Share

9.

Cuaca cerah di akhir pekan, Hanif mengajak Adia motoran keliling-keliling. Menikmati kuliner, foto-foto, ngobrol banyak hal selama di perjalanan. Menyenangkan sekali. Mereka seperti kembali ke masa-masa pacaran beberapa tahun lalu. Dan memang jalan-jalan di akhir pekan selalu dilakukan sejak mereka pacaran. Hanya saja setelah menikah, Hanif dan Adia lebih banyak menggunakan akhir pekan dengan beberes rumah atau sekadar menikmati bakso di alun-alun. Tidak perlu jalan jauh-jauh. Namun, kali ini Hanif mengajak kembali.

"Panas!" Adia mengeluh saat motor berhenti di lampu merah.

Hanif menoleh, helm mereka terbentur, keduanya terkekeh bersamaan. Tangan Hanif mengelus lutut Adia, memintanya sabar, sebentar lagi. Akhirnya perempuan itu mengangguk, meski mulutnya tidak berhenti bersungut.

Setelah puas berkeliling, menjelang sore, Hanif dan Adia berhenti di sebuah taman luas. Mereka melepas penat dengan merebahkan badan di rerumputan hijau yang membentang. 

"Nif, kalau misal nanti kita punya anak, kita harus punya waktu untuk berjalan-jalan seperti ini lagi, ya." Adia menaikkan kacamatanya, menatap semburat oren di langit.

"Pasti, kita bakalan seperti ini terus, Di," jawab Hanif, tenang.

"Kamu janji, ya, kalau aku kerepotan ngurus baby, kamu bantuin aku. Kamu jangan keseringan marah-marah. Kalau marah cukup ke aku, jangan ke anak kita," sahut Adia lagi. 

"Kamu yakin mau punya anak?" tanya Hanif pelan. 

Adia menaikkan alis, lalu mencoba duduk untuk mencerna pertanyaan Hanif.

"Maksudku, kita belum matang secara finansial, Di. Ekonomi kita masih naik-turun. Aku takut kalau nanti tidak bisa memfasilitasi anak kita," ucap Hanif seraya mengangguk-anggukan kepala.

"Iya 'kan nggak harus buru-buru, Nif. Nanti aja, kalau untuk sekarang aku juga belum siap." Adia tersenyum menyadari kekhawatiran Hanif tidak bisa membahagiakan anak mereka.

Hanif meneguk air mineral, matanya kembali menatap senja yang cantik di atas sana. 

"Maaf aku suka marah-marah, ya, Nif." 

"Iya, Adia. Nggak apa-apa. Justru kalau kamu nggak marah-marah sehari saja, aku ngerasa gak enak banget. Kayak ada yang kurang, pasti kangen omelan kamu." 

Kelakaran Hanif sukses membuat Adia memukul lengannya pelan, perempuan itu menutup mulut dan tertawa. Hanif sedang menyindirnya. 

"Kamu juga minta maaf dong!" 

Hanif menunjuk dirinya, langsung diiyakan oleh Adia. 

"Kamu suka lupa naruh kunci mobil, kunci motor. Suka naruh handuk basah di kasur, kalau ngambil baju, lemari jadi berantakan. Suka gadang terus, like-like foto cewek di i*******m, nginep di toko tanpa ngasih tahu aku apapun!" Adia menghitung dengan jemarinya, dia masih ingat kesalahan-kesalahan Hanif selama mereka menikah hampir satu tahun ini.

"Kalau nginep itu karena aku ketiduran, Di. Kian ngajak main PS, terus aku gak inget apa-apa lagi." Berusaha berdalih, Adia memonyongkan bibir mendengar alibi suaminya.

"Like-like foto cewek, mana seksi-seksi lagi. Ih geleuh!" Adia mengeluarkan jurus bahasa Sunda-nya yang berarti jijik. 

"Itu kebetulan mereka lewat di timeline aku, Di. Bukan berarti ada niat aneh-aneh," alibi Hanif lagi.

"Terserah!" gumam Adia pelan, tubuhnya direbahkan lagi di atas rumput-rumput hijau itu.

Hanif mengisap rokoknya kembali, tidak memedulikan Adia yang mengerucutkan bibir, tapi tidak berkata apapun. Sepertinya perempuan itu menahan kekesalannya untuk beradu mulut karena beberapa orang juga berdatangan ke taman itu.

Semilir angin membuat rambut Hanif yang dibiarkan sedikit menggondrong berantakan, lelaki itu membisik pada istrinya, "Kamu juga suka ngelike foto artis Korea!" Adia memasang ekspresi susah diartikan.

"Kalau aku nggak apa-apa." Adia berpura-pura memainkan ponsel, menghindari tatapan Hanif. Suaminya itu pasti sedang menatap dengan tatapan meledek. Menyebalkan.

