LOGINPukul tujuh pagi, aku sudah selesai membersihkan diri. Hari ini, dari pantulan cermin, wajahku terlihat sangat segar. Bukan karena tidur nyenyak, tapi semalam Bunda membocorkan sedikit dari rencananya—rencana dingin untuk mereka yang merasa aman bermain api di tengah ladang mesiu. Aku bahagia, tapi juga waspada. Ini bukan kebahagiaan yang ringan, melainkan bahagia penuh amarah.
"May, Tante mau ngomong sama kamu." Tante Husna tiba-tiba menarik tanganku ke ruang tamu. Sepi. Aku langsung menoleh kanan-kiri. Ke mana mereka? Seolah bisa membaca pikiranku, Tante Husna langsung menjawab, "Mas Hanan sama Mbak Nanda udah pergi dari jam enam tadi. Katanya, sih, ada urusan dulu sebelum keliling tiga desa." Aku mencibir dalam hati. Urusan apa yang begitu penting pagi-pagi dan harus bawa-bawa wanita itu? "Nenek sama Tante Hanen?" "Mereka ke pasar. Makanya Tante cari momen sekarang sebelum suami dan anak-anak Mbak Hanen datang." "Tentang apa?" "Mereka keluar pagi itu Tante yakin cuma karena pengen berduaan. Aku bukannya mau bikin kamu dendam, tapi rasanya greget aja, May. Sepagi ini dan harus ditemani Mbak Nanda? Tadi waktu Tante bilang pengen ikut, Mas Hanan malah keberatan. Sekarang malah katanya mau nganterin Mbak Nanda jualan juga." "Ayah ...." Suaraku keluar pelan, tapi rahangku mengeras. Kepalan tangan menggambarkan kekesalan yang nyaris meledak. "Inget nggak? Dulu kalo Tante chat Mas Hanan, bisa berbulan-bulan gak dibalas. Kadang setahun. Alasannya selalu sibuk. Bahkan kalian jarang banget lebaran di sini karena katanya gak ada waktu. Tapi sekarang? Kayaknya tiap ada celah, pasti pulang dan pulangnya itu bukan sama Bunda, kan?" Aku mulai menarik benang-benang lama di kepalaku, menyusunnya seperti potongan puzzle yang tidak pernah kupedulikan sebelumnya. Dulu kami harus menunggu tiga tahun sekali buat bisa pulang kampung, tapi sejak perempuan itu muncul, Ayah jadi rajin ke sini. Demi siapa? Aku tahu jawabannya. Ayah memang kerja sebagai Analis SDM Ahli Muda. Katanya sibuk. Namun, tetap saja bisa mengurus proyek desain, jual properti, bahkan pernah bantu bikin rencana taman kota. Selalu banyak kerjaan. Akan tetapi sekarang, waktunya terasa longgar. Bisa antar-jemput perempuan itu. Bisa mendadak liburan. Bisa menolak anaknya sendiri demi Tante Nanda. "Mas Hanan sekarang udah beda, May. Prioritasnya berubah. Dulu kalau libur, di rumah pun tetep kerja, kan? Sekarang malah kelihatan lebih santai. Handphone gak pernah lepas dari tangan. Dan tiap Mbak Hanen nelpon, langsung diangkat. Sebenarnya bagus, sih, dia udah gak segila kerja itu. Tapi kalau itu semua demi perempuan lain, Tante gak akan rela." Baru saja aku mau merespons, suara mobil terdengar dari depan. Kami refleks mengambil camilan dan duduk di depan TV, berpura-pura tertawa kecil melihat sinetron yang tak ada lucunya. Ayah masuk bersama Tante Nanda, membawa kotak makanan dan kue. Lucu. Tahu cara mengambil hati orang lain, ya? Dasar muka dua. "Hari ini May di rumah aja sama Tante Husna, ya. Mobil Ayah kecil soalnya. Nenek sama Tante Hanen kayaknya bakalan ikut." "Ibu gak ikut, Mas," ujar Tante Husna datar. "Kalau gitu, chat aja temen kamu yang kemarin itu, Mas. Biar tetep empat orang," kata Tante Nanda dengan nada yang dibuat selembut kapas. Ugh, rasanya ingin muntah. Ayah tersenyum, sok manis. Lima menit kemudian, Nenek dan Tante Hanen datang. Obrolan ringan pun mengalir sepanjang sarapan, tapi hatiku tetap gelisah. Aku hanya diam, memikirkan satu hal, bagaimana cara menjatuhkan mereka? Setelah pamit, mereka bertiga masuk mobil. Dan seperti yang kuduga, Tante Nanda tak mau duduk di kursi belakang. Dia melenggang santai ke depan, seolah merasa punya hak lebih. "May!" Suara Nenek memanggil, tapi aku sudah lebih dulu masuk kamar dan membanting pintu. Kencang. Darahku mendidih. Jantung berdentum seperti palu godam. Napas memburu. Aku ingin melempar sesuatu. Apa saja. Kalau bisa, wajah Tante Nanda langsung. Tanganku gemetar, bukan takut, tapi