Gudang tua itu mulai terasa seperti markas sementara mereka. Lucas sibuk mencatat sesuatu di buku kecil, Grace duduk bersila di lantai, matanya tajam memperhatikan dokumen palsu yang dibawa Alex.“Lucas,” ucap Grace dengan nada tegas.“Kalau kita hanya mengandalkan makelar pelabuhan, Karina mungkin curiga. Dia tahu betul siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak. Kita perlu lebih dari sekadar kabar burung.”Lucas mengangkat kepalanya. “Maksudmu?”Grace menggeser dokumen ke hadapannya, lalu menunjuk pada bagian tanda tangan. “Kalau kontrak energi ini benar-benar ingin terlihat meyakinkan, kita harus sisipkan sesuatu yang membuat Karina berpikir ada keuntungan besar kalau dia datang sendiri. Sesuatu yang terlalu menggiurkan untuk dia abaikan.”Alex menghentikan pekerjaannya, menoleh. “Seperti apa? Angka besar saja tidak cukup. Karina sudah terbiasa melihat angka ratusan juta.”Grace menatap keduanya, lalu bicara dengan mantap. “Nama besar. Kita butuh nama orang yang masih hidup, p
Lucas menatap lantai yang berdebu itu cukup lama, seakan pikirannya sedang menyusun setiap detail. Alex menyalakan lampu minyak kecil, cukup untuk menerangi ruangan tanpa memancing perhatian dari luar. Grace duduk di kursi kayu rapuh, masih mencoba menenangkan dirinya.“Lucas,” ucap Grace pelan, “kau yakin benar kita bisa menipu Karina? Lucas menoleh padanya, saat ini meski keadaan mencekam, tapi hatinya malah berbunga-bunga. Kali ini dia merasa kedekatan yang luar biasa dengan Grace. Lucas mengusap lembut puncak kepala Grace. “Justru karena itu kita harus membuatnya merasa semua ini ide dia. Kalau dia percaya dialah yang mengendalikan permainan, dia akan lengah.”Alex menyahut sambil menghela napas. “Tapi itu butuh orang dalam. Informasi palsu tidak bisa hanya muncul begitu saja. Harus ada pihak ketiga yang tampak meyakinkan.”Pria tua pemilik gudang yang berdiri di dekat pintu ikut menyela. “Aku kenal seseorang di pelabuhan. Orang itu punya reputasi sebagai makelar proyek. Karina
Lucas meraih kerah pria yang baru saja dipukulnya, lalu menghantamkan kepalanya ke dinding. Pria itu langsung ambruk. Sementara Alex menahan napas keras, lengannya masih membekap mulut lawan. Dengan satu gerakan cepat, dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, memastikan orang itu tidak bisa bangkit.“Ada lagi tidak?” bisik Alex.Lucas mengintip ke lorong. “Belum. Bisa ada tim lain di belakang mereka.”Grace menahan tangis. “Kita tidak bisa bertahan di sini terlalu lama. Mereka pasti bawa bala bantuan.”Lucas mengangguk. “Benar. Kita harus keluar sebelum mereka sadar tim ini hilang kontak.” Ia menoleh cepat pada Alex. “Ambil senjata mereka. Kita butuh peluru tambahan.”Alex menggeledah mayat di lantai, mengantongi dua magasin penuh. “Dapat.”Lucas menggenggam tangan Grace. “Ikut aku. Kita keluar lewat pintu darurat di belakang. Itu jalur paling sempit, mereka takkan sempat mengepung.”Mereka bergerak cepat menembus koridor yang remang. Suara angin mendesing dari celah dinding pecah. Begitu
Mobil semakin melaju mendekati bangunan tua itu. Asap tipis dari sisa terlihat samar, seolah menjadi bayangan gelap yang mengejar mereka.Grace memeluk dirinya, matanya tak lepas dari jendela. Stasiun itu tampak semakin dekat, tetapi justru semakin dekat, rasa mencekamnya juga kian menebal.“Tempat ini, benar-benar terlihat menyeramkan!” gumamnya pelan.Lucas menoleh singkat. “Lebih baik menyeramkan tapi aman, daripada terang benderang tapi kita jadi sasaran.”Lucas menambahkan kata lagi tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. “Jangan terlalu berharap aman. Kalau mereka bisa menaruh bom di mobil, mereka bisa saja sudah menunggu di sini.”Grace lebih menegang lagi. “Jadi… apa kalian yakin ini tempat yang tepat?”“Tidak ada pilihan lain,” jawab Lucas cepat. “Kalau kita terus di jalan utama, kita hanya menunggu disergap.”Mobil berhenti di depan pintu gerbang stasiun yang sudah berkarat. Rantai tua yang menggantung di sana hanya sisa-sisa penghalang rapuh. Alex menurunkan kaca, lalu meng
Mobil melaju kencang meninggalkan gudang yang terbakar. Suara sirene samar terdengar di belakang, bercampur dengan ingatan ledakan yang baru saja terjadi. Di dalam mobil, suasana tegang masih menyelimuti.Grace duduk di kursi belakang, tubuhnya gemetar. Dia merapatkan diri pada Lucas yang duduk di sampingnya. Tangan Grace bergetar saat menggenggam jaketnya sendiri.“Lucas, kita tidak akan pernah aman kalau begini. Mereka selalu tahu posisi kita,” ucap Grace dengan suara pelan.Lucas menoleh singkat. “Itu artinya ada orang dalam yang membocorkan informasi. Tidak mungkin mereka bisa bergerak secepat ini tanpa sumber.”Alex, yang mengemudi dengan penuh konsentrasi, menimpali dengan cepat. “Informan kurus tadi bukan orang yang bisa dipercaya.”Grace menelan ludah, wajahnya pucat. “Tapi… dia sudah mati.”“Justru itu,” Alex menjawab tegas. “Mereka memang biasa menghabisi orang setelah dipakai. Tidak ada saksi, tidak ada beban.”Lucas menghela napas panjang. “Sekarang bukan saatnya mencari
Peluru pertama menghantam pintu besi, memantul keras dan menimbulkan dentuman yang menggema di seluruh gudang. Grace terlonjak kaget, tubuhnya otomatis merapat ke punggung Lucas. Alex berlari cepat ke arah salah satu pilar, berusaha mencari posisi bertahan. “Mereka mengepung dari dua sisi!” teriaknya. Pria kurus yang tadi tampak begitu tenang kini berubah panik, wajahnya pucat pasi. “Aku tidak tahu mereka akan secepat ini! Percayalah aku tidak mengkhianati kalian!” Lucas menatapnya tajam. “Kalau kau bohong, malam ini juga akan jadi malammu yang terakhir.” Suara langkah kaki mendekat. Teriakan dalam bahasa asing terdengar dari luar, semakin banyak, semakin dekat. Lampu gantung di atas kepala mereka berayun liar seolah merasakan getaran ancaman yang masuk. Grace berbisik lirih, “Lucas… kita tidak bisa bertahan di sini lama-lama. Mereka pasti lebih banyak dari kita.” Lucas meraih senjata di pinggangnya, lalu menyalakan mode pengaman. Tatapannya dingin, namun nada suaranya