"Meresahkan," bisik Hanif lagi dengan bergidik. 

"Ya, mereka 'kan ganteng, jadi kalau memandang mereka itu membuat aku senang, menaikkan imun biar sehat!" Adia tetap membela diri, membuat alasan bermacam-macam. 

Ke sekian kalinya Hanif tertawa, lalu mengacak rambut Adia.

"Kamu ini ada-ada aja. Secara tidak langsung mengatakan aku gak ganteng dan bikin kamu gak bahagia, makanya lebih suka nonton cowok-cowok itu," gumam Hanif, berpura-pura sebal.

Adia langsung menegakkan tubuhnya menghadap Hanif. Kepalanya menggeleng kuat-kuat, menyadari ia salah berbicara.

"Maafin aku ya, Ganteng." Adia menunduk.

Hanif merentangkan tangan, Adia segera menghambur ke dalam dekapannya. Hanif mengelus-elus puncak kepala istrinya, memeluknya erat. Netra mereka menatap matahari yang hampir tenggelam bersama-sama.

"Maksudku, aktor Korea itu ganteng-ganteng, jadi kalau aku sedang lelah ngadepin kamu, lelah sama pekerjaan di kantor, cukup mandang mereka aja, hehehe."

"Apa? Gimana?" Hanif mendongakkan dagu istrinya. Adia menutup mulut lagi, menyadari kesalahannya.

"Kamu kalau nggak ngambekan juga bakalan mirip orang Korea deh." 

Hanif menyembunyikan Adia lagi dalam pelukannya. 

"Aku nggak ngambekan, Adia!" Hanif meyakinkan.

"Masa?" 

"Iya, bagian mana coba aku ngambekannya?" Hanif merasa tidak terima disebut 'ngambekan'.

"Pas tengah malem aku minta anter ke kamar mandi, kamu marah-marah."

"Tapi tetap dianter, kan?" 

Adia mengangguk dengan dongkol, tangannya menggaruk kepala pelan mengingat malam-malam lalu. 

"Tapi kamu kayak kesal gitu, Nif? Kenapa, sih?!" Bertanya penasaran.

"Kesal karena kamu masih belum berani juga ke kamar mandi sendirian," jawab Hanif.

Setelah percakapan-percakapan ringan itu, Adia dan Hanif menikmati roti bakar dengan kopi panas yang mengepul. Suara penyanyi muda dengan petikan gitar akustik turut meramaikan, Adia dan Hanif sesekali mengikuti lirik lagu yang mereka tahu. 

"Yuk, pulang."

Adia mengeratkan tangannya, menyandarkan kepala di punggung Hanif. Menikmati angin malam yang berembus pelan. Sesekali tangan Hanif mengusap tangan Adia, memberikan kehangatan. Adia tertidur dengan nyaman. Sampai suatu tepukan membuat ia terjaga. Ternyata mereka sudah sampai di rumah.

Hanif berlari menaiki anak tangga terlebih dahulu, Adia menyusul sambil terkantuk-kantuk. Hanif melorotkan celananya tanpa malu, buru-buru melilitkan handuk dan melenggang ke kamar mandi. 

"Hanif, jangan lama-lama!" Adia melemparkan tas dan baju ke sembarang tempat. Menggantinya dengan kimono. Karena terlalu ngantuk, Adia tertidur di sofa sembari menunggu Hanif menyelesaikan mandi.

Tak lama Hanif kembali, mengibaskan rambutnya yang basah. Menatap cermin yang memantulkan dirinya. Hanif tersipu, membalikkan badannya yang kekar.

"Buset, ganteng banget gue," pujinya pada diri sendiri.

Selanjutnya Hanif mengenakan celana panjang dan kaus. Berdecak melihat Adia yang terlelap.

"Di, mandi gih," titah Hanif seraya menyisir rambutnya dengan tangan.

Adia menggeliat, melangkah sempoyongan ke kamar mandi. Namun, sebelum itu sempat melirik Hanif yang sedang sok ganteng bergaya di depan cermin.

"Dih, narsis kamu."

"Aku narsisnya di kaca, kamu di depan kamera, joget-joget lagi," balas Hanif dengan senyuman.

Adia membulatkan mata. Kaki kecilnya melangkah mendekati Hanif. Lelaki itu mengerutkan dahi, tiba-tiba Adia sudah berada di sampingnya. 

"Mau peluk sebentar, Ayang," rengek Adia. 

"Ya udah boleh."

"Kamu wangi banget." Adia mengendus manja.

"Mandi dulu sana!" 

"Emang kenapa? Gak boleh?"

Hanif berkacak pinggang, memandang istrinya dengan rambut awut-awutan.

"Aku gak bisa kalau kamu belum mandi."

Adia berlalu, dibantingnya pintu kamar mandi dengan keras.

"Nyebelin!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Maisaa
baperrrrr parah...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status