penuh amarah. Dada sesak. Mata panas. Sakit. Ingin menangis, tapi juga ingin membakar rumah ini habis-habisan. Aku muak. Muak harus tersenyum pura-pura. Muak harus baik di depan orang yang menusuk dari belakang. Kenapa harus aku yang melihat ini semua? Kenapa harus aku yang memendam semua? Kenapa perempuan murahan itu bisa dengan gampang mengambil tempat kami? Kalau mulut ini kubuka lebar-lebar, bisa saja aku maki mereka sampai kehilangan suara. Namun, belum sekarang. Belum. Sebentar lagi. "May, Nenek masuk, ya, Nak?" "Masuk aja, Nek." Nenek masuk, memelukku lembut. Kami duduk di tepi ranjang. "Nenek tahu kamu kesal. Tapi kenapa? Cemburu karena ayahmu malah bawa Nanda?" Aku menggeleng. "Kalau disuruh milih, Nenek pilih Bunda atau Tante Nanda?" Nenek mengernyit, lalu menjawab mantap, "Tentu bundamu. Dia istri baik, menantu baik. Nanda cuma teman kuliah ayahmu dulu." Teman kuliah? Huh. Aku ingat betul caranya memandangi ID Card Ayah di dashboard, seperti sedang mengagumi sesuatu yang lebih dari sekadar teman. "Kamu curiga ayahmu mendua?" "Kalau Nenek belain Ayah karena dia anak Nenek, gak apa-apa. Tapi aku gak bisa. Aku berpihak ke Bunda karena Bunda terluka." "Kalau mereka ada hubungan, Nenek gak bakal dukung, May. Tapi kamu yakin mereka ada hubungan?" "Bu, May salah paham itu." Suara Tante Husna muncul tiba-tiba dari pintu. Aku langsung paham arah sorot matanya. Diam. "Nggak, Nek. Aku cuma cemburu aja," ujarku, berpura-pura tenang. Nenek tersenyum lalu meninggalkanku. Tante Husna mendekat dan berbisik, "Tante udah kirim pesan ke Bunda. Bilang mau bantu cari bukti." Aku mengangguk pelan. Akan tetapi, amarahku belum padam. Belum. "May, sekarang Tante mau cerita soal Mbak Tiara." Aku menoleh cepat. "Tante Tiara?" "Iya. Mbak Tiara yang bukan sekadar sepupu." Keningku mengernyit. Apa maksudnya? Bukan sekadar sepupu? Jangan-jangan ... dia juga salah satu bagian dari kebusukan ini?Udara siang menembus kisi besi penjara, membawa aroma besi tua dan keringat. Hanan duduk di sudut ruang tahanan, membungkuk di atas meja kecil yang catnya mulai terkelupas. Kertas lusuh di tangannya berisi huruf-huruf yang tak lagi terbaca jelas—surat yang tak pernah sempat dikirim untuk Ida.Suara rantai bergemerincing di lorong panjang. Petugas memanggil, “Tahanan nomor 207, ada tamu.”Langkah Hanan terhenti sesaat. Matanya menatap kosong ke arah pintu. Siapa yang mau datang menemuinya setelah semua ini? Dia berdiri pelan, tubuhnya tampak lebih kurus, rambut mulai memutih di sisi pelipis. Wajah yang dulu selalu percaya diri kini tampak layu, seperti pohon tua kehilangan akar.Di ruang kunjungan, kaca tebal memisahkan dunia yang masih hidup dan yang sudah setengah mati. Hanan duduk di kursi logam, menunggu. Lalu, pintu terbuka.Seorang wanita muda masuk, diikuti seorang pria dengan jas abu-abu. Langkah mereka tenang, berwibawa. Hanan menegakkan tubuhnya, tapi napasnya tercekat saat m
Langit pagi masih bersih tanpa awan dan mentari menyorot lembut ke Gedung Bimasena, sebuah bangunan megah bergaya kolonial yang hari itu bertransformasi menjadi taman surga sementara. Fasadnya dihiasi dengan karangan bunga melati, mawar putih jenis Avalanche, dan anyelir segar yang disusun sedemikian rupa sehingga menjuntai indah dari pilar-pilar tinggi. Aroma lembut floral berpadu dengan wangi khas lilin aromaterapi yang diletakkan tersembunyi, menciptakan lapisan wangi yang elegan.Di dalam, suasananya adalah perwujudan kesempurnaan sosial. Setiap sudut ruangan memancarkan kebahagiaan yang dipoles dengan baik. Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya kristal dari lusinan lampu gantung, dan di tengah ruang, karpet merah membentang menuju pelaminan yang dihiasi dengan instalasi bunga raksasa.Tawa pelan para tamu, yang kebanyakan adalah wajah-wajah penting dari kalangan bisnis dan politik, bercampur dengan denting gelas sampanye kristal dan lantunan musik lembut dari orkes kecil di p
