pipi suaminya.

"Gitu doang?" tanya Hanif setelah Adia menenteng tas-nya dan siap untuk pergi.

Adia menoleh, mengernyit. Hanif membulatkan mata seraya melorotkan bahu, kenapa Adia tidak peka sih?

"Kamu belum gosok gigi, aku gak bisa." Adia melambaikan tangan sebagai perpisahan.

Diam-diam Adia menyeringai melihat kelakuan Hanif. Setiap pagi lelaki itu selalu ingin dimanja, Adia dipeluk-peluk, dicium. Ketika Adia berhasil mandi dan berganti pakaian, Hanif malah selalu sukses membawanya kembali ke ranjang. Menyebalkan. Namun, itu terus berulang-ulang sampai Adia telat atau bahkan tidak pergi ke kantor sama sekali.

"Sayang, kunci mobil ketinggalan!" Hanif berteriak dari atas. Adia meraba tas, dan benar saja kunci mobilnya tidak ada di sana.

Bergegas mengenakan boxer, Hanif menuruni anak tangga dan langsung beradu pandang dengan istrinya yang tersenyum manis.

"Makasih, ya." Adia menerima kunci mobil dari suaminya.

"Salim dulu sama suami, gak sopan main pergi-pergi aja," ucap Hanif disertai tatapan tajam.

Adia mendesah, lantas kembali pada suaminya. Setelah mengecup tangan Hanif, perempuan itu sudah siap pergi. Namun, tangan Hanif mencegahnya. Membuat Adia mengangkat alis tinggi-tinggi, seolah memberikan pertanyaan, 'maksudnya apa nih?' Hanif mengelus perut ramping Adia, memeluknya dari belakang.

"Di?"

"Ya ...," jawab Adia ketus. Biasanya setelah Hanif bersikap seperti ini, Adia tidak jadi pergi ke kantor. Tidak peduli sudah serapi apapun. Hanif menggagalkannya dengan memangkunya kembali ke ranjang.

"Kamu ngerasain sesuatu gak?"

Embusan napas Hanif di tengkuknya sukses membuat Adia merinding. Namun, Adia tidak ingin mengalah begitu saja. Dia mendesis, jengkel.

"Ada yang berdiri tegak, tapi bukan keadilan," bisik Hanif dibarengi tawaan kecil.

Terdengar lenguhan kecil Adia saat sesuatu keras terasa menggesek pantatnya. Hanif meraih jari-jari kecil Adia. Kini jemari itu sudah berada tepat di antara paha Hanif, mengelusnya pelan-pelan.

"Sayang, ya ... sebentar aja," bisik Hanif, serak. Mulutnya mengecup tengkuk Adia.

Hanif menyingkap dres Adia, meremas pantatnya sebentar. Adia melenguh. Membiarkan tangan Hanif meloloskan celana dalamnya.

Jemari Hanif mengusap gundukan tembem di antara kedua paha Adia. Adia basah, dan tampak sudah sangat siap. Hanif mendorong Adia untuk duduk di sofa.

Perempuan itu terengah-engah, menunggu Hanif yang sedang memainkan benda pusaka miliknya. Hanif mendatanginya, membuka paha Adia dengan lebar. Adia melenguh saat merasakan lidah Hanif menari dengan bebas di bawah sana. Dijambaknya rambut suaminya itu, Adia mengerang, meminta Hanif terus menjilatinya.

Adia merasa sesuatu akan segera meledak dari dirinya. Mendesah lebih keras, sampai cairan putih itu meleleh dari dalam dirinya. Hanif menjilatinya sampai tidak tersisa.

Seperti biasa, setelah merasa puas, perempuan akan tersenyum malu-malu. Hanif mengedipkan mata setelah membersihkan paha Adia dengan tisu.

Hanif berlalu menyalakan rokok, sementara Adia mengenakan celana dalamnya kembali.

"Kamu ... nggak?" Adia bertanya pelan. Dibalas senyum disertai gelengan oleh suaminya.

"Tapi, kamu?" Kembali Adia bertanya.

Hanif mengangkat bahu, mengisap kembali rokoknya.

"Ada banyak stok sabun di kamar mandi," kelakar Hanif dibalas tatapan ngeri istrinya.

"Aku pasti pulang cepat, Sayang." Adia mengedipkan mata dari balik kaca mobil. Hanif melambaikan tangan dan memberikan ekspresi sebal saat Adia mengulurkan lidah, menggodanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status