Share

Bab 5

Author: Bintu Hasan
last update Last Updated: 2025-05-23 09:32:22

Pukul tujuh pagi, aku sudah selesai membersihkan diri. Hari ini, dari pantulan cermin, wajahku terlihat sangat segar. Bukan karena tidur nyenyak, tapi semalam Bunda membocorkan sedikit dari rencananya—rencana dingin untuk mereka yang merasa aman bermain api di tengah ladang mesiu. Aku bahagia, tapi juga waspada. Ini bukan kebahagiaan yang ringan, melainkan bahagia penuh amarah.

"May, Tante mau ngomong sama kamu." Tante Husna tiba-tiba menarik tanganku ke ruang tamu.

Sepi. Aku langsung menoleh kanan-kiri. Ke mana mereka?

Seolah bisa membaca pikiranku, Tante Husna langsung menjawab, "Mas Hanan sama Mbak Nanda udah pergi dari jam enam tadi. Katanya, sih, ada urusan dulu sebelum keliling tiga desa."

Aku mencibir dalam hati. Urusan apa yang begitu penting pagi-pagi dan harus bawa-bawa wanita itu?

"Nenek sama Tante Hanen?"

"Mereka ke pasar. Makanya Tante cari momen sekarang sebelum suami dan anak-anak Mbak Hanen datang."

"Tentang apa?"

"Mereka keluar pagi itu Tante yakin cuma karena pengen berduaan. Aku bukannya mau bikin kamu dendam, tapi rasanya greget aja, May. Sepagi ini dan harus ditemani Mbak Nanda? Tadi waktu Tante bilang pengen ikut, Mas Hanan malah keberatan. Sekarang malah katanya mau nganterin Mbak Nanda jualan juga."

"Ayah ...." Suaraku keluar pelan, tapi rahangku mengeras. Kepalan tangan menggambarkan kekesalan yang nyaris meledak.

"Inget nggak? Dulu kalo Tante chat Mas Hanan, bisa berbulan-bulan gak dibalas. Kadang setahun. Alasannya selalu sibuk. Bahkan kalian jarang banget lebaran di sini karena katanya gak ada waktu. Tapi sekarang? Kayaknya tiap ada celah, pasti pulang dan pulangnya itu bukan sama Bunda, kan?"

Aku mulai menarik benang-benang lama di kepalaku, menyusunnya seperti potongan puzzle yang tidak pernah kupedulikan sebelumnya. Dulu kami harus menunggu tiga tahun sekali buat bisa pulang kampung, tapi sejak perempuan itu muncul, Ayah jadi rajin ke sini.

Demi siapa? Aku tahu jawabannya.

Ayah memang kerja sebagai Analis SDM Ahli Muda. Katanya sibuk. Namun, tetap saja bisa mengurus proyek desain, jual properti, bahkan pernah bantu bikin rencana taman kota. Selalu banyak kerjaan. Akan tetapi sekarang, waktunya terasa longgar. Bisa antar-jemput perempuan itu. Bisa mendadak liburan. Bisa menolak anaknya sendiri demi Tante Nanda.

"Mas Hanan sekarang udah beda, May. Prioritasnya berubah. Dulu kalau libur, di rumah pun tetep kerja, kan? Sekarang malah kelihatan lebih santai. Handphone gak pernah lepas dari tangan. Dan tiap Mbak Hanen nelpon, langsung diangkat. Sebenarnya bagus, sih, dia udah gak segila kerja itu. Tapi kalau itu semua demi perempuan lain, Tante gak akan rela."

Baru saja aku mau merespons, suara mobil terdengar dari depan. Kami refleks mengambil camilan dan duduk di depan TV, berpura-pura tertawa kecil melihat sinetron yang tak ada lucunya.

Ayah masuk bersama Tante Nanda, membawa kotak makanan dan kue. Lucu. Tahu cara mengambil hati orang lain, ya? Dasar muka dua.

"Hari ini May di rumah aja sama Tante Husna, ya. Mobil Ayah kecil soalnya. Nenek sama Tante Hanen kayaknya bakalan ikut."

"Ibu gak ikut, Mas," ujar Tante Husna datar.

"Kalau gitu, chat aja temen kamu yang kemarin itu, Mas. Biar tetep empat orang," kata Tante Nanda dengan nada yang dibuat selembut kapas. Ugh, rasanya ingin muntah.

Ayah tersenyum, sok manis. Lima menit kemudian, Nenek dan Tante Hanen datang. Obrolan ringan pun mengalir sepanjang sarapan, tapi hatiku tetap gelisah. Aku hanya diam, memikirkan satu hal, bagaimana cara menjatuhkan mereka?

Setelah pamit, mereka bertiga masuk mobil. Dan seperti yang kuduga, Tante Nanda tak mau duduk di kursi belakang. Dia melenggang santai ke depan, seolah merasa punya hak lebih.

"May!" Suara Nenek memanggil, tapi aku sudah lebih dulu masuk kamar dan membanting pintu. Kencang.