Saat kertas itu kembali terselip rapi di dalam laci, kegembiraan dingin merayap ke dada May. Lampu kamar meredup jadi latar. Dia berdiri, menutup mata, lalu menari pelan di antara bayangan. Langkahnya ringan, senyum samar melengkung di bibir. Di dalam kepalanya, kenangan dua bulan lalu berputar seperti potongan film lama di masa ketika semuanya mulai bergerak sesuai rencana. Hari itu, di taman kota yang sepi dan jarang dilalui orang, bangku panjang dekat kolam menjadi saksi. Hanan duduk di sana, bahunya sedikit menunduk, kemeja abu-abu yang dia kenakan tampak kusut di bagian siku. Dari kejauhan, bayangan seorang gadis muncul perlahan. “May.” Suara Hanan terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang lama mengganjal. “Aku cuma punya waktu sebentar, Yah. Bunda lagi tidur,” jawab May sambil duduk di sampingnya. Gerakannya tenang, tatapannya lembut, tapi penuh hitungan. Mereka diam sejenak. Angin menyentuh permukaan air, memantulkan wajah keduanya yang sama-sama menanggung sisa luka la
Berita di televisi sudah berakhir, meninggalkan ruang tamu yang senyap. May, Raya, dan Risa duduk berdekatan di sofa, belum benar-benar paham seluruh arti dari kabar yang baru saja mereka dengar. Hanya tahu bahwa seseorang yang dulu mereka panggil Ayah kini berada di balik jeruji besi. Dari luar, suara mobil berhenti di depan rumah. Pintu diketuk pelan, disusul suara perempuan terisak. Ida menoleh cepat, lalu berdiri. Di ambang pintu berdirilah Hanen dengan mata bengkak, wajah pucat, dan pundak bergetar menahan tangis. “Masuklah, Nen,” ucap Ida pelan. Begitu langkah Hanen melewati ambang, suasana di ruang tamu langsung berat. Dia menutup mulutnya, menahan sesak yang tak terbendung. “Aku nggak nyangka, Mbak. Husna belum genap empat puluh hari, sekarang Mas Hanan juga harus masuk penjara.” Suaranya pecah, tubuhnya goyah. Ida meraih bahu wanita itu, menuntunnya duduk. “Aku juga nggak pernah berharap semua ini terjadi. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan.” Tangis Hanen pecah tanpa
Dua hari kemudian, kantor polisi semakin dipenuhi tumpukan berkas, rekaman digital, dan peta jalur CCTV. Setiap detil mulai disusun rapi oleh tim detektif. Sementara itu, sebuah telepon masuk ke meja detektif senior. “Hanan berada di lobi, ingin menyerahkan diri,” kata petugas sambil menahan napas. Detektif senior mengerutkan alis, menatap Hanan yang baru saja melangkah masuk. Wajahnya pucat, mata menunduk, tapi ada sesuatu di sana, tentang kesadaran dan ketegasan yang sebelumnya tak terlihat. Hanan menyerahkan ponsel genggamnya, tablet, dan beberapa dokumen. “Ini semua bukti yang membuktikan siapa yang mengatur semuanya. Aku yang merencanakan semuanya dan aku ingin bertanggung jawab. Aku ingin kebenaran keluar, tanpa ada yang lagi jadi korban kebohongan atau dendam orang lain.” Detektif senior mengambil satu per satu dokumen itu. Di layar ponsel, chat-chat itu membuka rahasia gelap: Hanan menyuruh Raisa menaruh sapu tangan dengan huruf N di rumah Ida agar terlihat seperti bu
Ruang penyelidikan apartemen dipenuhi layar monitor. Detektif senior menatap salah satu rekaman CCTV, matanya menyipit. “Perhatikan jam tujuh malam. Di sini, sebelum keributan mulai, ada seseorang yang menarik perhatian.” Seorang detektif muda menekan tombol pause, memperbesar layar. Di lobby, seorang gadis muda tampak sibuk menelepon. Rambutnya diikat tinggi, tas kecil tergantung di bahunya, gerak-geriknya cemas. Dia sesekali menengok ke lift dan pintu masuk, seolah menunggu seseorang. “Lihat itu,” desis detektif muda, “dia bukan penghuni, kan? Gerakannya terlalu waspada.” Senior mencondongkan tubuh. “Benar. Catat setiap detil. Posisi tasnya, arah pandang, gerakan tangannya. Bisa jadi ini orang yang menaruh racun atau bahkan yang mematikan kamera koridor.” Seorang detektif lain mengangguk. “Nomor telepon yang dia pakai bisa kita telusuri. Siapa tahu ada koneksi dengan pihak ketiga yang sengaja menjebak Tiara.” Senior menghela napas. “Timeline malam itu mulai terlihat lebih