Darahku mendidih. Jantung berdentum seperti palu godam. Napas memburu. Aku ingin melempar sesuatu. Apa saja. Kalau bisa, wajah Tante Nanda langsung. Tanganku gemetar, bukan takut, tapi penuh amarah. Dada sesak. Mata panas. Sakit. Ingin menangis, tapi juga ingin membakar rumah ini habis-habisan.

Aku muak. Muak harus tersenyum pura-pura. Muak harus baik di depan orang yang menusuk dari belakang.

Kenapa harus aku yang melihat ini semua? Kenapa harus aku yang memendam semua? Kenapa perempuan murahan itu bisa dengan gampang mengambil tempat kami?

Kalau mulut ini kubuka lebar-lebar, bisa saja aku maki mereka sampai kehilangan suara. Namun, belum sekarang. Belum. Sebentar lagi.

"May, Nenek masuk, ya, Nak?"

"Masuk aja, Nek."

Nenek masuk, memelukku lembut. Kami duduk di tepi ranjang.

"Nenek tahu kamu kesal. Tapi kenapa? Cemburu karena ayahmu malah bawa Nanda?"

Aku menggeleng. "Kalau disuruh milih, Nenek pilih Bunda atau Tante Nanda?"

Nenek mengernyit, lalu menjawab mantap, "Tentu bundamu. Dia istri baik, menantu baik. Nanda cuma teman kuliah ayahmu dulu."

Teman kuliah? Huh. Aku ingat betul caranya memandangi ID Card Ayah di dashboard, seperti sedang mengagumi sesuatu yang lebih dari sekadar teman.

"Kamu curiga ayahmu mendua?"

"Kalau Nenek belain Ayah karena dia anak Nenek, gak apa-apa. Tapi aku gak bisa. Aku berpihak ke Bunda karena Bunda terluka."

"Kalau mereka ada hubungan, Nenek gak bakal dukung, May. Tapi kamu yakin mereka ada hubungan?"

"Bu, May salah paham itu." Suara Tante Husna muncul tiba-tiba dari pintu. Aku langsung paham arah sorot matanya. Diam.

"Nggak, Nek. Aku cuma cemburu aja," ujarku, berpura-pura tenang.

Nenek tersenyum lalu meninggalkanku. Tante Husna mendekat dan berbisik, "Tante udah kirim pesan ke Bunda. Bilang mau bantu cari bukti."

Aku mengangguk pelan. Akan tetapi, amarahku belum padam. Belum.

"May, sekarang Tante mau cerita soal Mbak Tiara."

Aku menoleh cepat. "Tante Tiara?"

"Iya. Mbak Tiara yang bukan sekadar sepupu."

Keningku mengernyit. Apa maksudnya? Bukan sekadar sepupu? Jangan-jangan ... dia juga salah satu bagian dari kebusukan ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 87

    Malam begitu tenang, seolah langit ingin menidurkan bumi. Hujan deras mengguyur tanpa jeda, memukul-mukul atap seng dengan irama yang sama sejak magrib. Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air, menciptakan lingkaran-lingkaran kecil yang pecah setiap tetes jatuh.Di kejauhan, suara kodok bersahutan, kalah oleh gemuruh hujan yang menutup rapat semua suara lain. Udara lembap merayap masuk lewat celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah yang menenangkan sekaligus menusuk kenangan lama.Di dalam rumah, hanya suara hujan yang berbicara. Selebihnya, malam seperti menahan napas.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar di tengah riuhnya hujan dengan pelan, tapi cukup jelas menembus dinding kesunyian. Hanan bangkit, melangkah ke arah pintu dengan rasa heran.Begitu daun pintu terbuka, udara dingin menerpa wajahnya. Di teras, berdiri Tiara dengan payung hitam yang meneteskan air. Di sebelahnya, Kiara mengerutkan bahu, jaketnya sudah basah di bagian lengan.Wajah Tiara data

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 86

    Karena benar-benar tak ada satu pun yang mau menerima Hanan bekerja, rasa putus asanya makin menjadi. Terlintas di benak, adik iparnya sedang libur dan berada di rumah. Dengan niat yang setengah berharap, dia memutuskan untuk berkunjung. Pria berusia tiga puluh tiga tahun bertubuh tinggi dengan raut wajah tenang itu tengah duduk di ruang tamu. Di depannya, secangkir kopi hitam masih mengepulkan uap, ditemani sepiring nasi goreng yang aromanya memenuhi ruangan. Asap rokok melayang di udara, bergulir sebelum menghilang. Beberapa saat kemudian, dia mematikan puntung rokok di asbak, kemudian menoleh ke arah pintu. “Mas Hanan? Masuk, Mas!” “Fatih.” Hanan tersenyum tipis lalu melangkah masuk dan ikut duduk. “Hanen, buatin Mas Hanan minum!” seru Fatih dari kursinya. Dari dapur, suara Hanen terdengar menyahut pelan, tanda mengiyakan. Hanan menarik napas panjang. “Walau adikku keras kepala, aku lihat rumah tangga kalian baik-baik aja.” “Mas, rumah tangga itu nggak bisa cuma salah satu y

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 85

    "Makasih, ya, Dek. Kamu udah bantuin masmu." Husna mendengkus kesal lalu melangkah cepat menuju kursi di ruang tamu. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hebohnya nanti kalau berita kedatangan Nanda yang mengaku hamil tersebar di lingkungan itu. Tadi saja kebohongannya sudah jelas terbongkar, tapi gosip itu sifatnya seperti api di sekam—baru benar-benar panas ketika ada yang meniup dan menambah-nambahi cerita dari kejadian sebenarnya. "Mas, kalau aja dulu kamu nggak selingkuh sama perempuan kayak dia, nggak akan ada kejadian hari ini. Semua yang Mas alami setengah tahun ini seharusnya nggak pernah ada. Mungkin aku masih bebas chat sama May, ngobrol sama adik-adiknya juga." Husna membuang napas kasar. "Kamu nggak akan dipermalukan kayak gini, dipandang remeh tetangga, bahkan kehilangan muka. Mas, kamu nggak pernah kepikiran buat mengakhiri hidup aja?" Hanan menunduk. Perkataan adiknya menusuk tepat di dada. Dalam hati, dia mengakui semua itu benar. Andai saja dia tidak jatuh cinta

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 84

    Mentari baru saja mengintip dari balik bukit, sinarnya lembut menyapu kabut yang masih menggantung di atas sawah. Udara pagi segar menyelinap lewat jendela bambu, membawa aroma tanah basah dan suara ayam berkokok dari kejauhan. Daun-daun pisang bergoyang pelan diterpa angin, sementara suara lesung ditumbuk dari dapur tetangga terdengar bersahut-sahutan. Hari baru telah dimulai begitu pelan, sederhana, tapi penuh kehidupan. Seorang wanita berdiri di depan rumah Bu Siti. Tak lama, dia pun mengetuk pintu. “Mas Hanan, buka pintunya!” Teriakan itu membuat langkah Hanan terhenti di depan cermin. Dia baru saja merapikan kemeja untuk pergi mencari lowongan kerja ke luar kota. Tak perlu berpikir lama, suara itu sangat dia kenali dan tak pernah dia harapkan datang di pagi buta. Saat membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Husna yang berdiri dengan wajah masam, kedua tangan dilipat di dada, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. “Mas Hanan, buka pintunya!” teriak suara

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 83

    "Intinya begini. Bu Nanda itu pelakor yang sekarang nyamar jadi korban. Mungkin tadi dia didatangi istri sah. Entah sesakit apa hatinya sampe bisa kayak gini."Nanda menatap tajam wanita itu lalu mengelus dahinya yang masih terasa perih karena coretan lipstik. "Lucu ya, kalian semua langsung percaya omongan begitu saja tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku nggak akan heran kalau suatu hari suami kalian pun akan menyesal menikahi kalian dan kalian bakal duduk di pos ronda sambil saling menyalahkan seperti sekarang."Beberapa ibu tampak tersinggung, tapi Nanda tak berhenti."Aku dituduh pelakor? Hanya karena tulisan di dahi dan fitnah dari perempuan yang jelas-jelas dendam karena mantan suaminya lebih memilihku? Kalian tahu apa? Ida, perempuan yang katanya istri sah itu, sudah menggugat cerai suaminya sebelum aku bahkan kenal dekat dengannya!""Ih, jangan muter-muter, Bu. Udah jelas ada yang nyoret, itu tandanya pelampiasan dari istri sah."Nanda menertawakan mereka, getir tapi ny

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 82

    Terik matahari menggantung tepat di atas kepala. Suasana kompleks perumahan masih cukup tenang, beberapa anak pulang sekolah dijemput orang tuanya, sementara suara tawa kecil terdengar dari arah taman.Seorang ibu yang baru saja menutup pagar rumahnya mendadak berhenti. Pandangannya tertuju pada sosok di teras rumah seberang."Eh, itu Bu Nanda?"Langkahnya pelan-pelan mendekat, rasa penasaran makin tumbuh. Dan saat melihat lebih dekat, dia langsung menjerit."Astaga, Bu Nanda?!"Teriakannya mengundang perhatian warga sekitar. Pintu-pintu terbuka, beberapa orang keluar, heran dengan keributan mendadak."Ada apa sih?""Itu ... itu Bu Nanda! Astaga, kenapa kayak gitu?!"Nanda tergeletak di teras dengan lipstik merah menyala belepotan seperti badut dan tulisan norak di dahinya, aku pelakor."Waduh, gila! Siapa yang tega?""Itu beneran Bu Nanda? Ya ampun, aku baru kemarin pindah, kok, langsung lihat beginian.""Pelakor? Maksudnya pelakor siapa? Kita aja baru kenal beliau, kan?""Aku pikir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status